Sunday, March 9, 2014

Yakinlah, dan Pejamkan Mata

oleh Salim A. Fillah dalam Inspirasi. 14/12/2011

iman adalah mata yang terbuka,
mendahului datangnya cahaya
tapi jika terlalu silau, pejamkan saja
lalu rasakan hangatnya keajaiban
Saya tertakjub membaca kisah ini; bahwa Sang Nabi hari itu berdoa.
Di padang Badr yang tandus dan kering, semak durinya yang memerah dan langitnya yang cerah, sesaat kesunyian mendesing. Dua pasukan telah berhadapan. Tak imbang memang. Yang pelik, sebagian mereka terikat oleh darah, namun terpisah oleh ‘aqidah. Dan mereka tahu inilah hari furqan; hari terpisahnya kebenaran dan kebathilan. Ini hari penentuan akankah keberwujudan mereka berlanjut.
Doa itulah yang mencenungkan saya. “Ya Allah”, lirihnya dengan mata kaca, “Jika Kau biarkan pasukan ini binasa, Kau takkan disembah lagi di bumi! Ya Allah, kecuali jika Kau memang menghendaki untuk tak lagi disembah di bumi!” Gemetar bahu itu oleh isaknya, dan selendang di pundaknya pun luruh seiring gigil yang menyesakkan.
Andai boleh lancang, saya menyebutnya doa yang mengancam. Dan Abu Bakr, lelaki dengan iman tanpa retak itu punya kalimat yang jauh lebih santun untuk menggambarkan perasaan saya. “Sudahlah Ya Rasulallah”, bisiknya sambil mengalungkan kembali selendang Sang Nabi, “Demi Allah, Dia takkan pernah mengingkari janjiNya padamu!”
Doa itu telah menerbitkan sejuta tanya di hati saya. Ringkasnya; mengapa begitu bunyinya? Tetapi kemudian, saya membaca lagi dengan sama takjubnya pinta Ibrahim, kekasih Allah itu. “Tunjukkan padaku duhai Rabbi, bagaimana Kau hidupkan yang mati!”, begitu katanya. Ah ya.. Saya menangkap getar yang sama. Saya menangkap nada yang serupa. Itu iman. Itu iman yang gelisah.
Entah mengapa, para peyakin sejati justru selalu menyisakan ruang di hatinya untuk bertanya, atau menagih. Mungkin saja itu bagian dari sisi manusiawi mereka. Atau mungkin justru, itu untuk membedakan iman mereka yang suci dari hawa nafsu yang dicarikan pembenaran. Untuk membedakan keyakinan mereka yang menghunjam dari kepercayaan yang bulat namun tanpa pijakan.
Kita tahu, di Badr hari itu, Abu Jahl juga berdoa. Dengan kuda perkasanya, dengan mata menantangnya, dengan suara lantangnya, dan telunjuk yang mengacung ke langit dia berseru, “Ya Allah, jika yang dibawa Muhammad memang benar dari sisiMu, hujani saja kami dari langit dengan batu!” Berbeda dari Sang Nabi, kalimat doanya begitu bulat, utuh, dan pejal. Tak menyisakan sedikitpun ruang untuk bertanya. Dan dia lebih rela binasa daripada mengakui bahwa kebenaran ada di pihak lawan.
Itukah keyakinan yang sempurna? Bukan. Itu justru kenaïfan. Naif sekali.
Mari bedakan kedua hal ini. Yakin dan naïf. Bahwa dua manusia yang dijamin sebagai teladan terbaik oleh Al Quran memiliki keyakinan yang menghunjam dalam hati, dan keyakinan itu justru sangat manusiawi. Sementara kenaifan telah diajarkan Iblis; untuk menilai sesuatu dari asal penciptaan lalu penilaian itu menghalangi ketaatan pada PenciptaNya. Atau seperti Abu Jahl; rela binasa daripada mengakui kebenaran tak di pihaknya. Atau seperti Khawarij yang diperangi ‘Ali; selalu bicara dengan ayat-ayat suci, tapi lisan dan tangan menyakiti dan menganiaya muslim lain tanpa henti. Khawarij yang selalu berteriak, “Hukum itu hanya milik Allah!”, sekedar untuk menghalangi kaum muslimin berdamai lagi dan mengupayakan kemashlahatan yang lebih besar. Mencita-citakan tegaknya Din, memisahkan diri di Harura dari kumpulan besar muslimin, dan merasa bahwa segala masalah akan selesai dengan kalimat-kalimat. Itu naïf.
Dan beginilah kehidupan para peyakin sejati; tak hanya satu saat dalam kehidupannya, Ibrahim sebagai ayah dan suami, Rasul dan Nabi, harus mengalami pertarungan batin yang sengit. Saat ia diminta meninggalkan isteri dan anaknya berulang kali dia ditanya Hajar mengapa. Dan dia hanya terdiam, menghela nafas panjang, sembari memejamkan mata. Juga ketika dia harus menyembelih Isma’il. Siapa yang bisa meredam kemanusiaannya, kebapakannya, juga rasa sayang dan cintanya pada sesibir tulang yang dinanti dengan berpuluh tahun menghitung hari.
Dan dia memejamkan mata. Lagi-lagi memejamkan mata.
Yang dialami para peyakin sejati agaknya adalah sebuah keterhijaban akan masa depan. Mereka tak tahu apa sesudah itu. Yang mereka tahu saat ini bahwa ada perintah Ilahi untuk begini. Dan iman mereka selalu mengiang-ngiangkan satu kaidah suci, “Jika ini perintah Ilahi, Dia takkan pernah menyia-nyiakan iman dan amal kami.” Lalu mereka bertindak. Mereka padukan tekad untuk taat dengan rasa hati yang kadang masih berat. Mereka satukan keberanian melangkah dengan gelora jiwa yang bertanya-tanya.
Perpaduan itu membuat mereka memejamkan mata. Ya, memejamkan mata.
Begitulah para peyakin sejati. Bagi mereka, hikmah hakiki tak selalu muncul di awal pagi. Mereka harus bersikap di tengah keterhijaban akan masa depan. Cahaya itu belum datang, atau justru terlalu menyilaukan. Tapi mereka harus mengerjakan perintahNya. Seperti Nuh harus membuat kapal, seperti Ibrahim harus menyembelih Isma’il, seperti Musa harus menghadapi Fir’aun dengan lisan gagap dan dosa membunuh, seperti Muhammad dan para sahabatnya harus mengayunkan pedang-pedang mereka pada kerabat yang terikat darah namun terpisah oleh ‘aqidah.
Para pengemban da’wah, jika ada perintahNya yang berat bagi kita, mari pejamkan mata untuk menyempurnakan keterhijaban kita. Lalu kerjakan. Mengerja sambil memejam mata adalah tanda bahwa kita menyerah pasrah pada tanganNya yang telah menulis takdir kita. Tangan yang menuliskan perintah sekaligus mengatur segalanya jadi indah. Tangan yang menuliskan musibah dan kesulitan sebagai sisipan bagi nikmat dan kemudahan. Tangan yang mencipta kita, dan padaNya jua kita akan pulang..
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah

Sudut Pandang dan Kesetiaan

oleh Salim A. Fillah dalam Inspirasi, Sirah. 07/02/2014
Anshar berarti penolong. Dan kaum Anshar adalah penolong yang paling menakjubkan.
Perang Hunain baru saja berakhir. Duabelas ribu pasukan yang semula berbangga dengan jumlahnya, berantakan tercerai berai ketika dikepung di celah sempit. Gemuruh berjatuhannya batu, luncuran tombak, hujan anak panah, serta hingar-bingar teriakan perang suku Hawazin dan Tsaqif menderu mengerikan, menyisakan tak lebih dari 40 orang di sisi Rasulullah.
“Aku Rasulullah! Aku putra ‘Abdul Muthalib!”, seru Sang Nabi.
Kalimat pertama mungkin ditujukan pada mereka yang iman telah kokoh dalam hatinya. Kalimat kedua barangkali teruntuk mereka yang masih diliputi perasaan jahiliyah, yang mereka ingat adalah keagungan kakek Sang Nabi memimpin Makkah.
“Wahai Paman”, kata Rasulullah kepada ‘Abbas, “Panggil mereka!”
Maka ‘Abbas ibn ‘Abdil Muthalib, saksi Bai’atul ‘Aqabah itu, pertama-tama teringat para ahli Madinah. “Wahai orang-orang yang berbai’at di ‘Aqabah! Wahai orang-orang Anshar!” Maka merekapun menyambut, “Labbaik.. Labbaik.. Labbaik wa sa’daik..”
Maka Anshar-lah yang menjadi penentu kemenangan hari itu. Saat akhirnya berlembah-lembah kambing dan unta menjadi rampasan perang yang dikumpulkan di Ji’ranah. Pertimbangan manusiawi mengatakan, Anshar yang paling berhak mendapatkan segala harta yang memenuhi wadi itu. Tapi Rasulullah justru membagikannya kepada pemuka-pemuka Thulaqaa , para muallaf Makkah yang paling depan dalam melarikan diri dari pertempuran dan berkata, “Mereka takkan berhenti berlari sampai mencapai laut!“
Ada sesuatu yang mengganjal setelah pembagian itu, sesuatu yang disampaikan oleh Sa’ad ibn ‘Ubadah dan membuat orang-orang Anshar dikumpulkan di sebuah ladang penggembalaan. Rasulullah datang dan berbicara kepada mereka.
“Amma ba’du. Wahai semua orang Anshar, ada kasak kusuk yang sempat kudengar dari kalian, dan di dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal terhadapku. Bukankah dulu aku datang, sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian melalui diriku? Bukankah dulu kalian miskin lalu Allah membuat kalian kaya melalui wasilahku? Bukankah dulu kalian bercerai berai lalu Allah menyatukan hati kalian dengan perantaraanku?“
Mereka menjawab, “Begitulah. Allah dan RasulNya lebih murah hati dan lebih banyak karunianya.“
“Apakah kalian tak mau menjawabku, mendebatku, membantahku, wahai orang-orang Anshar?“, tanya beliau.
Dengan terhenyak, mereka ganti bertanya, “Dengan apa kami menjawabmu Ya Rasulallah? Milik Allah dan RasulNya lah semua anugrah dan karunia…“
Beliau bersabda, “Demi Allah, kalau kalian menghendaki, dan kalian adalah benar lagi dibenarkan, maka kalian bisa mengatakan padaku: Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan lemah lalu kami menolongmu. Engkau datang dalam keadaan terusir lagi papa lalu kami memberikan tempat dan menampungmu..“
Air mata sudah mulai melinang, pelupuk mereka terasa panas, dan isak mulai tersedan.
“Apakah di dalam hati kalian masih membersit hasrat terhadap sampah dunia, yang dengan sampah itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar mereka berislam, sedang keimanan kalian tak mungkin lagi kuragukan?“
“Wahai semua orang Anshar, apakah tidak berkenan di hati kalian jika orang-orang pulang bersama kambing dan unta, sedang kalian kembali bersama Allah dan RasulNya ke tempat tinggal kalian?“
Isak itu semakin keras, janggut-janggut sudah basah oleh air mata…
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad dalam genggamanNya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku termasuk orang-orang Anshar. Jika manusia menempuh suatu jalan di celah gunung, dan orang-orang Anshar memilih celah gunung yang lain, tentulah aku pilih celah yang dilalui orang-orang Anshar. Ya Allah, sayangilah orang-orang Anshar, anak orang-orang Anshar, dan cucu orang-orang Anshar…“, Rasulullah menutup penjelasannya dengan doa yang begitu menenteramkan.
Dan tentu, akhir dari semua ini mempesona, semempesona semua pengorbanan orang-orang Anshar selama ini, “Kami ridha kepada Allah dan RasulNya dalam pembagian ini.. Kami ridha Allah dan RasulNya menjadi bagian kami…“
{termuat dalam UMMI Februari}
sepenuh cinta,

salim a. fillah


Yang Lebih Menakjubkan dari Mukjizat

oleh Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna. 04/03/2014


Inilah Madinah, pekan-pekan menjelang Perang Ahzab.
Pada hari-hari itu, sebagaimana diceritakan oleh Jabir ibn ‘Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu, jatah makan untuk setiap penggali Khandaq di kota Madinah adalah sebutir kurma, seteguk air, dan tepung yang diadoni minyak panas. Seberapa banyak tepung itu? “Jika tangan kami terbasuh air kemudian dimasukkan ke dalam kantung persediaan tepung”, ujar Jabir, “Maka tepung yang menempel di telapak yang basah itulah jatah makan sehari kami.”
Tentu saja, sebab terbayangkan bahwa pengepungan pasukan Quraisy dan sekutunya akan berlangsung lama.
Dan para sahabat kian merasa malu ketika Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamyang turut bekerja bersama mereka sejak di hari pertama mengangkat beliungnya untuk menghantam batu terkeras yang mereka temukan di jalur penggalian parit pertahanan. “Allahu Akbar”, beliau bertakbir, mengabarkan akan sampainya Islam dan kaum muslimin ke Syam, Persia, dan Yaman. Selain iman yang semakin terukir lagi berkibar, di benak para sahabat tersisa rasa getir yang menggeletar.
Ada dua batu di sana. Terselempit di sela sabuk celana Rasulullah yang mengganjal perutnya. Aduhai, bagaimana tak terbit airmata. Kekasih Allah yang paling mulia, lebih lapar dibandingkan seluruh sahabatnya. Dia ada bersama, dalam suka dan duka. Dia turut bekerja, tak ingin istimewa. “Seandainya kami duduk saja sementara Sang Rasul bekerja”, demikian senandung orang-orang Anshar yang lalu dinasyidkan semua, “Jadilah ia bagi kami hal yang membawa sesat selamanya.”
Tibalah hari itu, ketika Jabir ibn ‘Abdillah pulang dengan air mata menggenangi pelupuk dan dada sesak. “Wahai istriku”, panggilnya, “Demi Allah, apakah yang masih engkau miliki? Demi Allah, aku tak tega melihat rasa lapar yang menyiksa Rasulullah. Andai selain beliau, pasti sudah tak sanggup menahannya!”
“Hanya ada seekor anak kambing”, jawab sang istri gugup, “Dan segenggam tepung kasar di persediaan kita”.
“Keluarkanlah semua. Aku akan menyembelih dan menguliti anak kambing itu. Kau adonilah tepungnya menjadi roti.”
Ketika akhirnya masakan itu siap, Jabir pun mendatangi Sang Nabi dengan mengendap-endap. “Ya Rasulallah”, bisiknya kemudian, “Ada sekedar roti dan sedikit daging di rumah kami. Berkenanlah untuk sejenak datang dan menyantapnya.”
Beliau tersenyum dan mengangguk. Dipanggillah seseorang dan diperintahkan untuk mengumumkan kepada semua penggali parit, “Semuanya, datanglah ke rumah Jabir untuk makan bersama!” Betapa gugupnya Jabir melihat itu. “Aduhai celaka”, batinnya panik, “Aku hanya meminta beliau untuk bersantap tapi beliau mengajak seluruh Muhajirin dan Anshar!” Tapi Rasulullah tersenyum padanya, menepuk bahunya, dan menggamit lengannya. Tak bisa tidak Jabir hanya bergumam, “Demikian inilah Rasulullah!”
“Jangan kalian buka penutup wadahnya”, ujar Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau juga meminta kedua suami istri yang saling berpandangan dengan khawatir itu untuk sejenak menyingkir. Kemudian beliaupun berdoa dan memohon berkah atas hidangan itu. “Masuklah rombongan berrombongan dan jangan berdesakan”, perintah beliau kepada seluruh hadirin.
Kelompok demi kelompok mereka masuk, sedangkan Nabi mengambilkan roti dan menuangkan masakan daging ke atasnya. Beliau berkhidmah pada semua sahabatnya, satu demi satu, hingga yang terakhir. Padahal penggali parit dalam Perang Ahzab, kira-kira 3000 jumlahnya. Semuanya makan, semua merasa kenyang, dan puas. Tiba giliran Jabir dan istrinya, dan Rasulullah masih melayani mereka, baru sesudahnya beliau makan dengan penuh kesyukuran. Beliau mengucap terimakasih pada keduanya dan mendoakan kebaikan, lalu beranjak.
“Demi Allah”, ujar Jabir, “Ketika kuperiksa wadah makanan kami, roti maupun dagingnya masih utuh seperti semula.”
Mu’jizat ini mengagumkan. Tapi apa yang dilakukan Rasulullah dengan menjaga kebersamaan dalam suka dan duka, terlebih lagi bagaimana beliau melayani para sahabat dengan tangannya sendiri adalah lebih menakjubkan. Inilah Nabi, penghulu alam semesta. Maka beliaupun menjadi pelayan yang paling rendah hati bagi sesama.
Hatta kelak di akhirat, di perjalanan seluruh manusia antara kebangkitan dan penghimpunan, beliau akan bersiaga di tepi sebuah telaga yang lebih harum dari kasturi. Beliau menyambut ummatnya, melayani mereka minum dari airnya yang lembut dari susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju. Tapi wajahnya mendung tiap kali beberapa manusia dihalau dari Al Kautsar. “Ya Rabbi”, serunya sendu, “Mereka bagian dariku! Mereka ummatku!”
Ada suara menjawab, “Engkau tak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu!”
Telaga itu sebentang Ailah di Syam hingga Shan’a di Yaman. Di sisinya ada gelas kemilau sebanyak bilangan gemintang. Dan inilah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sang pelayan yang paling menakjubkan.

termuat dalam UMMI, Maret
sepenuh cinta,

salim a. fillah


Komentar anda