Mari sejenak mendampingi seorang Ibu
yang melahirkan.
Makhluq
Allah yang mulia ini nyawanya berada di ujung tanduk. Serangan rasa nyeri luar
biasa menyergap ketika rahim mulai berkontraksi. Makin lama kian sering dan
kian menyakitkan. Otot-otot serasa dikejangkan dan tulang-tulang seperti
dibetoti. Puncaknya, ketika sang bayi sudah saatnya menghirup udara dunia, maka
yang dirasakan sang Ibu adalah perobekan luas, luka jerih yang berdarah-darah,
dan tubuh yang dipaksa untuk berkelojotan menuntaskan bebannya.
Rasa sakit
itu, sungguh tak terkatakan.
Tetapi
lihatlah itu, ketika luka robek masih menyemburkan darah, ketika tenaga tubuh
habis lunglai disadap persalinan, ketika rasa lelah timbun-menimbun dengan
nyeri menyayat tanpa henti, sang ibu tersenyum begitu indahnya. Seakan semua
rasa sakit itu sirna ketika sang bayi yang menangis demikian keras diletakkan
di atas dadanya, dalam pelukannya.
Terbayangkah
jika rasa sakit dahsyat yang kemudian menguap dalam sekejap macam itu dialami
juga oleh seorang pria?
Setelah mendaki,
lelaki itu masuk terlebih dahulu, menyibak ruang cekung di antara batu. Rikat
matanya memeriksa tiap pojok. Dia temukan setidaknya ada empat lubang, sarang
makhluk berbisa di gua itu. “Tunggulah sejenak ya Rasulallah”, ujarnya.
Dipinggirkannya semua kerikil dan batu. Disapunya lantai dengan surban hingga
pasirnya rata dan lembut. Diletakkannya bekal di sudut-sudut.
Lalu diapun
duduk. Ditepatkannya selonjoran kaki dan tapak-tapak tangannya pada
lubang-lubang yang diperkirakan dihuni binatang berbisa. Anggota tubuhnya
dikerahkan untuk menutup bahaya sengatan dari liang-liang itu. Lalu Rasulullah
pun masuk, merebahkan diri untuk beristirahat di pangkuan lelaki itu.
Lelaki itu, Abu Bakr Ash Shiddiq
yang kurus badannya, pucat kulitnya, dan lembut hatinya; mendampingi
Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hijrahnya. Kali
ini, mereka sedang berada di Gua Tsur untuk menghindarkan diri dari kejaran
Quraisy yang murka berat atas lolosnya Muhammad. Dan inilah mereka di sini,
menghindar dari jalur perjalanan beberapa jenak untuk mengecoh para pemburu
nyawa Sang Nabi.
Belum beberapa lama mereka di situ,
Abu Bakr telah mulai merasa sengatan-sengatan binatang berbisa mencekatnya.
Rasa ngilu, pedih, dan nyeri yang tak tertahankan menjalar seakan hendak
merusakkan syaraf dan melumpuhkan badannya. Tapi dia tetap diam dan menggigit
bibir. Ditahannya rasa sakit itu demi agar Sang Nabi tak terganggu
istirahatnya. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallampulas sekali.
Beberapa
lelaki Quraisy tampaknya mengetahui persembunyian mereka dan memeriksa pintu
gua. Abu Bakr mulai gelisah dan disergap cemas. Tepat pada saat itu, sebulir
air mata tak mampu lagi ditahannya hingga jatuh menitik berketipak di pipi Sang
Nabi. Beliau bangun.
“Jangan sedih hai Abu Bakr”, ujar
beliau menatap sahabatnya dengan teduh, “Allah bersama kita.”
Nabi
mengatakan “jangan sedih” alih-alih “jangan takut”, sebab meski ketakutan
meraja, sungguh Abu Bakr lebih tercekam oleh kesedihannya memikirkan sahabat
tercinta. Betapa mereka saling mengerti isi hati.
“Orang-orang
itu ya Rasulallah”, ucap Abu Bakr yang telah lupa pada sakitnya, “Andai mereka
melihat ke arah kaki mereka sendiri, pastilah mereka akan mengetahui keberadaan
kita.”
“Bagaimana
pendapatmu hai Abu Bakr”, lanjut Rasulullah sambil tersenyum, “Jika ada dua
orang dan yang ketiganya adalah Allah?”
Kalimat
Rasulullah dan senyum beliau, ketenangan dan keteduhan wajahnya tiba-tiba
membuat Abu Bakr serasa diguyur embun sejuk ketenteraman. Segala rasa sakit
akibat sengatan binatang-binatang jahat itu tak lagi terasa. Dunia serasa
dipenuhi cahaya yang berpendar-pendar, hangat dan penuh cinta. Sebab mereka
berdua telah menyatu, dengan Allah sebagai saksinya, sebagai yang ketiganya.
Inilah cinta
penawar luka. Adakah kita punya?
termuat
dalam UMMI, Desember
sepenuh
cinta, salim a. fillah