Saturday, December 25, 2010

PAHLAWAN HIDUPKU

Hari Ibu itu yang tetulis di tanggalanku. Ku termenung dalam keheningan malam, slide kehidupanku muncul secara acak di otakku. Ehm.....ku hempaskan badanku ke ttempat tidur yang sangat berantakan. Mataku terpejam.

“Ani, kelak kau besar jadilah orang yang kuat, ikhlas, sabar, jangan takut dan sukses.” Aku tersentak dari tidurku. Ah...ternyata hanya mimpi saja, gumamku pelan. Ku pejamkan lagi mata ini namun sia-sia saja. Segera ku pergi kekamar mandi dan kubasuh wajahku dan layar komputer telah terbuka.

IBU... tersentak aku oleh  kata itu, ku menangis, menangis dan menangis. Ku dekap erat foto ibu yang ada disamping komputerku, foto ibu yang tersenyum indah menghiasi wajahnya, senyum yang sangat ku rindukan.

“Kau harus sabar dan ikhlas nak menerima cobaan ini.” Ujar ibuku saat aku menangis kesakitan karena di hukum oleh bapak. “dia, ingin mengajarkanmu untuk menjadi pribadi yang kuat, bukan maksud lain.”

Aku hanya menangis dan memeluk erat ibuku, ku tahu beliau juga sakit karena melindungiku dari pukulan rotan, namun ditahannya air mata itu. Aku tak tahu kenapa ibu begitu sabar menghadapi bapak yang sangat jahat menurutku. Lagi-lagi setiap aku tanyakan hal itu hanya senyum yang diberikannya tanpa ku tahu maksud senyum itu.

Tak terasa aku telah beranjak dewasa, ketika duduk di bangku SMP, aku sangat terkekang oleh bapakku, apapun yang ingin aku lakukan bersama teman-temanku di larang, aku hanya dirumah dan di rumah. Dan teman sejati yang menemaniku hanyalah ibu dan buku-buku bacaan.

“lebih baik kamu bnyak membaca nak, daripada kamu main yang menghabiskan waktumu dengan sia-sia, dengan membaca pemikiranmu akan terbuka luas kamu tahu bnyak hal dan banyak tempat tanpa kamu harus kesana, kamu mendapatkan banyak ilmu yang luar biasa. Apakah kamu masih merasa rugi tidak bisa bermain dengan teman-temanmu?.” Itu pesan ibuku ketika aku mengomel karena bosan dengan rutinitasku lagi-lagi dengan senyum penuh kesayangan.

Ibu, jasamu sanagt besar bagiku dalam mebentuk sikapku ini, untuk sabar, ikhlas, riang, namun ada kesedihan terendiri did alam jiwa ini, aku takut kehilanganmu. Aku tak ingin kehilangan ibuku yang mencintaiku dangan segenap jiwa raganya, mengasihiku, mendorongku, menyemagatiku. Ketika banyak orang mengatakan usiaku tak akan lebih dari 20 tahun hanya ibuku yang percaya bahwa aku akan semakin sehat dan akan lebih dari 20 tahun. Bebagai cara diusahakan agar aku sehat, tak peduli kesehatannya yang semakin memburuk.

Diakhir bulan Mei 2009, aku jatuh sakit dengan kondisi yang memprihatinkan, ku dengar ibu sedang berbicara dengan seseorang mungkin dokter aku tak tahu.

“ada apa bu?” tanyaku ketika ibu berada disampingku. “apakah aku akan mati?”
“kau tak boleh berkata seperti itu nak, Allah yang menggenggam jiwa kita. hanya Allah yang berhak menentukan kapan kita mati.” Jawab ibuku sambil mencium keningku.
“kemana bapak, dan kakak bu ?”
“mereka sedang di luar. Mereka tak sanggup melihat kondisimu saat ini karena mereka tak ingin kehilanganmu.” Ujar ibuku lembut. Aku tahu mungkin ibu hanya ingin aku tak begitu sedih jika tahu jika bapak dan kakakku tidak ada.

Tengah malam ketika ku terbangun karena haus ku tanggap bayangan ibu di sudut ruang rawat inapku ibu bersimpuh. Ku tak bisa menahan air mataku. Aku menangis dan mengangis keras.

“ ada apa anakku, ? maaf kan ibu meninggalkanmu.”
Aku hanya menangis memeluk erat ibu tak perduli infus yang terpasang di tanganku.
“ani, tak ingin ibu menukarkan nyawa ibu untukku, aku ikhlas jika Allah memang berkehendak mengambil nyawaku bu. Ani berdosa belum bisa memahagiakan ibu,”

Ibu menangis dengan memelukku erat. Ya untaian doa yang selalu terngiang dengan jelas di otakku, doa ketika ibu, rela menukarkan nyawanya untukku jika aku tak ada harapan lagi dari para dokter, semuanya itu agar aku mencapai kebahgiaanku karena kata ibu aku layak mendapatkan kebahagiaan. Doa yan membuatku semakin sayang, sayang dan mungkin tak akan bisa menyamai kasih sayangnya.

Desember 2010
Tak terasa akhirnya aku akan segera menyelesikan study ku di Universitas Lampung. Dan doa ibuku terjawab sudah, kesehatnku semakin baik bahkan Allah telah mencabut penyakit itu kini usiaku 22 tahun, orang yang dulunya pesimis dengan usaha yang di lakukan ibuku kini mereka salut akan kekuatan doa dan semangat. Hari-hariku indah, walaupun hanya punya rumag kecil yang bisa di bilang jelek aku bahagia, bapakku telah berubah baik, kakakku juga sudah sayang padaku, dan adik-adikku yang semakin cerdas dan sayang padaku.

Hanya satu yang belum aku tunaikan keinginan ibu, yaitu mencari orang yang bisa menjagaku.

Bandar Lampung, 22 desember 2010
Wisma panaragan,

0 comments:

Post a Comment

Komentar anda