JILID
5
“Begini,
Lid! Kalau menurut pengamatan saya, ada sebuah hal yang mendasari seseorang
itu
acuh tak acuh dengan hukum Islam itu sendiri. Sedangkan ada beberapa hal pola
yang
harus
kita ketahui, tentang judul skripsi kamu. Nah, saya melihat sebuah fenomena
yang
mendasar
pada negeri kita ini. Memang, hukum kita ini sangat mudah untuk ditarik ulur.
Atau
dalam hal ini, banyak sekali undang-undang karet yang mudah untuk
dimainkan
oleh
penegak hukum. Entah itu Hakim, Jaksa, Polisi atau bahkan Pengacara sekalipun.”
Prof.
Susilo menarik nafas sebentar, setelah itu beliau melanjutkan analisisnya “yang
akhirnya
terjadi adalah, sebuah anggapan bahwa hukum kita mudah untuk dibeli. Namun
persoalan
yang paling mendasar dalam sebuah permasalah skripsi kamu, bahwa
sesungguhnya
hukum Islam itu sendiri masih asing ditelinga orang Islam. Sehingga untuk
memunculkan
Hukum Islam, apalagi hukum pidana Islam. Maka seseorang harus dapat
benar-benar
paham tentang apa pola-pola keberadaan hukum tersebut. Contohnya, dalam
kasus
Umar bin Khattab. Seorang pencuri pun, dapat diampuni hukuman potong
tangannya.
Nah, itu terjadi karena kelalaian pemerintahan Umar bin Khattab sendiri.
Dalam
hal ini, Umar bin Khattab merasa berdosa karena masih ada rakyatnya yang
kelaparan.
Akibat kelaparan itulah seorang dapat mencuri. Ingat, Lid. Rasulullah pun
telah
bersabda “sesungguhnya kemiskinan itu menyebabkan kekufuran.” Nah, jika kita
melakukan
hukum pidana Islam. Minimal rakyat sudah bisa hidup layak dan
mendapatkan
makanan dengan mudah. Sedangkan faktanya, bahwa rakyat negara ini
masih
sangat lemah perekenomiannya. Jadi Lid, menurut saya tingkat kesejahteraan
itulah
yang mendorong seorang untuk bisa memahami tentang arti the rule of law!
Kalau
menurut
kamu gimana?”
Sejenak
aku berfikir, memikirkan apa yang telah diucapkan oleh guru besar yang
satu
ini. Memang analisis beliau terlihat gamblang, jelas dan ringkas. Dan langsung to
the
point. Bahwa, kalau menurut penafsiranku tentang analisis beliau. Bahwa
sesungguhnya
semua
aturan (hukum) dapat ditegakkan jikalau pelaku hukum bisa menikmati
kesejahteraan
dari aturan (hukum) tersebut. Dengan kata lain, tingkat perekonomian
masyarakatlah
yang menjadi pedoman. Jikalau, sebuah masyarakat sudah mempunyai
tingkat
perekonomian yang tinggi maka secara otomatis pendidikan masyarakat pun juga
tinggi.
Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, maka secara otomatis hukum akan
berjalan
sesuai apa yang diharapkan. Tetapi, ada kejanggalan.
“Hem,
begini Pak!” ucapku sambil terlihat memikirkan suatu hal. “Hukum, merupakan
aturan
yang harus diterapkan oleh masyarakat. Jikalau hukum itu baik, maka
masyarakatpun
ikut baik. Insya Allah!” ucapku
Terlihat
Prof. Susilo memandangiku dengan seksama. Memperhatikan setiap ucapanku.
Dan
sesekali mengangguk jika beliau setuju dengan pendapatku.
Setelah
itu aku mengatakan “sebuah aturan atau hukum, baik yang sudah maupun yang
akan
diterapkan kepada masyarakat. Harus melawati titik uji tentang keampuhan hukum
tersebut.
Dengan kata lain, bahwa hukum tersebut mempunyai sifat yang haq (benar)
dan
tetap
serta tidak berubah-ubah. Untuk membuat sebuah kebenaran, maka seseorang
pembuat
hukum harus mengetahui kebenaran itu sendiri. Untuk mengetahui kebenaran,
maka
pembuat hukum pun harus menjadi orang yang benar. Dan untuk menjadi orang
yang
benar, maka pembuat hukum harus melakukan kebenaran atau dalam kata lain
kegiatan
kebenaran. Sehingga, akan terjadi stimulus (pembangkit) untuk melakukan
kebenaran
itu sendiri. Sehingga para penegak hukum pun dengan serta merta akan
melakukan
pembenaran tentang adanya kebenaran. Jikalau nyata-nyata sebuah kebenaran
itu
adalah benar.
Dinegara
kita ini, tingkat masyarakat untuk memahami hukum memang sangat
rendah.
Sama rendahnya dengan apa yang mereka pahami tentang Undang-Undang.
Hukum
bagi masyarakat adalah sebuah kerangka penyekat dalam tingkahlaku mereka.
Karena
anggapan mereka, hukum merupakan aturan yang terdiri dari pasal-pasal dan
ayat-ayat
yang mengekekang kelakuan mereka terhadap orang lain. Hukum dinegara kita
ini,
merupakan hukum yang berada pada penafsiran kegiatan kesalahan-kesalahan
manusia.
Bukan merupakan tingkat aturan (hukum) tentang melakukan sebuah kebanaran
atau
kebaikan. Jadi, masyarakat akan langsung takut manakalah hukum positif tersebut
diperdengarkan
oleh mereka. Sikap antipati terhadap hukum positif inilah, yang akhirnya
masyarakat
juga antipati terhadap hukum Islam. Masyarakat akan langsung mengatakan
bahwa
hukum itu adalah tindakan yang bersifat punishment (hukuman). Bukan
tindakan
yang
bersifat mangatur hidup agar lebih baik. Jadi antipati seseorang terhadap hukum
Islam,
hanya karena mereka tidak mengetahui tetang kejalasan hukum-hukum Islam.
Karena
mereka trauma dengan hukum positif (hukum yang ada dinegara) yang bersifat
penghukuman
bagi orang yang bersalah. Maka, hukum Islam identik dengan mati, potong
tangan
dan lain sebagainya. Inilah yang membuat hukum-hukum Islam menjadi hal yang
menakutkan
bagi masyarakat. Padahal hukum Islam itu tidak hanya seperti itu. Islam
banyak
mengatur tentang tata cara dalam berbagai hal. Seperti hukum nikah, hukum
pergaulan,
hukum jual beli, hukum pidana, hukum perdata dan bahkan untuk memasuki
kamar
mandi pun ada hukumnya. Nah, disinilah orang-orang seharusnya memahami
tentang
hukum itu sendiri. Hukum Islam mengatur kehidupan, agar menjadi lebih terarah
dan
teratur dalam menjalankan kehidupan yang sementara ini. Di dunia.
Ganjaran
bagi orang-orang yang melakukan hukum (aturan) Islam. Menjadikan
mereka
akan lebih taat kepada Rabb (Tuhan)nya. Saat orang Islam taat kepada hukumhukum
Islam.
Maka yang akan terjadi adalah keseimbangan dalam hidup, antara dunia
dan
akhirat!” ucapku panjang lebar. “saya sanksi, saat Bapak mengatakan tentang
seorang
pelaku hukum akan mentaati hukum manakalah perekonomian masyarakat sudah
tinggi.
Terbukti dinegara maju, bahkan Amerika sekalipun. Tingkat pelanggaran hukum
juga
tidak kalah banyaknya dengan negara kita. Di Los Angeles, tingkat perkosaan
mereka
sangat tinggi. Setiap hari, ada sekitar 3000 wanita yang diperkosa melapor ke
LAPD
(Los Angeles Police Depertement). Dan yang tidak melaporpun, sama banyaknya.
Sungguh
ironis, jikalau hukum hanya mengatur tentang tingkah laku kesalahan mereka.
Karena
hukum yang sesungguhnya, adalah mengatur manusia untuk lebih mencintai
hukum
itu sendiri.
Contohnya,
seseorang yang membunuh. Dalam hukum Islam, dia harus qishah
(dibalas).
Tetapi manakalah si pembunuh dimaafkan oleh keluarga yang dibunuh, maka
pembunuh
ini terbebas dari hukuman tersebut. Meskipun dalam hal ini ada peraturan juga
mengenai
tata cara pengampunan dalam hukum Islam. Jadi, pandangan masyarakat
tentang
hukuman mati dalam Islam. Banyak yang keliru dan salah. Tidak sedikit orang
yang
mengatakan bahwa hukuman mati dalam Islam itu kejam. Tetapi, uniknya. Pada
saat
ada seorang yang dibunuh, maka secara otomatis keluarga yang menjadi korban
akan
menuntut
hal yang serupa pada pelaku pembunuhan. Yaitu dibunuh. Jadi sebenarnya,
hukuman
mati adalah sebuah fitrah dalam kehidupan. Jadi seseorang yang mengacuhkan
hukuman
mati, atau bahkan menganggap hukuman mati adalah sebuah kekejaman atau
bahkan
kekejian karena melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Maka seseorang itu,
tidaklah
memahami esensi dalam sebuah kehidupan. Dalam Islam, pun telah diatur
tentang
hukuman mati tersebut. Membunuh satu orang yang tidak bersalah, bagaikan
membunuh
semua manusia yang ada didunia. Itulah esensi hukum Islam.
Sedangkan,
apa yang tertera hukuman mati dalam hukum positif. Sangatlah
rancuh.
Hukuman seseorang yang membunuh tanpa alasan yang benar. Tidaklah pantas
seseorang
itu tetap hidup. Sedangkan, apa yang dilakukan Umar bin Khattab. Adalah
sebuah
kebijaksanaan khalifah (pemimpin) dalam melaksanakan tugasnya. Umar bin
Khattab,
sangat menjaga rakyatnya dalam masalah apapun. Termasuk kesejahteraan.
Tetapi,
sedangkan pemimpin kita? Jadi sebuah pelaksanaan hukum, kalau menurut saya
adalah
pada pelaksanaan dari hukum itu sendiri. Dalam pengertian, hukum bukanlah hal
yang
mengekang atau membatasi kehendak kita. Tetapi sebenarnya, hukum adalah
sebuah
perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari.” Ucapku penuh yakin.
Prof.
Susilo tersenyum. Dia menganggukan kepalanya pelan. Tanda setuju.
“Hem,
saya paham apa yang kamu maksud Khalid!” ucap Prof. Susilo. “tetapi apakah
hukum
positif tidak dapat menjadi sebuah kehidupan hukum sehari-hari?” sanggahnya.
“Saya
rasa, begini Pak. Hukum merupakan sebuah pokok kehidupan. Manakalah hukum
itu
baik, maka masyarakatnya pun akan baik. Saya ingin menanyakan kepada Bapak.
Apakah
dalam hukum positif, terdapat sebuah pengaturan tentang hukum bertingkah laku
yang
baik.”
Prof.
Susilo terlihat memikirkannya.
Saat
itulah aku langsung menjawab sendiri pertanyaanku “tidak Pak! Hukum positif,
tidak
mengajarkan kita bertingkah laku yang baik. Tetapi hukum positi hanya, mengatur
orang
yang bertingkah laku tidak baik. Atau dalam kata lain. Melanggar hukum. Tetapi
dalam
hukum-hukum Islam. Kita pun diatur dalam bertingkah laku yang baik. Dan kita
pun
diberitahu akibat dari perilaku yang baik. Maupun yang tidak baik. Jadi hukum,
seharusnya
melihat dua hal. Yaitu sebab dan akibat. Bukan hanya hukum bersifat akibat
semata.”
Prof.
Susilo tersenyum “Khalid, saya rasa kamu sudah sangat paham tentang masalah
ini!
Saya
rasa kamu lebih banyak menguasai argumen tentang ini. Dan stigma kamu,
tentang
dua
hukum itu bagus juga. Saya setuju, dengan argumen kamu.”
“Terima kasih Pak!” jawabku senang.
“Khalid,
sudah! Saya percaya sama kamu. Sekarang, kamu tinggal kerjakan semua
skripsi.
Setelah selesai, kasihkan saya. Biar saya koreksi.” Ucap Prof. Susilo.
“Untuk
per Babnya gimana Pak? Apa saya nggak perlu bimbingan lagi?” tanyaku heran.
Prof.
Susilo tersenyum sambil menggelengkan kepala. Setelah itu beliau berkata “Saya
yakin
kamu sudah tidak perlu pembimbing lagi. Saat ini, saya menyatakan diri bukan
pembimbing
skripsi kamu. Tetapi saya adalah teman diskusi skripsi kamu. Tetapi untuk
pengesahan
legalitas, saya tetap pembimbing kamu”
Masya
Allah. Apakah benar, kepintaranku sampai sebegitu hebatnya? Hingga Prof.
Susilo
sangat percaya denganku. Yaa Allah. lindungi aku dari sifat takkabur dan ujub.
Ucapku
lirih dalam hati.
“Khalid,
sejak lama saya ingin bertanya tentang sesuatu?” ucap Prof. Susilo, saat aku
sedang
membayangkan apa yang dikatakan oleh Prof. Susilo. Membayangkan tentang
azab
Allah, bagi orang-orang yang sombong. Apalagi yang bagi orang yang
membanggakan
diri.
Aku
sedikit tersentak. “Apa itu Pak? Apakah menyangkut skripsi saya?” tanyaku
heran.
“Oh,
bukan. Ini diluar skripsi dan kuliah ini” jelasnya.
“Lalu,
apa pak?” tanyaku penasaran.
“Khalid,
saya sering mendengar aktivis Islam sangat tidak senang dengan hukum positif
negara
ini. Saya sering mendengar bahwa hukum positif kita adalah hukum kufur. Jadi,
orang
yang mempelajari hukum kufur maka dia kufur juga. Apa benar pernyataan itu
Khalid!
Saya benar-benar bingung dengan ucapan seperti itu. Karena saya juga tidak
ingin
dibilang kufur.” Tanyanya bingung.
“Pak,
memang banyak aktivis Islam yang mengatakan seperti itu. Bahkan beberapa
teman-teman
saya pun. Mengatakan seperti itu. Tetapi pada hakekatnya, tujuan orang
belajar
itulah yang menjadikan seorang itu kufur apa tidak.” Jelasku.
“Maksudnya?”
Prof. Susilo terlihat sangat penasaran.
“Begini,
Pak. Seorang yang belajar merupakan sebuah kewajiban bagi Islam. Tak lupa
juga
niat untuk belajar itu sendiri. Kalaulah niat sudah menyimpang dari tujuan
awal.
Untuk
tidak meraih kejayaan Islam kembali. Maka seseorang itu menjadi kufur. Tetapi
jikalau
seseorang tetap berpegang teguh pada tujuan awal itu. Yaitu untuk menegakkan
nilai-nilai
Islam. Maka Insya Allah, akan mendapatkan berkah dari Allah! Kalaulah
seorang
aktivis Islam mengklaim bahwa belajar hukum positif itu haram atau kufur.
Maka
seharusnya mereka pun tidak usah tinggal dinegara ini. Karena pada dasarnya
semua
aktivis Islam di negara ini, merupakan pelaku pasif hukum positif. Jadi secara
tidak
langsung, semua orang yang berada dinegara ini merupakan pelaku hukum positif.
Apalagi,
saat mereka terkena kasus hukum. Apakah mereka akan diam? Tidak mereka
pasti
akan mencari pengacara untuk membela mereka. Nah, disinilah letak yang
mendasar.
Kalaulah semua aktivis Islam apatis dengan hukum positif. Lalu saat aktivis
Islam
terkena kasus hukum, siapakah yang akan membela mereka? Siapakah yang akan
membela
saudara seiman, jika semua aktivis Islam dihabisi dengan hukum positif ini?”
jelasku
berapi-api. Karena, sebenarnya aku sendiri pernah ditanya dan dilecehkan oleh
sesama
aktivis Islam yang lainnya. Karena aku berada di fakultas Hukum. Jurusan yang
keliru
untuk aktivis Islam. Kata mereka.
“Aktivis
Islam, seharusnya tidak apatis dengan hukum positif ini. Karena akan
menjadi
bumerang tersendiri seandainya tidak ada orang-orang Islam yang mengerti
tentang
hukum positif. Sedangkan kita, masih dikuasai hukum positif! Jadi orang yang
mengeklaim
tentang kebenaran kekufuran pada aktivis Islam yang belajar hukum positif
merupakan
aktivis Islam yang tidak mengetahui tentang esensi dari belajar itu sendiri.”
lanjutku.
“Iya,
benar Khalid. Saya juga beberapa kali berfikir seperti apa yang kamu pikirkan.
Khalid,
meskipun saya Professor tetapi gelar ini tidak membuatku mengerti tentang
hukum
agama yang saya anuti sendiri. Islam. Saya menjadi lega saat ini. Dan terima
kasih
atas penjelasannya, Khalid.” Ucap beliau dengan senyum kelegaan, yang entah
sampai
dasar apa kelegaan itu berada. “Baik, kalau begitu kita cukupkan dulu diskusi
kita
saat
ini. Terima kasih atas beberapa penjelasan kamu, Khalid”
“Alhamdulillah”
Ucapku dalam hati. “Baik kalau gitu terima kasih, Pak. Saya pamit dulu,
masih
ada beberapa urusan.”ucapku. Setelah itu aku langsung meninggalkan sekretariat
dosen.
Tetapi tak lupa untuk mengucapkan “Assalamualiakum” kepada Prof. Susilo.
***
Siang
begitu terik, mentari bersinar bagaikan bola api yang membara. Membakar
kulit.
Rasanya malas sekali untuk berjalan menuju fakultas ekonomi. Untuk menepati
janji
seorang yang ingin mempelajari Islam. Entah itu belajar, atau ajang debat
mereka
yang
ditujukan kepadaku. Entah, aku tak tahu. Semangat jihad ini menjadi kendur saat
melihat
mentari bersinar terik sekali.
Tetapi
terik matahari tak pernah mengalahkan tentara Muslim untuk berperang.
Bahkan
sengatan panas mentari, bagaikan energi kekuatan yang diberikan oleh sang
Ilahi.
Disaat
berpuasa pun, tentara muslim berperang. Juga tak luput dari sengatan matahari.
Tetapi
mereka tetap semangat, semangat yang membara untuk mendapatkan syurga.
Mendapatkan
kenikmatan hidup bahagia diatas sana. Sesuai dengan apa yang telah
dijanjikan
bagi para pencari syahid. Tak lupa, pun bidadari surga sudah menunggu untuk
dipeluk
mesra. Oleh mujahid-mujahid yang syahid. Nah kan, bidadari lagi!.
Semangatku
pun kembali, mengawali jihadku lagi. Tuk, mengharapkan
keridho’an-Nya.
Juga mengharapkan surganya, serta tak lupa Bidadari-Nya. Nah kan,
bidadari
lagi. Udah deh, pasti bidadari lagi.
Jarak
antara fakultas hukum dengan fakultas ekonomi lumayan jauh. Kira-kira
700
meter. Langkahku kembali tegak melaju, menerobos mentari yang bersinar terik.
Memberikan
cahaya kepada mahluk yang ada dibumi. Serta memberikan energi
kehidupan
bagi mahluk-Nya. Langkahku takkan pernah surut, dengan jiwa yang
bergelora.
Menanti surga yang akan dijanjikan-Nya. Pada mujahid dan mujahidah yang
ikhlas
berjuang kerana-Nya. Sungguh nikmat rasanya, saat perjuangan tidak pernah
terdistorsi
dengan kenikmatan dunia. Tidak terkotori oleh nafsu-nafsu kotor manusia.
Nafsu
sesat yang membuat luntur ghiroh perjuangan. Nafsu untuk mendapatkan
materi,
nafsu
yang membuat manusia terlena karena kenikmatan dunia. Apalagi nafsu untuk
menunjukkan
jati diri, pada sang kekasih. Wanita yang dia damba. Bukan kekasih Ilahi,
kekasih
yang haq, diatas sana. Diatas segala-galanya. Diatas Arsy yang agung dan mulia.
Sungguh
aku menginginkannya. Menginginkan bertemu maha agung diatas Arsy. Allah
swt.
Tetap
aku melangkah dalam setiap terik yang menyengat tubuh, menyengat
semua
energiku. Tetapi tidak menyerap semangatku. Insya Allah. Setiap langkah, aku
selalu
melihat sebuah kejadian yang menyedihkan. Menyedihkan bagi dunia pendidikan
dan
memalukan bagi dunia kemahasiswaan apalagi dalam tingkat keimanan. Ironis.
Disetiap
jalanku beberapa terlihat dan terlintas mahasiswa-mahasiswi yang sedang asyik
dalam
perbincangan. Mereka terlihat sumringah dengan kesanangan mereka. Lucu,
mereka
terlihat sangat percaya diri dengan dandanan mereka. Dandanan yang seronok
mengumbar
nafsu. Apalagi, terlihat mahasiswa yang memeluk wanita dengan mesra.
Mereka
tidak malu. Entah fikiran apa yang ada dihati mereka. Mungkin mereka
terpengaruh
dengan para artis-artis yang sukanya cipika-cipiku (red’cium pipi
kiri-cium
pipi
kanan). Atau mungkin mereka berfikir itu sebuah kemodern. Entahlah, mereka
hanya
terlihat
lucu saja. Kasihan.
“FAKULTAS
EKONOMI” tulisan itu yang tertera besar dihadapanku kini. Aku
langsung
saja masuk kelas A. Tak terlalu jauh memang.
“Siang,
semuanya!” salamku sambil memasuki kelas.
“Tuh,
dia sudah datang!” ucap Hendra sambil menunjukku, terlihat lega.
“Wah
lama banget, Lid!” gerutu Hendra.
“Iya,
maaf-maaf. Tadi lama! Setelah bimbingan. Aku langsung sholat dhuhur dulu.
Setelah
itu, langsung kemari.” Jelasku kepada mereka
Hendra
mengangguk, mengerti. Nova hanya tersenyum. Setelah itu Nova
langsung
memperkenalkan teman-teman UK3nya.
“Lid, kenalkan. Ini Rani” Nova menunjuk gadis
berkacamata, berkulit putih dan berwajah
oval.
Setelah itu Nova memperkenalkan temannya yang lain “ini, Dewi.” Seorang gadis
yang
berkulit sawo matang. Berambut panjang berwajah seperti orang indo. Matanya
biru.
“Khalid”
ucapku sambil tersenyum dan merapatkan kedua telapak tanganku kearah
dadaku.
“Ok,
sekarang langsung aja Lid! Aku pengen bertanya. Lid, aku penasaran dengan
Islam.
Sebenarnya
Islam agama yang bagaimana sich?” ucapnya
Aku
bagaikan seorang Ustad yang dikeliling oleh para jamaah. Tetapi model
pertanyaan
Nova bagaikan aku sebagai terdakwa. Ini kesampatanku untuk mengatakan
kebenaran
Islam, untuk menyampaikan agama yang haq ini. Aku tidak boleh gentar
dengan
mereka. Ucapku lirih dalam hati.
“Baik.
Islam! Adalah berarti selamat. Dalam kata lain juga Islam bisa diartikan sebuah
kedamaian.
Atau penafsiran yang lain, bahwa Islam itulah yang membawa kesalamatan”
kataku
santai.
“Lid,
tentang selamat itu sendiri. Konsepnya dalam Islam seperti apa?” tanya Nova.
“Konsep
keselamatan dalam Islam itu adalah pasrah dan taqwah! Tetapi harus dibedakan
tentang
arti pasrah itu sendiri. Pasrah dalam Islam, bukan berarti hanya diam menunggu.
Tetapi
konsep pasrah dalam Islam adalah, melakukan sebuah perbuatan kebaikan dalam
dirinya
sehingga tercapai kebaikan untuk alam ini. Seperti apa yang disebutkan dalam Al
Qur’an
bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari umat-umat yang lain. Dari
perbuatan
kebaikan itulah yang akan menjadikan ketakwaan bagi diri. Seperti halnya
berbuat
adil. Dalam Islam perbuatan adil adalah sebuah perbuatan yang sangat baik.
Karena
adil termasuk mendekati ketakwaan.” Aku menghela nafas. “Sebentar! Untuk
lebih
fokus. Lebih baik sebuah pertanyaan-pertanyaan itu adalah ajaran-ajaran Islam
yang
kalian
tidak mengerti. Jangan terpatok pada konsep keselamatan. Karena pada dasarnya
konsep
keselamatan dalam Islam itu, sulit diterima dimata orang yang tidak mengerti
tentang
Islam. Tetapi manakalah konsep itu dijalankan, maka akan terjadi
gejolak-gejolak
jiwa
untuk terus melakukannya. Dan dijamin tidak akan ada keraguannya.” Selaku.
“Iya,
sebaiknya seperti itu!” ucap Hendra.
“Baik,
Lid! Aku mau tanya tentang pernikahan. Atau dalam hal ini, dibolehkannya pria
berpoligami?
Dan kenapa wanita tidak boleh berpoliandri?” tanya Dewi.
Aku
tersenyum, karena memang inilah yang sering dipertanyakan oleh orang-orang
kafir
dan
umat Islam yang ragu dengan keIslamannya.
“Dalam
Al Qur’ann surat Ash-Shaff: 6. ‘Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata:
"Hai
Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab
(yang
turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya)
seorang
Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)….’
Surat
ini menunjukkan tentang dibolehkannya poligami pada orang-orang Nasrani. Dan
itu
ada dalam Al Qur’an bukan dalam Injil.
Lalu
surat Al Qur’an An-Nisa: 3 ‘Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budakbudak
yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.’
Ini adalah sebagian besar dalil atau penguat dalam ajaran Islam untuk
berpoligami.
Hikmah
dari poligami sangat banyak. Kita sudah mendengar bahwa wanita
dijaman
sekarang sangat banyak. Karena banyaknya wanita, hingga saat ini pun aku
sekarang
dikelilingi oleh tiga wanita” candaku. Dewi dan Rani terlihat tersenyum sinis.
Kalau
Hendra hanya tersenyum tanpa maksud. Nova, tidak menunjukkan senyumnya
sama
sekali. Dia terlihat menunggu penjelasanku kembali.
Setelah
itu aku meneruskan penjelasanku. “sesungguhnya, poligami merupakan
kebutuhan
bagi pria. Bukan berarti, hanya karena nafsu syahwat pria lebih besar. Tetapi
lebih
didasari oleh sebuah hal yang sakral atau suci. Dan ini membuktikan kebenaran
Al
Qur’an.
Bahwa dimasa yang akan datang, jumlah wanita lebih banyak dari jumlah pria.
Bahkan
ada sebuah hadits yang menyatakan bahwan disuatu masa nanti para lelaki akan
dikelilingi
oleh 40 wanita. Sebagai istrinya. Dan sekarangpun telah terjadi. Adanya
poligami
membuat sebuah perlindungan untuk wanita, agar tidak terkena fitnah dunia.
Apalagi
berzina. Perbuatan yang sangat dilaknat oleh Allah. Jikalau ada seorang wanita
yang
tidak punya harta dan saudara, lalu kita membantunya. Meskipun melewati istri
kita.
Pasti masyarakat akan berfikiran buruk terhadap wanita itu. Andaikata seorang
wanita
yang tidak punya apa-apa dan siapa-siapa. Apakah kita akan membiarkan terlunta,
dengan
ketidakpastian bantuan kita? Ataukah akan kita menolong dengan menikahinya!
Dan
memuliakannya seperti wanita-wanita yang dimuliakan dengan jalan dinikahi.
Sungguh
sebuah hal yang harus kita fikirkan dengan akal. Bukan dengan emosi dan
keegoisan
kita sendiri. Kalaulah memang tidak ingin berpoligami, maka janganlah kita
mengecam
poligami yang pada dasarnya itu memang benar. Bahkan benar menurut akal.”
“Tapi,
dalam Al Qur’an tadi. Manusia diharuskan berlaku adil. Apakah manusia bisa
berlaku
adil?” tanya Dewi lagi.
Dalam
Al Qur’an. Pun disebut ‘Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara
isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan
yang
lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(QS
Annisa 123).’ Yang dimaksud adil dalam Al Qur’an adalah. Mewajibkan keadilan
dalam
perkataan dan perbuatan. Manakalah dia lebih condong kepada suatu ucapan
ataupun
perbuatan, maka itulah yang dikatakan ketidakadilan. Adapun adil dalam
percintaan,
seorang manapun tidak akan pernah bisa berbuat adil. Seperti apa yang
menjadi
doa Rasulullah Muhammad Saw. ‘Allahumma hadzaa fasmii fiimaa amliku falaa
talumnii
fiimaa tamliku walaa amlik’ yang artinya. ‘yaa Allah,
inilah pembagianku pada
apa
yang aku miliki. Maka janganlah Engkau mencelaku pada apa yang Engkau miliki,
sedangkan
aku tidak memiliki.’ Dalam doa Rasulullah ini sangat jelas, bahwa manusia
tidak
dapat berlaku adil tentang cinta. Karena cinta merupakan sebuah rasa, yang hanya
Allahlah
bisa berlaku adil, bukan manusia. Mahluk yang memiliki keterbatasan. Maka
syarat
untuk berpoligami adalah keadilan dalam perkataan dan perbuatan. Bukan keadilan
dalam
perkara yang terdapat dalam hati manusia! Bagaimana!” ucapku. Mereka berempat
terlihat
diam. Setelah itu aku teruskan penjelasanku lagi “maka janganlah, kita
menganggap
bahwa orang yang berpoligami itu rendah. Karena sebenarnya, orang yang
berpoligami
dengan diiringi oleh pemahaman akhidahnya. Maka sesungguhnya mereka
adalah
orang-orang yang mulia! Karena poligami adalah tindakan mulia. Tindakan untuk
menyelamatkan
wanita. Tindakan untuk memuliakan wanita. Maka seharusnya wanita
yang
mulia. Siap untuk memuliakan wanita lainnya. Dengan jalan memperbolehkan
suaminya
untuk bertindak mulia. Berpoligami.” Setelah itu aku tersenyum.
“Kalau
begitu, lebih baik konsep pernikahan umat Kristen. Yang mereka, tidak ada
poligaminya.
Dan sehidup semati!” seloroh Rani.
Aku
tersenyum, ternyata banyak umat kristen yang tertipu dengan injilnya sendiri.
ucapku
dalam hati. “bukan seperti itu, coba kamu buka Ulangan 24:3” serta mertapun
mereka
mengambil injil yang berada di tas masing-masing. Setelah itu aku langsung saja
mengatakan
“(Ulangan 24) ‘24:3 dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi
kepadanya,
lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta
menyuruh
dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia
menjadi
isterinya itu mati, 24:4 maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia
pergi
itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu
dicemari;
sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau
mendatangkan
dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi
milik
pusakamu.’ Juga kalian buka perjanjian baru Matius pasal 5. yang berbunyi ‘5:31
Telah
difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai
kepadanya.
5:32 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya
kecuali
karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan
perempuan
yang diceraikan, ia berbuat zinah’ disitu diterangkan bahwa seorang wanita
yang
diceraikan. Maka haram untuk dinikahi kembali. Dan ini merupakan sebuah
penghinaan
terbesar bagi seorang wanita. Manakalah seorang laki-laki yang sukanya
menganiaya
istrinya. Dan istrinya memint cerai. Maka dalam hukum injil. Wanita itu
najis
untuk dinikahi. Masih banyak pasal-pasal dalam injil yang membahas itu.
membahas
kenajisan seorang wanita yang telah diceraikan.
Tetapi
dalam Islam. Tidak! Seorang wanita tidaklah najis atau haram untuk
dinikahi
manakalah sudah diceraikan. Meskipun dalam Islam cerai dibolehkan tetapi
cerai
merupakan perbuatan yang halal tetapi sangat dibenci oleh Allah! Oh iya aku
lupa.
Masalah
tentang poliandri. Kenapa wanita tidak boleh menikah dengan pria lebih dari
satu
kali. Mungkin jawabnya sangat mudah sekali. Apakah seorang wanita mampu
memberikan
anak yang pasti pada masing-masing suaminya. Karena mengingat sperma
yang
dihasilkan itukan terkumpul menjadi satu. Jadi kasihan tuh, anaknya! Bingung
siapa
bapaknya!
Karena pada saat berpoligami suami pasti tahu, itu adalah anaknya. Nah, kalau
poliandri
apakah seorang istri tahu, siapa yang jadi bapak anaknya nanti?”
Seketika
itu, mereka tertawa. Entah itu masuk dihati mereka, atau hanya dianggap
sebuah
kebercandaa. Wallahualam.
“Tapi,
Lid. Banyak orang yang berpoligami. Tapi akhirnya ya, istri-istrinya minta
cerai.
Atau
si suami tidak adil. Biasanya lebih condong ke istri mudanya!” tanya Hendra.
“Iya,
Hen. Itulah yang terjadi sekarang. Karena mereka belum tahu ilmu tentang
berpoligami.
Tetapi mereka memaksakan diri mereka sendiri. Jadi, karena kita sudah
mengetahui
ilmu poligami. Maka kita tidak akan menentang poligami, bukan! Tetapi kita
harus
menentang orang-orang yang menyimpang dari ajaran-ajaran berpoligami itu
sendiri.”
jawabku lugas.
Hendra
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanda setuju.
“Apakah,
nanti kamu juga akan berpoligami, Lid?” tanya Nova dengan nada datar. Serasa
menyimpan
sesuatu dalam kalbunya.
Aku
tersenyum, “yach, lihat nanti. Apakah istri pertamaku mengijinkan apa tidak!
Kalaulah
aku tidak di ijinkan oleh istri pertamaku, untuk menikah lagi. Aku akan setia,
menunggu
untuk diijinkan menikah lagi.” jawabku.
“Yee
sama aja. Berarti kamu nggak setia sama istri” ucap Rani.
“Eee…
begini Ran. Sebuah kesetian adalah kata abstrak dalam kehidupan. Setia pun
relatif
untuk diucapkan. Dalam Islam kesetian itu adalah keistiqomahan. Berbanggalah
seorang
istri manakalah, suaminya istiqomah atau setia dalam agamanya. Termasuk
dalam
poligami. Karena seorang yang istiqomah dalam agama Islam. Dia termasuk
orang-orang
yang tidak akan menyakiti istrinya. Bahkan menikah lagi, seharusnya
menjadi
sebuah kebanggan tersendiri bagi istri. Karena, dalam sebuah hadits. Dinyatakan
bahwa
Rasulullah Muhammad Saw. akan berbangga pada kita yang mempunyai istri
lebih
dari satu dan mempunyai anak banyak. Jadi kesetian bukan pada mahluk Allah.
Tetapi
kesetian harus pada aturan Allah. Dan Allah sendiri.” jelasku.
“hehe..
wah nggak ada tema lain yach selain pernikahan!” selaku.
Semua
tersenyum,
“Tema
pernikahan itukan, lebih digemari” ucap Nova, sambil tersenyum simpul. Entah
apa
maksud yang terkandung dalam hatinya. “Lid, kalau wanita dalam Islam wajib
nggak
pake
jilbab? Lalu kenapa harus pake’ jilbab? Kan nggak bisa ngetren and nggak bisa
bebas!
Kesannya kok dipaksakan, gitu.” Tanya Nova.
“Wajib!
Kenapa harus pake jilbab? kesannya nggak bebas! Hem…. Begini Nov. Aku
jelaskan
semuanya biar tahu. Jilbab banyak namanya. Seperti Hijab, Burqo, lalu abaya
atau
dalam kata kita kebaya. Lalu ada juga khimar, kalau khimar ini bukan jilbab.
Tetapi,
sebuah
penutup kepala yang biasanya digunakan oleh orang nasrani dan yahudi. Khimar
tidak
menutupi aurat, tetapi hanya menutupi kepala! Sedangkan Jilbab, Hijab, Burqo,
abaya
atau kebaya. Adalah sebuah penutup aurat yang sangat sempurna, untuk menjaga
para
mata-mata jahil yang ingin menikmati tubuh wanita. Namun sayang, jilbab dan
abaya
atau kebaya, akhirnya terdistorsi menjadi pakaian yang tidak menurut syari’at.
Atau
pakaian syar’i. Sekarang lebih banyak perempuan yang memaknai jilbab, abaya
atau
kebaya yang sama dengan khimar.
Jilbab
merupakan pakaian yang membebaskan para wanita dalam jeratan fitnah
dunia.
Sungguh, jilbab merupakan sebuah pemuliaan terhadap wanita. Pemuliaan pada
tubuh-tubuh
wanita yang sangat indah nan sempurna. Tidak ada pengecualian. Tidaklah
seorang
yang mulia itu, memperlihatkan kemuliaannya pada yang bukan tempatnya.
Apalagi,
dengan berjilbab seorang wanita tidak akan terpenjara mengikuti trend-trend
pakaian
yang setiap tahun pasti berubah. Dengan berjilbab, seorang wanita akan terbebas
dari
kehidupan glamour. Dan orang yang berjilbab tidak akan pusing-pusing mikirin
bajunya
menurut trend apa tidak. Tetapi mereka akan lebih condong memikirkan apa
yang
akan dia perbuat, dari keistiqomahan kepada Tuhannya. Sehingga dengan bebas,
wanita
berjilbab dapat berbuat amal dengan ketenangan jiwanya. Dan Jilbab adalah
pakaian
trendy, sejak jaman Rasulullah sampai akhirnya jaman nanti. Karena terbukti,
saat
kemunculan Islam. Jilbab tidaklah pernah dipakai oleh wanita Arab. Dan pada
jaman-jaman
sebelumnya pula, wanita-wanita hanya dijadikan sasaran nafsu syahwat
para
lelaki. Dengan begitu, akhirnya Islam membebaskan wanita dari jeratan nafsu
syahwat
lelaki. Subhanallah. Tetapi sekarang, wanita-wanita yang tidak berjilbab.
Mereka
hanya menjadi objek pemandangan yang indah bagi para lelaki. Hanya untuk
nafsu
syahwat lelaki. Masya Allah.
Kalaulah
ada seorang yang mengatakan bahwa jilbab adalah pakaian wanita Arab.
Atau
jilbab merupakan pakaian kondisional di Arab. Karena daerahnya yang panas!
Maka
secara tegas, pernyataan itu langsung ditolak oleh wanita-wanita yang ada di
negara
ini. Karena menurut mereka, bahwa didaerah tropis kita yang cenderung berhawa
panas,
mataharipun yang kadang tidak sungkan-sungkan bersinar terik. Lalu,
wanitawanita
negara
ini sering berpendapat “apa nggak kepanasan tuh, kalau berjilbab!” inilah
yang
sering dinyatakan oleh wanita-wanita negara ini. Dengan pernyataan seperti itu,
maka
panas bukan berarti menghambat wanita untuk berjilbab. Karena di Arab, panas
terik
matahari lebihi panas dari negara kita ini.
Maka
dari itu, janganlah kita menganggap bahwa jilbab adalah sebuah pemaksaan
pakaian
terhadap wanita. Tetapi seharusnya lebih diartikan bahwa jilbab adalah
kebutuhan
bagi wanita. Karena jilbab adalah pembebasan bagi wanita. Mungkin jilbab
akan
jadi kewajiban bagi seorang muslimah yang tidak begitu mengerti tentang agama
Islam.
Seperti layaknya bayi, yang wajib untuk kita suapi meskipun mereka menangis
tidak
mau makan. Karena itu untuk kebaikan mereka sendiri. Dan jilbab akan menjadi
kebutuhan
bagi wanita, manakalah seorang wanita sudah mengerti tentang arti jilbab bagi
dirinya
sendiri. Seperti layaknya orang dewasa yang tidak diwajibkan untuk makan,
tetapi
dengan sendirinya mereka membutuhkan makanan tersebut.” Jelasku dengan
panjang
lebar, dan tegas.
Mereka
semua mengangguk, entah tanda mengerti atau setuju. Wallahualam.
“Oh
ya Khalid, aku ingin bertanya!” sela Hendra.
“Apa,
Hen?”
“Mungkin
ini rumor atau entah apalah namanya! Aku sering mendengar, bahwa orangorang
yang
dijuluki Ikhan apa Akhan entah apa namanya!”
“Ikhwan!”
potongku.
“Iya,
itu! Katanya sich lebih sering bergaul dengan sesame Ikhwan. Dan mereka nggak
mau
bergabung dengan yang lainnya! Kesannya eksklusif banget gitu loh.” Ujar Hendra
terlihat
memikirkan sesuatu.
“Iya
benar, kayak yang cewek-cewek jilbaber itu juga gitu!” sela Rani.
“Hem,
iya. Aku sering mendengar seperti itu! Kadang seseorang itu merasa enjoy atau
senang
jika mereka mempunyai kelompok sendiri! Kelompok yang dapat mengerti apa
yang
kita inginkan. Nah mungkin disitu kesimpulan dasar! Tetapi memang, kita tidak
boleh
menafikkan kebutuhan bersosialisasi dengan yang masyarakat. Hanya kadang,
banyak
para ikhwan dan akhwat yang canggung jika berkumpul dengan selain mereka.
Kesannya
seperti mereka itu orang aneh. Seperti juga kalau kalian barada pada kumpulan
Ikhwan
atau Akhwat! “ Candaku.
Mereka
semua tersenyum setuju.
“Jadi,
kalaulah kita tidak saling menganggap aneh. Dan mau menerima seseorang itu apa
adanya.
Tidak mengkritik sesuatu hal yang memang nyata-nyata itu benar. Tidak saling
menghujat
meskipun melihat sebuah kesalahan. Tetapi saling menyayangi dan
menyadarkan
manakalah kita bersama-sama! Pasti tidak ada anggapan seperti. Tapi,
banyak
juga kok Ikhwan atau Akhwat yang mereka juga senang bergaul dengan selain
golongan
mereka. Ya bisa diambil contoh, aku” ucapku sambil tersenyum.
“Wah,
sudah masuk waktu ashar nich. Ok, mungkin segitu aja. Insya Allah kalau
memang
ada yang perlu ditanyakan lagi, bisa lain waktu.” Kataku sambil melihat
arlojiku.
Mereka
mengangguk setuju.
“Baik, semoga apa yang kita dapatkan menjadi
sebuah pintu hidayah bagi kita. Untuk
dapat
menemukan sang Maha haq. Maha pemilik kebenaran. Dan menjadi orang-orang
yang
benar. Amien.”
Entah
apa yang dilakukan Nova, layaknya dia mengucapkan “Amien.” lirih dimulutnya.
Seakan
khusyuk, meminta sebuah kebenaran. Meminta apa yang terlihat dimatanya.
Entah
sebuah kebenaran, atau sebuah kebimbangan. Semoga saja kebenaran.
“Ok,
aku duluan.” Salamku ke mereka.
Lega
sudah, pertemuanku dengan mereka. Ternyata mereka memang benar-benar
ingin
belajar tentang Islam. tidak ada perdebatan yang sengit dalam pertemuan dua
pemeluk
agama yang sangat bertolak belakang. Sungguh besar rahmat Allah, yang telah
menjadikan
aku dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan teman-temanku yang non
Muslim.
Kini langkahku menuju sebuah peraduan yang damai. Menuju rumah yang
nyaman.
Menuju keindahan dalam balutan dan buaian sayang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.