Saturday, February 15, 2014

Gemuruh Nurani Seorang Ikhwan



Oleh: Bio Akhtar


seketika susana itu berubah, seakan aku semakin akan menjauh, entah bagaimana itu terjadi, aku pun tidak tau..
terasa masa itu sudah berganti..

dorongan hati untuk menhindar kuat sekali..
tapi itu tidak dpat aku tempuh..

ada sesuatu yang hilang pada diriku, seakan tidak percaya pada kekuatan diri..
mencoba mendekatkan diri menguatkan keyakinan dan mematapkan hati, 
sungguh dan sungguh beratt untuk di pahami dan di mengerti...

akan kah itu datang jika pada waktunya..atau kita inta waktu itu datang..
seakan aku sperti bayi yang tak berdaya dan lemah yang harus di tahti krena suasana sperti ini...

OOh cinta...kenapa aku terpaku dengan nama itu..

ia datang tanpa disadari dan tumbuh tanpa di sirami..
seaakan dirimu sedang merantai jiwaku,
namun ragaku masih engkau lepas bebas tanpa batas..
aku khwawatir akan tidak sama dengan cinta jiwa dan raga

mungkin dalam hal teori dan konsep diri sudah ada bekal untuk dibawa, namun unutk aplikasi seakan belum ada korelasinya dengan teorinya.. 
ntah laaaah Mungkin waktu adalah suatu bagian yang tak terpisahkan 
dengan sesuatu yang lain.

aku adalah mahasiswa juga manusia seorang hamba, 
mahasiswa paling lama, lama akan aktivitas, lama akan akhir studinya, 
lama akan sosial dimasyarakat..dan mudah-mudaha tidak lama akan segera berkeluarga... 

Aku pernah menjadi pemimpin, 
tapi itu belajar memimpin hati dan perasannku, aku belum mampu memimpin kalian, terbukti karena sekarang aku masi sendiri.. 

Aku adalah pemimpin, 
pemimpin bagi para pemimpi...
mimpi akan terbang tinggi.. 
Namun aku sadari bahwa sahabatku lah pemimpin 
karena dia sudah menjadi peimpin keluaraga mungil..

Mendatang kan keberanian, da azam yang kuat...
kucoba ia datang..
namun belum juga datang..
mungkin karena saatnya belum tepat, untuk ia yang hebat


Banda Aceh, 16 Februari 2014

Friday, February 7, 2014

Dua Bendera

“Syukurilah kemampuan kalian membalas kejahatan”, demikian kata Sayyidina ‘Ali, “Dengan memaafkan.” Suatu hari 2 bendera berkibar di gunung Abu Qubais. Di atas untanya Sang Nabi duduk dengan kepala tertunduk, ”Fasabbih bihamdi Rabbika wastaghfirh..” Matanya menitikkan bening yang syahdu. Allah memenangkannya hari ini. Dan kedua bendera itu berkibar.
Di salah satu sayap ada Sa’d ibn ’Ubadah, membusung dada penuh kebanggaan. Tatapan matanya tajam berkilat. Hari ini, dengan keislamannya, ia merasa mulia di hadapan Makkah yang tiba-tiba terasa kecil dan takluk pada wadya Madinah yang dipimpinnya. ”Hari ini adalah hari menangnya kebenaran dan hancurnya kebathilan”, katanya. Bendera yang dihela tangan kanannya mengembang, tegak, dan gagah. Bendera yang berdarah-darah melindungi risalah, membela persaudaraan, dan kini mengantarnya pada sebuah kemenangan, bendera Anshar.
Pada sayap yang lain, Az Zubair ibn Al ’Awwam tegak khidmat di atas kudanya. Berjuta rasa berkecamuk di dadanya. Pada Makkah, kota dengan selaksa kenangan baginya. Bayangan kanak-kanaknya yang penuh tawa berselebat dengan bayangan darah dan air mata saat ia dan sejawatnya menegakkan Islam pertama kali, di sana, di titik itu yang kini sedang ditatapnya dengan berkaca-kaca, di dekat Ka’bah yang mulia. Bendera yang dipegangnya meliuk-liuk rindu, bergetar oleh angin nostalgi yang tak terkatakan. Bendera itu, bendera yang menyertai Nabi sejak mula dia didustakan kaumnya, bendera yang terusir dari tanah yang dicintainya, bendera Muhajirin.
Ketika akhirnya Makkah jatuh, kedua bendera itu menyatu gagah di depan Ka’bah. Sang Rasul berdiri di hadapan warga Quraisy yang harap-harap cemas. Quraisy kalah. Mereka takluk. Getir sekali. Mereka meringkuk dalam tekanan perasaan yang amat pahit. “Wahai segenap orang Quraisy”, ucap Sang Nabi dalam wajah yang amat teduh, “Apa yang akan kulakukan pada kalian menurut sangkaan hati kalian?”
Sejenak bayangan penindasan, penyiksaan, kekejaman, pembunuhan, boikot, pengusiran, caci-maki, penghinaan dan segala luka yang mereka timpakan kepada Muhammad beserta pengikutnya bertahun-tahun lalu berselebat di benak tiap orang Quraisy. Ya, apa yang akan dilakukan Muhammad? Kini dia menang dan mereka semua ada dalam genggamannya.
Hari ini, seperti kata Sa’d ibn ‘Ubadah, bisa menjadi hari dihalalkannya yang haram dan bebasnya pembalasan dendam.
“Tindakan yang baik dalam prasangka baik”, Suhail ibn ‘Amr sang duta Hudaibiyah memberanikan diri menjawab Sang Nabi, “Sebab engkau adalah saudara kami yang mulia, putra saudara kami yang mulia.”
Sang Nabi tersenyum. “Pergilah”, ujarnya syahdu, “Kalian semua bebas.”
“Allah memuliakan para penyeru kebenaran”, demikian Sayyid Quthb menulis dalam Fi Zhilaalil Quran saat menafsir Surat Fushshilat ayat 33, “Dengan menyebut kata-kata mereka sebagai sebaik-baik ucapan. Tentu sebab kata-kata mereka bukanlah isapan jempol belaka, atau basa-basi untuk mempercantik bibir. Sungguh setiap kata yang tertebar dari lisan-lisan suci itu diiringi oleh ‘amal shalih dan persaksian keberserahan diri mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
Setelah itu, mungkin sang pemeluk cahaya menghadapi keberpalingan, perilaku buruk, dan keingkaran sebagai imbalan atas ucapannya. Tetapi dia lalu membalasnya dengan kebaikan. Maka jadilah dia berada di tempat yang tinggi.
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS Fushshilat: 34)
Memaafkan musuh yang telah bersimpuh, adalah keajaiban.

Dua Telaga {Prolog untuk Dalam Dekapan Ukhuwah}

Telaga itu luas, sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Di tepi telaga itu berdiri seorang lelaki. Rambutnya hitam, disisir rapi sepapak daun telinga. Dia menoleh dengan segenap tubuhnya, menghadap hadirin dengan sepenuh dirinya. Dia memanggil-manggil. Seruannya merindu dan merdu. “Marhabban ayyuhal insaan! Silakan mendekat, silakan minum!”
Senyumnya lebar, hingga otot di ujung matanya berkerut dan gigi putihnya tampak. Dari sela gigi itu terpancar cahaya. Mata hitamnya yang bercelak dan berbulu lentik mengerjap bahagia tiap kali menyambut pria dan wanita yang bersinar bekas-bekas wudhunya.
Tapi di antara alisnya yang tebal dan nyaris bertaut itu ada rona merah dan urat yang membiru tiap kali beberapa manusia dihalau dari telaganya. Dia akan diam sejenak. Wibawa dan akhlaqnya terasa semerbak. Lalu dia bicara penuh cinta, dengan mata berkaca-kaca. “Ya Rabbi”, serunya sendu, “Mereka bagian dariku! Mereka ummatku!”
Ada suara menjawab, “Engkau tak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu!”
Air telaga itu menebar wangi yang lebih harum dari kasturi. Rasanya lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju. Di telaga itu, bertebar cangkir kemilau sebanyak bilangan gemintang. Dengan itulah si lelaki memberi minum mereka yang kehausan, menyejukkan mereka yang kegerahan. Wajahnya berseri tiap kali ummatnya menghampiri. Dia berduka jika dari telaganya ada yang dihalau pergi.
Telaga itu sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Tapi ia tak terletak di dunia ini. Telaga itu Al Kautsar. Lelaki itu Muhammad. Namanya terpuji di langit dan bumi.
***
Telaga lain yang lebih kecil, konon pernah ada dalam cangkungan sebuah hutan di Yunani. Dan ke telaga itu, setiap pagi seorang lelaki berkunjung. Dia  berlutut di tepinya, mengagumi bayangannya yang terpantul di air telaga. Dia memang tampan. Garis dan lekuk parasnya terpahat sempurna. Matanya berkilau. Alis hitam dan cambang di wajahnya berbaris rapi, menjadi kontras yang menegaskan kulit putihnya.
Lelaki itu, kita tahu, Narcissus. Dia tak pernah berani menjamah air telaga. Dia takut citra indah yang dicintainya itu memudar hilang ditelan riak. Konon, dia dikutuk oleh Echo, peri wanita yang telah dia tolak cintanya. Dia terkutuk untuk mencintai tanpa bisa menyentuh, tanpa bisa merasakan, tanpa bisa memiliki. Echo meneriakkan laknatnya di sebuah lembah, menjadi gema dan gaung yang hingga kini diistilahkan dengan namanya.
Maka di tepi telaga itu Narcissus selalu terpana dan terpesona. Wajah dalam air itu mengalihkan dunianya. Dia lupa pada segala hajat hidupnya. Kian hari tubuhnya melemah, hingga satu hari dia jatuh dan tenggelam. Alkisah, di tempat dia terbenam, tumbuh sekuntum bunga. Orang-orang menyebut kembang itu, narcissus.
Selesai.
Tetapi Paulo Coelho punya anggitan lain untuk kisah Narcissus. Dalam karyanyaThe Alchemist, tragika lelaki yang jatuh cinta pada dirinya sendiri itu diakhiri dengan lebih memikat. Konon, setelah kematian Narcissus, peri-peri hutan datang ke telaga. Airnya telah berubah dari semula jernih dan tawar menjadi seasin air mata.
“Mengapa kau menangis?”, tanya para peri.
Telaga itu berkaca-kaca. “Aku menangisi Narcissus”, katanya.
“Oh, tak heranlah kau tangisi dia. Sebab semua penjuru hutan selalu mengaguminya, namun hanya kau yang bisa mentakjubi keindahannya dari dekat.”
”Oh, indahkah Narcissus?”
Para peri hutan saling memandang. “Siapa yang mengetahuinya lebih daripadamu?”, kata salah seorang. “Di dekatmulah tiap hari dia berlutut mengagumi keindahannya.”
Sejenak hening menyergap mereka. “Aku menangisi Narcissus”, kata telaga kemudian, “Tapi tak pernah kuperhatikan bahwa dia indah. Aku menangis karena, kini aku tak bisa lagi memandang keindahanku sendiri yang terpantul di bola matanya tiap kali dia berlutut di dekatku.”
***
Setiap kita punya kecenderungan untuk menjadi Narcissus. Atau telaganya. Kita mencintai diri ini, menjadikannya pusat bagi segala yang kita perbuat dan semua yang ingin kita dapat. Kita berpayah-payah agar ketika manusia menyebut nama kita yang mereka rasakan adalah ketakjuban pada manusia paling memesona. Kita mengerahkan segala daya agar tiap orang yang bertemu kita merasa telah berjumpa dengan manusia paling sempurna.
Kisah tentang Narcissus menginsyafkan kita bahwa setinggi-tinggi nilai yang kita peroleh dari sikap itu adalah ketakmengertian dari yang jauh dan abainya orang dekat. Kita menuai sikap yang sama dari sesama, seperti apa yang kita tabur pada mereka. Dari jaraknya, para peri memang takjub, namun dalam ketidaktahuan. Sementara telaga itu hanya menjadikan Narcissus sebagai sarana untuk mengagumi bayangannya sendiri. Persis sebagaimana Narcissus memperlakukannya. Pada dasarnya, tiap-tiap jiwa hanya takjub pada dirinya.
Tetapi ‘Amr ibn Al ‘Ash merasakan ketiadaan sikap ala Narcissus pada seorang Muhammad, lelaki yang sesampai di surga pun masih menjadikan diri pelayan bagi ummatnya. ‘Amr telah belasan tahun menjadikan silat lidahnya sebagai senjata paling mematikan bagi da’wah Sang Nabi. Lalu setelah hari Hudaibiyah yang menegangkan itu, hidayah menyapanya. Dia, bersama Khalid ibn Al Walid dan ‘Utsman ibn Thalhah menuju Madinah menyatakan keislaman. Mereka disambut senyum Sang Nabi, dilayani bagai saudara yang dirindukan, dimuliakan begitu rupa.
Bagaimanapun, ‘Amr merasa hanya dirinya yang istimewa. Itu tampak dari sikap, kata-kata, dan perlakuan Sang Nabi padanya. Hari itu dia merasa Sang Rasul pastilah mencintainya melebihi siapapun, mengungguli apapun. Pikirnya, itu disebabkan bakat lisannya begitu rupa yang kelak bermanfaat bagi da’wah. Terasa sekali. Maka dia beranikan diri meminta penegasan. “Ya Rasulallah”, dia berbisik ketika kudanya menjajari tunggangan Sang Nabi, “Siapakah yang paling kau cintai?”
Sang Nabi tersenyum. “’Aisyah”, katanya.
“Maksudku”, kata ‘Amr, “Dari kalangan laki-laki.”
“Ayah ‘Aisyah.” Rasulullah terus saja tersenyum padanya.
“Lalu siapa lagi?”
“’Umar.”
“Lalu siapa lagi?”
“’Utsman.” Dan beliau terus tersenyum.
“Setelah itu”, kata ‘Amr berkisah di kemudian hari, “Aku menghentikan tanyaku. Aku takut namaku akan disebut paling akhir.” ‘Amr tersadar, apalagi sesudah berbincang dengan Khalid dan ‘Utsman, bahwa Muhammad adalah jenis manusia yang membuat tiap-tiap jiwa merasa paling dicinta dan paling berharga. Dan itu bukan basa-basi. Muhammad tak kehilangan kejujuran saat ditanya.
Nabi itu indah dan menakjubkan memang. Tapi yang paling menarik dari dirinya adalah bahwa berada di dekatnya menjadikan setiap orang merasa istimewa, merasa berharga, merasa memesona. Dan itu semua tersaji dalam ketulusan yang utuh.
***
Di buku ini, Dalam Dekapan Ukhuwah, kita ingin meninggalkan bayang-bayang Narcissus. Kita ingin kecintaan pada diri berhijrah menjadi cinta sesama yang melahirkan peradaban cinta. Dari Narcissus yang dongeng, kita menuju Muhammad yang menyejarah. Pribadi semacam Sang Nabi ini yang akan menjadi telisik pembelajaran kita. Inilah pribadi pencipta ukhuwah, pribadi perajut persaudaraan, pembawa kedamaian, dan beserta itu semua; pribadi penyampai kebenaran.
Tak ayal, kita harus memulainya dari satu kata. Iman. Karena ada tertulis, yang mukmin lah yang bisa bersaudara dengan ukhuwah sejati. Iman itu pembenaran dalam hati, ikrar dengan lisan, dan amal dengan perbuatan. Kita faham bahwa yang di hati tersembunyi, lisan bisa berdusta, dan amal bisa dipura-pura. Maka Allah dan RasulNya telah meletakkan banyak ukuran iman dalam kualitas hubungan kita dengan sesama. Setidaknya, terjaganya mereka dari gangguan lisan dan tangan kita. Dan itulah batas terrendah dalam dekapan ukhuwah.
Dalam dekapan ukhuwah kita menghayati pesan Sang Nabi. “Jangan kalian saling membenci”, begitu beliau bersabda seperti dicatat Al Bukhari dalam Shahihnya, “Jangan kalian saling mendengki, dan jangan saling membelakangi karena permusuhan dalam hati.. Tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara..”
Dalam dekapan ukhuwah kita mendaki menuju puncak segala hubungan, yakni taqwa. Sebab, firmanNya tentang penciptaan insan yang berbangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal ditutup dengan penegasan bahwa kemuliaan terletak pada ketaqwaan. Dan ada tertulis, para kekasih di akhirat kelak akan menjadi seteru satu sama lain, kecuali mereka yang bertaqwa.
Dalam dekapan ukhuwah, kita mengambil cinta dari langit. Lalu menebarkannya di bumi. Sungguh di surga, menara-menara cahaya menjulang untuk hati yang saling mencinta. Mari membangunnya dari sini, dalam dekapan ukhuwah. Jadilah ia persaudaraan kita; sebening prasangka, sepeka nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, dan sekokoh janji.
Dalam dekapan ukhuwah, kita akan mengeja makna-makna itu, menjadikannya bekal untuk menjadi pribadi pencipta ukhuwah, pribadi perajut persaudaraan, pembawa kedamaian, dan beserta itu semua; pribadi penyampai kebenaran. Dalam dekapan ukhuwah, kita tinggalkan Narcissus yang dongeng menuju Muhammad yang mulia dan nyata. Namanya terpuji di langit dan bumi.
***
Ah, tapi jika semua tadi masih terasa sulit dan melangit, mari kita sederhanakanDalam Dekapan Ukhuwah ini dengan sabda Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam yang menghimbau kita untuk bercermin. Seperti Narcissus. Tapi bukan di telaga. Dan pemaknaannya pun jadi berbeda.
“Mukmin yang satu”, kata Sang Nabi, “Adalah cermin bagi mukmin yang lain.”
Bercerminlah, tapi bukan untuk takjub pada bayang-bayang seperti Narcissus, atau telaganya. Menjadikan sesama peyakin sebagai cermin berarti melihat dengan seksama. Lalu saat kita menemukan hal-hal yang tak terkenan di hati dalam bayangan itu, kita tahu bahwa yang harus kita benahi bukanlah sang bayang-bayang. Kita tahu, yang harus dibenahi adalah diri kita yang sedang mengaca. Yang harus diperbaiki bukan sesama yang kita temukan celanya, melainkan pribadi kita yang sedang bercermin padanya.
Itu saja.
Selamat datang dalam dekapan ukhuwah. Aku mencintai kalian karena Allah.


Sudut Pandang dan Kesetiaan

Anshar berarti penolong. Dan kaum Anshar adalah penolong yang paling menakjubkan.
Perang Hunain baru saja berakhir. Duabelas ribu pasukan yang semula berbangga dengan jumlahnya, berantakan tercerai berai ketika dikepung di celah sempit. Gemuruh berjatuhannya batu, luncuran tombak, hujan anak panah, serta hingar-bingar teriakan perang suku Hawazin dan Tsaqif menderu mengerikan, menyisakan tak lebih dari 40 orang di sisi Rasulullah.
“Aku Rasulullah! Aku putra ‘Abdul Muthalib!”, seru Sang Nabi.
Kalimat pertama mungkin ditujukan pada mereka yang iman telah kokoh dalam hatinya. Kalimat kedua barangkali teruntuk mereka yang masih diliputi perasaan jahiliyah, yang mereka ingat adalah keagungan kakek Sang Nabi memimpin Makkah.
“Wahai Paman”, kata Rasulullah kepada ‘Abbas, “Panggil mereka!”
Maka ‘Abbas ibn ‘Abdil Muthalib, saksi Bai’atul ‘Aqabah itu, pertama-tama teringat para ahli Madinah. “Wahai orang-orang yang berbai’at di ‘Aqabah! Wahai orang-orang Anshar!” Maka merekapun menyambut, “Labbaik.. Labbaik.. Labbaik wa sa’daik..”
Maka Anshar-lah yang menjadi penentu kemenangan hari itu. Saat akhirnya berlembah-lembah kambing dan unta menjadi rampasan perang yang dikumpulkan di Ji’ranah. Pertimbangan manusiawi mengatakan, Anshar yang paling berhak mendapatkan segala harta yang memenuhi wadi itu. Tapi Rasulullah justru membagikannya kepada pemuka-pemuka Thulaqaa , para muallaf Makkah yang paling depan dalam melarikan diri dari pertempuran dan berkata, “Mereka takkan berhenti berlari sampai mencapai laut!“
Ada sesuatu yang mengganjal setelah pembagian itu, sesuatu yang disampaikan oleh Sa’ad ibn ‘Ubadah dan membuat orang-orang Anshar dikumpulkan di sebuah ladang penggembalaan. Rasulullah datang dan berbicara kepada mereka.
“Amma ba’du. Wahai semua orang Anshar, ada kasak kusuk yang sempat kudengar dari kalian, dan di dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal terhadapku. Bukankah dulu aku datang, sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian melalui diriku? Bukankah dulu kalian miskin lalu Allah membuat kalian kaya melalui wasilahku? Bukankah dulu kalian bercerai berai lalu Allah menyatukan hati kalian dengan perantaraanku?“
Mereka menjawab, “Begitulah. Allah dan RasulNya lebih murah hati dan lebih banyak karunianya.“
“Apakah kalian tak mau menjawabku, mendebatku, membantahku, wahai orang-orang Anshar?“, tanya beliau.
Dengan terhenyak, mereka ganti bertanya, “Dengan apa kami menjawabmu Ya Rasulallah? Milik Allah dan RasulNya lah semua anugrah dan karunia…“
Beliau bersabda, “Demi Allah, kalau kalian menghendaki, dan kalian adalah benar lagi dibenarkan, maka kalian bisa mengatakan padaku: Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan lemah lalu kami menolongmu. Engkau datang dalam keadaan terusir lagi papa lalu kami memberikan tempat dan menampungmu..“
Air mata sudah mulai melinang, pelupuk mereka terasa panas, dan isak mulai tersedan.
“Apakah di dalam hati kalian masih membersit hasrat terhadap sampah dunia, yang dengan sampah itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar mereka berislam, sedang keimanan kalian tak mungkin lagi kuragukan?“
“Wahai semua orang Anshar, apakah tidak berkenan di hati kalian jika orang-orang pulang bersama kambing dan unta, sedang kalian kembali bersama Allah dan RasulNya ke tempat tinggal kalian?“
Isak itu semakin keras, janggut-janggut sudah basah oleh air mata…
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad dalam genggamanNya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku termasuk orang-orang Anshar. Jika manusia menempuh suatu jalan di celah gunung, dan orang-orang Anshar memilih celah gunung yang lain, tentulah aku pilih celah yang dilalui orang-orang Anshar. Ya Allah, sayangilah orang-orang Anshar, anak orang-orang Anshar, dan cucu orang-orang Anshar…“, Rasulullah menutup penjelasannya dengan doa yang begitu menenteramkan.
Dan tentu, akhir dari semua ini mempesona, semempesona semua pengorbanan orang-orang Anshar selama ini, “Kami ridha kepada Allah dan RasulNya dalam pembagian ini.. Kami ridha Allah dan RasulNya menjadi bagian kami…“
{termuat dalam UMMI Februari}
sepenuh cinta,

salim a. fillah


Saturday, February 1, 2014

Lelaki Kaya yang Belajar Berpenampilan

Oleh Ahmad Zairofi AM

Lelaki kaya raya itu baru saja belajar satu hal. Bagaimana mengelola ekspresi. Namanya Auf bin Malik. Panggilannya Abu Ahwas. Orang yang sangat kaya. Tapi hari itu ia bertemu Rasulullah dalam pakaian yang lusuh dan kumal, dengan ekspresi yang tidak layak sebagai orang yang dikaruniai banyak nikmat dan kekayaan.

“Apakah kamu punya harta?” tanya Rasulullah.“Ya, punya,” jawab Auf. “Apa jenis kekayaan hartamu?” tanya Rasul lagi. “Apa saja kekayaan dari Allah yang diberikan, dari unta-unta dan domba-domba.” “Tunjukkan agar Allah melihat tanda-tanda nikmat-Nya dan karunia-Nya yang telah diberikan kepadamu,” pinta Rasulullah.

Lelaki kaya raya itu baru saja belajar tentang satu hal. Tentang bagaimana sopan santun menjadi orang kaya. Bahwa menjadi kaya dan penuh karunia punya tuntutan ekspresi syukurnya. Kumal, kusam, dan lusuh tidak menunaikan tugas syukur yang semestikan ditunjukkan lelaki kaya itu. Maka Rasul pun menegurnya. Allah Maha Melihat. Dan karunianya mustahil bisa kita balas. Bila pun semua manusia kufur, Dia, Allah, tetap Dzat
Yang Maha Kaya. Tapi segala penampilan hamba-hamba-Nya yang memberi pesan positif tentang Kuasa Allah Yang Maha Membagi Rezeki, akan menyebarkan makna positif. 

Begitu orang melihat orang lain menampakkan rasa syukurnya dalam bentuk penampilan yang mengesankan, tafsir pertama umumnya hadir dalam bentuk kesadaran, bahwa segala rezeki yang tampak tampil pada ekspresi orang itu, adalah karunia dari Allah. Bagi setiap ekspresi ada maknanya, juga fungsi dan landasannya. Kadang kita diajari cara bersyukur dengan apa yang kita dapat. Kadang juga kita diajari bagaimana bersyukur dengan apa yang kita lihat. Sebagaimana kita juga diajari bagaimana membantu orang lain mengenal Allah dengan cara menunjukkan tanda-tanda karunianya melalui penampilan kita.

Ini dialog singkat, tapi sangat penting dan mendalam. Ini dialog sesaat, tetapi berkenaan dengan substansi ajaran Islam yang sangat luas: segala hal yang berhubungan dengan bagaimana kita berekspresi. Semua itu terkait dengan bagaimanakah kita semestinya menampilkan kesan. Menjadi Muslim tidak semata bagaimana kita membina keshalihan batin. Tapi juga bagaimana kita mengerti cara menata keshalihan penampilan. 

Menjadi Muslim adalah juga soal bagaimana kita mengelola kesan. Sebab ekspresi kemusliman kita adalah setengah dari jati diri kemusliman itu sendiri. Rahasianya mengalir sampai jauh. Tak semata bagaimana penampilan itu sendiri dinilai sebagai sebuah penampilan semata, tapi bagaimana jejaring interaksi kehidupan saling kait mengait, bahkan sebagiannya menjadi kumpulan sebab-sebab yang menimbulkan akibat-akibat. Semuanya merambat melaui sinyal-sinyal yang tampak pada penampilan yang kita tampakkan. 

Kaidah penting dalam hidup kita adalah adanya perintah tolong menolong dalam kebajikan dan takwa. Juga larangan untuk tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Perintah itu tidak semata tolong menolong untuk memperjuangkan Islam. Untuk segala hal yang dengannya kita menopang hidup, menyambung harapan, pun kita harus tolong menolong dalam kebajikan. Lingkupnya bisa antara beberapa orang, antara beberapa keluarga, antara kelompok masyarakat, hingga dalam lingkup negara dan ummat Islam secara umum.

Tetapi semua bentuk tolong menolong itu memiliki pengantar yang sangat panjang. Pengantar-pengantar itu mula-mula diperankan oleh bagaimana di antara kita saling menangkap kesan tentang orang lain. Sebab, impresi atau kesan adalah modal dasar bagi orang lain untuk membangun prasangka. Dari prasangka itu kemudian orang saling membangun persepsi. Lalu persepsi itu akan sangat mempengaruhi sejauh mana kita akan saling bersikap. Dan dari sikap-sikap itu kita akan menemukan beragam cara bagaimana saling bekerjasama dalam hidup ini. 

Segala bentuk dan jenis kerjasama maupun tolong menolong, akan diawali dengan persepsi kita tentang orang lain. Seperti apakah pandangan kita tentang orang lain, seperti apa dugaan kita tentang orang lain, pada kali pertamanya akan kita dapatkan dari seperti apa penampilan, ekspresi, dan kesan yang tampak dari orang lain tersebut. Jadi, seperti apakah cara kita membuat kesan, seperti itu pula orang lain akan membangun persepsinya tentang kita. Suka atau tidak, kesan didapat dari penampilan, dari ekspresi, dan dari bagaimana kita bertindak tanduk. Ekspresi adalah modal persepsi. Karena itu perlu dipahami kiranya, betapa.

Islam sangat serius mengatur, mengajarkan, dan mendidik kita dalam soal berpenampilan. Maka falsafah penampilan ini, kepentingannya berpulang kepada kita sendiri. Adapun di mata Allah, penilaian tetaplah terkait dengan kualitas iman dan takwa kita. Bahwa Allah tidak melihat tampilan lahir, gambar, wajah, tetapi melihat kepada ketakwaan, melihat kepada kualitas hati kita. Tetapi ketika berurusan dengan sesama orang, Islam mengajarkan kepada kita pentingnya memperhatikan ekspresi dan penampilan. Sebab, takwa yang di dalam hati itu sendiri memerlukan bukti nyata dalam bentuk amal. Sedang amal itu sendiri banyak yang punya ikatan dan kaitan dengan orang lain. Karena itu Islam memberi perhatian serius dalam soal ini, karena dari penampilan itu akan ada kaitannya dengan banyak hal penting yang akan ditimbang secara serius oleh Islam.

Penampilan fisik meliputi bagaimana kita berpakaian, misalnya. Bagaimana kita merawat diri agar segar, terutama ketika berjumpa dengan sesama saudara seiman. Itu sebabnya mengapa pada hari jum’at, kitadisunnahkan untuk mandi besar, karena kaum Muslimin akan saling berjumpa ketika melaksanakan shoalat jum’at, akan saling duduk bersama mendengarkan khutbah. Jangan sampai saat itu mereka berpenampilan buruk, bau, sehingga sangat mengganggu sesama. Penampilan komunikasi, misalnya, meliputi bagaimana cara kita berbicara. Bagaimana kita memilih ucapan, mengambil momen yang tepat. Rasulullah menyebut seorang Muslim adalah orang yang orang lain selamat dari lidah dan tangannya. Imam Ibnu Hajar menjelaskan, penggunaan kata lidah untuk menegaskan bahwa kejahatan lidah dalam bentuk yang menyakitkan bisa berupa menjulurkan lidah dengan maksud menghina. Tidak selalu harus dalam pengertian kata-kata yang menyakitkan. Semua contoh-contoh itu dan masih banyak lagi yang lainnya, adalah gambaran
betapa Islam sangat serius mengajarkan bagaimana seharusnya kita berpenampilan.

Lebih dari itu, bahkan kita dapat melihat, betapa soal-soal penampilan itu, secara hukum maupun secara moralitas, oleh Islam langsung dikaitkan dengan pokok-pokok ajaran penting dalam Islam, seperti soal iman kepada Allah, soal iman kepada hari akhirat, dan juga soal sorga maupun neraka. Misalnya bagaimana tersenyum untuk sesama saudara seiman dinilai sedekah. Atau misalnya dalam soal bicara, Rasulullah menegaskan, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan kepada hari akhir, maka hendalkan ia berbicara yang baik, atau kalau tidak diam saja.”

Bicara yang baik, berkomunikasi yang sopan, berkata yang tidak menyakitkan, adalah sebentuk penampilan. Itu adalah sebagian dari ekspresi yang kita pakai dalam berinteraksi dengan orang lain. Interaksi itu sendiri adalah jalan menuju tolong menolong dalam kebajikan dan takwa. Karena itu dengan tegas, Rasulullah mengaitkan bicara yang baik dengan iman kepada Allah dan kepada hari akhir. Mengelola penampilan yang menyemangati lahirnya kerjasama, tolong menolong, merupakan bagian tak terpisahkan dari tolong menolong
itu sendiri. Begitu pula sebaliknya, betapa sering terjadi kekacauan interaksi di antara kita, lantara persepsi yang keliru. 

Maka, ketika Islam menyuruh kita berprasangka baik, ia juga menyuruh kita membantu orang lain berprasangka baik. Caranya, dengan mengerti cara mengelola ekspresi dan penampilan.

Komentar anda