Wednesday, October 17, 2012

Bidadari Untuk Ikhwan Part#11


JILID 5
“Begini, Lid! Kalau menurut pengamatan saya, ada sebuah hal yang mendasari seseorang
itu acuh tak acuh dengan hukum Islam itu sendiri. Sedangkan ada beberapa hal pola yang
harus kita ketahui, tentang judul skripsi kamu. Nah, saya melihat sebuah fenomena yang
mendasar pada negeri kita ini. Memang, hukum kita ini sangat mudah untuk ditarik ulur.
Atau dalam hal ini, banyak sekali undang-undang karet yang mudah untuk dimainkan
oleh penegak hukum. Entah itu Hakim, Jaksa, Polisi atau bahkan Pengacara sekalipun.”
Prof. Susilo menarik nafas sebentar, setelah itu beliau melanjutkan analisisnya “yang
akhirnya terjadi adalah, sebuah anggapan bahwa hukum kita mudah untuk dibeli. Namun
persoalan yang paling mendasar dalam sebuah permasalah skripsi kamu, bahwa
sesungguhnya hukum Islam itu sendiri masih asing ditelinga orang Islam. Sehingga untuk
memunculkan Hukum Islam, apalagi hukum pidana Islam. Maka seseorang harus dapat
benar-benar paham tentang apa pola-pola keberadaan hukum tersebut. Contohnya, dalam
kasus Umar bin Khattab. Seorang pencuri pun, dapat diampuni hukuman potong
tangannya. Nah, itu terjadi karena kelalaian pemerintahan Umar bin Khattab sendiri.
Dalam hal ini, Umar bin Khattab merasa berdosa karena masih ada rakyatnya yang
kelaparan. Akibat kelaparan itulah seorang dapat mencuri. Ingat, Lid. Rasulullah pun
telah bersabda “sesungguhnya kemiskinan itu menyebabkan kekufuran.” Nah, jika kita
melakukan hukum pidana Islam. Minimal rakyat sudah bisa hidup layak dan
mendapatkan makanan dengan mudah. Sedangkan faktanya, bahwa rakyat negara ini
masih sangat lemah perekenomiannya. Jadi Lid, menurut saya tingkat kesejahteraan
itulah yang mendorong seorang untuk bisa memahami tentang arti the rule of law! Kalau
menurut kamu gimana?”
Sejenak aku berfikir, memikirkan apa yang telah diucapkan oleh guru besar yang
satu ini. Memang analisis beliau terlihat gamblang, jelas dan ringkas. Dan langsung to the
point. Bahwa, kalau menurut penafsiranku tentang analisis beliau. Bahwa sesungguhnya
semua aturan (hukum) dapat ditegakkan jikalau pelaku hukum bisa menikmati
kesejahteraan dari aturan (hukum) tersebut. Dengan kata lain, tingkat perekonomian
masyarakatlah yang menjadi pedoman. Jikalau, sebuah masyarakat sudah mempunyai
tingkat perekonomian yang tinggi maka secara otomatis pendidikan masyarakat pun juga
tinggi. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, maka secara otomatis hukum akan
berjalan sesuai apa yang diharapkan. Tetapi, ada kejanggalan.
“Hem, begini Pak!” ucapku sambil terlihat memikirkan suatu hal. “Hukum, merupakan
aturan yang harus diterapkan oleh masyarakat. Jikalau hukum itu baik, maka
masyarakatpun ikut baik. Insya Allah!” ucapku
Terlihat Prof. Susilo memandangiku dengan seksama. Memperhatikan setiap ucapanku.
Dan sesekali mengangguk jika beliau setuju dengan pendapatku.
Setelah itu aku mengatakan “sebuah aturan atau hukum, baik yang sudah maupun yang
akan diterapkan kepada masyarakat. Harus melawati titik uji tentang keampuhan hukum
tersebut. Dengan kata lain, bahwa hukum tersebut mempunyai sifat yang haq (benar) dan
tetap serta tidak berubah-ubah. Untuk membuat sebuah kebenaran, maka seseorang
pembuat hukum harus mengetahui kebenaran itu sendiri. Untuk mengetahui kebenaran,
maka pembuat hukum pun harus menjadi orang yang benar. Dan untuk menjadi orang
yang benar, maka pembuat hukum harus melakukan kebenaran atau dalam kata lain
kegiatan kebenaran. Sehingga, akan terjadi stimulus (pembangkit) untuk melakukan
kebenaran itu sendiri. Sehingga para penegak hukum pun dengan serta merta akan
melakukan pembenaran tentang adanya kebenaran. Jikalau nyata-nyata sebuah kebenaran
itu adalah benar.
Dinegara kita ini, tingkat masyarakat untuk memahami hukum memang sangat
rendah. Sama rendahnya dengan apa yang mereka pahami tentang Undang-Undang.
Hukum bagi masyarakat adalah sebuah kerangka penyekat dalam tingkahlaku mereka.
Karena anggapan mereka, hukum merupakan aturan yang terdiri dari pasal-pasal dan
ayat-ayat yang mengekekang kelakuan mereka terhadap orang lain. Hukum dinegara kita
ini, merupakan hukum yang berada pada penafsiran kegiatan kesalahan-kesalahan
manusia. Bukan merupakan tingkat aturan (hukum) tentang melakukan sebuah kebanaran
atau kebaikan. Jadi, masyarakat akan langsung takut manakalah hukum positif tersebut
diperdengarkan oleh mereka. Sikap antipati terhadap hukum positif inilah, yang akhirnya
masyarakat juga antipati terhadap hukum Islam. Masyarakat akan langsung mengatakan
bahwa hukum itu adalah tindakan yang bersifat punishment (hukuman). Bukan tindakan
yang bersifat mangatur hidup agar lebih baik. Jadi antipati seseorang terhadap hukum
Islam, hanya karena mereka tidak mengetahui tetang kejalasan hukum-hukum Islam.
Karena mereka trauma dengan hukum positif (hukum yang ada dinegara) yang bersifat
penghukuman bagi orang yang bersalah. Maka, hukum Islam identik dengan mati, potong
tangan dan lain sebagainya. Inilah yang membuat hukum-hukum Islam menjadi hal yang
menakutkan bagi masyarakat. Padahal hukum Islam itu tidak hanya seperti itu. Islam
banyak mengatur tentang tata cara dalam berbagai hal. Seperti hukum nikah, hukum
pergaulan, hukum jual beli, hukum pidana, hukum perdata dan bahkan untuk memasuki
kamar mandi pun ada hukumnya. Nah, disinilah orang-orang seharusnya memahami
tentang hukum itu sendiri. Hukum Islam mengatur kehidupan, agar menjadi lebih terarah
dan teratur dalam menjalankan kehidupan yang sementara ini. Di dunia.
Ganjaran bagi orang-orang yang melakukan hukum (aturan) Islam. Menjadikan
mereka akan lebih taat kepada Rabb (Tuhan)nya. Saat orang Islam taat kepada hukumhukum
Islam. Maka yang akan terjadi adalah keseimbangan dalam hidup, antara dunia
dan akhirat!” ucapku panjang lebar. “saya sanksi, saat Bapak mengatakan tentang
seorang pelaku hukum akan mentaati hukum manakalah perekonomian masyarakat sudah
tinggi. Terbukti dinegara maju, bahkan Amerika sekalipun. Tingkat pelanggaran hukum
juga tidak kalah banyaknya dengan negara kita. Di Los Angeles, tingkat perkosaan
mereka sangat tinggi. Setiap hari, ada sekitar 3000 wanita yang diperkosa melapor ke
LAPD (Los Angeles Police Depertement). Dan yang tidak melaporpun, sama banyaknya.
Sungguh ironis, jikalau hukum hanya mengatur tentang tingkah laku kesalahan mereka.
Karena hukum yang sesungguhnya, adalah mengatur manusia untuk lebih mencintai
hukum itu sendiri.
Contohnya, seseorang yang membunuh. Dalam hukum Islam, dia harus qishah
(dibalas). Tetapi manakalah si pembunuh dimaafkan oleh keluarga yang dibunuh, maka
pembunuh ini terbebas dari hukuman tersebut. Meskipun dalam hal ini ada peraturan juga
mengenai tata cara pengampunan dalam hukum Islam. Jadi, pandangan masyarakat
tentang hukuman mati dalam Islam. Banyak yang keliru dan salah. Tidak sedikit orang
yang mengatakan bahwa hukuman mati dalam Islam itu kejam. Tetapi, uniknya. Pada
saat ada seorang yang dibunuh, maka secara otomatis keluarga yang menjadi korban akan
menuntut hal yang serupa pada pelaku pembunuhan. Yaitu dibunuh. Jadi sebenarnya,
hukuman mati adalah sebuah fitrah dalam kehidupan. Jadi seseorang yang mengacuhkan
hukuman mati, atau bahkan menganggap hukuman mati adalah sebuah kekejaman atau
bahkan kekejian karena melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Maka seseorang itu,
tidaklah memahami esensi dalam sebuah kehidupan. Dalam Islam, pun telah diatur
tentang hukuman mati tersebut. Membunuh satu orang yang tidak bersalah, bagaikan
membunuh semua manusia yang ada didunia. Itulah esensi hukum Islam.
Sedangkan, apa yang tertera hukuman mati dalam hukum positif. Sangatlah
rancuh. Hukuman seseorang yang membunuh tanpa alasan yang benar. Tidaklah pantas
seseorang itu tetap hidup. Sedangkan, apa yang dilakukan Umar bin Khattab. Adalah
sebuah kebijaksanaan khalifah (pemimpin) dalam melaksanakan tugasnya. Umar bin
Khattab, sangat menjaga rakyatnya dalam masalah apapun. Termasuk kesejahteraan.
Tetapi, sedangkan pemimpin kita? Jadi sebuah pelaksanaan hukum, kalau menurut saya
adalah pada pelaksanaan dari hukum itu sendiri. Dalam pengertian, hukum bukanlah hal
yang mengekang atau membatasi kehendak kita. Tetapi sebenarnya, hukum adalah
sebuah perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari.” Ucapku penuh yakin.
Prof. Susilo tersenyum. Dia menganggukan kepalanya pelan. Tanda setuju.
“Hem, saya paham apa yang kamu maksud Khalid!” ucap Prof. Susilo. “tetapi apakah
hukum positif tidak dapat menjadi sebuah kehidupan hukum sehari-hari?” sanggahnya.
“Saya rasa, begini Pak. Hukum merupakan sebuah pokok kehidupan. Manakalah hukum
itu baik, maka masyarakatnya pun akan baik. Saya ingin menanyakan kepada Bapak.
Apakah dalam hukum positif, terdapat sebuah pengaturan tentang hukum bertingkah laku
yang baik.”
Prof. Susilo terlihat memikirkannya.
Saat itulah aku langsung menjawab sendiri pertanyaanku “tidak Pak! Hukum positif,
tidak mengajarkan kita bertingkah laku yang baik. Tetapi hukum positi hanya, mengatur
orang yang bertingkah laku tidak baik. Atau dalam kata lain. Melanggar hukum. Tetapi
dalam hukum-hukum Islam. Kita pun diatur dalam bertingkah laku yang baik. Dan kita
pun diberitahu akibat dari perilaku yang baik. Maupun yang tidak baik. Jadi hukum,
seharusnya melihat dua hal. Yaitu sebab dan akibat. Bukan hanya hukum bersifat akibat
semata.”
Prof. Susilo tersenyum “Khalid, saya rasa kamu sudah sangat paham tentang masalah ini!
Saya rasa kamu lebih banyak menguasai argumen tentang ini. Dan stigma kamu, tentang
dua hukum itu bagus juga. Saya setuju, dengan argumen kamu.”
 “Terima kasih Pak!” jawabku senang.
“Khalid, sudah! Saya percaya sama kamu. Sekarang, kamu tinggal kerjakan semua
skripsi. Setelah selesai, kasihkan saya. Biar saya koreksi.” Ucap Prof. Susilo.
“Untuk per Babnya gimana Pak? Apa saya nggak perlu bimbingan lagi?” tanyaku heran.
Prof. Susilo tersenyum sambil menggelengkan kepala. Setelah itu beliau berkata “Saya
yakin kamu sudah tidak perlu pembimbing lagi. Saat ini, saya menyatakan diri bukan
pembimbing skripsi kamu. Tetapi saya adalah teman diskusi skripsi kamu. Tetapi untuk
pengesahan legalitas, saya tetap pembimbing kamu”
Masya Allah. Apakah benar, kepintaranku sampai sebegitu hebatnya? Hingga Prof.
Susilo sangat percaya denganku. Yaa Allah. lindungi aku dari sifat takkabur dan ujub.
Ucapku lirih dalam hati.
“Khalid, sejak lama saya ingin bertanya tentang sesuatu?” ucap Prof. Susilo, saat aku
sedang membayangkan apa yang dikatakan oleh Prof. Susilo. Membayangkan tentang
azab Allah, bagi orang-orang yang sombong. Apalagi yang bagi orang yang
membanggakan diri.
Aku sedikit tersentak. “Apa itu Pak? Apakah menyangkut skripsi saya?” tanyaku heran.
“Oh, bukan. Ini diluar skripsi dan kuliah ini” jelasnya.
“Lalu, apa pak?” tanyaku penasaran.
“Khalid, saya sering mendengar aktivis Islam sangat tidak senang dengan hukum positif
negara ini. Saya sering mendengar bahwa hukum positif kita adalah hukum kufur. Jadi,
orang yang mempelajari hukum kufur maka dia kufur juga. Apa benar pernyataan itu
Khalid! Saya benar-benar bingung dengan ucapan seperti itu. Karena saya juga tidak
ingin dibilang kufur.” Tanyanya bingung.
“Pak, memang banyak aktivis Islam yang mengatakan seperti itu. Bahkan beberapa
teman-teman saya pun. Mengatakan seperti itu. Tetapi pada hakekatnya, tujuan orang
belajar itulah yang menjadikan seorang itu kufur apa tidak.” Jelasku.
“Maksudnya?” Prof. Susilo terlihat sangat penasaran.
“Begini, Pak. Seorang yang belajar merupakan sebuah kewajiban bagi Islam. Tak lupa
juga niat untuk belajar itu sendiri. Kalaulah niat sudah menyimpang dari tujuan awal.
Untuk tidak meraih kejayaan Islam kembali. Maka seseorang itu menjadi kufur. Tetapi
jikalau seseorang tetap berpegang teguh pada tujuan awal itu. Yaitu untuk menegakkan
nilai-nilai Islam. Maka Insya Allah, akan mendapatkan berkah dari Allah! Kalaulah
seorang aktivis Islam mengklaim bahwa belajar hukum positif itu haram atau kufur.
Maka seharusnya mereka pun tidak usah tinggal dinegara ini. Karena pada dasarnya
semua aktivis Islam di negara ini, merupakan pelaku pasif hukum positif. Jadi secara
tidak langsung, semua orang yang berada dinegara ini merupakan pelaku hukum positif.
Apalagi, saat mereka terkena kasus hukum. Apakah mereka akan diam? Tidak mereka
pasti akan mencari pengacara untuk membela mereka. Nah, disinilah letak yang
mendasar. Kalaulah semua aktivis Islam apatis dengan hukum positif. Lalu saat aktivis
Islam terkena kasus hukum, siapakah yang akan membela mereka? Siapakah yang akan
membela saudara seiman, jika semua aktivis Islam dihabisi dengan hukum positif ini?”
jelasku berapi-api. Karena, sebenarnya aku sendiri pernah ditanya dan dilecehkan oleh
sesama aktivis Islam yang lainnya. Karena aku berada di fakultas Hukum. Jurusan yang
keliru untuk aktivis Islam. Kata mereka.
“Aktivis Islam, seharusnya tidak apatis dengan hukum positif ini. Karena akan
menjadi bumerang tersendiri seandainya tidak ada orang-orang Islam yang mengerti
tentang hukum positif. Sedangkan kita, masih dikuasai hukum positif! Jadi orang yang
mengeklaim tentang kebenaran kekufuran pada aktivis Islam yang belajar hukum positif
merupakan aktivis Islam yang tidak mengetahui tentang esensi dari belajar itu sendiri.”
lanjutku.
“Iya, benar Khalid. Saya juga beberapa kali berfikir seperti apa yang kamu pikirkan.
Khalid, meskipun saya Professor tetapi gelar ini tidak membuatku mengerti tentang
hukum agama yang saya anuti sendiri. Islam. Saya menjadi lega saat ini. Dan terima
kasih atas penjelasannya, Khalid.” Ucap beliau dengan senyum kelegaan, yang entah
sampai dasar apa kelegaan itu berada. “Baik, kalau begitu kita cukupkan dulu diskusi kita
saat ini. Terima kasih atas beberapa penjelasan kamu, Khalid”
“Alhamdulillah” Ucapku dalam hati. “Baik kalau gitu terima kasih, Pak. Saya pamit dulu,
masih ada beberapa urusan.”ucapku. Setelah itu aku langsung meninggalkan sekretariat
dosen. Tetapi tak lupa untuk mengucapkan “Assalamualiakum” kepada Prof. Susilo.
***
Siang begitu terik, mentari bersinar bagaikan bola api yang membara. Membakar
kulit. Rasanya malas sekali untuk berjalan menuju fakultas ekonomi. Untuk menepati
janji seorang yang ingin mempelajari Islam. Entah itu belajar, atau ajang debat mereka
yang ditujukan kepadaku. Entah, aku tak tahu. Semangat jihad ini menjadi kendur saat
melihat mentari bersinar terik sekali.
Tetapi terik matahari tak pernah mengalahkan tentara Muslim untuk berperang.
Bahkan sengatan panas mentari, bagaikan energi kekuatan yang diberikan oleh sang Ilahi.
Disaat berpuasa pun, tentara muslim berperang. Juga tak luput dari sengatan matahari.
Tetapi mereka tetap semangat, semangat yang membara untuk mendapatkan syurga.
Mendapatkan kenikmatan hidup bahagia diatas sana. Sesuai dengan apa yang telah
dijanjikan bagi para pencari syahid. Tak lupa, pun bidadari surga sudah menunggu untuk
dipeluk mesra. Oleh mujahid-mujahid yang syahid. Nah kan, bidadari lagi!.
Semangatku pun kembali, mengawali jihadku lagi. Tuk, mengharapkan
keridho’an-Nya. Juga mengharapkan surganya, serta tak lupa Bidadari-Nya. Nah kan,
bidadari lagi. Udah deh, pasti bidadari lagi.
Jarak antara fakultas hukum dengan fakultas ekonomi lumayan jauh. Kira-kira
700 meter. Langkahku kembali tegak melaju, menerobos mentari yang bersinar terik.
Memberikan cahaya kepada mahluk yang ada dibumi. Serta memberikan energi
kehidupan bagi mahluk-Nya. Langkahku takkan pernah surut, dengan jiwa yang
bergelora. Menanti surga yang akan dijanjikan-Nya. Pada mujahid dan mujahidah yang
ikhlas berjuang kerana-Nya. Sungguh nikmat rasanya, saat perjuangan tidak pernah
terdistorsi dengan kenikmatan dunia. Tidak terkotori oleh nafsu-nafsu kotor manusia.
Nafsu sesat yang membuat luntur ghiroh perjuangan. Nafsu untuk mendapatkan materi,
nafsu yang membuat manusia terlena karena kenikmatan dunia. Apalagi nafsu untuk
menunjukkan jati diri, pada sang kekasih. Wanita yang dia damba. Bukan kekasih Ilahi,
kekasih yang haq, diatas sana. Diatas segala-galanya. Diatas Arsy yang agung dan mulia.
Sungguh aku menginginkannya. Menginginkan bertemu maha agung diatas Arsy. Allah
swt.
Tetap aku melangkah dalam setiap terik yang menyengat tubuh, menyengat
semua energiku. Tetapi tidak menyerap semangatku. Insya Allah. Setiap langkah, aku
selalu melihat sebuah kejadian yang menyedihkan. Menyedihkan bagi dunia pendidikan
dan memalukan bagi dunia kemahasiswaan apalagi dalam tingkat keimanan. Ironis.
Disetiap jalanku beberapa terlihat dan terlintas mahasiswa-mahasiswi yang sedang asyik
dalam perbincangan. Mereka terlihat sumringah dengan kesanangan mereka. Lucu,
mereka terlihat sangat percaya diri dengan dandanan mereka. Dandanan yang seronok
mengumbar nafsu. Apalagi, terlihat mahasiswa yang memeluk wanita dengan mesra.
Mereka tidak malu. Entah fikiran apa yang ada dihati mereka. Mungkin mereka
terpengaruh dengan para artis-artis yang sukanya cipika-cipiku (red’cium pipi kiri-cium
pipi kanan). Atau mungkin mereka berfikir itu sebuah kemodern. Entahlah, mereka hanya
terlihat lucu saja. Kasihan.
“FAKULTAS EKONOMI” tulisan itu yang tertera besar dihadapanku kini. Aku
langsung saja masuk kelas A. Tak terlalu jauh memang.
“Siang, semuanya!” salamku sambil memasuki kelas.
“Tuh, dia sudah datang!” ucap Hendra sambil menunjukku, terlihat lega.
“Wah lama banget, Lid!” gerutu Hendra.
“Iya, maaf-maaf. Tadi lama! Setelah bimbingan. Aku langsung sholat dhuhur dulu.
Setelah itu, langsung kemari.” Jelasku kepada mereka
Hendra mengangguk, mengerti. Nova hanya tersenyum. Setelah itu Nova
langsung memperkenalkan teman-teman UK3nya.
 “Lid, kenalkan. Ini Rani” Nova menunjuk gadis berkacamata, berkulit putih dan berwajah
oval. Setelah itu Nova memperkenalkan temannya yang lain “ini, Dewi.” Seorang gadis
yang berkulit sawo matang. Berambut panjang berwajah seperti orang indo. Matanya
biru.
“Khalid” ucapku sambil tersenyum dan merapatkan kedua telapak tanganku kearah
dadaku.
“Ok, sekarang langsung aja Lid! Aku pengen bertanya. Lid, aku penasaran dengan Islam.
Sebenarnya Islam agama yang bagaimana sich?” ucapnya
Aku bagaikan seorang Ustad yang dikeliling oleh para jamaah. Tetapi model
pertanyaan Nova bagaikan aku sebagai terdakwa. Ini kesampatanku untuk mengatakan
kebenaran Islam, untuk menyampaikan agama yang haq ini. Aku tidak boleh gentar
dengan mereka. Ucapku lirih dalam hati.
“Baik. Islam! Adalah berarti selamat. Dalam kata lain juga Islam bisa diartikan sebuah
kedamaian. Atau penafsiran yang lain, bahwa Islam itulah yang membawa kesalamatan”
kataku santai.
“Lid, tentang selamat itu sendiri. Konsepnya dalam Islam seperti apa?” tanya Nova.
“Konsep keselamatan dalam Islam itu adalah pasrah dan taqwah! Tetapi harus dibedakan
tentang arti pasrah itu sendiri. Pasrah dalam Islam, bukan berarti hanya diam menunggu.
Tetapi konsep pasrah dalam Islam adalah, melakukan sebuah perbuatan kebaikan dalam
dirinya sehingga tercapai kebaikan untuk alam ini. Seperti apa yang disebutkan dalam Al
Qur’an bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari umat-umat yang lain. Dari
perbuatan kebaikan itulah yang akan menjadikan ketakwaan bagi diri. Seperti halnya
berbuat adil. Dalam Islam perbuatan adil adalah sebuah perbuatan yang sangat baik.
Karena adil termasuk mendekati ketakwaan.” Aku menghela nafas. “Sebentar! Untuk
lebih fokus. Lebih baik sebuah pertanyaan-pertanyaan itu adalah ajaran-ajaran Islam yang
kalian tidak mengerti. Jangan terpatok pada konsep keselamatan. Karena pada dasarnya
konsep keselamatan dalam Islam itu, sulit diterima dimata orang yang tidak mengerti
tentang Islam. Tetapi manakalah konsep itu dijalankan, maka akan terjadi gejolak-gejolak
jiwa untuk terus melakukannya. Dan dijamin tidak akan ada keraguannya.” Selaku.
“Iya, sebaiknya seperti itu!” ucap Hendra.
“Baik, Lid! Aku mau tanya tentang pernikahan. Atau dalam hal ini, dibolehkannya pria
berpoligami? Dan kenapa wanita tidak boleh berpoliandri?” tanya Dewi.
Aku tersenyum, karena memang inilah yang sering dipertanyakan oleh orang-orang kafir
dan umat Islam yang ragu dengan keIslamannya.
“Dalam Al Qur’ann surat Ash-Shaff: 6. ‘Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata:
"Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab
(yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya)
seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)….’
Surat ini menunjukkan tentang dibolehkannya poligami pada orang-orang Nasrani. Dan
itu ada dalam Al Qur’an bukan dalam Injil.
Lalu surat Al Qur’an An-Nisa: 3 ‘Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.’ Ini adalah sebagian besar dalil atau penguat dalam ajaran Islam untuk
berpoligami.
Hikmah dari poligami sangat banyak. Kita sudah mendengar bahwa wanita
dijaman sekarang sangat banyak. Karena banyaknya wanita, hingga saat ini pun aku
sekarang dikelilingi oleh tiga wanita” candaku. Dewi dan Rani terlihat tersenyum sinis.
Kalau Hendra hanya tersenyum tanpa maksud. Nova, tidak menunjukkan senyumnya
sama sekali. Dia terlihat menunggu penjelasanku kembali.
Setelah itu aku meneruskan penjelasanku. “sesungguhnya, poligami merupakan
kebutuhan bagi pria. Bukan berarti, hanya karena nafsu syahwat pria lebih besar. Tetapi
lebih didasari oleh sebuah hal yang sakral atau suci. Dan ini membuktikan kebenaran Al
Qur’an. Bahwa dimasa yang akan datang, jumlah wanita lebih banyak dari jumlah pria.
Bahkan ada sebuah hadits yang menyatakan bahwan disuatu masa nanti para lelaki akan
dikelilingi oleh 40 wanita. Sebagai istrinya. Dan sekarangpun telah terjadi. Adanya
poligami membuat sebuah perlindungan untuk wanita, agar tidak terkena fitnah dunia.
Apalagi berzina. Perbuatan yang sangat dilaknat oleh Allah. Jikalau ada seorang wanita
yang tidak punya harta dan saudara, lalu kita membantunya. Meskipun melewati istri
kita. Pasti masyarakat akan berfikiran buruk terhadap wanita itu. Andaikata seorang
wanita yang tidak punya apa-apa dan siapa-siapa. Apakah kita akan membiarkan terlunta,
dengan ketidakpastian bantuan kita? Ataukah akan kita menolong dengan menikahinya!
Dan memuliakannya seperti wanita-wanita yang dimuliakan dengan jalan dinikahi.
Sungguh sebuah hal yang harus kita fikirkan dengan akal. Bukan dengan emosi dan
keegoisan kita sendiri. Kalaulah memang tidak ingin berpoligami, maka janganlah kita
mengecam poligami yang pada dasarnya itu memang benar. Bahkan benar menurut akal.”
“Tapi, dalam Al Qur’an tadi. Manusia diharuskan berlaku adil. Apakah manusia bisa
berlaku adil?” tanya Dewi lagi.
Dalam Al Qur’an. Pun disebut ‘Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan
yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(QS Annisa 123).’ Yang dimaksud adil dalam Al Qur’an adalah. Mewajibkan keadilan
dalam perkataan dan perbuatan. Manakalah dia lebih condong kepada suatu ucapan
ataupun perbuatan, maka itulah yang dikatakan ketidakadilan. Adapun adil dalam
percintaan, seorang manapun tidak akan pernah bisa berbuat adil. Seperti apa yang
menjadi doa Rasulullah Muhammad Saw. ‘Allahumma hadzaa fasmii fiimaa amliku falaa
talumnii fiimaa tamliku walaa amlik’ yang artinya. ‘yaa Allah, inilah pembagianku pada
apa yang aku miliki. Maka janganlah Engkau mencelaku pada apa yang Engkau miliki,
sedangkan aku tidak memiliki.’ Dalam doa Rasulullah ini sangat jelas, bahwa manusia
tidak dapat berlaku adil tentang cinta. Karena cinta merupakan sebuah rasa, yang hanya
Allahlah bisa berlaku adil, bukan manusia. Mahluk yang memiliki keterbatasan. Maka
syarat untuk berpoligami adalah keadilan dalam perkataan dan perbuatan. Bukan keadilan
dalam perkara yang terdapat dalam hati manusia! Bagaimana!” ucapku. Mereka berempat
terlihat diam. Setelah itu aku teruskan penjelasanku lagi “maka janganlah, kita
menganggap bahwa orang yang berpoligami itu rendah. Karena sebenarnya, orang yang
berpoligami dengan diiringi oleh pemahaman akhidahnya. Maka sesungguhnya mereka
adalah orang-orang yang mulia! Karena poligami adalah tindakan mulia. Tindakan untuk
menyelamatkan wanita. Tindakan untuk memuliakan wanita. Maka seharusnya wanita
yang mulia. Siap untuk memuliakan wanita lainnya. Dengan jalan memperbolehkan
suaminya untuk bertindak mulia. Berpoligami.” Setelah itu aku tersenyum.
“Kalau begitu, lebih baik konsep pernikahan umat Kristen. Yang mereka, tidak ada
poligaminya. Dan sehidup semati!” seloroh Rani.
Aku tersenyum, ternyata banyak umat kristen yang tertipu dengan injilnya sendiri.
ucapku dalam hati. “bukan seperti itu, coba kamu buka Ulangan 24:3” serta mertapun
mereka mengambil injil yang berada di tas masing-masing. Setelah itu aku langsung saja
mengatakan “(Ulangan 24) ‘24:3 dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi
kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta
menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia
menjadi isterinya itu mati, 24:4 maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia
pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu
dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau
mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi
milik pusakamu.’ Juga kalian buka perjanjian baru Matius pasal 5. yang berbunyi ‘5:31
Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai
kepadanya. 5:32 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya
kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan
perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah’ disitu diterangkan bahwa seorang wanita
yang diceraikan. Maka haram untuk dinikahi kembali. Dan ini merupakan sebuah
penghinaan terbesar bagi seorang wanita. Manakalah seorang laki-laki yang sukanya
menganiaya istrinya. Dan istrinya memint cerai. Maka dalam hukum injil. Wanita itu
najis untuk dinikahi. Masih banyak pasal-pasal dalam injil yang membahas itu.
membahas kenajisan seorang wanita yang telah diceraikan.
Tetapi dalam Islam. Tidak! Seorang wanita tidaklah najis atau haram untuk
dinikahi manakalah sudah diceraikan. Meskipun dalam Islam cerai dibolehkan tetapi
cerai merupakan perbuatan yang halal tetapi sangat dibenci oleh Allah! Oh iya aku lupa.
Masalah tentang poliandri. Kenapa wanita tidak boleh menikah dengan pria lebih dari
satu kali. Mungkin jawabnya sangat mudah sekali. Apakah seorang wanita mampu
memberikan anak yang pasti pada masing-masing suaminya. Karena mengingat sperma
yang dihasilkan itukan terkumpul menjadi satu. Jadi kasihan tuh, anaknya! Bingung siapa
bapaknya! Karena pada saat berpoligami suami pasti tahu, itu adalah anaknya. Nah, kalau
poliandri apakah seorang istri tahu, siapa yang jadi bapak anaknya nanti?”
Seketika itu, mereka tertawa. Entah itu masuk dihati mereka, atau hanya dianggap
sebuah kebercandaa. Wallahualam.
“Tapi, Lid. Banyak orang yang berpoligami. Tapi akhirnya ya, istri-istrinya minta cerai.
Atau si suami tidak adil. Biasanya lebih condong ke istri mudanya!” tanya Hendra.
“Iya, Hen. Itulah yang terjadi sekarang. Karena mereka belum tahu ilmu tentang
berpoligami. Tetapi mereka memaksakan diri mereka sendiri. Jadi, karena kita sudah
mengetahui ilmu poligami. Maka kita tidak akan menentang poligami, bukan! Tetapi kita
harus menentang orang-orang yang menyimpang dari ajaran-ajaran berpoligami itu
sendiri.” jawabku lugas.
Hendra hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanda setuju.
“Apakah, nanti kamu juga akan berpoligami, Lid?” tanya Nova dengan nada datar. Serasa
menyimpan sesuatu dalam kalbunya.
Aku tersenyum, “yach, lihat nanti. Apakah istri pertamaku mengijinkan apa tidak!
Kalaulah aku tidak di ijinkan oleh istri pertamaku, untuk menikah lagi. Aku akan setia,
menunggu untuk diijinkan menikah lagi.” jawabku.
“Yee sama aja. Berarti kamu nggak setia sama istri” ucap Rani.
“Eee… begini Ran. Sebuah kesetian adalah kata abstrak dalam kehidupan. Setia pun
relatif untuk diucapkan. Dalam Islam kesetian itu adalah keistiqomahan. Berbanggalah
seorang istri manakalah, suaminya istiqomah atau setia dalam agamanya. Termasuk
dalam poligami. Karena seorang yang istiqomah dalam agama Islam. Dia termasuk
orang-orang yang tidak akan menyakiti istrinya. Bahkan menikah lagi, seharusnya
menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagi istri. Karena, dalam sebuah hadits. Dinyatakan
bahwa Rasulullah Muhammad Saw. akan berbangga pada kita yang mempunyai istri
lebih dari satu dan mempunyai anak banyak. Jadi kesetian bukan pada mahluk Allah.
Tetapi kesetian harus pada aturan Allah. Dan Allah sendiri.” jelasku.
“hehe.. wah nggak ada tema lain yach selain pernikahan!” selaku.
Semua tersenyum,
“Tema pernikahan itukan, lebih digemari” ucap Nova, sambil tersenyum simpul. Entah
apa maksud yang terkandung dalam hatinya. “Lid, kalau wanita dalam Islam wajib nggak
pake jilbab? Lalu kenapa harus pake’ jilbab? Kan nggak bisa ngetren and nggak bisa
bebas! Kesannya kok dipaksakan, gitu.” Tanya Nova.
“Wajib! Kenapa harus pake jilbab? kesannya nggak bebas! Hem…. Begini Nov. Aku
jelaskan semuanya biar tahu. Jilbab banyak namanya. Seperti Hijab, Burqo, lalu abaya
atau dalam kata kita kebaya. Lalu ada juga khimar, kalau khimar ini bukan jilbab. Tetapi,
sebuah penutup kepala yang biasanya digunakan oleh orang nasrani dan yahudi. Khimar
tidak menutupi aurat, tetapi hanya menutupi kepala! Sedangkan Jilbab, Hijab, Burqo,
abaya atau kebaya. Adalah sebuah penutup aurat yang sangat sempurna, untuk menjaga
para mata-mata jahil yang ingin menikmati tubuh wanita. Namun sayang, jilbab dan
abaya atau kebaya, akhirnya terdistorsi menjadi pakaian yang tidak menurut syari’at.
Atau pakaian syar’i. Sekarang lebih banyak perempuan yang memaknai jilbab, abaya
atau kebaya yang sama dengan khimar.
Jilbab merupakan pakaian yang membebaskan para wanita dalam jeratan fitnah
dunia. Sungguh, jilbab merupakan sebuah pemuliaan terhadap wanita. Pemuliaan pada
tubuh-tubuh wanita yang sangat indah nan sempurna. Tidak ada pengecualian. Tidaklah
seorang yang mulia itu, memperlihatkan kemuliaannya pada yang bukan tempatnya.
Apalagi, dengan berjilbab seorang wanita tidak akan terpenjara mengikuti trend-trend
pakaian yang setiap tahun pasti berubah. Dengan berjilbab, seorang wanita akan terbebas
dari kehidupan glamour. Dan orang yang berjilbab tidak akan pusing-pusing mikirin
bajunya menurut trend apa tidak. Tetapi mereka akan lebih condong memikirkan apa
yang akan dia perbuat, dari keistiqomahan kepada Tuhannya. Sehingga dengan bebas,
wanita berjilbab dapat berbuat amal dengan ketenangan jiwanya. Dan Jilbab adalah
pakaian trendy, sejak jaman Rasulullah sampai akhirnya jaman nanti. Karena terbukti,
saat kemunculan Islam. Jilbab tidaklah pernah dipakai oleh wanita Arab. Dan pada
jaman-jaman sebelumnya pula, wanita-wanita hanya dijadikan sasaran nafsu syahwat
para lelaki. Dengan begitu, akhirnya Islam membebaskan wanita dari jeratan nafsu
syahwat lelaki. Subhanallah. Tetapi sekarang, wanita-wanita yang tidak berjilbab.
Mereka hanya menjadi objek pemandangan yang indah bagi para lelaki. Hanya untuk
nafsu syahwat lelaki. Masya Allah.
Kalaulah ada seorang yang mengatakan bahwa jilbab adalah pakaian wanita Arab.
Atau jilbab merupakan pakaian kondisional di Arab. Karena daerahnya yang panas!
Maka secara tegas, pernyataan itu langsung ditolak oleh wanita-wanita yang ada di
negara ini. Karena menurut mereka, bahwa didaerah tropis kita yang cenderung berhawa
panas, mataharipun yang kadang tidak sungkan-sungkan bersinar terik. Lalu, wanitawanita
negara ini sering berpendapat “apa nggak kepanasan tuh, kalau berjilbab!” inilah
yang sering dinyatakan oleh wanita-wanita negara ini. Dengan pernyataan seperti itu,
maka panas bukan berarti menghambat wanita untuk berjilbab. Karena di Arab, panas
terik matahari lebihi panas dari negara kita ini.
Maka dari itu, janganlah kita menganggap bahwa jilbab adalah sebuah pemaksaan
pakaian terhadap wanita. Tetapi seharusnya lebih diartikan bahwa jilbab adalah
kebutuhan bagi wanita. Karena jilbab adalah pembebasan bagi wanita. Mungkin jilbab
akan jadi kewajiban bagi seorang muslimah yang tidak begitu mengerti tentang agama
Islam. Seperti layaknya bayi, yang wajib untuk kita suapi meskipun mereka menangis
tidak mau makan. Karena itu untuk kebaikan mereka sendiri. Dan jilbab akan menjadi
kebutuhan bagi wanita, manakalah seorang wanita sudah mengerti tentang arti jilbab bagi
dirinya sendiri. Seperti layaknya orang dewasa yang tidak diwajibkan untuk makan,
tetapi dengan sendirinya mereka membutuhkan makanan tersebut.” Jelasku dengan
panjang lebar, dan tegas.
Mereka semua mengangguk, entah tanda mengerti atau setuju. Wallahualam.
“Oh ya Khalid, aku ingin bertanya!” sela Hendra.
“Apa, Hen?”
“Mungkin ini rumor atau entah apalah namanya! Aku sering mendengar, bahwa orangorang
yang dijuluki Ikhan apa Akhan entah apa namanya!”
“Ikhwan!” potongku.
“Iya, itu! Katanya sich lebih sering bergaul dengan sesame Ikhwan. Dan mereka nggak
mau bergabung dengan yang lainnya! Kesannya eksklusif banget gitu loh.” Ujar Hendra
terlihat memikirkan sesuatu.
“Iya benar, kayak yang cewek-cewek jilbaber itu juga gitu!” sela Rani.
“Hem, iya. Aku sering mendengar seperti itu! Kadang seseorang itu merasa enjoy atau
senang jika mereka mempunyai kelompok sendiri! Kelompok yang dapat mengerti apa
yang kita inginkan. Nah mungkin disitu kesimpulan dasar! Tetapi memang, kita tidak
boleh menafikkan kebutuhan bersosialisasi dengan yang masyarakat. Hanya kadang,
banyak para ikhwan dan akhwat yang canggung jika berkumpul dengan selain mereka.
Kesannya seperti mereka itu orang aneh. Seperti juga kalau kalian barada pada kumpulan
Ikhwan atau Akhwat! “ Candaku.
Mereka semua tersenyum setuju.
“Jadi, kalaulah kita tidak saling menganggap aneh. Dan mau menerima seseorang itu apa
adanya. Tidak mengkritik sesuatu hal yang memang nyata-nyata itu benar. Tidak saling
menghujat meskipun melihat sebuah kesalahan. Tetapi saling menyayangi dan
menyadarkan manakalah kita bersama-sama! Pasti tidak ada anggapan seperti. Tapi,
banyak juga kok Ikhwan atau Akhwat yang mereka juga senang bergaul dengan selain
golongan mereka. Ya bisa diambil contoh, aku” ucapku sambil tersenyum.
“Wah, sudah masuk waktu ashar nich. Ok, mungkin segitu aja. Insya Allah kalau
memang ada yang perlu ditanyakan lagi, bisa lain waktu.” Kataku sambil melihat
arlojiku.
Mereka mengangguk setuju.
 “Baik, semoga apa yang kita dapatkan menjadi sebuah pintu hidayah bagi kita. Untuk
dapat menemukan sang Maha haq. Maha pemilik kebenaran. Dan menjadi orang-orang
yang benar. Amien.”
Entah apa yang dilakukan Nova, layaknya dia mengucapkan “Amien.” lirih dimulutnya.
Seakan khusyuk, meminta sebuah kebenaran. Meminta apa yang terlihat dimatanya.
Entah sebuah kebenaran, atau sebuah kebimbangan. Semoga saja kebenaran.
“Ok, aku duluan.” Salamku ke mereka.
Lega sudah, pertemuanku dengan mereka. Ternyata mereka memang benar-benar
ingin belajar tentang Islam. tidak ada perdebatan yang sengit dalam pertemuan dua
pemeluk agama yang sangat bertolak belakang. Sungguh besar rahmat Allah, yang telah
menjadikan aku dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan teman-temanku yang non
Muslim. Kini langkahku menuju sebuah peraduan yang damai. Menuju rumah yang
nyaman. Menuju keindahan dalam balutan dan buaian sayang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.

0 comments:

Post a Comment

Komentar anda