Sunday, September 30, 2012

Joke: "Trus, Gw harus bilang WOWW gitu..???"

Bahasa saat ini tidak hanya tumbuh dalam fungsi dan perannya sebagai instrumen penyampai pesan. Lebih lanjut bahasa berkembang kian kreatif dalam penyampaiannya baik tulisan maupun lisan.
Termasuk kalimat modifikasi “Terus Gw Harus Bilang “WOWW” Gitu?” yang belakangan sedang trendy tidak hanya di dunia maya tapi juga di dunia nyata. Anehnya tidak hanya mewabah ke zona anak gahul, banyak kalangan mulai terserang virus ini, mulai dari eksekutif muda, artis, aktivis sampe teroris. Uppps!
Ada satu joke yang saya dapat dari grum di BBM yang cukup kocak tentang kalimat, “Terus Gw Harus Bilang “WOW” Gitu?” Check this one out!

Ustadz : "Eh.. kamu ga malu ya, udah besar belum bisa ngaji?"
Anak Gahul : "Emang masalah buat pak ustadz..?"
Ustadz : "Anak saya saja baru TK sudah hafal banyak surat-surat pendek lho..."
Pemuda : "Trus,  Gw harus bilang WOWW gitu..???"
Ustadz : "Sabaar... kita mulai dulu dari huruf Aliif, Baa, Taa.. dst, kalo huruf WAUW masih jauh...!!"

Kisah Rasulullah Kesiangan Shalat Subuh

http://1.bp.blogspot.com/-wFu7REZtRhU/UEcNBUkQfII/AAAAAAAACcs/kjk-0Rri-ws/s320/rasululloh+kesiangan+shubuh.jpgBagaimana kondisi sholat shubuh sahabat sekalian? Rasanya malu kalo buka-bukaan masalah yang satu itu. Beberapa teman banyak yang curhat susahnya bangun shubuh. Bahkan ada yang pernah bangun di waktu dhuha. Masya Allah!

Ternyata Rasululloh pun pernah mengalami shubuh kesiangan. Pernah lho bukan sering kayak kita. hehe. Mau tahu kisahnya? Ini dia

Diriwayatkan dari Abu Qatadah r.a berkata:
Pada suatu malam kami menempuh perjalanan bersama Nabi s.a.w, sebagian orang mengatakan: “Ya Rasulullah! Sebaiknya kita beristirahat menjelang pagi ini.” Rasulullah s.a.w bersabda: “Aku khawatir kalian tidur nyenyak sehingga melewatkan shalat subuh.” Kata Bilal : “Saya akan membangunkan kalian.” Mereka semua akhirnya tidur, sementara Bilal menyandarkan punggungnya pada hewan tunggangannya, namun Bilal akhirnya tertidur juga.

Rasululloh bangun ketika busur tepian matahari sudah muncul.

Kata Nabi s.a.w: “Hai Bilal! Mana bukti ucapanmu?!”
Bilal menjawab: “Saya tidak pernah tidur sepulas malam ini”.
Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesungguhnya Allah mengambil nyawamu kapanpun Dia mau dan mengembalikannya kapanpun Dia mau. Hai Bilal! bangunlah dan suarakan azan.”
Rasulullah s.a.w berwudhu, setelah matahari agak meninggi sedikit dan bersinar putih, Rasulullah s.a.w berdiri untuk melaksanakan shalat.

(Hadits Shahih Imam Bukhari, nomor 595)

Hikmahnya:
1 1. Rasululloh menunjukkan sisi manusiawinya saat tertidur nyenyak dan kesiangan setelah lelah perjalanan bersama para sahabat di malam hari.
2 2. Bedanya beliau sangat sedikit kesiangan shubuhnya (sekali,-red) tapi kita sebaliknya sedikit-sedikit kesiangan.
3 3. Hal ini juga merupakan dalil untuk tetap melaksanakan shubuh meskipun kesiangan. Jadi, ga ada alasan lagi kesiangan bangun dan enggan menunaikan sholat shubuh.

Semoga mencerahkan ya guys!v

Wednesday, September 12, 2012

Hadirkan Hatimu, Saat Membaca Kitab Rabbmu

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu seorang shahabat yang mulia, berkisah: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku: ‘Bacakanlah Al-Qur`an untukku.’ Aku bertanya heran: ‘Wahai Rasulullah, apakah aku membacakan untukmu sementara Al-Qur`an itu diturunkan kepadamu?’ Beliau menjawab: ‘Iya, bacalah.’ Aku pun membaca surat An-Nisa` hingga sampai pada ayat: فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلىَ هَؤُلاَءِ شَهِيْدًا “Maka bagaimanakah jika Kami mendatangkan seorang saksi bagi setiap umat dan Kami mendatangkanmu sebagai saksi atas mereka itu.” (An-Nisa’: 41) Beliau bersabda: ‘Cukuplah.’ Aku menengok ke arah beliau, ternyata aku dapati kedua mata beliau basah berlinang air mata.”1 Saudariku muslimah, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatimu! Demikianlah keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membaca Al-Qur`an dan mendengarkannya. Sementara beliau adalah orang yang paling tahu kandungan Al-Qur`an serta paling paham maknanya. Beliau juga adalah orang yang telah diampuni dosa-dosanya. Namun bersamaan dengan itu, beliau tetap tersentuh hatinya kala mendengarkan bacaan Al-Qur`an. Bahkan, beliau pernah shalat dalam keadaan dada beliau bergemuruh karena isak tangis saat membaca surat Al-Qur`an2. Allah Subhanahu wa Ta'ala memang telah menyebutkan kandungan Al-Qur`an berupa janji dan ancaman, kisah surga dan kenikmatannya berikut neraka dengan azabnya. Yang kesemua itu mestinya menggugah ambisi untuk menggapai surga-Nya dan menangis karena takut akan neraka beserta azabnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللهِ ذلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Al-Qur`an yang serupa ayat-ayatnya lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb mereka, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu berzikir (mengingat) Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu, Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya.” (Az-Zumar: 23) Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji suatu kaum dalam firman-Nya: قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لاَ تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَقُوْلُوْنَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُوْلاً. وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Berimanlah kalian kepadanya atau tidak usah beriman. Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur di atas wajah mereka sujud kepada Allah, seraya berkata: ‘Maha suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi.’ Dan mereka menyungkur di atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu.” (Al-Isra`: 107-109) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah menganjurkan umatnya untuk khusyuk, menghinakan diri, dan menangis saat membaca Al-Qur`an karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Beliau bersabda: عَيْنَانِ لاَ تَمُسُّهُمَا النَّارُ: عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيْلِ اللهِ “Dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka: (pertama) mata yang menangis karena takut kepada Allah, (kedua) mata yang bermalam dalam keadaan berjaga di jalan Allah.”3 Bahkan beliau menerangkan, seseorang yang menangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan masuk ke dalam surga-Nya: لاَ يَلِجُ النَّارَ رَجُلٌ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللهِ حَتَّى يَعُوْدَ اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ ... “Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah sampai susu (yang diperah) bisa kembali ke kantung susu (kambing) ….”4 Para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca Al-Qur`an dengan menghadirkan hati, merenungi dan mengambil pelajaran dari ayat-ayatnya, hingga mengalirlah air mata mereka dan khusyuk hati mereka. Mereka mengangkat tangan mereka kepada Rabb mereka dengan menghinakan diri memohon kepada-Nya agar amal-amal mereka diterima dan berharap ampunan dari ketergelinciran mereka. Mereka merindukan kenikmatan nan abadi yang ada di sisi-Nya. Diriwayatkan bahwasanya Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu ketika masih di Makkah, membangun tempat shalat di halaman rumahnya. Beliau shalat di tempat tersebut dan membaca Al-Qur`an, hingga membuat wanita-wanita musyrikin dan anak-anak mereka berkumpul di sekitarnya karena heran dan takjub melihat apa yang dilakukan Abu Bakr. Sementara Abu Bakr radhiyallahu 'anhu adalah sosok insan yang sering menangis, tidak dapat menahan air matanya saat membaca Al-Qur`an5. ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu pun punya kisah. Beliau shalat mengimami manusia dan menangis saat membaca Al-Qur`an dalam shalatnya, hingga bacaannya terhenti dan isaknya terdengar sampai shaf ketiga di belakangnya. Beliau membaca ayat: وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِيْنَ “Celakalah orang-orang yang berbuat curang.” Ketika sampai pada ayat: يَوْمَ يَقُوْمُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ “Pada hari manusia berdiri di hadapan Rabb semesta alam.” Beliau menangis hingga terhenti bacaannya. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji orang-orang yang menangis karena membaca/mendengar bacaan Al-Qur`an ketika mengabarkan tentang para nabi dan para wali-Nya: إِنَّ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَقُولُوْنَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُوْلاً “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur di atas wajah mereka sujud kepada Allah, seraya berkata: ‘Maha suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi’.” (Al-Isra`: 107-108) إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا “Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Ar-Rahman, mereka tersungkur dalam keadaan sujud dan menangis.” (Maryam: 58) وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا “Dan mereka menyungkur di atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (Al-Isra`: 109) Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa tangisan karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala itu menambah kekhusyukan mereka. Sementara hanya orang-orang berilmulah yang memiliki rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana dalam firman-Nya: إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ “Hanyalah yang takut kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir: 28) Dengan demikian orang yang paling kenal dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dialah yang paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: أَمَا وَاللهِ، إِنِّي لأَخْشَاكُمْ لِلّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya….” 6 Abu Raja` berkata: “Aku pernah melihat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, di bawah kedua matanya ada garis semisal tali sandal yang usang karena sering dialiri air mata.”7 Saudariku… Demikianlah keadaan salaful ummah, orang-orang shalih dan orang-orang terbaik dari kalangan umat ini. Bila salah seorang mereka melewati penyebutan tentang neraka, terasa lepas hatinya karena takut dari neraka dan ngeri akan siksanya. Bila melewatinya sebutan surga dan kenikmatannya, serasa gemetar persendian mereka karena khawatir diharamkan dari merasakan kenikmatannya yang kekal. Dua keadaan ini demikian memberi pengaruh, hingga meneteslah air matanya dan khusyuk hatinya. Ia pun berusaha menyembunyikan tangisan itu dari orang-orang di sekitarnya. Namun tak jarang tangis itu terdengar dan mereka pun tahu keadaannya. Demikianlah tangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan amal yang ikhlas karena mengharap wajah-Nya. Apa yang dilakukan orang-orang belakangan dengan mengeraskan suara dan isakan ketika menangis dalam shalat bukanlah kebiasaan salaf. Karena hal itu justru akan mengganggu orang-orang yang shalat di sekitarnya, dan dikhawatirkan akan jatuh ke dalam perbuatan riya‘ serta menyelisihi petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semestinya seseorang menyembunyikannya dari manusia semampunya, karena hal itu lebih baik dan lebih utama. Termasuk perkara yang perlu menjadi perhatian sehubungan dengan pembacaan Al-Qur`an adalah beradab terhadap Al-Qur`an dengan diam mendengarkannya, dalam rangka mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ “Apabila dibacakan Al-Qur`an maka dengarkanlah dan diamlah, mudah-mudahan kalian dirahmati.” (Al-A’raf: 204) Sepantasnya bagi seorang muslim untuk menjaga apa yang telah dihapalnya dari Al-Qur`an dan terus menerus membacanya agar tetap tersimpan di dadanya. Karena Al-Qur`an begitu cepat lepasnya (hilang dari ingatan) apabila tidak dijaga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: تَعَاهَدُوْا هَذَا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ اْلإِبِلِ فِي عُقُلِهَا “Biasakanlah untuk terus menerus membaca Al-Qur`an karena demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya sungguh dia (bacaan/hafalan Al-Qur`an) itu lebih cepat lepas/hilangnya daripada unta dari tali pengikat kakinya.”8 Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata: “Orang-orang sebelum kalian memandang Al-Qur`an sebagai surat-surat dari Rabb mereka. Mereka pun mentadabburinya pada waktu malam dan merealisasikannya di waktu siang.” Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Pembawa Al-Qur`an adalah pembawa bendera Islam. Tidak pantas baginya bermain-main bersama orang yang main-main, dan tidak pula lalai bersama orang yang lalai, tidak berbuat laghwi (sia-sia) bersama orang yang berbuat laghwi, dalam rangka mengagungkan hak Al-Qur`an.” (At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an, hal. 44) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (Diringkas dengan sedikit tambahan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Al-Mukhtar lil Hadits fi Syahri Ramadhan Yastafidu Minhul Wa’izh wal Khathib, hal. 118-125) 1 HR. Al-Bukhari no. 5050 2 Sebagaimana dalam hadits dari Mutharrif dari ayahnya Abdullah bin Asy-Syikhir bin ‘Auf radhiyallahu 'anhu, ia berkata: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَفِي صَدْرِهِ أَزِيْزٌ كَأَزِيْزِ الرَّحَى مِنَ الْبُكَاءِ “Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dalam keadaan dada beliau berbunyi keras seperti suara periuk yang mendidih karena tangisan beliau.” (HR. Abu Dawud no. 904, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud) 3 HR. At-Tirmidzi no. 1639, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 3829 4 HR. At-Tirmidzi no. 1633, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 3828 5 HR. Al-Bukhari no. 3905 6 HR. Al-Bukhari no. 5063 7 Siyar A’lamin Nubala`, 3/352 8 HR. Al-Bukhari dan Muslim

Monday, September 10, 2012

Berapa lama harus Bicara?

Yang terpenting saat berbicara adalah waktu. Hal yang biasa kita takutkan adalah membuat audiense bosan karena bicara terlalu panjang. Tujuh puluh persen orang berbicara terlalu panjang. Kesulitan terbesar adalah bagaimana caranya berbicara dalam waktu singkat tetapi dapat mengalir. Dalam banyak kasus, terkadang pembicara menyampaikan hal-hal yang tidak perlu yang sebenarnya tak ingin disampaikan. Akhirnya waktu yang tersisa tinggal sedikit. Mereka menganggap apa yang disampaikannya sangat penting dan mereka mencoba menyampaikannya sebaik mungkin. Ah, tidak apa-apa, menurut mereka, melanggar peraturan. Jika mereka berpikir saat memperhatikan para pendengar melirik jam tangannya, setiap beberapa menit sekali, mereka kira itu adalah perhatian atau rasa gembira. Padahal mereka telah melakukan kesalahan.
Berdiri - Bicara - Diam. Itulah aturan yang harus diikuti. Bangunlah, tentukan point yang ingin anda sampaikan secara empatik, lalu duduk. Dalam sebuah acara makan malam, sudah ditentukan sejumlah pembicara dengan waktu masing-masing 10 menit. Salah seorang, ternyata berbicara terlalu panjang sampai hampir satu jam. Di akhir ceramahnya ia berkata tanpa dosa: "Aduh maaf ya, jam tangan saya tertinggal di rumah" Salah seorang hadirin yang sedari tadi sangat kesal menjawab: "Di belakang anda ada kalender tuh!".

Persiapkan, lalu sampaikan!
· Bukan kata per kata. Dalam berpidato, jangan pernah mencoba mengingat kata per kata. Jika anda melakukannya, dan anda lupa satu kata, pidato anda akan terdengar seperti menyampaikan suatu hafalan. Hal yang tak enak bagi para pendengar.

· Usahakan tidak membaca. Pidato dengan membaca akan merusak perhatian pendengar. Selain memakan waktu, anda juga akan kehilangan tempat dan berada dalam kesulitan. Cara terbaik dalam berpidato adalah dengan menjalin pikiran ke pikiran. Tentukan point yang akan disampaikan ke pendengar di dalam pikiran. Buatlah daftar hal penting yang akan anda komunikasikan ke pendengar di sebuah kertas selembar. Jadikan itu sebagai catatan dalam keseluruhan pidato anda. Lewat cara ini anda tidak menghafal kata per kata dan membaca pidato. Anda tahu apa yang ingin anda sampaikan pada setiap gagasan. Selama berbicara, yang mesti anda lakukan hanyalah melihat catatan. Setiap selesai menyampaikan satu point, lanjutkan ke point berikutnya dan seterusnya, sampai ke kesimpulan pembicaraan.

· Simpulkan. Satu hal yang harus anda persiapkan dengan jelas, kesimpulan. Akhir dari pidato anda mungkin bagian yang paling penting, bagian yang paling harus diingat pendengar. Sangat bagus, jika anda punya anekdot yang menarik. Atau jika tidak, buat sebuah penekanan untuk pengakhiran. Beritahu mereka bahwa anda telah selesai.

· Buatlah anekdot dalam pidato, baik formal atau informal. Tanpa bermaksud menjadi pelawak. Bubuhi pidato anda dengan sedikit humor. Buatlah pendengar tersenyum atau tertawa dalam waktu tertentu. Mudah-mudahan mereka akan lebih serius di saat anda menyampaikan hal-hal yang penting.

· Bicaralah sealamiah mungkin. Jangan berdiri kaku. Bergerak dan santailah beberapa saat, agar pendengar dapat menggerakkan matra mereka.

· Cobalah tidak berbicara secara monoton.



Friday, September 7, 2012

Mengajak Bukan Mengejek, Menyeru Bukan Memusuhi


Jika kita seorang muslim, maka kata dakwah ini tentu sudah sangat melekat dalam pemahaman kita. Karena setiap muslim memang diwajibkan memberikan kontribusi kepada agamanya, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Akan tetapi memang terkadang kurangnya pengalaman dalam hal menyempaikan ini, terkadang membuat orang yang diharapkan mau menerima seruan, malah lari dari seruan.
Tidak malah mendekat akan tetapi justru menjauh. Nah, jika demikian, seharusnya kita merenungi apakah memang dia yang berhati sangat keras, atau mungkin kita yang tidak mampu untuk sekedar menyampaikan. Dalam bahasa AlQur’an, menyampaikan harus dilakukan  dengan cara-cara yang baik, udu ilaa sabiili rabbbika bil hikmah wal mauidzotil hasanah.
Diperintahnya kita untuk menggunakan seruan yang sifatnya hikmah, dan mauidzotil khasanah, nasehat yang baik. Bahkan jika tidak, bisa maka wa jadilhum billati hiya ahsan. Berjidal, berdebat, dengan cara yang akhsan, dengan cara yang baik, yang jika dalam manajemen sekarang barangkali debat konstruktiflah Begitulah, jadi dalam hal menyampaikan, kayaknya kita harus lebih mengedepankan akhlaq yang baik, daripada memaksa-maksa, apalagi menakut-nakuti. Karenanya seorang da’i (penyeru) akan berbeda dengan seorang khadi (hakim). Seorang da’i pernah ditanya, mengapa kok dia tidak tegas, mestinya kan di AlQuran sudah jelas, kok menjelaskan persoalan yang sudah jelas saja harus muter-muter dahulu sih. Lalu da’i ini berkata, “Saya ini da’i bukan qadi”. Seorang da’i akan dituntut untuk berfikir jauh ke  depan, menghitung manfaat dan mudzarat. Dan mencari sebuah jawaban yang terbaik, dengan harapan bahwa seseorang akan sadar dan seikhlash-ikhlasnya memenuhi sebuah seruan.
Karena apalah arti banyaknya seruan, jika ternyata tak satupun mengena, gara-gara kita tidak bisa   menyampaikan secara tepat. Suatu saat, seorang tetangga saya tidak diperbolehkan untuk berjilbab oleh ibunya, karena dinilainya ia belum punya malu. Barangkali ada dua jawaban. Jika jawaban kita adalah sebagai seorang hakim, maka akan kita jawab,” Ya sudah, kan dalam Qur’an wajib, ya jangan taati orang tua dong, biar marah, biar apa yang penting pakai jilbab sekarang juga”. Akan tetapi barangkali jika ia seorang da’i ia akan mengatakan,” Berilah pengertian kepada orang tuamu, atau jika engkau nggak boleh berjilbab, karena dianggapnya belum punya malu, maka berusahalah agar ibumu melihatmu sebagai seorang gadis yang shalihah”.
Dan alhamdulillah, sekarang ia mengenakan busana taqwanya itu, tanpa harus bertengkar dengan orang tua. Jadi barangkali seorang da’i itu adalah seorang yang berperan sebagai psikolog atau seorang yang berperan sebagai dokter, yang ketika ada penyakit maka ia akan mendiagnosanya, memberikan obat dengan dosis yang sesuai dengan  kemampuannya; atau jika penyakitnya sangat parah, maka ia memberikan terapi khususnya secara perlahanlahan sampai ia sembuh benar. Suatu saat saya ditanya seseorang, “Ed, bagaimana pendapatmu tentang keluarga sakinah itu”. Tentu saya sangat susah untuk menjawabnya.
Karena saya harus mencari katakata tepat yang ia terima, padahal untuk mengkaji persoalan keluarga sakinah diperlukan beberapa kali pengajian. Lalu saya jawab seringkas-ringkasnya, “Seperti keluarga Rasul”. Tak terduga ia melanjutkan,” Oooo, jadi yang dimaksud dengan keluarga sakinah itu yang istrinya banyak.” Lalu saya harus menjelaskan mengapa beliau beristri banyak, dan akhirnya berbicara banyak tentang Islam, bahwa membaca Islam itu tidak boleh satu bab lalu sudah berkesimpulan,  beginilah Islam; akan tetapi harus secara keseluruhan. Bukan hanya hukum tapi juga akhlaq. Dalam Islam, kata saya, menikah itu artinya menunaikan kewajiban, bukan menuntut hak. Jika ia beristri banyak tentu kewajibannya akan semakin banyak, bukan  haknya akan semakin bertambah.
Lalu dia hanya tersenyum saja. Wallahu a’lam, apa yang berkecamuk dalam hatinya, tapi saya sudah berusaha menjawab yang setepat-tepatnya. Da’i favorit saya sebenarnya adalah Rasul. Bagaimana tidak, beliau sudah menunjukkan banyak hal yang luar biasa dalam menyeru ini. Beliau menunjukkan metode terbaiknya yang tidak mungkin disamai oleh siapapun. Suatu saat, kata abu Hurairah, seorang Arab desa, tanpa disangka-sangka kencing begitu saja di masjid. Tentu ini adalah perbuatan yang sangat kurang ajar. Saya tidak membayangkan apa yang akan kita lakukan ketika kita melihat hal demikian di depan mata kita. Barangkali kita tampar orang itu.
Namun ternyata Nabi tidak, ketika beliau melihat orang-orang akan berdiri untuk memukulinya, Nabi bersabda,” Biarkanlah dia, dan tuangkan diatas kencingnya setimba air. Sesungguhnya engkau diutus untuk meringankan dan bukan untuk menyukarkan.” Dilain waktu seorang pemuda berkata kepada Rasul, “ Yaa rasul izinkan saya untuk berzina.” Sebuah kata-kata yang sangat tidak pentas untuk diucapkan kepada seorang Rasul pilihan Allah. Lalu Rasul tidak menunjukkan amarahnya, dengan tenang iapun bertanya, bagaimana perasaanmu jika ibumu dizinai orang, bagaimana perasanmu ketika adikmu dizinai orang. Dan dengan pertanyaan seperti itu akhirnya iapun mengerti dan sangat memahami.  Begitulah, sekarang  tinggalkanlah budaya menakutnakuti dan mempersulit banyak hal, yang menyebabkan orang tidak tertarik lagi untuk berIslam. Tinggalkanlah kesan baik bagi mereka, tentang Islam, tentang muslim, tentang Nabi. Kata Nabi kepada para Da’i, “permudahkanlah dan jangan mempersukar, dan gembirakanlah dan jangan mempersukar”. Berkata pula Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah lunak, suka pada kelunakan, dan memberi karena kelunakan dan ketenangan, apa-apa yang tidak didapat dengan kekerasan, ketergesa-gesaan, dan lainnya”. Karenanya, sudahlah, jangan lagi kita menggunakan cara-cara kekerasan, paksaan, menakut-nakuti orang dalam menyeru ini; akan tetapi berilah harapan, kedamaian, optimisme, cinta, dan persaudaraan. Bukankan Islam itu artinya damai, bukankah Rasul itu diutus sebagai rahmat bagi alam semesta ?

Tidak Perlu Ideal, yang Penting Optimal

Barangkali sudah menjadi fithrah setiap orang, untuk  selalu menginginkan dirinya menjadi yang ideal dalam banyak persoalan. Dalam sisi akademis, akan masuk dalam deretan orang pintar, tempat bertanya banyak hal tentang perkuliahan, yang buku catatannya menjadi rebutan banyak mahasiswa lain, dan lulus tepat waktu, serta cepet dapet kerja.
Demikian pula dalam sisi  penampilan, ia termasuk sosok yang disegani dan menyenangkan; penampilannya kalem dan tersembunyi nilai kebijaksanaan padanya. Dan nilai-nilai itu akan semakin menuntutnya, jika ia mempunyai gelar, da’i, aktifis dakwah, pengurus LDK, dan semacamnya. Terus terang, saya dulupun mengangankan hal semacam ini. Paling tidak pada awal-awal kuliah, saya membuat sebuah planing kedepan tentang banyak hal untuk membangun diri saya menjadi sosok ideal dalam sisi akademis, kreativitas, dan dakwah, dan saya membayangkan bahwa saya akan  menjadi orang yang berhasil dalam banyak hal. Akan tetapi ternyata seringkali realitas berbicara lain,  sebuah rencana di atas kertas dan sebuah angan-angan mulia, bukanlah catatan Allah dalam Lauhul Mahfudz, tapi sebenarnya  hanyalah harapan-harapan dalam diri seseorang.
Karenanya, betapa banyak angan-angan awal itu ternyata tidak bisa diwujudkan dalam banyak kenyataan. Dalam hal kuliah, ternyata prestasi akademik saya tidaklah menggembirakan, begitu sulitnya mendapatkan nilai A dan B hingga tak jarang harus menghela napas panjang ketika melihat pengumuman nilai, hingga sudah menjadi kebiasaan untuk selalu sakit perut menjelang  pengumuman nilai. Saya lalu berfikir, mungkin saya kurang keras, lalu saya mencobanya kembali, dan ada peningkatan memang, tapi tak bisa sebagus yang saya harapkan. Akhirnya saya memang harus menerima kenyataan, saya tak bisa menjadi the best dalam urusan akademis. Akan tetapi percayalah, bahwa saya telah mencobanya.
Bila saja kita tak menyadari, bahwa setiap orang mempunyai sisi-sisi kelemahan, bahwa Allah menciptakan manusia ini dengan kemampuan yang berbeda-beda, maka barangkali seseorang akan menjadi frustasi, bahwa ia tidak dapat menjadi yang terbaik, padahal ia adalah seorang muslim, padahal ia adalah seorang aktifis dakwah kampus, yang dituntut menjadi sosok yang sempurna. Ini adalah persoalan yang banyak terjadi, dimana ketika seorang aktifis dakwah kampus tidak bisa sesempurna yang ia harapkan, terkadang rasa frustasi melingkupi situasi hatinya, dan tak jarang sebuah bisikan halus menyapanya, menjadi aktifis dakwah, tentu kau harus menjadi teladan, jika tidak, apalah artinya, lebih baik menjadi orang biasa saja, toh dirimu tak dapat menjadi sosok teladan yang baik.
Dan tak jarang, menghadapi hal yang demikian itu diri kita menjadi terhuyung dan jatuh. Pahamilah, bahwa Allah tak akan membebani seseorang diluar batas kemampuannya, Laa yukallifullahi nafsan illa wus’aha, sebuah mutiara terindah yang akhirnya saya fahami. Bagi kita yang paling penting adalah bagaimana berproses secara baik, dan berusaha secara maksimal. Bagi saya, memahami persoalan ini harus kita kembalikan kepada bingkainya, bahwa seharusnya kita berorientasi kepada proses, dan bukannya hasil.
Tak apalah tidak lulus cepat, tak apalah nilai dibawah standart, asalkan untuk mendapatkannya sudah sesuai dengan standart dan kerja yang maksimal, karena memang manusia mempunyai kemampuan yang berbeda-beda, dan demikian pula untuk hal-hal yang lain tentu saja. Bagi kita yang memang diberi kelebihan Allah, akan otak yang encer, akan nasib yang baik, maka bersyukurlah, dan jangan kemudian kita membandingkan diri kita dengan orang lain lalu meremehkannya, karena sesungguhnya kita tidaklah tahu tentang kemampuan yang diberikan Allah atasnya.
Karenanya sebenarnya saya lebih suka orang yang berbicara, bekerjalah dengan keras, bukannya berhasillah; dan jadilah sosok yang optimal, bukannya jadilah sosok yang ideal. Dan karena masalah hasil adalah urusan Allah, maka sebenarnyalah ia berada dalam wilayah do’a, maka jangan seganlah untuk berdo’a kepadaNya, agar kita, saudara kita, dijadikan sosok yang berhasil, dijadikan sosok yang ideal dari optimasi potensi yang telah diberika Allah atasnya.
Tulisan : Ikhwah Istiqamah

Komentar anda