Saturday, September 20, 2014

Mengisi Rumah Sejati #1

Oleh: Assatid Salim.A. Fillah 

“Dan Allah jadikan diantara kalian Mawaddah”. Dalam kalimat “litaskuni ilaihaa”, ketentraman yang Allah karuniakan mengiringi pernikahan dua sosok yang terdiri, sejiwa dan senafas penyebutannya dengan kata sambung yang langsung. Adapun tentang mawaddah cinta yang bergelora dalam serumah keluarga. Allah menggunakan kata “Ja’ala” yang menurut sebagian pemberi tafsir menunjukkan makna diperlukannya ilmu untuk menghadirkannya.
Maka banyak rumah tangga bermasalah bukan bersebab kurangnya cinta, melainkan karena tidak memadainya ilmu yang diperlukan untuk mengejawantahkan cinta.
Dengan demikian, di antara asas dari cinta yang bergelora untuk menghadirkan bersusun-susun rasa surga dalam serumah keluarga adalah memahami perbedaan antara laki-laki dan perempuan; sebagaimana berbedanya kutub utara dan kutub selatan besi berani, membuat keduanya tarik-menarik dengan sangat kuat.
Banyak suami merasa sangat mencintai istrinya, namun sang istri justru merasa sangat terhina. Sebab mereka mencintai pasangannya dengan cara yang dia inginkan bagi dirinya, bukan apa yang dihajatkan oleh pasangannya.
Kaidah “Cintailah orang lain sebagaimana engkau ingin dicintai” dapat menjadi berbahaya jika diterapkan dalam hidup berumah tangga. Sebab laki-laki dan perempuan berbeda; cara berpikir, merasa dan bertindaknya juga berlainan.
Maka, membangun mawaddah bagi seorang suami adalah kesiapan untuk mendengar, mengerti dan memahami istri. Dia belajar untuk tak menyambi memegang majalah ataupun peranti genggam ketika sang istri sedang berbicara. Dia belajar belajar bersambung-tatap dengan istri ketika saling bercakap. Dia belajar untuk tidak memotong ucapan istri meski kisah yang disampaikan berulang. Dia belajar untuk tak cepat-cepat menawarkan penyelesaian sebab keluhan sang istri amatlah berharga setiap hurufnya.
Suami belajar untuk menenggang ketika karena satu kesalahan, sang istri lalu fasih menyebutkan berbagai khilafnya yang telah lalu. Dia belajar untuk bersabar, sebab persoalan yang dapat disederhanakan justru dihubung-hubungkan dengan persoalan lain oleh istrinya. Dia belajar seberharga permata dan perhiasan surgawi yang teruntai di dunia.
Suami belajar, bahwa panggilan mesra, pujian tulus adalah hal yang harus terus dia lisankan diberbagai kesempatan. Dia belajar, bahwa hadiah kecil yang sederhana bisa menjadi sebuah penguat ikatan, karena yang dilihat sang istri selalulah perhatian yang ada disebaliknya.
Maka pula, membangun mawaddah bagi seorang istri adalah kesiapan untuk mentaati, menghormati dan memberi dukungan kepada suami. Dia belajar untuk memahami bahwa suami adalah makhluk yang menangani urusan satu demi satu, berbeda dengannya yang dapat menuntaskan beberapa tugas sekaligus. Dia belajar untuk mengerti suami berpikir memusat lagi menyederhanakan demi menghadirkan penyelesaian, berbeda dengan dirinya yang berpikir menjelajahi segala kemungkinan dan berbicara untuk meredakan ketegangan.
Sang istri juga belajar untuk memberi ruang menyendiri bagi suaminya ketika sedang dirundung tekanan, seperti Khatijah yang tak bertanya didepan pintu Muhammad menggigil berkeringat dan pucat pasi setelah turun wahyu pertama. Ya, Khatijah menyediakan kamar tempat sang suami menenangkan diri, sebab seperti wanita memerlukan bahu pria yang penuh cinta untuk sandaran menangis hingga lega, lelaki memerlukan kesunyian untuk merenung, merumuskan masalah dan pemecahannya.
Sang istri juga belajar untuk belajar berbicara dalam kalimat langsung yang mudah dipahami suami, alih-alih kalimat tak langsung yang sering keliru dimengerti suami “Tolong jemput anak-anak” misalnya, adalah kalimat yang jauh lebih mudah dimengerti para lelaki daripada “Anak-anak belum dijemput, aku masih harus masak”. Dia juga belajar bahwa untuk merayu suami melakukan sesuatu, sering kali ia harus berdiri sejenak sembari menatap wajah lelaki itu dengan senyum mekar. Ya, saat suaminya mengiyakan tapi belum juga beranjak untuk melaksanakan apa yang diminta.
Sang istri juga belajar bahwa kadang suaminya menjaga kemesraan dengan beberapa saat berjeda menjauhkan diri, sebagaimana pertemuan yang sesekali lebih menguatkan ikatan. Dia belajar bahwa tak seperti dirinya yang menggerahkan semua untuk cinta, suami justru berhitung. Jika telah meluangkan waktu untuk istri dan anak-anak selama sekian lama misalnya, lelaki itu perlu diberi waktu untuk menunaikan hobi dalam kesendiriannya, agar kembali dengan pelukan yang mesra berlipat ganda.
Inilah mawaddah yang senantiasa harus digelorakan. Inilah cinta membara yang memerlukan ilmu dalam menyalakan kobarannya. (bersambung)     



Saturday, August 23, 2014

Sang Titipan

“Ya Rasulallah”, demikian Ummu Sulaim bergegas menemui Sang Nabi ketika beliau tiba di Madinah dalam hijrah, “Semua lelaki dan perempuan penduduk Yatsrib telah menghaturkan hadiah kepadamu. Namun aku sungguh tak memiliki apa-apa untuk dipersembahkan. Maka inilah putraku Anas ibn Malik. Bahagiakanlah kami dengan menjadikannya sebagai pelayanmu.”
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam menerima wakaf Ummu Sulaim itu dengan berbahagia. Beliau jadikan Anas sebagai sebaik-baik khadam, dan beliau perlakukan Anas dengan sebaik-baik keadaban. “Sepuluh tahun aku berada di rumah Rasulullah”, ujar Anas kelak, “Dan tak pernah sama sekali beliau menegurku dengan kata-kata, ‘Mengapa kau berbuat ini?’ atau ‘Mengapa tak kaukerjakan itu?’”.
Sejatinya, Anas bukan hanya menjadi pelayan, namun juga seakan dialah putra kesayangan dan murid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang paling dekat. “Kami melihat Anas ibn Malik seakan-akan dia adalah bayang-bayang Rasulullah yang mengikuti beliau ke manapun pergi”, demikian kesaksian beberapa sahabat. “Tak ada yang shalatnya lebih mirip Rasulullah”, begitu kata Abu Hurairah, “Daripada putra Ummu Sulaim.”
Demikianlah. Selama sepuluh tahun, detak-detik kehidupan Anas ibn Malik berdenyut dan berdentam bersama derasnya wahyu dan luhurnya nubuwwah.Detak dan detiknya adalah lapis-lapis keberkahan.
Betapa berbahagianya dia menerima doa Rasulullah, “Ya Allah panjangkanlah umurnya, perbanyaklah anak dan hartanya, serta berkahilah baginya di dalam kesemua itu.” Maka Anas hidup hingga usia seratus tahun atau lebih, sentausa di tengah keluarga besarnya, sejahtera dengan kecukupan yang penuh berkah.
Dan Anas tahu, di rumah Rasulullah itu dia menghirup udara yang amat berharga, berada di antara debu-debu yang sangat bernilai, dan mengeja detak-detik yang penuh dengan lapis-lapis keberkahan. Maka dia mengerahkan segenap indranya untuk mengambil ayat-ayat ilmu, titis-titis rizqi, dan gerak-gerak ‘amal dari Sang Nabi, mendekapnya bagai permata di dalam jiwa, menuangkannya sebagai daya bagi raga.
Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan air bekas mandi Rasulullah, lalu mencampurkannya ke dalam air mandinya. Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan keringat Rasulullah, dan mencampurkannya ke dalam minyak wangi yang dibalurkan ke sekujur badannya. Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan rambut yang jatuh, gigi yang tanggal, dan benda-benda peninggalan Rasulullah dari sandal hingga surbannya, untuk kelak dia wasiatkan diikutsertakan dalam penguburan dirinya.
Tapi yang paling berkah dari itu semua adalah, bahwa dari Anas ibn Malik kelak, ummat ini berhutang 2286 hadits yang dia riwayatkan. Betapa berharga matanya yang menyaksikan, telinganya yang menyimak, dan akalnya yang memahami sepanjang  detak-detik kebersamaannya dengan Rasulullah. Kini, tiap kali hadits-hadits itu ditulis, dihafal, diajarkan, dan diamalkan oleh ummat MuhammadShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Anas ibn Malik berhak atas pahala yang tak henti mengalir hingga hari kiamat.
Sang titipin, menjelma menjadi mata air ilmu dan samudra keberkahan.



Kebaikan di TanganMu, Yang Maha Tahu

Kemarin, lelaki kekar itu memukul seseorang sekali hantam. Dan korbannya mati.
Semalaman dia gelisah, celingak-celinguk mengkhawatirkan dirinya. Si korban yang tewas adalah orang Qibthi, dari bangsa sang Fir’aun penguasa Mesir. Adapun dia dan teman-temannya dari keturunan Ya’qub, ‘Alaihissalam, suku pendatang yang diperbudak. Penguasa kejam itu bisa berbuat hal tak terbayangkan pada sahaya-sahaya yang melanggar aturan.
Lelaki dalam cerita di Surah Al Qashash itu, Musa namanya.
Dan pagi ini, kawan yang tempo hari dibelanya hingga dia tak sengaja menghilangkan nyawa kembali meminta bantuannya. Lagi-lagi teman sekampung yang memang pembuat onar itu bersengketa dengan seorang penduduk Lembah Nil. “Sungguh kamu ini benar-benar pencari gara-gara yang sesat perbuatannya!”, hardik Musa.
Tapi Musa sukar bersikap lain. Dicekaunya leher pria Qibthi itu, dan kepalan tangannya siap meninju. “Wahai Musa”, kata orang itu dengan takut-takut, “Apakah kau bermaksud membunuhku seperti pembunuhan yang kau lakukan kemarin?” Musa terhenyak. Rasa bersalah menyergapnya, keraguan melumuri hatinya. Cengkeramannyapun mengendur dan lepas. Melihat itu si calon korban tumbuh nyalinya. “Kau ini memang hanya bermaksud menjadi orang yang sewenang-wenang di negeri ini!”, semburnya.
“Hai Musa”, tetiba muncul seorang lelaki yang tergopoh dari ujung kota, “Para pembesar negeri di sisi Fir’aun sedang berunding untuk membunuhmu. Keluarlah segera!” Musa bimbang. “Pergilah cepat!”, tegas orang itu, “Sungguh aku ini tulus memberimu saran!”
Tanpa tahu jalan dan tanpa ada kawan, Musa bergegas lari. Dengan penuh was-was dan galau dia ayunkan kaki. Batinnya menggumamkan harap, “Semoga Rabbku memimpinku ke jalan yang benar”. Langkahnya lebar-lebar dan tak berjeda, pandangnya lurus ke depan tanpa menoleh. Dan setelah menempuh jarak yang jauh; memburu nafas hingga menderu, menguras tenaga hingga lemas, memerah keringat hingga lemah; inilah dia kini, sampai di sebuah mata air.
Negeri itu, nantinya kita tahu, bernama Madyan. Musa melihat orang berrebut berdesak-desak memberi minum ternak-ternak. Adapun di salah satu sudut yang jauh, dua gadis memegang kekang kambing-kambingnya yang meronta, menahan mereka agar tak mendekat ke mata air meski binatang-binatang itu teramat kehausan tampaknya.
Musa nantinya akan disifati sebagai lelaki perkasa oleh salah seorang gadis itu. Bukan tersebab dia menceritakan kisahnya yang membunuh dengan sekali pukul, melainkan karena dalam lapar hausnya, lelah payahnya, takut cemasnya, serta asing kikuknya; Musa sanggup menawarkan bantuan. Orang yang masih mau dan mampu menolong di saat dirinya sendiri memerlukan pertolongan adalah pria yang kuat.
Musa melakukannya.
Musa menggiring domba-domba itu ke mata air. Ketika dilihatnya ada batu menyempitkan permukaan situ, dia sadar inilah salah satu sebab orang-orang harus berdesak-desakan. Maka dengan sisa tenaga, diangkatnya batu itu, disingkarkannya hingga sumur itu lapang tepiannya. Lagi-lagi Musa membuktikan kekuatannya. Bahwa pria perkasa tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran dari manusia.
Tanpa bicara lagi dan tak menunggu ungkapan terimakasih, Musa berlalu seusai menuntaskan tugasnya. Dia menggeloso di bawah sebuah pohon yang kecil-kecil daunnya. Rasa lelah melinukan tulangnya dan rasa lapar mencekik lambungnya. Kemudian dia berdoa, “Rabbi inni lima anzalta ilayya min khairin faqiir. Duhai Pencipta, Pemelihara, Pemberi Rizqi, Pengatur Urusan, dan Penguasaku; sesungguhnya aku terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan amat memerlukan.”
***
 Karena desakan hajat yang memenuhi jiwa; sebab keinginan-keinginan yang menghantui angan; kita lalu menghadap penuh harap pada Allah dengan doa-doa. Sesungguhnya meminta apapun, selama ianya kebaikan, tak terlarang di sisi Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahkan kita dianjurkan banyak meminta. Sebab yang tak pernah memohon apapun pada Allah, justru jatuh pada kesombongan.
“Kita dianjurkan untuk meminta kepada Allah”, demikian Dr. ‘Umar Al Muqbil menggarisbawahi tadabbur atas doa Musa setelah menolong dua gadis Madyan itu, “Baik hal kecil maupun hal besar”. Dalam kisah ini, sesungguhnya Musa yang kelaparan hendak meminta makanan. Cukup baginya, seandainya dia meminta jamuan kepada orang yang dia telah diberikannya jasa. Cukup baginya, sekiranya dia mengambil imbalan atas kebaikannya.
Tetapi Musa mengajarkan pada kita tiga hal penting dalam doanya. Pertama, bahwa hanya Allah yang layak disimpuhi kedermawananNya, ditadah karuniaNya, dan diharapi balasanNya. Mengharap kepada makhluq hanyalah kekecewaan. Meminta kepada makhluq hanyalah kehinaan. Bertimpuh pada makhluq hanyalah kenistaan.
Apapun hajat kita, kecil maupun besar, ringan maupun berat, remeh maupun penting; hanya Allah tempat mengharap, mengadu, dan memohon pertolongan.
Pelajaran kedua dari Musa adalah adab. Bertatakrama pada Allah, pun juga di dalam doa, adalah hal yang seyogyanya kita utamakan. Para ‘ulama menyepakati tersyariatkannya berdoa pada Allah dengan susunan kalimat perintah, sebagaimana banyak tersebut dalam Al Quran maupun Sunnah. Ia benar dan dibolehkan. Tetapi contoh dari beberapa Nabi dalam Al Quran menunjukkan ada yang lebih tinggi dari soal boleh atau tak boleh. Ialah soal patut tak patut. Ialah soal indah tak indah. Ialah soal adab.
Maka demikian pulalah Musa, ‘Alaihis Salam. Dia tidak mengatakan, “Ya Allah berikan.. Ya Allah turunkan.. Ya Allah sediakan..”. Dia merundukkan diri dan berlirih hati, “Duhai Rabbi; Penciptaku, Penguasaku, Penjamin rizqiku, Pemeliharaku, Pengatur urusanku; sungguh aku, terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan, amat memerlukan.”
Yang ketiga, bahwa Allah dengan ilmuNya yang sempurna lebih mengerti apa yang kita perlukan dan apa yang baik bagi diri ini daripada pribadi kita sendiri. Musa menunjukkan bahwa berdoa bukanlah memberitahu Allah apa hajat-hajat kita, sebab Dia Maha Tahu. Berdoa adalah bincang mesra dengan Rabb yang Maha Kuasa, agar Dia ridhai semua yang Dia limpahkan, Dia ambil, maupun Dia simpan untuk kita.
Maka Musa tidak mengatakan, “Ya Allah berikan padaku makanan”. Dia pasrahkan karunia yang dimintanya pada ilmu Allah yang Maha Mulia. Dia percayakan anugrah yang dimohonnya pada pengetahuan Allah yang Maha Dermawan. Diapun mengatakan, “Rabbi, sungguh aku, terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan, amat memerlukan.”
***
Gadis itu berjingkat dalam langkah malu-malu. Dia tutupkan pula ujung lengan baju ke wajah sebab sangat tersipu. Musa masih di sana, duduk bersahaja. Tepat ketika bayangan berkerudung itu menyusup ke matanya, lelaki gagah ini menundukkan pandangan.
“..Sesungguhnya Ayahku memanggilmu agar dia dapat membalas kebaikanmu yang telah memberi minum ternak-ternak kami..” (QS Al Qashash [28]: 25)
Allah yang merajai alam semesta memiliki jalan tak terhingga untuk memberikan karuniaNya kepada hamba. Baik untuk yang meminta maupun diam saja, yang menghiba maupun bermasam muka, yang yakin maupun tak percaya; limpahan rahmatNya tiada dapat dihalangi. Allah yang menguasai segenap makhluq memiliki cara tak terbatas untuk menghadirkan penyelesaian bagi masalah hambaNya. Allah yang menggenggam seluruh wujud, mudah bagiNya memilihkan sarana terbaik untuk menjawab pinta dan menghadirkan karunia.
Maka jangan pernah mengharap balasan itu datang dari orang yang pada kitalah budinya terhutang.
Tapi dalam kisah ini, Allah pilihkan jawaban doa dan balasan kebaikan melalui orang yang padanya Musa telah menghulurkan bantuan. Bukan sebab tiadanya jalan lain, melainkan karena Allah memang hendak menghubungkan Musa dengan mata air kebaikan yang telah disiapkanNya bagi tugas besarnya kelak. Sebuah keluarga terpilih, yang akan menjadi tempatnya mendewasa dan jadi titik tolak kenabian dan kerasulannya.
Untuk kita insyafi agar diri hanya menggantungkan asa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, bahwa tak selalu Dia membalas kebaikan melalui orang yang menerima pertolongan kita. Hanya, mungkin saja itu terjadi. Sebab ada kebaikan yang Allah persiapkan di balik itu, berlipat-lipat, bergulung-gulung. Seperti yang dialami Musa.
“Berjalanlah di belakangku”, sahut Musa, “Dan berilah isyarat terhadap arah yang kita tuju.” Kita tahu, nanti Musa akan dijuluki sebagai ‘Yang Tepercaya’ karena ucapan ini. Sungguh memang, betapa tepercaya lelaki muda yang tetap menjaga pandangannya, pada gadis asing yang jelita, yang mendatanginya untuk kemudian berjalan hanya berdua.
Maka hari itu berubahlah hidup Musa. Sang pelarian dari Mesir menemukan tambatan hidup. Di rumah seorang bapak tua dari negeri Madyan, dia dijamu makan, dilingkupi perlindungan, diberi tempat tinggal, ditawari pekerjaan, kemudian nantinya dinikahkan, dan akhirnya diberi tugas kenabian.
Musa meminta makanan dengan tatakrama yang baik. Yaitu, dia pasrahkan kebaikan apapun yang hendak diberikan Allah padanya ke dalam cakupan ilmuNya. Musa meyakini bahwa apapun yang akan dikaruniakan Allah padanya adalah lebih baik dari semua dugaan dalam permohonannya. Maka Allah memberinya kelimpahan tak terbayangkan.
Demikianlah Allah, Rabb yang Maha Pemurah. Bahkan apa yang kita tak pernah memintanya, Dia tak pernah alpa memberikannya. Maka pada tiap doa, sesungguhnya kita diharap bersiap untuk menerima yang lebih baik, lebih banyak, dan lebih indah. Di dunia maupun akhirat. Sebab hanya di tanganNyalah segala kebaikan. Sebab Dialah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
***
“Aku tak pernah mengkhawatirkan apakah doaku akan dikabulkan”, demikian ‘Umar ibn Al Khaththab pernah berkata. “Sebab setiap kali Allah mengilhamkan hambaNya untuk berdoa, maka Dia sedang berkehendak untuk memberi karunia.”
“Yang aku khawatirkan adalah”, lanjut ‘Umar, “Jika aku tidak berdoa.”
Takkan terasa manisnya kehambaan, hingga kita merasa bahwa bermesra pada Allah dalam doa itulah yang lebih penting dari pengabulannya. Takkan terasa lezatnya ketaatan, hingga kita lebih mencintai Dzat yang mengijabah permintaan kita, dibanding wujud dari pengabulan itu.
Inilah lapis-lapis keberkahan.
Seperti Musa, di lapis-lapis keberkahan kita berlatih untuk meyakini bahwa segala kebaikan ada dalam genggaman Allah. Di lapis-lapis keberkahann, kita juga belajar bahwa ilmu Allah tentang kebaikan yang kita perlukan adalah pengetahuanNya yang sempurna, jauh melampaui kedegilan akal dan kesempitan wawasan kita. Maka di antara jalan berkah adalah, rasa percaya yang diwujudkan dalam tatakrama.
Di lapis-lapis keberkahan, kita mengeja iman dan adab itu dalam doa-doa. Dan inilah firmanNya yang Maha Mulia menutup renungan kita dengan lafal doa yang penuh makna:
“Katakan: duhai Allah, pemilik kerajaan maharaya, Engkau berikan kekuasaan kepada sesiapa yang Kau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan itu dari siapa saja yang Kau kehendaki. Engkau muliakan sesiapa yang Kau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa jua yang Kau kehendaki. Di tanganMulah segala kebaikan. Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau memasukkan malam ke dalam siang dan Kau benamkan siang ke dalam malam. Engkau mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan Kau seruakkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau mengenugrahi rizki pada siapapun yang Kau kehendaki tanpa terbatasi.” (QS Ali ‘Imran [3]: 26-27)

Majalah AMF

Assalamualaikum
Posting kali ini ana mau memuat sebuah bulletin elektronik yang ana buat menggunakan Coreldraw dalam format pdf.
silahkan downloa 

TIGA SUASANA DALAM SATU MASA

Ingatkah kita saat menjadi seorang anak bagi sepasang anak manusia yang kita sebut Ibu dan Ayah, bagi mereka kita telah merubah suasana hidup mereka dimana dari seorang pemuda dan pemudi berubah menjadi sepasang suami istri dan karena kitalah status mereka berubah kita panggil dengan Ayah dan Ibu.
Dari seorang wanita berubah menjadi seorang istri saat seorang laki-laki hadir dalam kehidupannya, ada tiga suasana dimana saat masih sendiri sang ‘wanita’ bergantung hidup pada kedua orang tuanya, segala sesuatu dalam hidup mereka menjadi tanggungjawab ayah ibunya. Tapi saat menikah wanita tersebut menyerahkan semua tanggungjawab hidupnya pada seorang laki-laki bernama suami, dipundak suamilah hidupnya berlangsung. Suka, duka, canda tawa mereka bagi bersama.
Begitu pula dengan lelaki, dari seorang pria lajang membujang ia telah menjemput kesempurnaan ‘Diin’ dengan meminang dan menikahi sang wanita yang telah menjadi tali takdir hidupnya untuk masa depan, semua peluh, lelah dan semua hasil kerjanya ia bagi dengan wanita pilihannya tadi.
Dan pada akhirnya mereka akan mengharapkan hadirnya seorang anak penyejuk mata pengisi keceriaan mereka. Dan mencurahkan kasih sayang dan perhatian bagi tumbuh kembangnya sang anak.
Namun perubahan ketiga suasana tadi perlu pembelajaran. Dari seorang yang bebas dalam berpikir dan bertindak. Mereka tak terbebani harus mengkomunikasikan pada siapa atas apa yang mereka rasakan, rasa ego pribadi yang cenderung ‘liar’. Namun tak jarang terkadang kita terbawa nuansa sifat masa bebas tadi ketika telah berkeluarga, padahal ketika seseorang telah menikah kita tidak sendiri lagi, ada orang yang tidak hanya sekedar teman hidup saja, teman tidur, orang yang mengurus kita, tapi juga menjadi mitra dalam tugas membangun bahtera di dalam sebuah ikatan suci nan sakral, kita akan membawa mereka dalam bahtera tadi sampai ke akhirat kelak.

Maka seorang Ayah harus siap batin, raga, jiwa dan kerja-kerja untuk menghidupi penghuni ‘istana’ kita, mereka-merekalah        

Resensi: Bahasa Jiwa

Mendengar kata ‘Bahasa Jiwa’, memori kita akan mengingat sebuah album nasyid Bahasa Jiwa yang beredar pada Tahun 2002 milik team nasyid Maidany dari Medan. Memang tidak salah pemikiran itu, karena buku ini adalah karya dari sang maestro Fakhrudin Amri ‘Si Jiwa’ Damanik sang personil Maidany.
Buku ini adalah buah karya yang dilahirkan oleh seorang Amri atau lebih dikenal dengan nama ‘Si Jiwa’ untuk persembahan bagi sang istri tercintanya, dalam buku ini ada banyak puisi-puisi dan esai serta kata-kata mutiara yang lahir dari goresan tangan sang penulis.
Buku yang diterbitkan atas kerjasama WSC dengan Format Publishing, adalah salah satu buku sastra. Mungkin bagi yang telah akrab dengan syair-syair Maidany tidak asing lagi dengan sosok ‘Si Jiwa’ ini, bagaimana tidak. Dia merupakan sang pencipta dari karya-karya maidany. Di dalam buku ini kita juga akan disugguhkan dengan kisah-kisah dari pernikahan mulia dua insan si Fakhruddin Amri ‘Si Jiwa’ Damanik dengan istrinya Shisca ‘Bassam’ Elliza.
Buku yang turut diapresiasi oleh sang Gubernur Sumatera Utara yang pada saat itu masih menjabat sebagai Plt. Gubernur ini sangat menginspirasi kader-kader dakwah, terlebih para kader dari Partai Keadilan Sejahtera, buku yang terbit pada tahun 2012 ini penuh dengan kata-kata puitis yang akan disuguhkan oleh sang penulis. Mungkin bisa menjadi salah satu koleksi buku sastra anda.
Dari penuturan bang Amri yang sempat smsan dengan saya buku ini telah lama ingin ia terbitkan namun terkendala dengan kesibukan beliau di Maidany, Lesat dan Kepanduan DPW PKS Sumatera Utara sehingga baru bisa diterbitkan pada Tahun 2014.   
Dari yang penulis baca dan telaah memang tidak salah kiranya kalo Bapak Gatot Pujo Nugroho, ST ‘dia orangnya sangat perasa. Walaupun dia juga dikenal sebagai guru bela diri dan orang lapangan, yang notabene terkadang kehidupannya penuh dengan nuansa yang keras’.
Buku ini memang sangat menginterprestasikan sosok sang Si Jiwa, dimana didalam buku ini juga turut dilampirkan beberapa foto seperti foto Kotak Mahar, Potongan kalimat “Bila yang Tertulis olehNya engkau yang terpilih untukku telah terbuka hati ini menyambut  cintamu, Selamat datang diseparuh nafasku, selamat datang dipertapaan hatiku”. Foto bersama istri dan ketiga anak beliau Salvinia Casilda alias Yumna, Imad Ar Ruhussyahid alias Aiman dan Rumaisha Huurun Naashita alias Rumaisha dan foto personil Maidany, Foto LESAT.
Penulis ingin mengatakan disini buku Bahasa Jiwa ini sangat “Mahal” karena ia adalah sebuah Mahar, inspiratif dan menggugah.

Mungkin penulis dalam hal ini bukan hanya memuji karya beliau, namun di sini penulis mencoba sedikit mengkritik meski bukan pengkritik sastra yang mumpuni namun ikhtiar ini penulis lakukan sebagai penyeimbang dari eloknya sebuah karya dari Si Jiwa. Dari desain cover buku ini sangat simpel namun tidak menghilangkan unsur keindahan, tapi memiliki kekurangan dari segi Lay out isi dalam dimana isi buku ini terkesan seperti hanya difoto copy di atas kerta HVS tak ada daya tarik sama sekali ditambah tanpa ada gambar ilustrasi apapun. Namun kekurangan ini agak tertutupi oleh beberapa lampiran foto yang disertakan tadi.
Terlepas dari beberapa kekurangan tadi, buku yang berisi 188 halaman ini patut kita apresiasi sebagai upaya awal untuk lebih memperkenalkan diri dari Si Jiwa, dan pada kesempatan ini penulis ingin mengatakan “saya bukan hanya menikmati dari kesemua karya-karya nasyid beliau bersama Maidany namun juga begitu terkesan dengan apa yang telah beliau tulis ini.
Salam sukses kanda, moga tetap istiqamah menginspirasi dalam syair dan karya-karya lain, semoga Buku Bahasa Jiwa nya Best Seller bang ya :D.

Judul Buku     : Bahasa Jiwa
Penulis            : Si Jiwa
Penerbit         : Format Publishing
Cetakan          : I Oktober 2014
Tebal              : XXII+188

ISBN                : 978-602-7543-10-2

Saturday, July 19, 2014

Tiada Daya, Maka Berjaya


oleh Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna. 02/07/2014
 Maha Suci Dzat yang menjadikan;
Berhina padaNya sebagai kemuliaan
Berfaqir padaNya sebagai kekayaan
Tunduk padaNya sebagai keluhuran
Dan bersandar padaNya sebagai kecukupan..

Lelaki itu pergi dengan marah.
Mari kita fahami betapa berat tugas dakwahnya di Ninawa, betapa telah habis sabarnya atas pembangkangan kaumnya. Malam dan siang, pagi dan petang; diajaknya mereka meninggalkan berhala-berhala tak bernyawa dan perbuatan-perbuatan tak bermakna. Didekatinya mereka satu-satu maupun dalam kumpulan, ketika sepi maupun di keramaian.
Tetapi hanya cemooh dan tertawaan, umpatan dan makian, serta penolakan dan pengusiran yang dia dapat. Maka dia, Yunus ibn Mata namanya, pergi dengan marah. Dia tinggalkan negerinya sembari mengancamkan ‘adzab Allah yang sebagaimana terjadi pada kaum-kaum sebelumnya, pasti turun pada kaum pendurhaka. Bukankah demikian nasib kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, dan penduduk negerinya Luth?
Tapi dia pergi karena ketaksabarannya, ketakteguhannya, dan ketaktelatenanannya. Dia pergi sebelum ada perintah Allah untuk menghentikan seruannya. Dia menyerah sebelum tiba waktunya. Maka sebagai hamba yang disayangiNya, Allah akan mendidiknya untuk sabar dengan cara lain, jika dia tak sabar dalam tugas dakwahnya. Cara itu adalah musibah.
Kita tahu ringkasnya, Yunus  yang menumpang sebuah kapal akhirnya dibuang ke samudra setelah 3 kali muncul namanya dalam undian. Kapal itu dalam badai yang bergulung mengerikan, maka ada yang berkeyakinan seseorang harus dipersembahkan pada penguasa lautan. Lagipula, ia terasa kelebihan muatan. Awalnya, sang nakhoda tak tega. Yunus tampak sebagai orang baik. Tapi namanya muncul tiga kali, seakan memang hanya dialah yang dikehendaki.
Ketetapan Allah berlaku baginya. Seekor ikan membuka mulut menyambut tubuhnya yang terjun ke air. Bahkan, menurut sebagian mufassir, ikan yang menelannya dilahap ikan yang lebih besar, lalu dengan perut berisi ia menuju ke dasar lautan. Maka jadilah Yunus berada dalam gelap, dalam gelap, dalam gelap. Kelam berlapis-lapis.
***
Di antara hikmah yang selalu melekat pada setiap musibah adalah pertanyaan, “Apa kesalahanku sehingga cobaan ini menimpa?” Selanjutnya, memang kepekaan hatilah yang menentukan jawab dan tindakan yang akan diambil. Maka berbahagialah yang segera merundukkan diri di hadapan keagungan Allah, serta berlirih-lirih mengadukan kelemahan, kesilapan, dan kehinaan.
“Allah menciptakan manusia”, demikian Dr. ‘Abdul Karim Zaidan dalam Al Mustafaad min Qashashil Quran, “Dengan menggariskan baginya bahwa berbuat keliru dan jatuh dalam kesalahan adalah perkara yang mungkin, bahkan niscaya.” Tapi dengan kasihNya, Allah juga membukakan pintu agar dosa-dosa menjadi jalan kembali dan pelarian suci, tempat bersimpuh dan sandaran berteduh, mahligai yang syahdu bagi bermesra, meminta, dan beroleh karunia.
Maka demikianlah Yunus, ‘Alaihis Salam. Di perut ikan Nun, dalam gelap yang mencekik hingga ke hati, dia menangisi kelemahannya, menekuri hari-harinya, dan mengaku telah berbuat aniaya.
La ilaha illa Anta, subhanaKa, inni kuntu minazh zhalimin. Tiada Ilah sesembahan haq selain Engkau. Maha Suci Engkau; sungguh aku termasuk orang yang berbuat aniaya.” (QS Al Anbiya’ [21]: 87)
Doa Yunus, betapa sederhana. Tapi indah dan mesra. Akrab dan hormat. Takzim dan syahdu. Demikianlah pada pinta para Nabi di dalam Al Quran, kita menemukan lafazh doa, ruh tauhid, sekaligus keindahan adab. Hari ini, ketika kita disuguhi fahaman antah berantah bahwa doa harus dirinci-rinci, dibayang-bayangkan, dan dijerih-jerihkan; seakan dengan demikian ia lebih cepat dikabulkan, mari berkaca pada doa Yunus.
Tak ada di sana pinta untuk mengeluarkannya dari perut ikan, apalagi desakan agar segera. Tak ada di sana rajuk-rajuk manja, hiba-hiba memelas, apalagi kalimat perintah yang pongah. “Doa Dzun Nun, ‘Alaihis Salam”, demikian menurut ibn Taimiyah, “Adalah di antara seagung-agung doa di dalam Al Quran.” Doa itu mengandung 2 hal saja, merunduk-runduk mengakui keagungan Allah, dan berlirih-lirih mengadukan kelemahan diri.
“Berdoalah menyeru Rabbmu dengan tadharru’ (merendahkan diri) dan khufyah (memelankan suara). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al A’raaf [7]: 55)
Maka doa Yunus, yang tidak rinci, yang tidak dibayang-bayangkan, bahkan tak tergambar apa yang dipintanya, dijawab Allah dengan limpahan karunia yang membawa kejayaan. Dia hanya mengakui ketakberdayaan dan laku aniayanya pada diri sendiri; maka Allah yang Maha Kuat, Maha Gagah, Maha Perkasa, mengulurkan pertolonganNya, pembelaanNya, dan bantuanNya.
Yunus bukan hanya dikeluarkan dari perut ikan. Dia bahkan tak perlu payah berenang, karena diantar oleh sang ikan sampai tepian. Dan tempatnya didamparkan bukanlah sembarang daratan. Imam Ibnu Katsir mengetengahkan riwayat dalam tafsirnya dari Ka’b Al Ahbar dan Ibn ‘Abbas, bahwa Yunus dibaringkan di hamparan tanah yang kemudian ditumbuhi suatu tanaman dari jenis labu.
“Kemudian Kami lemparkan Yunus ke daratan kering, sedang dia dalam keadaan sakit. Kemudian untuknya Kami tumbuhkan pohon dari jenis yaqthin.” (QS Ash Shaaffaat [37]: 145-146)
Selazimnya seseorang yang terkurung dalam gelap di kedalaman laut selama waktu yang panjang, maka Yunuspun sakit. “Keadaan beliau seumpama burung yang kehilangan seluruh bulunya”, ujar Ibn Mas’ud menafsir. Adapun menurut Ibn ‘Abbas, “Beliau bagaikan bayi yang baru dilahirkan; ringkih, tak terlindung, rumih, dan rentan.”
“Pohon yaqthin”, demikian masih menurut Ibn ‘Abbas, “Adalah qar’u, dari jenis labu yang tak disukai lalat dan serangga sehingga dia menaungi Yunus hingga terjaga.”
Ketika Yunus siuman, secara naluriah dia menggapai buah yang ada di dekatnya kemudian memakannya. Buah tanaman itu, yang mengandung air, gizi, dan zat-zat bermanfaat, amat mudah dicerna oleh tubuhnya. Khasiatnya menjalari seluruh pembuluh dan sendi, merasuki semua sumsum dan pori, memulihkan tenaga dan kesentausannya. Sakit, payah, dan terganggunya faal badan akibat berpuluh hari di dalam perut ikan dan di dasar lautan, kini pulih sehat dan bertambah afiat.
Nabi Yunuspun bugar kembali, bersemangat, dan berjanji pada Allah untuk nanti teguh, istiqamah, dan tak menyerah dalam berdakwah kepada kaumnya; apapun yang akan terjadi di hadapannya. Tetapi alangkah takjub penuh syukurnya dia. Sebab ketika kembali ke Ninawa, seluruh kaumnya justru telah beriman pada Allah. Jumlah mereka, lebih dari 100.000 orang kiranya.
Betapa berkah doa Yunus. Bukan hanya menjadi karunia keselamatan dirinya, doa itu bahkan menjadi anugrah hidayah bagi begitu banyak manusia dari kaumnya. Dakwah Yunus berjaya, tepat pada saat dia merasa dan mengaku bahwa dirinya berdosa di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Dakwah Yunus berjaya, ketika dia mengakui dirinya aniaya dan hatinya tunduk memuliakan Allah ‘Azza wa Jalla. Dakwah Yunus berjaya, ketika dia merasa tak berdaya.
Di lapis-lapis keberkahan, berjayalah hamba yang merasa tak berdaya tanpaNya. Maka Maha Suci Dzat yang menjadikan berhina padaNya sebagai kemuliaan, berfaqir kepadaNya sebagai kekayaan, tunduk padaNya sebagai keluhuran, dan bersandar padaNya sebagai kecukupan.
***
Kita menjawab panggilan adzan, ketika kita diseru untuk shalat dan dipanggil menuju kejayaan bukan dengan kepercayaan diri menggebu-gebu, bukan juga dengan keyakinan jiwa menderu-deru, bukan pula dengan rasa pasti mampu yang berseru-seru.
Hayya ‘alash shalaah.. Marilah shalat!”, ajak Muadzin. Jawab kita bukan, “Siap! Bisa! Pasti bisa! Luar Biasa!” “Hayya ‘alal falaah! Mari menuju keberhasilan, kemenangan, dan kejayaan!”, sambung muadzin. Dan jawab kita bukan pula, “Saya! Saya! Saya! Yeaaa!”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, setaqwa-taqwa manusia, setaat-taat hamba, dan sekuat-kuat pengabdi Rabbnya mengajarkan sebuah jawaban yang apa adanya tentang betapa lemahnya kita. Ungkapan paling jujur itu adalah, “La haula wa la quwwata illa billah. Tiada daya untuk menghindar dari keburukan dan tiada kekuatan untuk melaksanakan ketaatan, selain dengan pertolongan Allah, Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.”
Ketika kaki melangkah keluar dari rumah, maka tuntunan doa bagi kita ada dalam hadits shahih dari Anas ibn Malik yang terrekam dalam Sunan Abu Dawud (595) dan Sunan At Tirmidzi (3487). Bahwasanya Rasulullah bersabda,
“Jika seorang di antara kalian keluar dari rumahnya lalu mengucapkan: ‘Bismillahi Tawakkaltu ‘Alallahi La Haula Wa La Quwwata Illa Billah.. Dengan nama Allah. Aku bertawakal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan kuasa Allah’; maka pada saat itu akan dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah mendapat petunjuk, telah diberi kecukupan, dan mendapat penjagaan’, hingga syaithan-syaithan menjauh darinya. Lalu syaithan yang lainnya berkata kepada syaithan yang ingin menggodanya; ‘Bagaimana kau akan mengoda seorang laki-laki yang telah mendapat petunjuk, kecukupan, dan penjagaan?”
“Dengan asma Allah”, adalah ikrar iman kita. Tak ada tempat bagi nama selainNya, bahkanpun nama kita, dalam berangkat maupun kembali, berjalan maupun berhenti, di kala pulang maupun pergi. Hanya namaNya yang layak diagungkan di setiap tapak dan langkah, berjalan dan berkendara, hatta hingga jatuh dan bangunnya. Semua dalam nama Allah, agar kita menghadapkan wajah padaNya dengan lurus dan berserah diri.
Selanjutnya, kita menginsyafi bahwa hanya Allah-lah sandaran terkuat, terkokoh, terhebat. Bukan diri, ilmu, ataupun hal-hal yang kita daku sebagai milik yang menjadi tempat bergantung. Bukan anak maupun pasangan, bukan kerabat maupun kawan, bukan rekan ataupun atasan. “Aku bertawakkal hanya kepada Allah”, adalah ikrar kepasrahan kita. Bahwa tiap tapak yang terayun serta tiap langkah yang terpijak ini, Allah-lah yang mengatur, mengarahkan, dan menepatkannya.
Dan akhirnya, “Tiada daya untuk menghindar dari maksiat dan keburukan, serta tiada kekuatan untuk menunaikan ketaatan dan meraih kebaikan; melainkan dengan kuasa dan pertolongan Allah.” Inilah kealpaan kita yang mudah tergoda, maka hanya dari Allah pembentengannya. Inilah kerawanan kita yang dalam bahaya, maka hanya dari Allah perlindungannya. Inilah kemalasan kita yang sering tak hendak, maka hanya dari Allah semangat dan kemampuannya. Inilah kelembekan kita yang tak menjangkau, maka hanya dari Allah penggapaiannya.
Demikianlah, di lapis-lapis keberkahan, tiap helaan nafas, tiap detakan jantung, dan tiap denyutan nadi terjalani dengan asma Allah, dengan tawakkal pada Allah, dan dengan pengakuan bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali dengan karunia Allah. Sebab kita mengerti, pengakuan atas ketakberdayaan di hadapan Yang Maha Jaya adalah sumber kekuatan yang tak pernah kering, tak pernah habis, dan tak pernah berakhir.

Seorang Ayah, di Lapis Berkah

oleh Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna. 11/07/2014
Di lapis-lapis keberkahan, mari sejenak belajar dari seorang ayah, budak penggembala kambing yang bertubuh kurus, berkulit hitam, berhidung pesek, dan berkaki kecil. Tetapi manusia menggelar hamparan mereka baginya, membuka pintu mereka selebar-lebarnya, dan berdesak-desak demi menyimak kata-kata hikmahnya. Dia, Luqman ibn ‘Anqa’ ibn Sadun, yang digelari Al Hakim.
Seseorang pernah bertanya kepadanya, “Apa yang telah membuatmu mencapai kedudukan serupa ini?”
“Aku tahan pandanganku”, jawab Luqman, “Aku jaga lisanku, aku perhatikan makananku, aku pelihara kemaluanku, aku berkata jujur, aku menunaikan janji, aku hormati tamu, aku pedulikan tetanggaku, dan aku tinggalkan segala yang tak bermanfaat bagiku.”
“Dia tak diberikan anugrah berupa nasab, kehormatan, harta, atau jabatan”, ujar Abud Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu ketika menceritakan Luqman Al Hakim. “Akan tetapi dia adalah seorang yang tangguh, pendiam, pemikir, dan berpandangan mendalam. Dia tidak pernah terlihat oleh orang lain dalam keadaan tidur siang, meludah, berdahak, kencing, berak, menganggur, maupun tertawa seenaknya. Dia tak pernah mengulang kata-katanya, kecuali ucapan hikmah yang diminta penyebutannya kembali oleh orang lain.”
“Dan Kami telah mengaruniakan hikmah kepada Luqman, bahwasanya hendaklah engkau bersyukur kepada Allah. Dan barangsiapa bersyukur, maka hanyasanya dia bersyukur bagi dirinya. Dan barangsiapa mengkufuri nikmat, sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuja.” (QS Luqman [31]: 12)
“Hikmah”, tulis Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, “Yakni pengetahuan, pemahaman, dan daya untuk mengambil pelajaran.” Inilah yang menjadikan Luqman berlimpah kebijaksanaan dalam kata maupun laku. Tetapi setinggi-tinggi hikmah itu adalah kemampuan Luqman untuk bersyukur dan kepandaiannya untuk mengungkapkan terimakasih.
“Kemampuan untuk mensyukuri suatu nikmat”, ujar ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, “Adalah nikmat yang jauh lebih besar daripada nikmat yang disyukuri itu.” Dan pada Luqman, Allah mengaruniakannya hingga dia memahami hakikat kesyukuran secara mendalam. Bersyukur kepada Allah berarti mengambil maslahat, manfaat, dan tambahan nikmat yang berlipat-lipat bagi diri kita sendiri. Bersyukur kepada Allah seperti menuangkan air pada bejana yang penuh, lalu dari wadah itu tumpah ruah bagi kita minuman yang lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, lebih sejuk dari salju.
Adapun bagi yang mengkufuri Allah, adalah Dia Maha Kaya, tidak berhajat sama sekali pada para hambaNya, tidak memerlukan sama sekali ungkapan syukur mereka, dan tidak membutuhkan sama sekali balasan dari mereka. Lagi pula Dia Maha Terpuji, yang pujian padaNya dari makhluq tidaklah menambah pada kemahasempurnaanNya, yang kedurhakaan dari segenap ciptaanNya tidaklah mengurangi keagunganNya.
Maka Luqman adalah ahli syukur yang sempurna syukurnya kepada Allah. Dia mengakui segala nikmat Allah yang dianugrahkan padanya dan memujiNya atas karunia-karunia itu. Dia juga mempergunakan segala nikmat itu di jalan yang diridhai Allah. Dan dia pula berbagi atas nikmat itu kepada sesama sehingga menjadikannya kemanfaatan yang luas.
“Seseorang yang tidak pandai mensyukuri manusia”, demikian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits riwayat Imam At Tirmidzi, “Sungguh dia belum bersyukur kepada Allah.” Maka asas di dalam mendidik dan mewariskan nilai kebaikan kepada anak-anak sebakda bersyukur kepada Allah sebagai pemberi karunia adalah bersyukur kepada sang karunia, yakni diri para bocah yang manis itu.
Di lapis-lapis keberkahan, rasa syukur yang diungkapkan kepada anak-anak kita adalah bagian dari bersusun-susun rasa surga dalam serumah keluarga.
“Nak, sungguh kami benar-benar beruntung ketika Allah mengaruniakan engkau sebagai buah hati, penyejuk mata, dan pewaris bagi kami. Nak, betapa kami sangat berbahagia, sebab engkaulah karunia Allah yang akan menyempurnakan pengabdian kami sebagai hambaNya dengan mendidikmu. Nak, bukan buatan kami amat bersyukur, sebab doa-doamulah yang nanti akan menyelamatkan kami dan memuliakan di dalam surga.”
Inilah Rasulullah yang mencontohkan pada kita ungkapan syukur itu bukan hanya dalam kata-kata, melainkan juga perbuatan mesra. “Ya Rasulallah, apakah kau mencium anak-anak kecil itu dan bercanda bersama mereka?”, tanya Al Aqra’ ibn Habis, pemuka Bani Tamim ketika menghadap beliau yang sedang direriung oleh cucu-cucu Baginda.
“Mereka adalah wewangian surga, yang Allah karuniakan pada kita di dunia”, jawab beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sembari tersenyum.
“Adalah aku”, sahut Al Aqra’ ibn Habis, “Memiliki sepuluh anak. Dan tak satupun di antara mereka pernah kucium.”
“Apa dayaku jika Allah telah mencabut rahmatNya dari hatimu? Barangsiapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.”
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya dan dia sedang memberi pengajaran kepadanya, ‘Duhai anakku tersayang, janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan adalah kezhaliman yang besar.” (QS Luqman [31]: 13)
Dengarlah Luqman memanggil putranya, Tsaran ibn Luqman dengan sapaan penuh cinta, “Ya Bunayya.. Anakku tersayang.” Alangkah besar hal yang akan dia ajarkan. Betapa agung nilai yang akan dia wariskan. Yakni tauhid. Bahwa Allah adalah Rabb, Dzat  yang telah mencipta, mengaruniakan rizqi, memelihara, memiliki, dan mengatur segala urusannya. Maka mempersekutukan Dia; dalam ibadah, pengabdian, dan ketaatan adalah sebuah kezhaliman yang besar.
Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita sejak seawal-awalnya, dengan cara yang paling pantas bagi keagungan dan kemuliaanNya. Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita dari semula-mulanya, dengan kalimat yang paling layak bagi kesucian dan keluhuranNya. Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita mulai sepangkal-pangkalnya, dengan ungkapan dan permisalan yang paling sesuai bagi kesempurnaan dan kebesaranNya.
Sebab janji kehambaan seorang makhluq telah diikrarkan sejak di alam ruh, maka membisikkan tauhid ke dalam kandungan, melirihkannya pada telinga sang bayi dalam buaian, atau menyenandungkannya sebagai pengajaran adalah baik adanya.
“Dan Kami wasiatkan kepada manusia kebaikan terhadap kedua orangtuanya; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, ‘Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orangtuamu. KepadaKulah tempat kembalimu.”(QS Luqman [31]: 14)
Maha Mulia-lah Dzat yang dalam pembicaraan tentang keesaanNya dari pengajaran seorang ayah kepada putra, Dia meminta perhatian sejenak tentang hak kedua orangtua. Maha Agung-lah Dzat yang dalam penuturan tentang ketauhidanNya dari wasiat seorang bapak kepada anak, Dia mengingatkan kita tentang kebaikan yang wajib kita tanggung terhadap sosok yang telah mengandung, melahirkan, mendidik, dan menumbuhkan kita.
Sesungguhnya lisan perbuatan jauh lebih fasih daripada lisan perucapan. Maka apa yang dilihat oleh anak-anak kita akan terrekam lebih kokoh di dalam benak dan jiwa mereka dibanding semua kata-kata yang coba kita ajarkan padanya. Maka siapapun yang merindukan anak berbakti bakda ketaatannya kepada Allah, bagaimana dia memperlakukan kedua orangtua adalah cermin bagaimana kelak putra-putrinya berkhidmat kala usia telah menua.
Allah menyatukan antara kesyukuran padaNya dengan kesyukuran pada orangtua, sebab melalui ayah dan ibulah Dia mencipta kita, memelihara, mengaruniakan rizqi, serta mengatur urusan. Ayah dan ibu adalah sarana terjadinya kita, terjaganya, tercukupi keperluannya, serta tertata keadaannya. Maka Allah menganugerahkan kehormatan kepada mereka dengan doa yang indah, “Rabbighfirli wa li walidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira.
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tiada pengetahuan bagimu terhadapnya, maka janganlah kau taati keduanya. Dan persahabatilah mereka berdua di dunia dengan baik. Dan ikutilah jalan orang yang kembali bertaubat kepadaKu, kemudian hanya kepadaKulah tempat pulang kalian, maka akan Kuberitakan pada kalian apa-apa yang telah kalian kerjakan.” (QS Luqman [31]: 15)
Allah memberikan batas yang jelas tentang bakti kepada orangtua, yakni lagi-lagi tauhid itu sendiri. Tidak ada ketaatan kepada makhluq, siapapun dia, semulia apapun dia, dalam rangka bermaksiat kepada Al Khaliq. Tapi berbedanya keyakinan orangtua yang masih musyrik dengan kita yang mengesakan Allah sama sekali tak menggugurkan perlakuan yang patut dan sikap bakti yang terpuji terhadap mereka.
Jalan untuk menjadi orangtua yang mampu mendidik anaknya juga hendaknya mengikuti jalan orang-orang yang bertaubat nashuha. Sebab tak ada yang suci dari dosa selain Sang Nabi, maka sebaik-baik insan adalah yang menyesali salah, memohon ampun atasnya, memohon maaf kepada sesama, serta berbenah memperbaiki diri. Pun demikian terhadap anak-anak kita.
Banyakkan istighfar atas ucapan dan perlakuan kepada putra-putri kita. Jangan malu mengakui kekhilafan dan meminta maaf kepada mereka. Teruslah memperbaiki diri dengan ilmu dan pemahaman utuh bagaimana seharusnya menjadi seorang Ayah dan Ibu yang amanah. Sebab kelak, ketika seluruh ‘amal kita kembali tertampak, Allah pasti menanyakan segenap nikmat yang telah kita kecap, dan meminta pertanggungjawaban atas segala perbuatan. Pada hari itu, seorang anak yang tak dipenuhi hak-haknya oleh orangtua untuk mendapatkan ibunda yang baik, lingkungan yang baik, nama yang baik, serta pengajaran adab yang baik; berwenang untuk menggugat mereka.
“Duhai anakku tersayang, sungguh seandainya ada sesuatu yang seberat timbangan biji sawi tersembunyi di dalam sebuah batu, atau di lapis-lapis langit, atau di petala bumi; niscaya Allah akan mendatangkan balasannya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Tahu.” (QS Luqman [31]: 16)
Luqman melanjutkan pengajarannya dengan menjelaskan hakikat ‘amal baik dan buruk serta dasar dorongan beramal yang sejati. Ini dilakukannya sebelum memberi perintah tentang ‘amal shalih di kalimat berikutnya. Sungguh, menanamkan pada anak-anak kita bahwa Allah senantiasa ada, bersama, melihat, mendengar, mengawasi, dan mencatat perbuatan dan keadaan mereka, jauh lebih penting dibanding perintah ‘amal itu sendiri.
Sungguh memahamkan pada anak bahwa Allah-lah yang senantiasa hadir di setiap ‘amal maupun hal, bahwa Dia Maha Mengetahui segala yang tampak maupun tersembunyi, yang mereka lakukan kala ramai bersama maupun sunyi sendiri, adalah dasar terpenting sebelum memerintahkan kebajikan dan melarang dari kemunkaran. Dan bahwa Allah akan membalas semua itu dengan balasan yang setimpal dan sempurna.
Penting bagi kita untuk mengatakan pada mereka, “Nak, Ayah dan Ibu tak selalu bias bersamamu dan mengawasimu, tapi Allah senantiasa dekat dan mencatat perbuatanmu. Dia Maha Melihat dan Maha Mendengar. Jangan takut kalau kamu berlaku benar dan berbuat baik, sebab Dia akan selalu menolongmu. Jangan khawatir ketika kamu berlaku benar dan berbuat baik, sebab sekecil apapun ‘amal shalihmu, meski Ayah dan Ibu serta Gurumu tak tahu, tak dapat memuji maupun memberikan hadiah padamu; tetapi Allah selalu hadir dan balasan ganjaran dari Allah jauh lebih baik dari segala hal yang dapat diberikan oleh Ayah dan Ibu.”
“Demikian pula Nak, jika kamu berbuat keburukan atau berbohong, sekecil apapun itu, meski Ayah, Ibu, maupun Ustadzmu tak menyadarinya, sungguh Allah pasti tahu. Dialah Dzat yang tiada satu halpun lepas dari pengetahuan dan kuasaNya, hatta daun yang jatuh dan langkah seekor semut di malam gulita. Dan Allah juga pasti memberi balasan yang adil pada setiap kedurhakaan padaNya, juga atas keburukan yang kamu lakukan pada Ayah, Ibu, dan sesama manusia lainnya.”
Inilah dia pokok-pokok pengajaran; dari sejak rasa syukur, tauhid, bakti kepada orangtua, taubat, hingga pemahaman akan hakikat ‘amal di hadapan Allah. Ianya harus menjadi perhatian setiap orangtua bahkan sebelum memerintahkan ‘amal terpenting di hidup anak-anak mereka yang akan dihisab pertama kalinya, yakni shalat. Kini kita tepekur menganggukkan kepala, mengapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi arahan agar kita memerintahkan shalat kepada anak barulah ketika dia berumur tujuh, dan barulah orangtua diizinkan memberi pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak menghinakan pada umur sepuluh tahun ketika anaknya menolak shalat.
Sebab sebelum tujuh tahun, ada hal-hal jauh lebih besar yang harus lebih didahulukan untuk ditanamkan padanya.
“Duhai anakku tersayang, tegakkanlah shalat, perintahkanlah yang ma’ruf, cegahlah dari yang munkar, dan bersabarlah atas apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara-perkara yang ditekankan.” (QS Luqman [31]: 17)
“Dirikanlah shalat dengan menegakkan batas-batasnya”, tulis Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, “Menunaikan fardhu-fardhunya, serta menjaga waktu-waktunya.” Shalat yang mencegah perbuatan keji dan munkar pada diri selayaknya diikuti tindakan untuk mengajak dan menjaga manusia supaya tetap berada di dalam kebaikan dan terjauhkan dari keburukan. Shalat yang kita ajarkan pada anak-anak kita sudah selayaknya membentuk jiwa dakwah yang tangguh pada dirinya, hingga dia mampu bersabar atas segala yang menimpanya di dalam beriman, berislam, berihsan, berilmu, dan berdakwah.
“Dan janganlah engkau memalingkan muka dari manusia serta jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah engkau dalam berjalan, serta tahanlah sebagian suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (QS Luqman [31]: 18-19)
Kata “Ash Sha’r”, menurut Imam Ath Thabari asalnya bermakna penyakit yang menimpa tengkuk seekor unta sehingga kepala dan punuknya melekat dengan wajah yang terangkat ke atas lagi bergerak ke kiri dan ke kanan di kala berjalan. Luqman melarang putranya dari mengangkat wajah dan memalingkan muka semacam itu dengan rasa sombong yang berjangkit di hati.
Inilah buah dari iman, ilmu, ‘amal, dan dakwah dari seorang putra yang dididik oleh ayahnya. Ialah akhlaq yang indah kepada sesama, berpangkal dari lenyapnya rasa angkuh dalam dada sebab mengenal dirinya dan merundukkan diri karena tahu bahwa dia hanya salah satu makhluq Allah yang memiliki banyak kelemahan serta kesalahan. Inilah akhlaq itu, yakni saripati yang manis, harum, dan lembut dari buah pohon yang akarnya kokoh menghunjam, batangnya tegak menjulang, dan cecabangnya rimbun menggapai langit.
Dan akhirnya, akhlaq itu disuguhkan dalam tampilan yang paling menawan berupa terjaganya Adab dengan cara berjalan yang sopan dan patut serta cara bicara yang lembut dan santun. Inilah pengajaran sempurna dari Luqman kepada putranya, digenapi dengan panduan mengejawantahkan akhlaq menjadi adab. Akhlaq adalah nilai kokoh yang menetap dalam jiwa. Adab mengenal zaman dan tempat yang bertepatan baginya.
Inilah bersusun-susun rasa surga di serumah keluarga, teladan dari Luqman dalam mewariskan nilai-nilai kebajikan pada anaknya, di lapis-lapis keberkahan yang penuh cinta.
sepenuh cinta,

salim a. fillah

Komentar anda