Friday, September 7, 2012

Mengajak Bukan Mengejek, Menyeru Bukan Memusuhi


Jika kita seorang muslim, maka kata dakwah ini tentu sudah sangat melekat dalam pemahaman kita. Karena setiap muslim memang diwajibkan memberikan kontribusi kepada agamanya, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Akan tetapi memang terkadang kurangnya pengalaman dalam hal menyempaikan ini, terkadang membuat orang yang diharapkan mau menerima seruan, malah lari dari seruan.
Tidak malah mendekat akan tetapi justru menjauh. Nah, jika demikian, seharusnya kita merenungi apakah memang dia yang berhati sangat keras, atau mungkin kita yang tidak mampu untuk sekedar menyampaikan. Dalam bahasa AlQur’an, menyampaikan harus dilakukan  dengan cara-cara yang baik, udu ilaa sabiili rabbbika bil hikmah wal mauidzotil hasanah.
Diperintahnya kita untuk menggunakan seruan yang sifatnya hikmah, dan mauidzotil khasanah, nasehat yang baik. Bahkan jika tidak, bisa maka wa jadilhum billati hiya ahsan. Berjidal, berdebat, dengan cara yang akhsan, dengan cara yang baik, yang jika dalam manajemen sekarang barangkali debat konstruktiflah Begitulah, jadi dalam hal menyampaikan, kayaknya kita harus lebih mengedepankan akhlaq yang baik, daripada memaksa-maksa, apalagi menakut-nakuti. Karenanya seorang da’i (penyeru) akan berbeda dengan seorang khadi (hakim). Seorang da’i pernah ditanya, mengapa kok dia tidak tegas, mestinya kan di AlQuran sudah jelas, kok menjelaskan persoalan yang sudah jelas saja harus muter-muter dahulu sih. Lalu da’i ini berkata, “Saya ini da’i bukan qadi”. Seorang da’i akan dituntut untuk berfikir jauh ke  depan, menghitung manfaat dan mudzarat. Dan mencari sebuah jawaban yang terbaik, dengan harapan bahwa seseorang akan sadar dan seikhlash-ikhlasnya memenuhi sebuah seruan.
Karena apalah arti banyaknya seruan, jika ternyata tak satupun mengena, gara-gara kita tidak bisa   menyampaikan secara tepat. Suatu saat, seorang tetangga saya tidak diperbolehkan untuk berjilbab oleh ibunya, karena dinilainya ia belum punya malu. Barangkali ada dua jawaban. Jika jawaban kita adalah sebagai seorang hakim, maka akan kita jawab,” Ya sudah, kan dalam Qur’an wajib, ya jangan taati orang tua dong, biar marah, biar apa yang penting pakai jilbab sekarang juga”. Akan tetapi barangkali jika ia seorang da’i ia akan mengatakan,” Berilah pengertian kepada orang tuamu, atau jika engkau nggak boleh berjilbab, karena dianggapnya belum punya malu, maka berusahalah agar ibumu melihatmu sebagai seorang gadis yang shalihah”.
Dan alhamdulillah, sekarang ia mengenakan busana taqwanya itu, tanpa harus bertengkar dengan orang tua. Jadi barangkali seorang da’i itu adalah seorang yang berperan sebagai psikolog atau seorang yang berperan sebagai dokter, yang ketika ada penyakit maka ia akan mendiagnosanya, memberikan obat dengan dosis yang sesuai dengan  kemampuannya; atau jika penyakitnya sangat parah, maka ia memberikan terapi khususnya secara perlahanlahan sampai ia sembuh benar. Suatu saat saya ditanya seseorang, “Ed, bagaimana pendapatmu tentang keluarga sakinah itu”. Tentu saya sangat susah untuk menjawabnya.
Karena saya harus mencari katakata tepat yang ia terima, padahal untuk mengkaji persoalan keluarga sakinah diperlukan beberapa kali pengajian. Lalu saya jawab seringkas-ringkasnya, “Seperti keluarga Rasul”. Tak terduga ia melanjutkan,” Oooo, jadi yang dimaksud dengan keluarga sakinah itu yang istrinya banyak.” Lalu saya harus menjelaskan mengapa beliau beristri banyak, dan akhirnya berbicara banyak tentang Islam, bahwa membaca Islam itu tidak boleh satu bab lalu sudah berkesimpulan,  beginilah Islam; akan tetapi harus secara keseluruhan. Bukan hanya hukum tapi juga akhlaq. Dalam Islam, kata saya, menikah itu artinya menunaikan kewajiban, bukan menuntut hak. Jika ia beristri banyak tentu kewajibannya akan semakin banyak, bukan  haknya akan semakin bertambah.
Lalu dia hanya tersenyum saja. Wallahu a’lam, apa yang berkecamuk dalam hatinya, tapi saya sudah berusaha menjawab yang setepat-tepatnya. Da’i favorit saya sebenarnya adalah Rasul. Bagaimana tidak, beliau sudah menunjukkan banyak hal yang luar biasa dalam menyeru ini. Beliau menunjukkan metode terbaiknya yang tidak mungkin disamai oleh siapapun. Suatu saat, kata abu Hurairah, seorang Arab desa, tanpa disangka-sangka kencing begitu saja di masjid. Tentu ini adalah perbuatan yang sangat kurang ajar. Saya tidak membayangkan apa yang akan kita lakukan ketika kita melihat hal demikian di depan mata kita. Barangkali kita tampar orang itu.
Namun ternyata Nabi tidak, ketika beliau melihat orang-orang akan berdiri untuk memukulinya, Nabi bersabda,” Biarkanlah dia, dan tuangkan diatas kencingnya setimba air. Sesungguhnya engkau diutus untuk meringankan dan bukan untuk menyukarkan.” Dilain waktu seorang pemuda berkata kepada Rasul, “ Yaa rasul izinkan saya untuk berzina.” Sebuah kata-kata yang sangat tidak pentas untuk diucapkan kepada seorang Rasul pilihan Allah. Lalu Rasul tidak menunjukkan amarahnya, dengan tenang iapun bertanya, bagaimana perasaanmu jika ibumu dizinai orang, bagaimana perasanmu ketika adikmu dizinai orang. Dan dengan pertanyaan seperti itu akhirnya iapun mengerti dan sangat memahami.  Begitulah, sekarang  tinggalkanlah budaya menakutnakuti dan mempersulit banyak hal, yang menyebabkan orang tidak tertarik lagi untuk berIslam. Tinggalkanlah kesan baik bagi mereka, tentang Islam, tentang muslim, tentang Nabi. Kata Nabi kepada para Da’i, “permudahkanlah dan jangan mempersukar, dan gembirakanlah dan jangan mempersukar”. Berkata pula Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah lunak, suka pada kelunakan, dan memberi karena kelunakan dan ketenangan, apa-apa yang tidak didapat dengan kekerasan, ketergesa-gesaan, dan lainnya”. Karenanya, sudahlah, jangan lagi kita menggunakan cara-cara kekerasan, paksaan, menakut-nakuti orang dalam menyeru ini; akan tetapi berilah harapan, kedamaian, optimisme, cinta, dan persaudaraan. Bukankan Islam itu artinya damai, bukankah Rasul itu diutus sebagai rahmat bagi alam semesta ?

0 comments:

Post a Comment

Komentar anda