Saturday, July 19, 2014

Tiada Daya, Maka Berjaya


oleh Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna. 02/07/2014
 Maha Suci Dzat yang menjadikan;
Berhina padaNya sebagai kemuliaan
Berfaqir padaNya sebagai kekayaan
Tunduk padaNya sebagai keluhuran
Dan bersandar padaNya sebagai kecukupan..

Lelaki itu pergi dengan marah.
Mari kita fahami betapa berat tugas dakwahnya di Ninawa, betapa telah habis sabarnya atas pembangkangan kaumnya. Malam dan siang, pagi dan petang; diajaknya mereka meninggalkan berhala-berhala tak bernyawa dan perbuatan-perbuatan tak bermakna. Didekatinya mereka satu-satu maupun dalam kumpulan, ketika sepi maupun di keramaian.
Tetapi hanya cemooh dan tertawaan, umpatan dan makian, serta penolakan dan pengusiran yang dia dapat. Maka dia, Yunus ibn Mata namanya, pergi dengan marah. Dia tinggalkan negerinya sembari mengancamkan ‘adzab Allah yang sebagaimana terjadi pada kaum-kaum sebelumnya, pasti turun pada kaum pendurhaka. Bukankah demikian nasib kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, dan penduduk negerinya Luth?
Tapi dia pergi karena ketaksabarannya, ketakteguhannya, dan ketaktelatenanannya. Dia pergi sebelum ada perintah Allah untuk menghentikan seruannya. Dia menyerah sebelum tiba waktunya. Maka sebagai hamba yang disayangiNya, Allah akan mendidiknya untuk sabar dengan cara lain, jika dia tak sabar dalam tugas dakwahnya. Cara itu adalah musibah.
Kita tahu ringkasnya, Yunus  yang menumpang sebuah kapal akhirnya dibuang ke samudra setelah 3 kali muncul namanya dalam undian. Kapal itu dalam badai yang bergulung mengerikan, maka ada yang berkeyakinan seseorang harus dipersembahkan pada penguasa lautan. Lagipula, ia terasa kelebihan muatan. Awalnya, sang nakhoda tak tega. Yunus tampak sebagai orang baik. Tapi namanya muncul tiga kali, seakan memang hanya dialah yang dikehendaki.
Ketetapan Allah berlaku baginya. Seekor ikan membuka mulut menyambut tubuhnya yang terjun ke air. Bahkan, menurut sebagian mufassir, ikan yang menelannya dilahap ikan yang lebih besar, lalu dengan perut berisi ia menuju ke dasar lautan. Maka jadilah Yunus berada dalam gelap, dalam gelap, dalam gelap. Kelam berlapis-lapis.
***
Di antara hikmah yang selalu melekat pada setiap musibah adalah pertanyaan, “Apa kesalahanku sehingga cobaan ini menimpa?” Selanjutnya, memang kepekaan hatilah yang menentukan jawab dan tindakan yang akan diambil. Maka berbahagialah yang segera merundukkan diri di hadapan keagungan Allah, serta berlirih-lirih mengadukan kelemahan, kesilapan, dan kehinaan.
“Allah menciptakan manusia”, demikian Dr. ‘Abdul Karim Zaidan dalam Al Mustafaad min Qashashil Quran, “Dengan menggariskan baginya bahwa berbuat keliru dan jatuh dalam kesalahan adalah perkara yang mungkin, bahkan niscaya.” Tapi dengan kasihNya, Allah juga membukakan pintu agar dosa-dosa menjadi jalan kembali dan pelarian suci, tempat bersimpuh dan sandaran berteduh, mahligai yang syahdu bagi bermesra, meminta, dan beroleh karunia.
Maka demikianlah Yunus, ‘Alaihis Salam. Di perut ikan Nun, dalam gelap yang mencekik hingga ke hati, dia menangisi kelemahannya, menekuri hari-harinya, dan mengaku telah berbuat aniaya.
La ilaha illa Anta, subhanaKa, inni kuntu minazh zhalimin. Tiada Ilah sesembahan haq selain Engkau. Maha Suci Engkau; sungguh aku termasuk orang yang berbuat aniaya.” (QS Al Anbiya’ [21]: 87)
Doa Yunus, betapa sederhana. Tapi indah dan mesra. Akrab dan hormat. Takzim dan syahdu. Demikianlah pada pinta para Nabi di dalam Al Quran, kita menemukan lafazh doa, ruh tauhid, sekaligus keindahan adab. Hari ini, ketika kita disuguhi fahaman antah berantah bahwa doa harus dirinci-rinci, dibayang-bayangkan, dan dijerih-jerihkan; seakan dengan demikian ia lebih cepat dikabulkan, mari berkaca pada doa Yunus.
Tak ada di sana pinta untuk mengeluarkannya dari perut ikan, apalagi desakan agar segera. Tak ada di sana rajuk-rajuk manja, hiba-hiba memelas, apalagi kalimat perintah yang pongah. “Doa Dzun Nun, ‘Alaihis Salam”, demikian menurut ibn Taimiyah, “Adalah di antara seagung-agung doa di dalam Al Quran.” Doa itu mengandung 2 hal saja, merunduk-runduk mengakui keagungan Allah, dan berlirih-lirih mengadukan kelemahan diri.
“Berdoalah menyeru Rabbmu dengan tadharru’ (merendahkan diri) dan khufyah (memelankan suara). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al A’raaf [7]: 55)
Maka doa Yunus, yang tidak rinci, yang tidak dibayang-bayangkan, bahkan tak tergambar apa yang dipintanya, dijawab Allah dengan limpahan karunia yang membawa kejayaan. Dia hanya mengakui ketakberdayaan dan laku aniayanya pada diri sendiri; maka Allah yang Maha Kuat, Maha Gagah, Maha Perkasa, mengulurkan pertolonganNya, pembelaanNya, dan bantuanNya.
Yunus bukan hanya dikeluarkan dari perut ikan. Dia bahkan tak perlu payah berenang, karena diantar oleh sang ikan sampai tepian. Dan tempatnya didamparkan bukanlah sembarang daratan. Imam Ibnu Katsir mengetengahkan riwayat dalam tafsirnya dari Ka’b Al Ahbar dan Ibn ‘Abbas, bahwa Yunus dibaringkan di hamparan tanah yang kemudian ditumbuhi suatu tanaman dari jenis labu.
“Kemudian Kami lemparkan Yunus ke daratan kering, sedang dia dalam keadaan sakit. Kemudian untuknya Kami tumbuhkan pohon dari jenis yaqthin.” (QS Ash Shaaffaat [37]: 145-146)
Selazimnya seseorang yang terkurung dalam gelap di kedalaman laut selama waktu yang panjang, maka Yunuspun sakit. “Keadaan beliau seumpama burung yang kehilangan seluruh bulunya”, ujar Ibn Mas’ud menafsir. Adapun menurut Ibn ‘Abbas, “Beliau bagaikan bayi yang baru dilahirkan; ringkih, tak terlindung, rumih, dan rentan.”
“Pohon yaqthin”, demikian masih menurut Ibn ‘Abbas, “Adalah qar’u, dari jenis labu yang tak disukai lalat dan serangga sehingga dia menaungi Yunus hingga terjaga.”
Ketika Yunus siuman, secara naluriah dia menggapai buah yang ada di dekatnya kemudian memakannya. Buah tanaman itu, yang mengandung air, gizi, dan zat-zat bermanfaat, amat mudah dicerna oleh tubuhnya. Khasiatnya menjalari seluruh pembuluh dan sendi, merasuki semua sumsum dan pori, memulihkan tenaga dan kesentausannya. Sakit, payah, dan terganggunya faal badan akibat berpuluh hari di dalam perut ikan dan di dasar lautan, kini pulih sehat dan bertambah afiat.
Nabi Yunuspun bugar kembali, bersemangat, dan berjanji pada Allah untuk nanti teguh, istiqamah, dan tak menyerah dalam berdakwah kepada kaumnya; apapun yang akan terjadi di hadapannya. Tetapi alangkah takjub penuh syukurnya dia. Sebab ketika kembali ke Ninawa, seluruh kaumnya justru telah beriman pada Allah. Jumlah mereka, lebih dari 100.000 orang kiranya.
Betapa berkah doa Yunus. Bukan hanya menjadi karunia keselamatan dirinya, doa itu bahkan menjadi anugrah hidayah bagi begitu banyak manusia dari kaumnya. Dakwah Yunus berjaya, tepat pada saat dia merasa dan mengaku bahwa dirinya berdosa di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Dakwah Yunus berjaya, ketika dia mengakui dirinya aniaya dan hatinya tunduk memuliakan Allah ‘Azza wa Jalla. Dakwah Yunus berjaya, ketika dia merasa tak berdaya.
Di lapis-lapis keberkahan, berjayalah hamba yang merasa tak berdaya tanpaNya. Maka Maha Suci Dzat yang menjadikan berhina padaNya sebagai kemuliaan, berfaqir kepadaNya sebagai kekayaan, tunduk padaNya sebagai keluhuran, dan bersandar padaNya sebagai kecukupan.
***
Kita menjawab panggilan adzan, ketika kita diseru untuk shalat dan dipanggil menuju kejayaan bukan dengan kepercayaan diri menggebu-gebu, bukan juga dengan keyakinan jiwa menderu-deru, bukan pula dengan rasa pasti mampu yang berseru-seru.
Hayya ‘alash shalaah.. Marilah shalat!”, ajak Muadzin. Jawab kita bukan, “Siap! Bisa! Pasti bisa! Luar Biasa!” “Hayya ‘alal falaah! Mari menuju keberhasilan, kemenangan, dan kejayaan!”, sambung muadzin. Dan jawab kita bukan pula, “Saya! Saya! Saya! Yeaaa!”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, setaqwa-taqwa manusia, setaat-taat hamba, dan sekuat-kuat pengabdi Rabbnya mengajarkan sebuah jawaban yang apa adanya tentang betapa lemahnya kita. Ungkapan paling jujur itu adalah, “La haula wa la quwwata illa billah. Tiada daya untuk menghindar dari keburukan dan tiada kekuatan untuk melaksanakan ketaatan, selain dengan pertolongan Allah, Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.”
Ketika kaki melangkah keluar dari rumah, maka tuntunan doa bagi kita ada dalam hadits shahih dari Anas ibn Malik yang terrekam dalam Sunan Abu Dawud (595) dan Sunan At Tirmidzi (3487). Bahwasanya Rasulullah bersabda,
“Jika seorang di antara kalian keluar dari rumahnya lalu mengucapkan: ‘Bismillahi Tawakkaltu ‘Alallahi La Haula Wa La Quwwata Illa Billah.. Dengan nama Allah. Aku bertawakal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan kuasa Allah’; maka pada saat itu akan dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah mendapat petunjuk, telah diberi kecukupan, dan mendapat penjagaan’, hingga syaithan-syaithan menjauh darinya. Lalu syaithan yang lainnya berkata kepada syaithan yang ingin menggodanya; ‘Bagaimana kau akan mengoda seorang laki-laki yang telah mendapat petunjuk, kecukupan, dan penjagaan?”
“Dengan asma Allah”, adalah ikrar iman kita. Tak ada tempat bagi nama selainNya, bahkanpun nama kita, dalam berangkat maupun kembali, berjalan maupun berhenti, di kala pulang maupun pergi. Hanya namaNya yang layak diagungkan di setiap tapak dan langkah, berjalan dan berkendara, hatta hingga jatuh dan bangunnya. Semua dalam nama Allah, agar kita menghadapkan wajah padaNya dengan lurus dan berserah diri.
Selanjutnya, kita menginsyafi bahwa hanya Allah-lah sandaran terkuat, terkokoh, terhebat. Bukan diri, ilmu, ataupun hal-hal yang kita daku sebagai milik yang menjadi tempat bergantung. Bukan anak maupun pasangan, bukan kerabat maupun kawan, bukan rekan ataupun atasan. “Aku bertawakkal hanya kepada Allah”, adalah ikrar kepasrahan kita. Bahwa tiap tapak yang terayun serta tiap langkah yang terpijak ini, Allah-lah yang mengatur, mengarahkan, dan menepatkannya.
Dan akhirnya, “Tiada daya untuk menghindar dari maksiat dan keburukan, serta tiada kekuatan untuk menunaikan ketaatan dan meraih kebaikan; melainkan dengan kuasa dan pertolongan Allah.” Inilah kealpaan kita yang mudah tergoda, maka hanya dari Allah pembentengannya. Inilah kerawanan kita yang dalam bahaya, maka hanya dari Allah perlindungannya. Inilah kemalasan kita yang sering tak hendak, maka hanya dari Allah semangat dan kemampuannya. Inilah kelembekan kita yang tak menjangkau, maka hanya dari Allah penggapaiannya.
Demikianlah, di lapis-lapis keberkahan, tiap helaan nafas, tiap detakan jantung, dan tiap denyutan nadi terjalani dengan asma Allah, dengan tawakkal pada Allah, dan dengan pengakuan bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali dengan karunia Allah. Sebab kita mengerti, pengakuan atas ketakberdayaan di hadapan Yang Maha Jaya adalah sumber kekuatan yang tak pernah kering, tak pernah habis, dan tak pernah berakhir.

Seorang Ayah, di Lapis Berkah

oleh Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna. 11/07/2014
Di lapis-lapis keberkahan, mari sejenak belajar dari seorang ayah, budak penggembala kambing yang bertubuh kurus, berkulit hitam, berhidung pesek, dan berkaki kecil. Tetapi manusia menggelar hamparan mereka baginya, membuka pintu mereka selebar-lebarnya, dan berdesak-desak demi menyimak kata-kata hikmahnya. Dia, Luqman ibn ‘Anqa’ ibn Sadun, yang digelari Al Hakim.
Seseorang pernah bertanya kepadanya, “Apa yang telah membuatmu mencapai kedudukan serupa ini?”
“Aku tahan pandanganku”, jawab Luqman, “Aku jaga lisanku, aku perhatikan makananku, aku pelihara kemaluanku, aku berkata jujur, aku menunaikan janji, aku hormati tamu, aku pedulikan tetanggaku, dan aku tinggalkan segala yang tak bermanfaat bagiku.”
“Dia tak diberikan anugrah berupa nasab, kehormatan, harta, atau jabatan”, ujar Abud Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu ketika menceritakan Luqman Al Hakim. “Akan tetapi dia adalah seorang yang tangguh, pendiam, pemikir, dan berpandangan mendalam. Dia tidak pernah terlihat oleh orang lain dalam keadaan tidur siang, meludah, berdahak, kencing, berak, menganggur, maupun tertawa seenaknya. Dia tak pernah mengulang kata-katanya, kecuali ucapan hikmah yang diminta penyebutannya kembali oleh orang lain.”
“Dan Kami telah mengaruniakan hikmah kepada Luqman, bahwasanya hendaklah engkau bersyukur kepada Allah. Dan barangsiapa bersyukur, maka hanyasanya dia bersyukur bagi dirinya. Dan barangsiapa mengkufuri nikmat, sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuja.” (QS Luqman [31]: 12)
“Hikmah”, tulis Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, “Yakni pengetahuan, pemahaman, dan daya untuk mengambil pelajaran.” Inilah yang menjadikan Luqman berlimpah kebijaksanaan dalam kata maupun laku. Tetapi setinggi-tinggi hikmah itu adalah kemampuan Luqman untuk bersyukur dan kepandaiannya untuk mengungkapkan terimakasih.
“Kemampuan untuk mensyukuri suatu nikmat”, ujar ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, “Adalah nikmat yang jauh lebih besar daripada nikmat yang disyukuri itu.” Dan pada Luqman, Allah mengaruniakannya hingga dia memahami hakikat kesyukuran secara mendalam. Bersyukur kepada Allah berarti mengambil maslahat, manfaat, dan tambahan nikmat yang berlipat-lipat bagi diri kita sendiri. Bersyukur kepada Allah seperti menuangkan air pada bejana yang penuh, lalu dari wadah itu tumpah ruah bagi kita minuman yang lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, lebih sejuk dari salju.
Adapun bagi yang mengkufuri Allah, adalah Dia Maha Kaya, tidak berhajat sama sekali pada para hambaNya, tidak memerlukan sama sekali ungkapan syukur mereka, dan tidak membutuhkan sama sekali balasan dari mereka. Lagi pula Dia Maha Terpuji, yang pujian padaNya dari makhluq tidaklah menambah pada kemahasempurnaanNya, yang kedurhakaan dari segenap ciptaanNya tidaklah mengurangi keagunganNya.
Maka Luqman adalah ahli syukur yang sempurna syukurnya kepada Allah. Dia mengakui segala nikmat Allah yang dianugrahkan padanya dan memujiNya atas karunia-karunia itu. Dia juga mempergunakan segala nikmat itu di jalan yang diridhai Allah. Dan dia pula berbagi atas nikmat itu kepada sesama sehingga menjadikannya kemanfaatan yang luas.
“Seseorang yang tidak pandai mensyukuri manusia”, demikian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits riwayat Imam At Tirmidzi, “Sungguh dia belum bersyukur kepada Allah.” Maka asas di dalam mendidik dan mewariskan nilai kebaikan kepada anak-anak sebakda bersyukur kepada Allah sebagai pemberi karunia adalah bersyukur kepada sang karunia, yakni diri para bocah yang manis itu.
Di lapis-lapis keberkahan, rasa syukur yang diungkapkan kepada anak-anak kita adalah bagian dari bersusun-susun rasa surga dalam serumah keluarga.
“Nak, sungguh kami benar-benar beruntung ketika Allah mengaruniakan engkau sebagai buah hati, penyejuk mata, dan pewaris bagi kami. Nak, betapa kami sangat berbahagia, sebab engkaulah karunia Allah yang akan menyempurnakan pengabdian kami sebagai hambaNya dengan mendidikmu. Nak, bukan buatan kami amat bersyukur, sebab doa-doamulah yang nanti akan menyelamatkan kami dan memuliakan di dalam surga.”
Inilah Rasulullah yang mencontohkan pada kita ungkapan syukur itu bukan hanya dalam kata-kata, melainkan juga perbuatan mesra. “Ya Rasulallah, apakah kau mencium anak-anak kecil itu dan bercanda bersama mereka?”, tanya Al Aqra’ ibn Habis, pemuka Bani Tamim ketika menghadap beliau yang sedang direriung oleh cucu-cucu Baginda.
“Mereka adalah wewangian surga, yang Allah karuniakan pada kita di dunia”, jawab beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sembari tersenyum.
“Adalah aku”, sahut Al Aqra’ ibn Habis, “Memiliki sepuluh anak. Dan tak satupun di antara mereka pernah kucium.”
“Apa dayaku jika Allah telah mencabut rahmatNya dari hatimu? Barangsiapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.”
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya dan dia sedang memberi pengajaran kepadanya, ‘Duhai anakku tersayang, janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan adalah kezhaliman yang besar.” (QS Luqman [31]: 13)
Dengarlah Luqman memanggil putranya, Tsaran ibn Luqman dengan sapaan penuh cinta, “Ya Bunayya.. Anakku tersayang.” Alangkah besar hal yang akan dia ajarkan. Betapa agung nilai yang akan dia wariskan. Yakni tauhid. Bahwa Allah adalah Rabb, Dzat  yang telah mencipta, mengaruniakan rizqi, memelihara, memiliki, dan mengatur segala urusannya. Maka mempersekutukan Dia; dalam ibadah, pengabdian, dan ketaatan adalah sebuah kezhaliman yang besar.
Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita sejak seawal-awalnya, dengan cara yang paling pantas bagi keagungan dan kemuliaanNya. Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita dari semula-mulanya, dengan kalimat yang paling layak bagi kesucian dan keluhuranNya. Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita mulai sepangkal-pangkalnya, dengan ungkapan dan permisalan yang paling sesuai bagi kesempurnaan dan kebesaranNya.
Sebab janji kehambaan seorang makhluq telah diikrarkan sejak di alam ruh, maka membisikkan tauhid ke dalam kandungan, melirihkannya pada telinga sang bayi dalam buaian, atau menyenandungkannya sebagai pengajaran adalah baik adanya.
“Dan Kami wasiatkan kepada manusia kebaikan terhadap kedua orangtuanya; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, ‘Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orangtuamu. KepadaKulah tempat kembalimu.”(QS Luqman [31]: 14)
Maha Mulia-lah Dzat yang dalam pembicaraan tentang keesaanNya dari pengajaran seorang ayah kepada putra, Dia meminta perhatian sejenak tentang hak kedua orangtua. Maha Agung-lah Dzat yang dalam penuturan tentang ketauhidanNya dari wasiat seorang bapak kepada anak, Dia mengingatkan kita tentang kebaikan yang wajib kita tanggung terhadap sosok yang telah mengandung, melahirkan, mendidik, dan menumbuhkan kita.
Sesungguhnya lisan perbuatan jauh lebih fasih daripada lisan perucapan. Maka apa yang dilihat oleh anak-anak kita akan terrekam lebih kokoh di dalam benak dan jiwa mereka dibanding semua kata-kata yang coba kita ajarkan padanya. Maka siapapun yang merindukan anak berbakti bakda ketaatannya kepada Allah, bagaimana dia memperlakukan kedua orangtua adalah cermin bagaimana kelak putra-putrinya berkhidmat kala usia telah menua.
Allah menyatukan antara kesyukuran padaNya dengan kesyukuran pada orangtua, sebab melalui ayah dan ibulah Dia mencipta kita, memelihara, mengaruniakan rizqi, serta mengatur urusan. Ayah dan ibu adalah sarana terjadinya kita, terjaganya, tercukupi keperluannya, serta tertata keadaannya. Maka Allah menganugerahkan kehormatan kepada mereka dengan doa yang indah, “Rabbighfirli wa li walidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira.
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tiada pengetahuan bagimu terhadapnya, maka janganlah kau taati keduanya. Dan persahabatilah mereka berdua di dunia dengan baik. Dan ikutilah jalan orang yang kembali bertaubat kepadaKu, kemudian hanya kepadaKulah tempat pulang kalian, maka akan Kuberitakan pada kalian apa-apa yang telah kalian kerjakan.” (QS Luqman [31]: 15)
Allah memberikan batas yang jelas tentang bakti kepada orangtua, yakni lagi-lagi tauhid itu sendiri. Tidak ada ketaatan kepada makhluq, siapapun dia, semulia apapun dia, dalam rangka bermaksiat kepada Al Khaliq. Tapi berbedanya keyakinan orangtua yang masih musyrik dengan kita yang mengesakan Allah sama sekali tak menggugurkan perlakuan yang patut dan sikap bakti yang terpuji terhadap mereka.
Jalan untuk menjadi orangtua yang mampu mendidik anaknya juga hendaknya mengikuti jalan orang-orang yang bertaubat nashuha. Sebab tak ada yang suci dari dosa selain Sang Nabi, maka sebaik-baik insan adalah yang menyesali salah, memohon ampun atasnya, memohon maaf kepada sesama, serta berbenah memperbaiki diri. Pun demikian terhadap anak-anak kita.
Banyakkan istighfar atas ucapan dan perlakuan kepada putra-putri kita. Jangan malu mengakui kekhilafan dan meminta maaf kepada mereka. Teruslah memperbaiki diri dengan ilmu dan pemahaman utuh bagaimana seharusnya menjadi seorang Ayah dan Ibu yang amanah. Sebab kelak, ketika seluruh ‘amal kita kembali tertampak, Allah pasti menanyakan segenap nikmat yang telah kita kecap, dan meminta pertanggungjawaban atas segala perbuatan. Pada hari itu, seorang anak yang tak dipenuhi hak-haknya oleh orangtua untuk mendapatkan ibunda yang baik, lingkungan yang baik, nama yang baik, serta pengajaran adab yang baik; berwenang untuk menggugat mereka.
“Duhai anakku tersayang, sungguh seandainya ada sesuatu yang seberat timbangan biji sawi tersembunyi di dalam sebuah batu, atau di lapis-lapis langit, atau di petala bumi; niscaya Allah akan mendatangkan balasannya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Tahu.” (QS Luqman [31]: 16)
Luqman melanjutkan pengajarannya dengan menjelaskan hakikat ‘amal baik dan buruk serta dasar dorongan beramal yang sejati. Ini dilakukannya sebelum memberi perintah tentang ‘amal shalih di kalimat berikutnya. Sungguh, menanamkan pada anak-anak kita bahwa Allah senantiasa ada, bersama, melihat, mendengar, mengawasi, dan mencatat perbuatan dan keadaan mereka, jauh lebih penting dibanding perintah ‘amal itu sendiri.
Sungguh memahamkan pada anak bahwa Allah-lah yang senantiasa hadir di setiap ‘amal maupun hal, bahwa Dia Maha Mengetahui segala yang tampak maupun tersembunyi, yang mereka lakukan kala ramai bersama maupun sunyi sendiri, adalah dasar terpenting sebelum memerintahkan kebajikan dan melarang dari kemunkaran. Dan bahwa Allah akan membalas semua itu dengan balasan yang setimpal dan sempurna.
Penting bagi kita untuk mengatakan pada mereka, “Nak, Ayah dan Ibu tak selalu bias bersamamu dan mengawasimu, tapi Allah senantiasa dekat dan mencatat perbuatanmu. Dia Maha Melihat dan Maha Mendengar. Jangan takut kalau kamu berlaku benar dan berbuat baik, sebab Dia akan selalu menolongmu. Jangan khawatir ketika kamu berlaku benar dan berbuat baik, sebab sekecil apapun ‘amal shalihmu, meski Ayah dan Ibu serta Gurumu tak tahu, tak dapat memuji maupun memberikan hadiah padamu; tetapi Allah selalu hadir dan balasan ganjaran dari Allah jauh lebih baik dari segala hal yang dapat diberikan oleh Ayah dan Ibu.”
“Demikian pula Nak, jika kamu berbuat keburukan atau berbohong, sekecil apapun itu, meski Ayah, Ibu, maupun Ustadzmu tak menyadarinya, sungguh Allah pasti tahu. Dialah Dzat yang tiada satu halpun lepas dari pengetahuan dan kuasaNya, hatta daun yang jatuh dan langkah seekor semut di malam gulita. Dan Allah juga pasti memberi balasan yang adil pada setiap kedurhakaan padaNya, juga atas keburukan yang kamu lakukan pada Ayah, Ibu, dan sesama manusia lainnya.”
Inilah dia pokok-pokok pengajaran; dari sejak rasa syukur, tauhid, bakti kepada orangtua, taubat, hingga pemahaman akan hakikat ‘amal di hadapan Allah. Ianya harus menjadi perhatian setiap orangtua bahkan sebelum memerintahkan ‘amal terpenting di hidup anak-anak mereka yang akan dihisab pertama kalinya, yakni shalat. Kini kita tepekur menganggukkan kepala, mengapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi arahan agar kita memerintahkan shalat kepada anak barulah ketika dia berumur tujuh, dan barulah orangtua diizinkan memberi pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak menghinakan pada umur sepuluh tahun ketika anaknya menolak shalat.
Sebab sebelum tujuh tahun, ada hal-hal jauh lebih besar yang harus lebih didahulukan untuk ditanamkan padanya.
“Duhai anakku tersayang, tegakkanlah shalat, perintahkanlah yang ma’ruf, cegahlah dari yang munkar, dan bersabarlah atas apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara-perkara yang ditekankan.” (QS Luqman [31]: 17)
“Dirikanlah shalat dengan menegakkan batas-batasnya”, tulis Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, “Menunaikan fardhu-fardhunya, serta menjaga waktu-waktunya.” Shalat yang mencegah perbuatan keji dan munkar pada diri selayaknya diikuti tindakan untuk mengajak dan menjaga manusia supaya tetap berada di dalam kebaikan dan terjauhkan dari keburukan. Shalat yang kita ajarkan pada anak-anak kita sudah selayaknya membentuk jiwa dakwah yang tangguh pada dirinya, hingga dia mampu bersabar atas segala yang menimpanya di dalam beriman, berislam, berihsan, berilmu, dan berdakwah.
“Dan janganlah engkau memalingkan muka dari manusia serta jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah engkau dalam berjalan, serta tahanlah sebagian suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (QS Luqman [31]: 18-19)
Kata “Ash Sha’r”, menurut Imam Ath Thabari asalnya bermakna penyakit yang menimpa tengkuk seekor unta sehingga kepala dan punuknya melekat dengan wajah yang terangkat ke atas lagi bergerak ke kiri dan ke kanan di kala berjalan. Luqman melarang putranya dari mengangkat wajah dan memalingkan muka semacam itu dengan rasa sombong yang berjangkit di hati.
Inilah buah dari iman, ilmu, ‘amal, dan dakwah dari seorang putra yang dididik oleh ayahnya. Ialah akhlaq yang indah kepada sesama, berpangkal dari lenyapnya rasa angkuh dalam dada sebab mengenal dirinya dan merundukkan diri karena tahu bahwa dia hanya salah satu makhluq Allah yang memiliki banyak kelemahan serta kesalahan. Inilah akhlaq itu, yakni saripati yang manis, harum, dan lembut dari buah pohon yang akarnya kokoh menghunjam, batangnya tegak menjulang, dan cecabangnya rimbun menggapai langit.
Dan akhirnya, akhlaq itu disuguhkan dalam tampilan yang paling menawan berupa terjaganya Adab dengan cara berjalan yang sopan dan patut serta cara bicara yang lembut dan santun. Inilah pengajaran sempurna dari Luqman kepada putranya, digenapi dengan panduan mengejawantahkan akhlaq menjadi adab. Akhlaq adalah nilai kokoh yang menetap dalam jiwa. Adab mengenal zaman dan tempat yang bertepatan baginya.
Inilah bersusun-susun rasa surga di serumah keluarga, teladan dari Luqman dalam mewariskan nilai-nilai kebajikan pada anaknya, di lapis-lapis keberkahan yang penuh cinta.
sepenuh cinta,

salim a. fillah

Cicak di Dinding dan Keyakinan Utuh

oleh Salim A. Fillah dalam Inspirasi, Rajutan Makna. 20/06/2014
Barangsiapa memperbagus hal-hal tersembunyinya, niscaya Allah jelitakan apa yang tampak dari dirinya. 
Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, niscaya Allah baikkan hubungannya dengan sesama.
Barangsiapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Allah yang kan mencukupinya dalam perkara dunia.
-‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz-
Seandainya kita adalah seekor cicak, mungkin sudah sejak dulu kita berteriak, “Ya Allah, Kau salah rancang dan keliru cetak!”
Sebab cicak adalah binatang dengan kemampuan terbatas. Dia hanya bisa merayap meniti dinding. Langkahnya cermat. Jalannya hati-hati. Sedang semua yang ditakdirkan sebagai makanannya, memiliki sayap dan mampu terbang ke mana-mana. Andai dia berfikir sebagai manusia, betapa nelangsanya. “Ya Allah”, mungkin begitu dia mengadu, “Bagaimana hamba dapat hidup jika begini caranya? Lamban saya bergerak dengan tetap harus memijak, sedang nyamuk yang lezat itu melayang di atas, cepat melintas, dan ke manapun bebas.” Betapa sedih dan sesak menjadi seekor cicak.
Tapi mari ingat sejenak bahwa ketika kecil dulu, orang tua dan guru-guru mengajak kita mendendang lagu tentang hakikat rizqi. Lagu itu berjudul, ‘Cicak-cicak di Dinding’.
Bahwa tugas cicak memang hanya berikhtiar sejauh kemampuan. Karena soal rizqi, Allah lah yang memberi jaminan. Maka kewajiban cicak hanya diam-diam merayap. Bukan cicak yang harus datang menerjang. Bukan cicak yang harus mencari dengan garang. Bukan cicak yang harus mengejar dengan terbang.
“Datang seekor nyamuk.”
Allah Yang Maha Mencipta, tiada cacat dalam penciptaanNya. Allah Yang Maha Kaya, atasNya tanggungan hidup untuk semua yang telah dijadikanNya. Allah Yang Maha Memberi Rizqi, sungguh lenyapnya seisi langit dan bumi tak mengurangi kekayaanNya sama sekali. Allah Yang Maha Adil, takkan mungkin Dia bebani hambaNya melampaui kesanggupannya. Allah Yang Maha Pemurah, maka Dia jadikan jalan karunia bagi makhluqNya amatlah mudah.
“Datang seekor nyamuk.”
Allah yang mendatangkan rizqi itu. Betapa dibanding ikhtiyar cicak yang diam-diam merayap, perjalanan nyamuk untuk mendatangi sang cicak sungguh lebih jauh, lebih berliku, dan lebih dahsyat. Jarak dan waktu memisahkan keduanya, dan Allah dekatkan sedekat-dekatnya. Bebas si nyamuk terbang ke mana jua, tapi Allah bimbing ia supaya menuju pada sang cicak yang melangkah bersahaja. Ia tertakdir dengan bahagia, menjadi rizqi bagi sesama makhluqNya, sesudah juga menikmati rizqi selama waktu yang ditentukanNya.
“Dan tiada dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan Allah lah rizqinya. Dia Maha Mengetahui di mana tempat berdiam dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuzh yang nyata.” (QS Huud [11]: 6)
Daabbah”, demikian menurut sebagian Mufassir, “Adalah kata untuk mewakili binatang-binatang yang hina bersebab rendahnya sifat mereka, terbelakang cara bergeraknya, kotor keadaannya, liar hidupnya, dan bahkan bahaya dapat ditimbulkannya.” Allah menyebut daabbah di ayat ini, seakan-akan untuk menegaskan; jika binatang-binatang rendahan, terbelakang, kotor, liar, dan berbahaya saja Dia jamin rizqinya, apatah lagi manusia.
***
“Sesungguhnya rizqi memburu hamba”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana dicatat oleh Imam Ath Thabrani, “Lebih banyak dari kejaran ajal terhadapnya.”
Ini kisah sebutir garam. Titah Ar Rahman kepadanya adalah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah seorang hamba hina bernama Salim, yang tinggal di Yogyakarta. Betapa jauh baginya, sebab ia masih terjebak di dalam ombak, di Laut Jawa yang bergolak.
Setelah terombang-ambing bersama penantian yang panjang, angin musim bergerak ke timur, menggesernya pelan-pelan menuju pesisir Madura. Dan petani-petani garam di Bangkalan, membelokkan arus air ke tambak-tambak mereka. Betapa bersyukur sebutir garam itu saat ia mengalir bersama air memasuki lahan penguapan. Penunaian tugasnya kian dekat.
Tiap kali terik mentari menyinari, giat para petambak itu menggaru ke sana kemari, agar bebutir yang jutaan jumlahnya kian kering dan mengkristal. Sebutir garam yang kita tokohkan dalam cerita ini, harap-harap cemas semoga ia beruntung dimasukkan ke dalam karung goni. Sebab sungguh, ada bebutir yang memang tugasnya berakhir di sini. Tertepikan bersama becekan lumpur di sudut-sudut ladang garam.
Dan dia terpilih, terbawa oleh para pengangkut ke pabrik pemurnian di Pamekasan. Sebakda melalui serangkaian pembasuhan dan pengisian zat-zat yang konon mendukung kesehatan, dia dikemas rapi, digudangkan untuk menunggu pengepakan dan pengiriman. Betapa masih panjang jalannya, betapa masih lama berjumpa dengan sosok yang ia dijatahkan sebagai rizqi baginya.
Ringkasnya, setelah berbulan, ia malang melintang menuju Jakarta, lalu Semarang, sebelum akhirnya tiba di Yogyakarta. Dari pasar induknya, terlempar ia ke pasar kota, baru diambil pedagang pasar kecamatan akhirnya. Lalu terkulaklah ia oleh pemilik warung kecil, yang rumahnya sebelah-menyebelah dengan makhluq yang ditujunya. Kian dekat, makin rapat.
Ketika seorang wanita, istri dari lelaki yang akan ia tuju dalam amanah yang diembannya, membeli dan menentengnya pulang, betapa haru rasanya. Masuklah ia ke dalam masakan lezatnya, berenang dan melarutkan dirinya. Lalu terdengar suara, “Sayang, silakan sarapan. Masakannya sudah siap.” Dan lelaki itu, bergerak pelan dari kamarnya, menjemputnya dengan sebuah suapan yang didahului doa.
Segala puji bagi Allah, yang memberi titah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah. Segala puji bagi Allah, yang mengatur perjumpaannya dengan makhluq ini sesudah perjalanan yang tak henti-henti. Segala puji bagi Allah, yang menyambutkan doa bagi tunainya tugas yang diembannya.
***
Betapa jarang kita mentafakkuri rizqi. Seakan semua yang kita terima setiap hari adalah hak diri yang tak boleh dikurangi. Seakan semua yang kita nikmati setiap hari adalah jatah rutin yang murni dan tak boleh berhenti. Seakan semua yang kita asup setiap hari adalah memang begitulah adanya lagi tak boleh diganggu gugat.
Padahal, hatta sebutir garampun adalah rizqi Allah yang menuntut disyukuri.
Hatta sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan, untuk menemui pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang makan. Betapa kecil upaya kita, dibandingkan cara Allah mengirimkan rizqiNya. Kita baru merenungkan sebutir garam, bagaimanakah bebijian, sayur, ikan, dan buahnya? Bagaimanakah katun, wol, dan sutranya? Bagaimanakah batu, kayu, pasir, dan gentingnya? Bagaimanakah besi, kaca, dan karet rodanya?
Maka seorang ‘Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya yang amat bersahaja, “Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari Gaza, dan air Sungai Yordan. Betapa hamba adalah makhluqMu yang paling kaya wahai Rabbana!”
Dia mengingatkan kita pada sabda Rasulullah. “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya bebarang harta”, demikian yang direkam Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, “Kekayaan sesungguhnya adalah kayanya jiwa.”
Akhirnya, mari kita dengarkan sang Hujjatul Islam. “Boleh jadi kau tak tahu di mana rizqimu”, demikian Imam Al Ghazali berpesan, “Tetapi rizqimu tahu di manakah engkau. Jika ia ada di langit, Allah akan memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Allah akan menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Allah akan menitahkannya timbul untuk menemuimu.”
Di lapis-lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan, bahwa Allah Yang Mencipta, menjamin rizqi bagi ciptaanNya.
***
Ada dua cara Allah mengaruniakan rizqi dalam dua keadaan yang dialami oleh Maryam binti ‘Imran, salah satu wanita termulia sepanjang zaman.
Kita mengenang, betapa agung nadzar istri ‘Imran untuk menjadikan buah hati yang dikandungnya sebagai pengkhidmah di Baitul Maqdis. Yang dia bayangkan adalah seorang anak lelaki yang akan menjadi imam ibadah di Al Quds, pengurai Taurat yang fasih, dan pembimbing ummat yang penuh teladan. Tetapi Allah yang Maha Berkehendak mengaruniakan anak perempuan.
“Maka Rabbnya menerima nadzar keluarga ‘Imran dengan penerimaan yang baik. Allah tumbuhkan dan didik Maryam dengan pengasuhan yang bagus, dan Allah jadikan Zakaria sebagai penanggungjawab pemeliharaannya. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di dalam mihrab, dia dapati ada rizqi di sisinya. Berkatalah dia, “Hai Maryam, dari manakah kaudapatkan ini?” Maryam menjawab, “Ia dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah mengaruniakan rizqi pada siapapun yang dikehendakiNya tanpa hisab.” (QS Ali ‘Imran [3]: 37)
Betapa jua, Allah Yang Maha Tahu tetap menerima nadzar itu. Maka sang Bunda membawa bayi Maryam ke Baitul Maqdis di mana para pemuka Bani Israil, Ahbar, dan para Rahib berkumpul, berharap untuk mendapatkan hak asuh atas Maryam yang yatim. Ketika mereka melemparkan pena-pena dalam undian, Allah mengamanahkan Maryam pada Zakaria.
Maryam tumbuh di lingkungan yang baik, dengan ta’dib yang baik, dibimbing insan terbaik. Jadilah dia seorang ahli ‘ibadah di Mihrab Baitul Maqdis, menjaga kesuciannya, mengkhidmahkan diri untuk rumah Allah. Dengan keyakinan utuh akan kuasa dan kemurahan Rabbnya, bahkan seorang Nabi tertakjub-takjub melihat limpahan anugerah Allah bagi gadis suci ini.
Tapi setiap insan diuji Allah dengan karunia terkait apa yang paling dijunjung tinggi oleh jiwanya. Pun juga Maryam yang begitu taat beribadah, yang lahir batin menjaga kebersihan dirinya, yang kudus dalam hati, fikiran, serta perbuatannya. Allah memilihnya untuk mengandung bayi ajaib, yang tercipta tanpa Ayah, yang menghuni rahimnya tanpa dia terlebih dulu disentuh seorang pria.
Karunia mengandung ujian, dan ujian mengandung karunia. Demikianlah hakikatnya.
Inilah dia di hari itu, berada di tempat yang jauh ke timur, sekira 8 mil dari Mihrabnya di Baitul Maqdis. “Dapatlah kita merasakan”, demikian ditulis Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar, “Bahwa hidup Maryam ketika itu memang tersisih jauh dari kaum keluarga. Kegelisahan diri karena terpaan sakit dan kejang yang bertubi datang sebagaimana lazimnya wanita yang akan melahirkan menyebabkan dia mencari tempat yang sunyi dan teduh.”
“Maka rasa sakit menjelang persalinan memaksanya bersandar pada pangkal pohon kurma. Dia berkata, “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tak berarti, lagi dilupakan.” (QS Maryam [20]: 23)
Di bawah naungan pohon itu, perasaannya mengawang, fikirannya melayang. Bahwa anak itu akan lahir, tapi tiada ayah baginya. “Adapun Maryam sendiri percaya bahwa ini adalah kehendak Allah”, lanjut Buya Hamka, “Tetapi apakah kaumnya akan percaya? Siapa pula yang akan percaya? Sepanjang zaman, belum pernah ada perawan yang hamil serta beranak tanpa ada lelaki yang menjadi bapak.”
Maka terlontarlah kalimat yang menyiratkan sesalan atas ketetapan Allah itu, bersebab rasa berat yang menekan-nekan hati dan menyesakkan dadanya. “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini”, seru Maryam. Yakni sebelum dirinya hamil dengan cara ganjil yang sukar dijelaskan pada kaum Bani Israil yang sebagiannya suka usil.
“Dan aku menjadi barang yang tak berarti lagi dilupakan”, lanjut keluhan Maryam. Sungguh Maryam berharap tidak ada insan yang tahu, tidak ada siapapun yang mengenal, dan tidak sampai menjadi buah mulut orang-orang. “Memang”, jelas Buya Hamka, “Jikalau pencobaan telah memuncak sedemikian rupa, datang saat manusia merasa lebih baik mati saja.”
Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.
“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, “Janganlah engkau bersedih hati. Sesungguhnya Rabbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu. Niscaya ia akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS Maryam [20]: 24-25)
Yang pernah bertamu pada Allah dan menjenguk Rasulullah, pastinya telah melihat pohon kurma. Kokoh, gagah, tinggi, dan berruas-ruas sisa tandan di bagian bawahnya. Di Madinah Al Munawwarah, kami pernah mencoba menggoyangkannya, dan batang itu tak bergeming sedikitpun juga. Maka bayangkanlah perempuan yang lemah berdarah-darah setelah melahirkan, serta berada dalam perasaan tak karuan, yang terharuskan mengguncangnya agar buah ranumnya jatuh ke bumi.
Inilah ikhtiyar. Bagi Maryam, ia berat dan sukar.
Tapi iman memanglah yang utama, mentaati Allah harus jadi yang mula-mula. Maka dengan kemurahan dan kasihNya, saat Maryam menghabiskan seluruh sisa tenaganya untuk menggerakkan pangkal pokok yang besar itu, satu demi satu, ruthab pun lepas dari tangkainya.
Sebagian ‘ulama menyatakan, tak sebagaimana ketika dia berada di Mihrab dengan iman yang berseri-seri dan ibadah yang terjaga sekali, ucapan Maryam yang menyesali diri menunjukkan ketaksempurnaan penerimaannya akan ketetapan Allah. Hal itulah yang membuatnya tak mendapat rizqi yang langsung tersaji dari langit, namun harus mengupayakannya dengan meengguncang pokok kurma agar kurma basah di atas sana jatuh ke arahnya.
Allah menjamin rizqi Maryam dalam dua keadaan dengan dua cara penganugrahan. Lalu kita tahu, di lapis-lapis keberkahan, keyakinan yang tak lagi utuh, menambahkan peluh pada jalan ikhtiyar yang harus kita tempuh.


Komentar anda