oleh Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna. 02/07/2014
Maha Suci Dzat yang menjadikan;
Berhina padaNya sebagai kemuliaan
Berfaqir padaNya sebagai kekayaan
Tunduk padaNya sebagai keluhuran
Dan bersandar padaNya sebagai kecukupan..
Lelaki itu pergi dengan marah.
Mari kita fahami betapa berat tugas dakwahnya di Ninawa, betapa telah habis
sabarnya atas pembangkangan kaumnya. Malam dan siang, pagi dan petang;
diajaknya mereka meninggalkan berhala-berhala tak bernyawa dan
perbuatan-perbuatan tak bermakna. Didekatinya mereka satu-satu maupun dalam
kumpulan, ketika sepi maupun di keramaian.
Tetapi hanya cemooh dan tertawaan, umpatan dan makian, serta penolakan dan
pengusiran yang dia dapat. Maka dia, Yunus ibn Mata namanya, pergi dengan
marah. Dia tinggalkan negerinya sembari mengancamkan ‘adzab Allah yang
sebagaimana terjadi pada kaum-kaum sebelumnya, pasti turun pada kaum
pendurhaka. Bukankah demikian nasib kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, dan penduduk
negerinya Luth?
Tapi dia pergi karena ketaksabarannya, ketakteguhannya, dan
ketaktelatenanannya. Dia pergi sebelum ada perintah Allah untuk menghentikan
seruannya. Dia menyerah sebelum tiba waktunya. Maka sebagai hamba yang
disayangiNya, Allah akan mendidiknya untuk sabar dengan cara lain, jika dia tak
sabar dalam tugas dakwahnya. Cara itu adalah musibah.
Kita tahu ringkasnya, Yunus yang menumpang sebuah kapal akhirnya
dibuang ke samudra setelah 3 kali muncul namanya dalam undian. Kapal itu dalam
badai yang bergulung mengerikan, maka ada yang berkeyakinan seseorang harus
dipersembahkan pada penguasa lautan. Lagipula, ia terasa kelebihan muatan.
Awalnya, sang nakhoda tak tega. Yunus tampak sebagai orang baik. Tapi namanya
muncul tiga kali, seakan memang hanya dialah yang dikehendaki.
Ketetapan Allah berlaku baginya. Seekor ikan membuka mulut menyambut
tubuhnya yang terjun ke air. Bahkan, menurut sebagian mufassir, ikan yang
menelannya dilahap ikan yang lebih besar, lalu dengan perut berisi ia menuju ke
dasar lautan. Maka jadilah Yunus berada dalam gelap, dalam gelap, dalam gelap.
Kelam berlapis-lapis.
***
Di antara hikmah yang selalu melekat pada setiap musibah adalah pertanyaan,
“Apa kesalahanku sehingga cobaan ini menimpa?” Selanjutnya, memang kepekaan
hatilah yang menentukan jawab dan tindakan yang akan diambil. Maka
berbahagialah yang segera merundukkan diri di hadapan keagungan Allah, serta
berlirih-lirih mengadukan kelemahan, kesilapan, dan kehinaan.
“Allah menciptakan manusia”, demikian
Dr. ‘Abdul Karim Zaidan dalam Al Mustafaad min Qashashil Quran, “Dengan menggariskan
baginya bahwa berbuat keliru dan jatuh dalam kesalahan adalah perkara yang
mungkin, bahkan niscaya.” Tapi dengan kasihNya, Allah juga membukakan pintu
agar dosa-dosa menjadi jalan kembali dan pelarian suci, tempat bersimpuh dan
sandaran berteduh, mahligai yang syahdu bagi bermesra, meminta, dan beroleh
karunia.
Maka demikianlah Yunus, ‘Alaihis Salam. Di perut ikan Nun, dalam gelap yang mencekik hingga ke hati, dia
menangisi kelemahannya, menekuri hari-harinya, dan mengaku telah berbuat
aniaya.
“La ilaha illa Anta, subhanaKa, inni
kuntu minazh zhalimin. Tiada Ilah sesembahan haq selain Engkau. Maha Suci
Engkau; sungguh aku termasuk orang yang berbuat aniaya.” (QS Al Anbiya’ [21]: 87)
Doa Yunus, betapa sederhana. Tapi indah dan mesra. Akrab dan hormat. Takzim
dan syahdu. Demikianlah pada pinta para Nabi di dalam Al Quran, kita menemukan
lafazh doa, ruh tauhid, sekaligus keindahan adab. Hari ini, ketika kita
disuguhi fahaman antah berantah bahwa doa harus dirinci-rinci,
dibayang-bayangkan, dan dijerih-jerihkan; seakan dengan demikian ia lebih cepat
dikabulkan, mari berkaca pada doa Yunus.
Tak ada di sana pinta untuk
mengeluarkannya dari perut ikan, apalagi desakan agar segera. Tak ada di sana
rajuk-rajuk manja, hiba-hiba memelas, apalagi kalimat perintah yang pongah.
“Doa Dzun Nun, ‘Alaihis Salam”, demikian menurut
ibn Taimiyah, “Adalah di antara seagung-agung doa di dalam Al Quran.” Doa itu
mengandung 2 hal saja, merunduk-runduk mengakui keagungan Allah, dan
berlirih-lirih mengadukan kelemahan diri.
“Berdoalah menyeru Rabbmu dengan
tadharru’ (merendahkan diri) dan khufyah (memelankan suara). Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al A’raaf [7]: 55)
Maka doa Yunus, yang tidak rinci, yang tidak dibayang-bayangkan, bahkan tak
tergambar apa yang dipintanya, dijawab Allah dengan limpahan karunia yang
membawa kejayaan. Dia hanya mengakui ketakberdayaan dan laku aniayanya pada
diri sendiri; maka Allah yang Maha Kuat, Maha Gagah, Maha Perkasa, mengulurkan
pertolonganNya, pembelaanNya, dan bantuanNya.
Yunus bukan hanya dikeluarkan dari perut ikan. Dia bahkan tak perlu payah
berenang, karena diantar oleh sang ikan sampai tepian. Dan tempatnya
didamparkan bukanlah sembarang daratan. Imam Ibnu Katsir mengetengahkan riwayat
dalam tafsirnya dari Ka’b Al Ahbar dan Ibn ‘Abbas, bahwa Yunus dibaringkan di
hamparan tanah yang kemudian ditumbuhi suatu tanaman dari jenis labu.
“Kemudian Kami lemparkan Yunus ke
daratan kering, sedang dia dalam keadaan sakit. Kemudian untuknya Kami
tumbuhkan pohon dari jenis yaqthin.” (QS Ash Shaaffaat
[37]: 145-146)
Selazimnya seseorang yang terkurung dalam gelap di kedalaman laut selama
waktu yang panjang, maka Yunuspun sakit. “Keadaan beliau seumpama burung yang
kehilangan seluruh bulunya”, ujar Ibn Mas’ud menafsir. Adapun menurut Ibn
‘Abbas, “Beliau bagaikan bayi yang baru dilahirkan; ringkih, tak terlindung,
rumih, dan rentan.”
“Pohon yaqthin”, demikian masih menurut Ibn ‘Abbas, “Adalah qar’u, dari jenis labu yang tak disukai lalat dan serangga sehingga dia menaungi
Yunus hingga terjaga.”
Ketika Yunus siuman, secara naluriah dia menggapai buah yang ada di
dekatnya kemudian memakannya. Buah tanaman itu, yang mengandung air, gizi, dan
zat-zat bermanfaat, amat mudah dicerna oleh tubuhnya. Khasiatnya menjalari
seluruh pembuluh dan sendi, merasuki semua sumsum dan pori, memulihkan tenaga
dan kesentausannya. Sakit, payah, dan terganggunya faal badan akibat berpuluh
hari di dalam perut ikan dan di dasar lautan, kini pulih sehat dan bertambah
afiat.
Nabi Yunuspun bugar kembali, bersemangat, dan berjanji pada Allah untuk
nanti teguh, istiqamah, dan tak menyerah dalam berdakwah kepada kaumnya; apapun
yang akan terjadi di hadapannya. Tetapi alangkah takjub penuh syukurnya dia.
Sebab ketika kembali ke Ninawa, seluruh kaumnya justru telah beriman pada
Allah. Jumlah mereka, lebih dari 100.000 orang kiranya.
Betapa berkah doa Yunus. Bukan hanya
menjadi karunia keselamatan dirinya, doa itu bahkan menjadi anugrah hidayah
bagi begitu banyak manusia dari kaumnya. Dakwah Yunus berjaya, tepat pada saat
dia merasa dan mengaku bahwa dirinya berdosa di hadapan Allah Yang Maha Kuasa.
Dakwah Yunus berjaya, ketika dia mengakui dirinya aniaya dan hatinya tunduk
memuliakan Allah ‘Azza wa Jalla. Dakwah Yunus
berjaya, ketika dia merasa tak berdaya.
Di lapis-lapis keberkahan, berjayalah hamba yang merasa tak berdaya
tanpaNya. Maka Maha Suci Dzat yang menjadikan berhina padaNya sebagai kemuliaan,
berfaqir kepadaNya sebagai kekayaan, tunduk padaNya sebagai keluhuran, dan
bersandar padaNya sebagai kecukupan.
***
Kita menjawab panggilan adzan, ketika kita diseru untuk shalat dan
dipanggil menuju kejayaan bukan dengan kepercayaan diri menggebu-gebu, bukan
juga dengan keyakinan jiwa menderu-deru, bukan pula dengan rasa pasti mampu
yang berseru-seru.
“Hayya ‘alash shalaah.. Marilah
shalat!”, ajak Muadzin. Jawab kita bukan, “Siap! Bisa! Pasti bisa! Luar Biasa!”
“Hayya ‘alal falaah! Mari menuju keberhasilan, kemenangan,
dan kejayaan!”, sambung muadzin. Dan jawab kita bukan pula, “Saya! Saya! Saya! Yeaaa!”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, setaqwa-taqwa manusia, setaat-taat hamba, dan sekuat-kuat pengabdi
Rabbnya mengajarkan sebuah jawaban yang apa adanya tentang betapa lemahnya
kita. Ungkapan paling jujur itu adalah, “La haula wa la quwwata illa billah.
Tiada daya untuk menghindar dari keburukan dan tiada kekuatan untuk
melaksanakan ketaatan, selain dengan pertolongan Allah, Yang Maha Tinggi lagi
Maha Agung.”
Ketika kaki melangkah keluar dari rumah, maka tuntunan doa bagi kita ada
dalam hadits shahih dari Anas ibn Malik yang terrekam dalam Sunan Abu Dawud
(595) dan Sunan At Tirmidzi (3487). Bahwasanya Rasulullah bersabda,
“Jika seorang di
antara kalian keluar dari rumahnya lalu mengucapkan: ‘Bismillahi
Tawakkaltu ‘Alallahi La Haula Wa La Quwwata Illa Billah.. Dengan nama Allah.
Aku bertawakal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan kuasa
Allah’; maka pada saat itu akan dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah mendapat
petunjuk, telah diberi kecukupan, dan mendapat penjagaan’, hingga
syaithan-syaithan menjauh darinya. Lalu syaithan yang lainnya berkata kepada
syaithan yang ingin menggodanya; ‘Bagaimana kau akan mengoda seorang laki-laki
yang telah mendapat petunjuk, kecukupan, dan penjagaan?”
“Dengan asma Allah”, adalah ikrar iman kita. Tak ada tempat bagi nama
selainNya, bahkanpun nama kita, dalam berangkat maupun kembali, berjalan maupun
berhenti, di kala pulang maupun pergi. Hanya namaNya yang layak diagungkan di
setiap tapak dan langkah, berjalan dan berkendara, hatta hingga jatuh dan
bangunnya. Semua dalam nama Allah, agar kita menghadapkan wajah padaNya dengan
lurus dan berserah diri.
Selanjutnya, kita menginsyafi bahwa hanya Allah-lah sandaran terkuat,
terkokoh, terhebat. Bukan diri, ilmu, ataupun hal-hal yang kita daku sebagai
milik yang menjadi tempat bergantung. Bukan anak maupun pasangan, bukan kerabat
maupun kawan, bukan rekan ataupun atasan. “Aku bertawakkal hanya kepada Allah”,
adalah ikrar kepasrahan kita. Bahwa tiap tapak yang terayun serta tiap langkah
yang terpijak ini, Allah-lah yang mengatur, mengarahkan, dan menepatkannya.
Dan akhirnya, “Tiada daya untuk menghindar dari maksiat dan keburukan,
serta tiada kekuatan untuk menunaikan ketaatan dan meraih kebaikan; melainkan
dengan kuasa dan pertolongan Allah.” Inilah kealpaan kita yang mudah tergoda,
maka hanya dari Allah pembentengannya. Inilah kerawanan kita yang dalam bahaya,
maka hanya dari Allah perlindungannya. Inilah kemalasan kita yang sering tak
hendak, maka hanya dari Allah semangat dan kemampuannya. Inilah kelembekan kita
yang tak menjangkau, maka hanya dari Allah penggapaiannya.
Demikianlah, di lapis-lapis keberkahan, tiap helaan nafas, tiap detakan
jantung, dan tiap denyutan nadi terjalani dengan asma Allah, dengan tawakkal
pada Allah, dan dengan pengakuan bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali dengan
karunia Allah. Sebab kita mengerti, pengakuan atas ketakberdayaan di hadapan
Yang Maha Jaya adalah sumber kekuatan yang tak pernah kering, tak pernah habis,
dan tak pernah berakhir.