yang ikut kajian mereka itu dikasih uang saku plus oleh-oleh kalau pulang” ujar Dadang
preman gondrong anak buah bang Jamal.
“Loh, lalu kenapa bang Dadang nggak ikut kajian mereka?” tanyaku dengan heran
“Saya kok, merasa ada yang ganjil yach di kajian itu!” kata bang Jamal
“Benar Bos!” ucap bang Dadang. Selanjutnya dia mengatakan “saya pernah melihat
mereka yang wanitanya memakai jilbab. Seperti teman-teman mas Khalid yang pake
jilbab besar-besar itu! Tetapi saat saya melihat terus, ternyata saat masuk kedalam mobil,
mereka melepas jilbabnya. Dan disitu ada tiga wanita, empat laki-laki. Mereka terlihat
tertawa lepas, para wanita itu dipeluk oleh laki-lakinya! Saat itu saya sebenarnya mau
hajar mereka karena bertingkah tidak baik dan saya kira itu juga melecehkan ajaran
Islam. Tetapi saya urungkan, karena waktu itu saya sendirian. Takut juga, kalau
dikeroyok mereka!”
“Dasar, penakut kamu! Siapa yang ajari kamu jadi pengecut begitu” bentak bang Jamal,
“kenapa kalau takut nggak bilang! Bisa aku hajar mereka. Aku nggak pernah ajari kamu
sebagai pengecut kan?” bang Jamal terlihat sangat emosi, melihat perilaku bang Dadang
yang menurutnya pengecut.
“Sabar bang, sabar!” ucapku sambil memegangi tangan bang Jamal. “sebenarnya bang
Dadang nggak salah bang, Islam mengajarkan kita untuk berani menindak kezaliman.
Tetapi Islam juga mengajak kita untuk bisa membuat strategi. Kalaulah bang Dadang saat
itu melawan mereka, dan setelah itu bang Dadang dihajar oleh mereka atau bahkan
dibunuh oleh mereka! Maka saat ini kita tidak akan tahu perbuatan yang dilakukan oleh
mereka. Dengan begini kita akhirnya tahu apa yang dilakukan oleh mereka. Tetapi
seandainya jika bang Dadang melawan mereka, meskipun bang Dadang kalah atau
bahkan mati. Maka bang Dadang akan mendapatkan pahala, dan kematian bang Dadang
adalah syahid. Surga adalah balasan bagi orang-orang yang syahid. Untuk saat ini
sebaiknya kita pantau kelakuan mereka, para pembagi sembako itu!” ucapku tegas.
Semua yang hadir saat itu terlihat setuju sambil menganggukkan kepalanya. Sejak
saat itu, aku dan teman-teman lebih intensif memusatkan perhatianku pada gerak-gerik
para dermawan itu. Dan bang Jamal, sebagai spionaseku untuk mengorek semua kegiatan
yang dilakukan oleh mereka.
“Ada maksud apa dibalik semua ini?” itulah sebuah pertanyaan besar, bagi kami
para aktivis dakwah ini. Dan pada saat itu, muncul ideku untuk ikut kajian para pembagi
sembako itu. .
***
Saat itu jum’at malam, pengajian diadakan ditempat rumah Bapak RT. Banyak
sekali yang datang menghadiri. Saat akan masuk ke tempat pengajian, para penyambut
tamu sudah bersiap memberikan makanan. Makanan-makanan yang memang lezat-lezat
itu mengundang sekali untuk disikat. “hem, bagaimana tidak senang! Yang hadir saja
dikasih makanan lezat kayak gini” gumamku sendirian.
Saat itu Samsul yang aku ajak untuk menghadiri kajian tersenyum, lalu mengatakan
“Wah, Akh. Dakwah kita memang kalah canggih yach!”
Saat aku melihat sekeliling, terlihat memang tidak ada yang perlu dicurigai.
Hanya saja, memang terlihat beda sekali dengan sistem kajianku. Terlihat beda karena
aku bisa melihat para wanita yang juga ikut dalam kajian jum’at itu. Mereka mungkin
lupa untuk menggunakan hijab (batasan/penutup) antara wanita dan pria.
Saat aku melihat sekitar, mataku melihat sosok seorang gadis berjilbab lebar yang sedang
membagikan makanan kecil kepada para wanita. “siapa dia? Kayaknya aku mengenal
dia! Hem, dimana yach?” pikirku. Memang aku merasa mengenal wajahnya.
Seorang ustad memakai sorban, naik ke mimbar yang sudah disediakan. Terlihat memang
meyakinkan sekali orang itu. “oh namanya, kyai Badrul!” gumamku saat kyai itu
mengenalkan namanya diawal pembukaan, baru kali ini aku mengenal kyai Badrul.
Beberapa saat setelah lama ustad itu berceramah, dia langsung berkata “sesungguhnya
agama Islam itu agama yang pasrah! Jadi sesungguhnya, orang-orang yang pasrah adalah
orang-orang yang beragama Islam. Meskipun dia tidak beragama Islam, kalau dia pasrah
kepada Tuhannya, maka dia orang Islam” kata kyai Badrul yang saat itu sedang
berceramah didepan mimbar.
Sontak saja aku dan Samsul yang mengikuti kajian itu, saling berpandangan. Wajah
Samsul terlihat geram “Akh, ini nggak bisa dibiarin! Ini namanya pendangkalan
akhidah!” ucapnya lirih.
“Tenang, Akh. Jangan gegabah, kita lihat dulu maksud dari kyai yang baru kita kenal ini”
jawabku lirih pula.
“Sesungguhnya, Islam itu adalah rahmat bagi seluruh alam! Jadi, untuk bisa menjadi
agama yang rahmat, orang Islam haruslah saling menghormati dengan agama yang
lainnya. Agar tercipta kehidupan saling menghormati, ucapkanlah selamat jika ada agama
lain yang sedang merayakan perayaan! Karena Islam agama rahmat, ucapan selamat itu
adalah ucapan rahmat!” kata kyai Badrul saat masih berada diatas mimbar.
Sontak pun aku dan Samsul saling memandang “Akh, ini memang nggak bisa dibiarkan!
Ini sudah pendangkalan akhidah” ucap Samsul padaku
“Iya benar, ini memang sudah pendangkalan akhidah umat Islam! Entah kyai mbeling
dari mana dia, dengan seenaknya ngomong kejamaah umat Islam seperti itu!” ucapku
lirih
“Akh, setelah ini kita harus gerak cepat! Sebelum banyak orang yang akan didangkalkan
akhidahnya” pintaku ke Samsul.
“Iya, kita harus gerak cepat!” jawab Samsul pasti.
Saat kyai Badrul selesai berceramah, datang beberapa bingkisan makanan.
Bingkisan makanan itu dibagikan untuk oleh-oleh para jamaah yang hadir disitu. Saat
pembagian sembako itulah aku melihat, sosok cantik yang berjilbab lebar itu lagi. Aku
benar-benar menatapnya, sambil mengingat-ingat dimana aku pernah berjumpa dia.
Aku kaget saat Samsul menyikutku pelan, sambil berkata “Akh, antum jangan lihat
akhwat terus! Ingat, pandangan pertama itu dari Allah tetapi selanjutnya dari syetan! Tapi
akh, memang tuh akhwat cantik juga yach!”
“Ana, nggak melihat akhwatnya! Ana cuma melihat wajahnya” ujarku
“Hem, dibilang ngelihat akhwat nggak mau! Tapi malah bilang, melihat wajahnya
akhwat. Ini malah lebih parah, Akh!” ujar Samsul sambil tersenyum.
“Yee, akh. Antum seharusnya dengerin ana dulu, jangan langsung potong pembicaraan
ana. Ingat Rasulullah itu pantang memotong pembicaraan orang!” ucapku kecut.
“hehe, begitu aja marah! Ana kan cuma bercanda, Akh!” ucap Samsul sambil
cengengesan.
“Akh, sebenarnya ana merasa pernah bertemu dengan tuh Akhwat! Tapi ana lupa
dimana?” ucapku dengan mengingat-ingat kembali.
“Hem, coba di ingat lagi! Ana juga heran, kenapa ada akhwat yang ikut kyai mbeling
kayak gitu, ya akh!” ucap Samsul sembari mengambil makanan yang dibagikan saat awal
masuk pengajian.
“Yee, antum ini gimana! Masa benci kyainya, tapi memakan pemberian kyai Badrul”
kataku dengan nada bercanda mengejek.
“Hem, selama makanan ini nggak haram, kan boleh dimakan! Ingat Akh, ambil kuenya
jangan ambil akhidahnya” jawab Samsul sambil mengunyah kue lalu tersenyum.
Aku tersenyum sambil mengatakan “Dasar, mahasiswa kontrakan!”
Saat aku masih melihat kearah wanita itu, wanita berjilbab itu menatapku sambil
terlihat menajamkan matanya kearahku. Tak lama setelah beradu pandang denganku,
wanita berjilbab itu langsung meninggalkan tempat dengan tergesa-gesa. “Akh, ana rasa
akhwat itu mengenal ana! Antum tadi lihat nggak ekspresi wajahnya, saat ana beradu
pandang dengan akhwat itu! Dia terlihat terkejut, dan dia langsung meninggalkan tempat
Fajar Agustanto (Blackrock1/Fajar001/Jaisy01)
www.ggs001.cjb.net
pembagian oleh-oleh untuk para jamaah! Akhwat itu terlihat sangat terburu-buru sekali”
ucapku serius.
“Iya akh, tuh akhwat gimana nggak lari! Lah antum, ngelihatin akhwat kayak mau
gebukin maling. Terang aja dia lari!” setelah itu Samsul terlihat serius sambil
mengucapkan “Atau mungkin dia terpesona kali akh, sama antum. Biasalah, siapa yang
nggak terpesona dengan antum. Pangeran tampan dari negeri kodok” ucap Samsul
dengan masih mengunyah kue yang hampir habis, sambil cekikikan sendiri.
“Hem, nih Ikhwan! Becanda mulu’, apa nggak ingat kalau sering tertawa itu bisa
mematikan hati!” jawabku jengkel.
Sambil cengengesan Samsul mengatakan “Afwan akh, afwan!”
Saat kami semua sudah mendapatkan bingkisan masing-masing, dan bergegas
pulang. Dan pada saat kami akan pulang, aku menyempatkan memeriksa bingkisan yang
sedang berada digenggamanku. Dan ternyata “masya Allah, berisi uang saratus ribuan”
gumamku dalam hati.
JILID 2
Waktu terus bergulir, roda kehidupan terus berjalan. Dengan rasa malas aku
berjalan menuju ruang kamarku. Dirumah kontrakan yang kusam ini, rumah ini
mengingatkanku pada rumah yang ada didesa. Rumah tua, yang dihuni oleh Ayah, Ibu
dan Nurul adikku yang masih duduk dibangku SMU. Entah sekarang bagaimana keadaan
Ayah dan Ibu, semoga mereka baik-baik saja. Aku juga kangen dengan Nurul, kangen
saat bertengkar dengan Nurul.
Kuletakkan tas yang sudah lama berada dipunggung ini, sambil duduk dalam
kasur kusam yang selalu menyangga dalam setiap tidurku. Rasa penat melanda dalam
setiap relung pikiranku, ditambah dengan rasa capek yang mendera ditubuhku. Ingin
rasanya aku langsung terbuai dengan mimpi-mimpi indah. Mimpi-mimpi bertemu dengan
para syuhada, dan bertemu dengan bidadari surga. Kalau mimpi yang kedua itu, pasti
selalu ditunggu-tunggu. Saat aku lihat kaset IZIS (IzatullIslam) dengan bungkus dan
segel yang belum terbuka. Karena memang baru aku beli kemarin, berada diatas tape
Simbaku. Tape yang kubeli dengan menabung selama dua tahun, dan barang termahal
pertama sampai saat ini yang bisa aku beli. Dengan santai aku ambil kaset itu, serta
membuka bungkus dan segel kaset lalu memasukkan kaset kedalam tape.
“Dimana dicari pemuda kahfi
Terasing demi kebenaran hakiki
Dimana jiwa pasukan badar berani
Menoreh nama mulia perkasa abadi
Umat melolong di gelap kelam
Tiada pelita penyinar terang
Penunjuk jalan kini membungkam
Lalu kapankah fajar kan datang
Mengapa kau patahkan pedangmu
Hingga musuh mampu membobol bentengmu
Menjarah menindas dan menyiksa
Dan kita hanya diam sekedar terpana”
Sayup suara nasyid IZIS, serta hembusan kipas angin mini. Membuatku melayang
jauh dan terbang, terbang bersama segerombolan cahaya-cahaya yang terang. Tak
seberapa lama suara “Assalamualaikum”
Dengan lirih aku menjawab sambil tersenyum “Walaikumsalam”. Aku benar-benar
merasa dalam segerombolan keindahan-keindahan yang datang kepadaku, datang dan
saling berpelukan. Memelukku erat, pelukan persaudaraan yang sangat erat dan kental.
Tak lama aku mendengar suara
“Akh, Akhi! Bangun. Sudah jam empat sore! Bangun, Akh. Apa antum sudah sholat
Ashar!”
Aku mencoba untuk membuka mata, tapi mata ini terasa sangat berat untuk
membukanya. Dan tubuh ini benar-benar sangat payah, serta sangat susah untuk
digerakkan. Tak seberapa lama, aku pun bisa mengontrol diri. Ternyata Yanto sudah
berada dikamarku. Sambil melihat kaset baruku. IZIS.
“Hem antum mengagetkan ana aja, akh!” ucapku dengan rasa yang sangat malas sambil
bersandar pada dinding kasur yang terlihat cat-catnya mengelupas.
“Antum tadi jawab salam ana, tapi ana lihat antum masih memejamkan mata!” jawab
Yanto sambil membolak-balikkan kaset IZIS.
“Loh! Jadi antum tadi, yang salam! Ana kira itu salamnya cahaya-cahaya indah yang baru
ana lihat tadi” jawabku sambil mengusap-usap mataku.
“Iya itu ana! Wah, antum bermimpi apaan Akh? Nggak bermimpi ketemu bidadari di
surga kan?” jawab Yanto dengan senyum.
“Antum itu ada-ada saja, Akh! Antum dari mana, kok jam segini baru pulang?” tanyaku
“Ana, dari ikut kajian! Biasalah, hari ini ana kan Liqo’!” Ucap Yanto. Setelah itu dia
melanjutkan perkataannya “Akh, antum punya kasetnya IZIS yach? Wah pasti boleh
dipinjam nich!”
“Antum, satu rumah kok pake’ pinjam-pinjaman segala! Kalau mau pinjam ya ambil aja,
tapi setelah itu dikembalikan, jangan seperti biasanya! Atau antum putar di tape ana aja,
tape antum kan rusak akh!” ujarku sambil beranjak untuk berwudhu.
Tak lama setelah aku berwudhu, terdengar IZIS mengumandang keras.
“Berkobar tinggi panaskan bumi
Membakar ladang dan rumah kami
Darah Syuhada mengalir suburkan negri
Tiada kata lagi….
Kami harus kembali!”
Saat aku lihat, ternyata Yanto memutar kaset IZIS sambil bernasyid dan
mengepalkan tangannya dengan bersemangat. Sungguh memang luar biasa, nuansa yang
ditimbulkan oleh nasyid. Nasyid bukan seperti lagu Islam yang lainnya, nasyid adalah ruh
dari setiap perjuangan para mujahid. Nasyid tidak seperti lagunya Gigi, yang
mengumandang keras tetapi tidak bersemayam dihati. Apalagi nasyid tidak seperti lagulagunya
Dewa, yang bernada sombong seperti pemainnya. Nasyid bukanlah seperti lagulagu
lainnya, karena nasyid punya pembeda, pembeda dari lagu cengeng percintaan yang
memabukkan.
“Akh, tolong kecilkan! Ana mau sholat” pintaku
Bersambung...................
Sunday, April 29, 2012
Kalung Mutiara Annisa
Ini cerita tentang Anisa, seorang gadis kecil yang ceria berusia lima tahun.
Pada suatu sore, Anisa menemani Ibunya berbelanja di suatu supermarket.
Ketika sedang menunggu giliran membayar, Anisa melihat sebentuk kalung
mutiara mungil berwarna putih berkilauan, tergantung dalam sebuah kotak
berwarna pink yang sangat cantik. Kalung itu nampak begitu indah,
sehingga Anisa sangat ingin memilikinya.
Tapi... Dia tahu, pasti Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya, sebelum
berangkat ke supermarket dia sudah berjanji : Tidak akan meminta apapun
selain yang sudah disetujui untuk dibeli. Dan tadi Ibunya sudah menyetujui
untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik.
Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya
"Ibu,bolehkah Anisa memiliki kalung ini ? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang
tadi... " Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan
Anisa.Dibaliknya tertera harga Rp 15,000. Dilihatnya mata Anisa yang
memandangnya dengan penuh harap dan cemas.
Sebenarnya dia bisa saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak mau
bersikap tidak konsisten...
"Oke ... Anisa, kamu boleh memiliki kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang
kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Ibu
akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju ?"
Anisa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki
ke raknya."Terimakasih..., Ibu"
Anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya,
kalungitu membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik
Ibunya.Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur.Kalung
itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab, kata ibunya, jika
basah, kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau...
Setiap malam sebelum tidur, Ayah Anisa akan membacakan cerita
pengantar tidur. Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah
cerita, Ayah bertanya "Anisa..., Anisa sayang ngga sama Ayah ?"
"Tentu dong... Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah !"
"Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu..."
"Yah..., jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil "si Ratu" boneka kuda dari
nenek... ! Itu kesayanganku juga"
"Ya sudahlah sayang,... ngga apa-apa !". Ayah mencium pipi Anisa sebelum
keluar dari kamar Anisa.
Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah
bertanya lagi, "Anisa..., Anisa sayang nggak sih, sama Ayah ?"
"Ayah, Ayah tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah ?".
"Kalau begitu, berikan pada Ayah kalung mutiaramu."
"Jangan Ayah... Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini. "
Kata Anisa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya
bermain.
Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk kekamarnya, Anisa sedang
duduk di atas tempat tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang
menangis diam-diam. Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan. Dari
matanya,mengalir bulir-bulir air mata membasahi pipinya..."Ada apa Anisa,
kenapa Anisa ?"
Tanpa berucap sepatah pun, Anisa membuka tangannya. Di dalamnya
melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya " Kalau Ayah mau...
ambillah kalung Anisa"
Ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil
Anisa.Kalung itu dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong
yang satunya, dikeluarkan sebentuk kalung mutiara putih... sama cantiknya
dengan kalung yang sangat disayangi Anisa..."Anisa... ini untuk Anisa. Sama
bukan ?
Memang begitu nampaknya, tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu
menjadi hijau"
Ya..., ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan
kalung mutiara imitasi Anisa. Demikian pula halnya dengan Allah
s.w.t..Terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena Dia berkenan untuk
menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang-kadang kita
seperti atau bahkan lebih naif dari Anisa : Menggenggam erat sesuatu yang
kita anggap amat berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila harus
kehilangan.
Pada suatu sore, Anisa menemani Ibunya berbelanja di suatu supermarket.
Ketika sedang menunggu giliran membayar, Anisa melihat sebentuk kalung
mutiara mungil berwarna putih berkilauan, tergantung dalam sebuah kotak
berwarna pink yang sangat cantik. Kalung itu nampak begitu indah,
sehingga Anisa sangat ingin memilikinya.
Tapi... Dia tahu, pasti Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya, sebelum
berangkat ke supermarket dia sudah berjanji : Tidak akan meminta apapun
selain yang sudah disetujui untuk dibeli. Dan tadi Ibunya sudah menyetujui
untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik.
Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya
"Ibu,bolehkah Anisa memiliki kalung ini ? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang
tadi... " Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan
Anisa.Dibaliknya tertera harga Rp 15,000. Dilihatnya mata Anisa yang
memandangnya dengan penuh harap dan cemas.
Sebenarnya dia bisa saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak mau
bersikap tidak konsisten...
"Oke ... Anisa, kamu boleh memiliki kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang
kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Ibu
akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju ?"
Anisa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki
ke raknya."Terimakasih..., Ibu"
Anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya,
kalungitu membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik
Ibunya.Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur.Kalung
itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab, kata ibunya, jika
basah, kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau...
Setiap malam sebelum tidur, Ayah Anisa akan membacakan cerita
pengantar tidur. Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah
cerita, Ayah bertanya "Anisa..., Anisa sayang ngga sama Ayah ?"
"Tentu dong... Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah !"
"Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu..."
"Yah..., jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil "si Ratu" boneka kuda dari
nenek... ! Itu kesayanganku juga"
"Ya sudahlah sayang,... ngga apa-apa !". Ayah mencium pipi Anisa sebelum
keluar dari kamar Anisa.
Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah
bertanya lagi, "Anisa..., Anisa sayang nggak sih, sama Ayah ?"
"Ayah, Ayah tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah ?".
"Kalau begitu, berikan pada Ayah kalung mutiaramu."
"Jangan Ayah... Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini. "
Kata Anisa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya
bermain.
Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk kekamarnya, Anisa sedang
duduk di atas tempat tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang
menangis diam-diam. Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan. Dari
matanya,mengalir bulir-bulir air mata membasahi pipinya..."Ada apa Anisa,
kenapa Anisa ?"
Tanpa berucap sepatah pun, Anisa membuka tangannya. Di dalamnya
melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya " Kalau Ayah mau...
ambillah kalung Anisa"
Ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil
Anisa.Kalung itu dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong
yang satunya, dikeluarkan sebentuk kalung mutiara putih... sama cantiknya
dengan kalung yang sangat disayangi Anisa..."Anisa... ini untuk Anisa. Sama
bukan ?
Memang begitu nampaknya, tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu
menjadi hijau"
Ya..., ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan
kalung mutiara imitasi Anisa. Demikian pula halnya dengan Allah
s.w.t..Terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena Dia berkenan untuk
menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang-kadang kita
seperti atau bahkan lebih naif dari Anisa : Menggenggam erat sesuatu yang
kita anggap amat berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila harus
kehilangan.
Tuesday, April 24, 2012
Bidadadri untuk Ikhwan Part # 3
pemilik
hotel. Kata Bang Jamal sich, pemilik hotel itu takut, takut kalau ada yang
bikin
gara-gara
dihotelnya. Jadi akhirnya Bang Jamal yang diminta perlindungannya.
Sungguh
memang ironis dinegara kita ini, para penegak hukumnya sudah tidak
lagi
dapat diandalkan sebagai penegak hukum yang sebenarnya. Hingga akhirnya
orangorang
yang
punya uang pun, lebih aman dijaga preman dan satpam. Setalah sering
bertemu,
akhirnya aku beranikan diri untuk mengajak Bang Jamal bikin kajian khusus
para
preman-preman. Luar biasa tanggapan bang Jamal, ternyata sangat menerima sekali
ajakanku
itu “ini yang ditunggu-tunggu dari dulu, jarang ada pengajian buat para
preman!”
ucap Bang Jamal saat itu.
Tiada
hal yang dapat menggembirakan hati ini, kecuali ajakan untuk berbuat baik
disambut
dengan kebaikan pula. Sejak saat itulah, aku sering mengisi kajian para
premanpreman.
Dan
akhirnya aku banyak tahu, nama-nama dari preman diwilayahku sendiri.
Lambat
laun kajian para preman yang aku adakan semakin ramai saja, karena para
preman
ini sering mengajak teman-teman preman lainnya untuk ikut ngaji juga. Beberapa
preman
yang masih baru mengikuti kajian, banyak yang canggung. Sehingga sesekali ada
celetukan
yang kadang jorok, lucu, atau bahkan mengharukan. Mengharukan, karena
ternyata
banyak para preman ini yang tidak dapat membaca Al Qur’an, “baca Al Qur’an!
La
wong baca koran aja susah kok” itulah celetukan menyayat hati. Dinegara
yang
katanya
sebagian besar umat Islam ini, ternyata tidak sedikit yang belum bisa membaca
Al
Qur’an. Tapi tertera dengan jelas di KTPnya (Kartu Tanda Penduduk), ISLAM.
“Jadi,
sebenarnya
yang benar ini, yang mana? Islam KTP apa KTPnya yang Islam. Kalau
Islam
KTP
sich masih punya identitas keIslamannya, nah kalo KTPnya yang Islam berarti
yang
Islam
itu?.” Gumamku dalam hati
Hari-hari
yang aku lalui dengan para preman, ini sungguh memberikan kesan
yang
tersendiri. Kesan yang membuatku kagum dengan semangat mereka, semangat yang
ingin
lepas dari jeratan syetan. Sungguh besar rahmat Allah, disaat banyak orang yang
menjauhi
agama Islam, tetapi mereka dengan berbondong-bondong belajar agama yang
haq ini, Islam. Mereka tidak merasa malu dengan keIslamannya, bahkan
hari demi hari
mereka
menjadi bangga dengan apa yang mereka peroleh.
Sejak
saat itu aku sering main kerumah bang Jamal, tak jarang pun bang Jamal
main-main
ketempat kosku. Beberapa teman-teman aktivis dakwah sempat kaget, dengan
jalinan
pertemananku dengan bang Jamal. Sampai-sampai Deni, dengan ceplas-ceplosnya
mengatakan
“Akh,
Khalid! Antum punya banyak binaan preman, kok gak disuruh untuk lebih
meningkatkan
keimanannya! Sehingga dandanan para preman itu menjadi lebih sopan
lagi”
“Sebenarnya,
gini Akh! Seseorang diberikan peringatan tidak harus langsung, kita harus
mengetahui
kadar keimanan dari seseorang yang akan kita beri peringatan. Ana takut,
kalau
ana memberikan peringatan yang keras kepada mereka, akhirnya menjadi lari
dengan
dakwah kita. Cukup tunjukkan perilaku kita saja, biar mereka meniru apa yang
kita
perbuat, dan tidak usah banyak berkata-kata! Karena sesungguhnya, Islam adalah
agama
prilaku! Maka berikan contoh, karena sesungguhnya contoh itu yang mudah untuk
ditiru.”
Memang ucapan Deni benar, tetapi suatu hal yang mendasar, yang diajarkan
Rasulullah
kepada umatnya adalah rasa kasih dan sayang serta memberikan peringatan
dengan
lemah lembut. Juga memberikan amanah kepada seseorang, dengan sesuai
tingkatan
keimanannya. Tidaklah seorang yang bijak, jika menyeruhkan kebenaran tetapi
dia
sendiri tidak melakukan. Tidaklah kebenaran itu akan terwujud, jika kebenaran
itu
hanya
berada pada ucapan-ucapan semata. Tidaklah ucapan-ucapan kebenaran akan
terwujud,
jika perilaku si pengucap menyimpang dari perkataan kebenarannya. Orang
bijaklah,
yang menyerukan tentang kebenaran, dan dia mengetahui kebenarannya serta
mengetahui
kadar iman dari seorang yang akan diserunya.
Hari
demi hari, pertemanan kami sangat dekat. Bang Jamal, sudah aku anggap
sebagai
kakakku sendiri. Sehingga rasa kekeluargaan kami terasa begitu kental. Istri
bang
Jamal,
mbak Surtini juga sudah mengikuti kajian ibu-ibu yang diadakan oleh teman
teman
akhwat kampusku. Apalagi Joko, putra bang Jamal ini lebih senang datang ke
kajian
dari pada pergi ke sekolah “sekolah itu bosenin, Ustad! Masa kerjanya cuman
belajar
melulu, nggak ada mainnya.” Itulah kata Joko saat aku tanya. Tapi memang, Joko
menjadi
anak yang lebih cepat menangkap pelajaran agama daripada pelajaran-pelajaran
yang
lainnya. “saya kan pengen kaya’ ustad Khalid!” akunya polos. Saat Joko
mengatakan
itu dengan polos, badan ini menjadi benar-benar bergetar. Beribu tanya
dihatiku
“apakah aku layak dijadikan contoh, bagi Joko?” sering juga bang Jamal
mengatakan
kepadaku, “Khalid, Joko benar-benar kagum dengan kamu! Sering aku tanya
tentang
cita-citanya, dia selalu berkata. “aku pengen jadi ustad. Kayak, ustad Khalid!”
aku
mohon jangan sampai kamu kecewakan Joko!.” Sungguh ucapan bang Jamal menjadi
cambuk
bagiku. Cambuk yang selalu mengingatkan aku, untuk selalu mendekatkan diri
pada
Allah Azza wa jalla.
Beberapa
kali saat aku mengisi kajian ditempat anak-anak yang kurang
beruntung.
Selalu ada semangat baru bagiku, untuk dapat meningkatkan kualitas mereka.
Terutama
kualitas dari pengetahuan agama mereka. Mungkin seperti itulah Allah,
memberikan
kenikmatan berdakwah padaku.
Saat
aku sedang mengisi kajian, aku didatangi oleh orang-orang yang tidak
dikenal.
Sesekali mereka menanyakan tentang data-data daerah kumuh ini pada salah satu
RT.
Setelah mereka mendapatkan data-datanya, mereka langsung pergi. Dan setelah itu
tak
lama muncul sebuah kegiatan kemanusian, berupa pembagian sembako dan alat-alat
masak
gratis. Dan anehnya kegiatan itu sangat mengetahui seluk beluk dari daerah
kumuh
ini. Sehingga mereka dengan leluasa membagikan sembakonya kepada penduduk.
Entah
dermawan mana yang membagikan sembako itu, yang aku harapkan tidak ada
maksud
yang lain selain kegiatan kemanusiaannya.
Pertama-tama
kegiatan pembagian sembako itu bersifat biasa-biasa saja, tetapi
lama
kelamaan kegiatan sembako menjadi kegiatan kajian rutin. Entah siapa yang
mengusulkan
kajian itu, tak pelak kajian keIslaman yang aku dan teman-teman adakan,
menjadi
sedikit peminatnya. Apalagi kajian ibu-ibu yang diselenggarakan oleh para
akhwat
kampus.
Saat
aku sedang mengadakan kajian rutin para preman, aku mencoba untuk
mengorek
beberapa keterangan tentang para dermawan-dermawan yang membagikan
sembako.
Dengan mengorek keterangan dari para preman, aku bisa leluasa mendapatkan
banyak
ketarangan yang sangat berharga.
“Bang
Jamal, tahu nggak kajian yang dilaksanakan setiap jum’at malam itu?” tanyaku
“Iya
saya tahu, Khalid!” jawab bang Jamal saat itu
“Saya
cuma ingin tahu, berapa banyak orang-orang yang datang disana?” tanyaku
“Sangat
banyak yang datang kesana, Khalid! Bahkan beberapa dari kita pun pindah ke
kajian
mereka” ucap bang Jamal
“Benar,
banyak sekali warga kita yang ikut kajian mereka! Kabarnya sich, orang-orang
Sunday, April 22, 2012
Bidadari untuk Ikhwan Part # 2
“Jadi ini yach, Guru ngaji itu!” ucap salah
satu preman yang berada ditengah.
“Iya Bos, dia salah
satu dari guru ngaji itu!” jawab salah satu preman disebelahnya.
Aku hanya diam dan
menatap mereka, serta bersiap siaga jika mereka akan berbuat
sesuatu kepadaku.
“Apa benar kamu guru
ngaji, yang ngajar digubuk sana?” tanya preman yang dipanggil
Bos, dan kemungkinan
dia memang memang Bos preman didaerah kumuh ini.
“Iya benar!” jawabku
singkat dan mantap, sambil sedikit menganggukan kepala.
“Hem, aku sudah mendengar
kalakuan kalian pada anak-anak disini!” ucap si Bos
preman itu. “apa kamu
nggak takut, sama kami!” ucapnya lanjut, dengan sedikit agak
membentakku.
Saat itu aku hanya
sedikit tersenyum lalu mengatakan “maaf kalau saya mengganggu atau
ada kelakuan saya dan
teman-teman yang tidak mengenakkan, kami mengajar kesana
hanya untuk
meningkatkan keilmuan anak-anak, serta mencari pahala yang dijanjikan
oleh Allah swt! Tidak
ada maksud lain selain itu.” Ucapku tenang dan tegas
“Jadi, kamu memang
benar-benar tidak takut pada kami!” Bos preman itu membentak
keras kepadaku
“Maaf, bukan
bermaksud seperti itu! Saya dan teman-teman, mengajar dengan
keIkhlasan. Bukan
mencari permusuhan!” jawabku mencoba untuk menenangkan
mereka.
“Dasar bocah. Kamu
sudah berani menginjak daerah kami!” ucap salah satu preman yang
berambut gondrong.
“Sudah sikat saja!”
ucap preman yang berbadan ceking, berambut cepak sambil langsung
bergerak mengepungku,
tidak terkecuali preman yang berambut gondrong itu. Si Bos
preman hanya melihat
dan diam saja.
Darah sudah mendidih,
luapan emosi sudah menerjang pada ketiga preman itu. Aku juga
sudah bersiapsiaga
menerima serangan dari kedua preman itu.
“Tak ada yang saya
takuti selain Allah swt, jikalau saya mati disini! Maka akan banyak
tentara Allah yang
akan menghajar kalian! Dan saya syahid dijalan-Nya” ucapku keras
Saat si preman
gondrong akan menyerang, terdengar teriakan keras “HENTIKAN”. Kami
menoleh pada Si bos
preman itu. “Sudah, hentikan!” perintahnya lagi.
Aku masih tetap
bersiapsiaga jika sewaktu-waktu mereka menyerangku.
Si Bos preman itu
mendatangiku, lalu dia tersenyum sambil berkata “Hai anak muda,
siapa namamu?”
“Khalid, Khalid
Hendriansyah!” ucapku tenang dan tetap tegas.
“Baru kali ini, saya
berhadapan dengan anak muda yang berani!” ucap Si bos preman,
selanjutnya dia
mengatakan “sebenarnya beberapa kali, ada anak muda yang
mengajarkan ngaji
pada anak-anak diperkampungan kumuh ini. Tetapi mereka adalah
anak muda yang
munafik, mereka mengatakan kebesaran Tuhannya tetapi mereka
menakuti manusia.
Mereka takut pada kami, para preman! Saat aku melihat kamu, aku
ingin menguji
keberanianmu, aku ingin menguji keimananmu, ingin menguji kekuatan
kepercayaanmu kepada
Tuhanmu. Dan menguji, apakah kamu dari golongan anak muda
yang munafik itu?
Sungguh luar biasa keberanianmu, engkau tak takut akan kematian.
Bahkan engkau mencari
kematian, kematian diatas nama Tuhanmu! Dan ternyata kamu
bukan dari golongan
anak-anak muda yang munafik itu.”
Nih
preman gak tau kali ya, kalau aku sebenarnya juga takut! Tapi Alhamdulillah,
dengan
pertolongan Allah swt, rasa takutku pun menjadi sebuah keberanian. Ucapku
dalam hati.
Si Bos preman
mendekat kepadaku, lalu menepuk pundakku sambil mengatakan “hai
anak muda, kami tidak
ingin ada orang yang mengajarkan anak-anak kami tentang
bagaimana mengenal
Tuhan, sedangkan dia sendiri tidak mengenal-Nya. Kami ingin
anak-anak kami di
didik oleh orang-orang yang memang mengerti tentang Tuhan. Tidak
takut akan ancaman manusia,
tetapi dia lebih menakuti ancaman-ancaman Tuhannya.
Sehingga anak-anak
kami nantinya, menjadi seorang pemberani dalam hidup. Dan
termasuk dari
golongan orang-orang yang shaleh.” Si bos preman itu memandangi aku,
layaknya berharap
kepadaku, berharap tentang ajaran kebenaran. Berharap akan
datangnya cahaya
keIlahian. Setelah itu Si bos berkata “Khalid, jangan kamu kira bahwa
kami tidak perduli
dengan masa depan anak-anak kami! Kami berpenampilan seperti ini,
karena kami ingin
melindungi daerah ini, dari preman-preman yang lain! Dengan seperti
ini kami lebih
leluasa untuk bergerak.”
Aku tersenyum saat Si
bos preman itu menatap tajam penuh makna, penuh pengharapan
dari orang yang
menginginkan kebenaran. “Insya Allah, saya akan mendidik anak-anak
dilingkungan sini
dengan ilmu yang pernah saya dapatkan! Saya hanya menginginkan
keridhoan Allah saja
dalam berjuang, bukan yang lainnya.” Ucapku.
“Terima kasih,
Khalid! Dan jika kamu butuh apa-apa silakan panggil kami.” Ucap Si bos
preman sambil akan
beranjak pergi.
Saat dia akan
beranjak pergi, serta merta pun aku langsung memanggil Si bos “maaf, saya
belum tahu nama
Abang!”
Si bos preman
membalikkan tubuhnya menghadap aku, dia tersenyum sambil menjawab
“Panggil aku, Jamal!
Sampai jumpa Khalid”
Fajar Agustanto (Blackrock1/Fajar001/Jaisy01)
www.ggs001.cjb.net
Saat hendak Si bos
preman alias Bang Jamal melangkah meninggalkanku, aku berteriak
“Assalamua’alaikum,
Bang”
Bang Jamal menoleh,
sambil tersenyum dan menjawab “Walaikumsalam” setelah itu dia
pergi.
Aku tertegun sesaat,
pikiranku menerawang mengingat apa yang dikatakan Bang
Jamal “Kami tidak
ingin ada orang yang mengajarkan anak-anak kami tentang bagaimana
mengenal Tuhan,
sedangkan dia sendiri tidak mengenal-Nya.” Sungguh luar biasa apa
yang diucapkan Bapak
Jamal. Tiada kata yang seindah dengan pengingatan keras, seperti
apa yang diucapkan
Bang Jamal. Sungguh aku benar-benar takut, takut jika tidak dapat
mengemban amanah ini.
Sebuah ucapan yang harus diperhitungkan, meski ucapan itu
diucapkan oleh
orang-orang jalanan atau bahkan seorang preman.
Tiada hal yang harus
kita singkirkan, dari pernyataan seorang preman yang begitu
agung. Mungkin
pernyataan Bang Jamal, layak disetarakan dengan Aristoteles atau
mungkin Imam Ghazali,
sungguh pernyataan yang tidak dapat diduga dari mulut seorang
yang masih tidak
begitu mengenal tentang kebenaran dari Tuhan. Tapi tetap, Bang Jamal
adalah Jamal, bukan
Aristoteles atau bahkan Imam besar Al Ghazali.
Yang aku tahu,
dijaman seperti sekarang ini pernyataan yang di ucapkan oleh
Bang Jamal sangat
langka. Kita lebih banyak tahu, tentang orang-orang yang selalu
berpikiran sempit
tentang ajaran-ajaran kebenaran ini, Islam. Apalagi menganggap
bahwa, anak-anak yang
mempelajari agama Islam, adalah anak-anak yang ketinggalan
jaman. Mereka mungkin
lupa dengan apa yang dikatakan Imanuel Kant, bahwa tingkatan
paling tinggi dari
estetika dan etika, dari derajat manusia adalah rasa keimanan yang
tinggi terhadap
agamanya (relegius).
Setelah aku kenal
bang Jamal, terjadi banyak hal yang memang membuatku
kagum dengan Dia.
Sosok preman yang satu ini memang beda dengan preman-preman
yang lainnya. Dia
tidak pernah meminta uang apapun didaerah kekuasaannya, apalagi
hanya sebatas uang
keamanaan. Tetapi tetap kerjanya Bang Jamal, jadi bodyguardnya
Sunday, April 15, 2012
Bidadari untuk Ikhwan Part # 1
JILID 1
“Akhi
Khalid, antum sudah sholat dhuhur?” aku terbangun dari lamunanku saat Andi
teman satu LDK
(Lembaga Dakwah Kampus) menepuk pundakku.
“Akh, antum
mengagetkan ana aja! Oh iya, ana belum sholat dhuhur nich!” aku
menjawab
sambil memakai tas ransel hitamku kembali, yang saat itu masih tergelatak
dilantai.
“Akh, kalau
gitu ayo kita kemasjid sekarang!” ajak Andi.
Aku hanya
hanya menganggukkan kepala, sambil berdiri dan berjalan menuju masjid
kampus yang
jaraknya tidak begitu jauh dari fakultasku.
Hem, nikmat
benar air wudhu yang membasahi kulit-kulitku ini. Terasa semua
ringan dalam
membasuh semua kotoran-kotoran dunia. Iqhomat sudah mengumandang,
tanda sholat
akan dimulai.
“Benar-benar
cantik, wanita tadi! Siapa dia? Aku baru melihatnya sekarang!” lamunku.
“Allahu
Akbar!” aku tersentak saat Imam mengucapkan takbir rukuk.
“Masya’
Allah, aku sedang sholat!” sertamerta pun aku langsung membuang jauh-jauh
pikiran yang
telah menjauhkan aku dari kekhusyu’anku dalam sholat.
***
Kebutuhan
rohaniku telah aku laksanakan, sekarang waktunya untuk kebutuhan
jasad ini.
Dholim, jika aku mengacuhkan kebutuhan tubuh ini.
“Akhi, antum
sudah makan?” tanyaku pada Ridwan teman satu LDK, yang sedang
duduk-duduk
diserambi masjid.
“Ana,
belum makan Akh! Kenapa, mau ngajak makan? Tapi ingat Akh, ana kalau makan
nggak suka
kalau dikantin kampus kita ini!” ucap Ridwan
aku
tersenyum sambil mengatakan “nggak suka, apa kemahalan?”
“hehehe,
antum sudah tahu rahasianya yach!” Ridwan mengatakan sambil tertawa
“Kita kan
sama-sama mahasiswa, tahulah yang dipikirkan! dan kita kan Al-Ikhwan
(saudara)!
Jadi kita harus lebih mengetahui keadaan saudaranya sendiri!” kataku sambil
bernada sok
mengejek
Ridwan
tertawa sambil mengatakan “antum ini, ada-ada saja! Benar juga, kita Al-Ikhwan
(saudara)
jadi harus lebih tahu! Sekarang, Antum harus tahu kalau ana lagi boke’!
Jadi
antum harus
mentraktir ana!”
“Akh, antum!
kapan punya uangnya? Boke’ kok terus! Ok lah, sekarang ana traktir”
kataku
sambil tertawa dan mengajak Ridwan disebuah warung. Tentunya yang murah dan
enak.
***
Hem, sepi
sekali dikontrakan! Mungkin teman-teman masih ngisih kajian atau
mengikuti
kajian pikirku dalam hati. Aku merogoh saku celana, mencari kunci
kontrakan.
“Ini dia!”
kataku. Aku buka pintu sambil berucap salam, tetap tidak ada yang menjawab
salamku.
Mungkin memang teman-teman masih aktif dalam kegiatan masing-masing.
Biasanya
kalau jam-jam tidur siang ini, teman-teman masih lebih aktif untuk berdakwah.
Biasanya
Yanto, Deni, Heri dan Samsul selalu pulang sore, karena banyaknya aktifitas di
SKI (Sie
Kerohanian Islam) fakultas mereka. Alhamdulillah kegiatanku sekarang sudah
tidak
sepadat seperti mereka, mungkin teman-teman mengerti kalau aku sekarang lebih
disibukkan
rencana untuk mengerjakan skripsi. Sehingga amanah-amanah dakwah, tidak
begitu
banyak dibebankan kepadaku. Dulu, saat masih banyak-banyaknya aktifitas
dakwahku.
Aku banyak sekali mempunyai binaan, mulai dari kajian anak-anak SD, SMP,
SMA,
anak-anak jalanan sampai kajian para preman yang sudah tobat. Tapi
alhamdulillah
sekarang lebih berkurang, sekarang aku hanya mengisi kajian ditempat
para preman
saja.
Pernah suatu
hari, aku meminta tolong teman-teman untuk mengisi kajian para
preman.
Ternyata teman-teman banyak yang belum siap untuk mengembangkan dakwah
dikalangan
para preman. Sehingga kajian untuk para preman, masih tetap aku yang
mengisi.
Memang sangat unik sekali saat bertemu dengan preman-preman itu, saat-saat
pertama
mengenal mereka. Entah apa yang membuat para preman ini sadar, akan
pentingnya
mengenal Islam lebih dalam. Perjumpaan yang sangat unik, saat aku selesai
mengisi
kajian ditempat anak-anak yang kurang beruntung, aku berjalan sendirian
diperkampungan
kumuh itu.
Disebuah
pinggiran kali, aku berpapasan dengan tiga para preman. Mereka
melihatku
dengan tatapan yang tajam, seakan aku adalah mangsa yang siap untuk
diterkam,
dan tentunya sangat lezat. Jantungku berdetak kencang, aku merasakan
ketakutan
saat berhadapan dengan para preman. Tak pelak aku pun beristikfar dalam hati
dan meminta
perlindungan kepada sang Maha pelindung. “Sesungguhnya mereka itu
tidak lain
hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya,
karena itu
janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu
benar-benar
orang yang beriman (Ali Imran 175).” Aku teringat dengan apa yang
difirmankan
Allah, sungguh dahsyat apa yang kurasakan setelah mengingat Ali Imran
ayat 175.
Tubuhku seakan siap menjadi tentara Allah yang akan menghadang para
segerombolan
kaum Bani Israil.
“Hai kamu!
Kesini” teriak salah satu preman itu, memanggilku.
Dengan santai aku pun mendatangi ketiga preman
itu “ada apa Bang?” jawabku
Subscribe to:
Posts (Atom)
Komentar anda
Like
Fan Page
Mengenai Saya
- Coretanqu
- Talang Jawa, Palembang/Sumatera Selatan, Indonesia
- aku adalah aku yang sekarang bukan aku yang terdahulu
Blogger news
Followers
Archive
Blogroll
Tayangan Ke
Entri Populer
-
Perasaan lahir dari sebuah pertemuan Berputik rindu di hati yang amat mendalam Mekar menyinar seluruh alam kehidupan Segar sentiasa ia dalam...
-
Pada waktu itu pertengahan 2007 saya ditunjuk menjadi sekretaris panitia MUBES Warga PBSID FKIP Unsyiah, saya juga disuruh membuatkan bros...
-
Asa Kerja dengan Cinta dan Harmoni Terasah rasa oleh cinta Terasah bahagia oleh asa Cinta bermuara pada bahagia Karena cinta be...
-
Buka Mata! Ubah Paradigma S ahabatku, mengapa ada pemuda yang gagal dalam hidupnya, tak jelas arah tujuannya dan merep...
-
Diwilayah Seunagan ( Jeuram ). Pimpinan wilayah Seunagan yang pertama yaitu : Teuku Johan Masa jabatan dipegang kira – kira 20 Tahun setela...
-
Jika melihat dari sisi medis, Sosiolog di Universitas of Texas, John Mirowsky, seperti dikutip dari Huffington Post, Senin (3/12), menyebut ...
-
Ketika ada seseorang yang kau cintai namun mengkhianati cintamu Bersyukurlah, itu mungkin cara Tuhan untuk memuliakanmu Yakinlah, Dia akan m...
-
Mendengar kata ‘Bahasa Jiwa’, memori kita akan mengingat sebuah album nasyid Bahasa Jiwa yang beredar pada Tahun 2002 milik team nasyid Mai...
-
Pertama: Jumlah raka’at shalat Id ada dua berdasarkan riwayat Umar radhiyallahu ‘anhu (yang artinya): “Shalat safar itu ada dua raka’at, s...
-
Betapa indah hidup yang terhubung ke langit Ketika ruhmu yang meronta-ronta rindu Kau pertemukan dengan Rabb Yang Maha Tahu Bagai tetes ...