Tuesday, December 24, 2013

Cinta Penawar Luka

oleh Salim A. Fillah dalam InspirasiSirah. 05/12/2013
Mari sejenak mendampingi seorang Ibu yang melahirkan.
Makhluq Allah yang mulia ini nyawanya berada di ujung tanduk. Serangan rasa nyeri luar biasa menyergap ketika rahim mulai berkontraksi. Makin lama kian sering dan kian menyakitkan. Otot-otot serasa dikejangkan dan tulang-tulang seperti dibetoti. Puncaknya, ketika sang bayi sudah saatnya menghirup udara dunia, maka yang dirasakan sang Ibu adalah perobekan luas, luka jerih yang berdarah-darah, dan tubuh yang dipaksa untuk berkelojotan menuntaskan bebannya.
Rasa sakit itu, sungguh tak terkatakan.
Tetapi lihatlah itu, ketika luka robek masih menyemburkan darah, ketika tenaga tubuh habis lunglai disadap persalinan, ketika rasa lelah timbun-menimbun dengan nyeri menyayat tanpa henti, sang ibu tersenyum begitu indahnya. Seakan semua rasa sakit itu sirna ketika sang bayi yang menangis demikian keras diletakkan di atas dadanya, dalam pelukannya.
Terbayangkah jika rasa sakit dahsyat yang kemudian menguap dalam sekejap macam itu dialami juga oleh seorang pria?
Setelah mendaki, lelaki itu masuk terlebih dahulu, menyibak ruang cekung di antara batu. Rikat matanya memeriksa tiap pojok. Dia temukan setidaknya ada empat lubang, sarang makhluk berbisa di gua itu. “Tunggulah sejenak ya Rasulallah”, ujarnya. Dipinggirkannya semua kerikil dan batu. Disapunya lantai dengan surban hingga pasirnya rata dan lembut. Diletakkannya bekal di sudut-sudut.
Lalu diapun duduk. Ditepatkannya selonjoran kaki dan tapak-tapak tangannya pada lubang-lubang yang diperkirakan dihuni binatang berbisa. Anggota tubuhnya dikerahkan untuk menutup bahaya sengatan dari liang-liang itu. Lalu Rasulullah pun masuk, merebahkan diri untuk beristirahat di pangkuan lelaki itu.
Lelaki itu, Abu Bakr Ash Shiddiq yang kurus badannya, pucat kulitnya, dan lembut hatinya; mendampingi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hijrahnya. Kali ini, mereka sedang berada di Gua Tsur untuk menghindarkan diri dari kejaran Quraisy yang murka berat atas lolosnya Muhammad. Dan inilah mereka di sini, menghindar dari jalur perjalanan beberapa jenak untuk mengecoh para pemburu nyawa Sang Nabi.
Belum beberapa lama mereka di situ, Abu Bakr telah mulai merasa sengatan-sengatan binatang berbisa mencekatnya. Rasa ngilu, pedih, dan nyeri yang tak tertahankan menjalar seakan hendak merusakkan syaraf dan melumpuhkan badannya. Tapi dia tetap diam dan menggigit bibir. Ditahannya rasa sakit itu demi agar Sang Nabi tak terganggu istirahatnya. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallampulas sekali.
Beberapa lelaki Quraisy tampaknya mengetahui persembunyian mereka dan memeriksa pintu gua. Abu Bakr mulai gelisah dan disergap cemas. Tepat pada saat itu, sebulir air mata tak mampu lagi ditahannya hingga jatuh menitik berketipak di pipi Sang Nabi. Beliau bangun.
“Jangan sedih hai Abu Bakr”, ujar beliau menatap sahabatnya dengan teduh, “Allah bersama kita.”
Nabi mengatakan “jangan sedih” alih-alih “jangan takut”, sebab meski ketakutan meraja, sungguh Abu Bakr lebih tercekam oleh kesedihannya memikirkan sahabat tercinta. Betapa mereka saling mengerti isi hati.
“Orang-orang itu ya Rasulallah”, ucap Abu Bakr yang telah lupa pada sakitnya, “Andai mereka melihat ke arah kaki mereka sendiri, pastilah mereka akan mengetahui keberadaan kita.”
“Bagaimana pendapatmu hai Abu Bakr”, lanjut Rasulullah sambil tersenyum, “Jika ada dua orang dan yang ketiganya adalah Allah?”
Kalimat Rasulullah dan senyum beliau, ketenangan dan keteduhan wajahnya tiba-tiba membuat Abu Bakr serasa diguyur embun sejuk ketenteraman. Segala rasa sakit akibat sengatan binatang-binatang jahat itu tak lagi terasa. Dunia serasa dipenuhi cahaya yang berpendar-pendar, hangat dan penuh cinta. Sebab mereka berdua telah menyatu, dengan Allah sebagai saksinya, sebagai yang ketiganya.
Inilah cinta penawar luka. Adakah kita punya?

termuat dalam UMMI, Desember
sepenuh cinta, salim a. fillah


Yang Tercatat untuk Direnungi

oleh: Salim A FIllah



Pada sesama, “Perhatikan apa yang dikatakan, tak perlu kau lihat siapa pengucapnya.” Tapi untuk diri, “Sudah seharusnya tiap kita melayakkan diri untuk didengar.”
Sebelum kedatangan Imam Asy Syafi’i (150-204 H) ke Kairo, adalah tiga orang murid Imam Malik ibn Anas (93-185 H) yang menjadi muara rujukan bagi kemusykilan penduduk Mesir dan Afrika pada umumnya di zaman itu. Mereka adalah ‘Abdullah ibn Wahab (125-197), ‘Abdurrahman ibn Al Qasim (128-191), dan Asyhab ibn ‘Abdil ‘Aziz Al Qaisi (150-204).
Suatu hari, antara Imam Asyhab dan Imam Ibn Al Qasim terjadi perbedaan pendapat tajam atas suatu persoalan.  Maka berkatalah Asyhab, “Aku mendengar Malik berkata begini”. Ibn Al Qasim menimpali, “Justru aku mendengar Malik tidak berkata seperti itu, melainkan begini.”
“Aku bersumpah”, ujar Asyhab yang termuda itu dengan suara meninggi, “Bahwa ucapanmu itu keliru!”
“Dan akupun bersumpah”, sahut Ibn Al Qasim, “Bahwa engkau salah!” Siapakah yang sanggup menjadi hakim jika dua orang yang ‘alimnya ‘alim dan faqihnya faqih ini berselisih? Dialah Imam Ibn Wahab. Beliaulah satu-satunya. Apakah hal ini tersebab usianya yang lebih tua daripada kedua rekannya?
Bukan. Bukan tersebab umur beliau disepakati untuk menengahi perdebatan kedua Imam besar tersebut. Ibn Wahab menjadi pengadil semata-mata karena beliaulah murid Malik yang paling tekun dan teliti mencatat setiap kata yang keluar dari lisan Sang Guru. Catatannya pun adalah yang paling rapi dan paling lengkap. Dan Imam Malik mencintainya melebihi murid manapun.
“Malik adalah seorang guru yang keras”, tutur para murid lain, “Tak ada yang selamat dari sifat kerasnya kecuali Ibn Wahab.”
Bagaimanakah mula kiranya kasih sayang Imam Malik tumbuh bagi Ibn Wahab? Alkisah, suatu hari rombongan kafilah dari India sampai di Madinah. Di antara rombongan itu terdapat beberapa ekor gajah dengan derap yang menggemparkan dan suara nyaring memekakkan. Majelis Imam Malik di Masjid Nabawi pun bubar. Para murid berhamburan keluar tersebab rasa penasaran dan tertarik pada gajah-gajah dalam kafilah. Hanya satu pelajar yang tetap duduk sembari terus mencatat dengan rapi. Dialah Ibn Wahab.
“Apa kau tak ingin melihat gajah Nak?”, tanya Imam Malik.
“Duh Guru”, jawab Ibn Wahab dengan ta’zhim, “Aku jauh-jauh datang dari Mesir untuk melihatmu dan menyimakmu. Bukan untuk menyaksikan gajah.”
Begitulah, selama 20 tahun berikutnya di Madinah, Ibn Wahab selalu berada di sisi Malik dan mencatat segala hal yang meluncur dari lisan mulia sang Imam Daril Hijrah, menguntainya bagai silsilah mutiara, serta menyusunnya dengan teratur agar mudah dipelajari lagi.
Kembali ke Mesir, jadi apa keputusan Ibn Wahab atas sengketa pemahaman antara Asyhab dan Ibn Al Qasim?
“Kalian berdua benar, tapi kalian berdua keliru, dan kalian berdua bersalah”, ujar Ibn Wahab. Apa maksudnya? “Kalian berdua benar karena Malik pernah menyampaikan kedua pendapat itu pada kesempatan berbeda. Namun kalian berdua keliru ketika saling menyalahkan. Dan kalian berdua bersalah atas sumpah yang kalian ucapkan dalam membenarkan diri dan mengkelirukan rekannya”, jelas beliau.
MasyaaLlah, sebuah ketelitian pencatatan membuahkan penghakiman yang adil, lengkap, dan tuntas. RahimahumuLlahu ajma’in.
***
Kumpulan kicauan di jejaring sosial Twitter dalam akun @salimafillah ini dengan susah payah dihimpun oleh Tim Redaksi Penerbit Pro-U Media yang diawaki Akhinda Irin Hidayat. Mungkin saja ketelitian para beliau mendekati keagungan Imam Ibn Wahab yang menakjubkan itu. Tapi yang jelas, antara Imam Malik dan Salim A. Fillah, diri si pemilik akun Twitter, terentang jarak sejauh langit yang megah dengan kubangan lumpur di bawah lembah. Jika kata-kata Imam Malik seumpama mutiara, maka kicauan ini hanya setaraf biji jola-jali jagung, itupun yang gabuk, melompong bagian dalamnya.
Tapi sungguh tersyukuri bahwa ada yang berkenan untuk menghimpunnya dari keterserakan di lini masa. Terharapkan, jika ia dirangkai dalam sebentuk buku, insyaaLlah akan bermanfaat untuk menjadi pembelajaran bagi lebih banyak lagi Shalihin dan Shalihat di aneka tempat.  Atas usaha mulia itu, kami hanya bisa mengucapkan, “Ahsantum, jazakumuLlahu khairan katsira.”
Setidaknya, bagi diri kami yang lemah ini; ia berguna menjadi pengingat yang mencambuk jiwa. Bahwa kau hai Salim, pernah mengucapkan kalimat semacam ini; tidak malukah kau atas perilakumu kini? Bahwa kau hai Salim, pernah berbusa-busa menasehati sesama; tidak merindingkah kau atas keseharianmu yang jauh darinya? Bahwa kau hai Salim, pernah berkicau begitu ringan tentang kebajikan; adakah kau telah bersesak nafas dalam menjuangkan pengamalan?
Adalah ‘Umar ibn Al Khaththab berpesan, “Hisablah dirimu, sebelum kelak ‘amalmu diperhitungkan.” Semoga himpunan kicauan di Twitter ini menjadi alat kami bermuhasabah selalu, sarana bercermin tiada henti, dan tempat berkaca atas apa yang telah terkata; adakah ia teramal dalam nyata. Dan semoga dengan demikian, ia memperringan apa yang kelak terjadi di hari penentuan. Termohon doa dari Shalihin dan Shalihat semua; semoga kami tak termasuk orang-orang yang berada dalam penyesalan.
“Dan diletakkanlah Kitab. Lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya. Dan mereka berkata, ‘Aduhai celaka kami! Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil, dan tidak pula yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.’ Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada tertulis. Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun.” (QS Al Kahfi: 49)
Sungguh kumpulan kicauan @salimafillah ‘Menyimak Kicau Merajut Makna’ ini adalah sekedar yang tercatat untuk direnungi. Terutama oleh pengicaunya. Dan jika Shalihin dan Shalihat pembaca berkenan membersamai muhasabahnya, alangkah bahagia dalam syukur hati kami ini. Moga apa yang Shalihin dan Shalihat renungi dari kumpulan kicauan ini mengilhamkan ‘amal shalih yang kamipun tak terhalang dari pahalanya, menjadi bekal menghadap Allah ‘Azza wa Jalla.
***
Sebagai penutup untuk pengantar sederhana ini, izinkan kami kembali berkisah tentang Imam Asyhab dan Ibn Al Qasim, rahimahumaLlah. Moga keberkahan menjalari hidup kita dari pelajaran agung yang mereka torehkan di jalan ilmu nan penuh keluhuran.
Adalah Imam Asyhab menghimpun aneka sumber ilmu dari berbagai guru, memilahnya dengan hati-hati, dan menyusunnya dengan teliti menjadi kitab shahih yang diberinya tajuk Al Mudawwanah. Kitab ini dipuji oleh Al Qadhi Iyyadh sebagai “Sangat mulia, besar, dan mengandung begitu banyak ilmu.” Mendengar ihwal kitab tersebut, Imam Ibn Al Qasim segera berkunjung dan membawa juru tulis, mohon diperkenankan untuk menyalin isinya.
Setelah beberapa waktu mempelajari kitabnya, Ibn Al Qasim menulis surat pada Asyhab, memuji dengan tulus akan kebaikan isi kitab tersebut.
“Tapi dengan kitab itu kau hanya akan mereguk ilmu dari satu mata air”, balas Asyhab, “Sedangkan aku dahulu menyusunnya dengan mengambil dari banyak mata air.”
“Tapi sumber-sumbermu keruh”, timpal Ibn Al Qasim, “Sedangkan sumberku ini amat jernih.”
Terrasakah pujian indah itu oleh kita para Shalihin dan Shalihat? Ibn Al Qasim menghargai perjuangan hebat Ibn Wahab menelaah ilmu dari aneka guru yang bermacam-macam derajat keshahihannya lalu menghadiahkan baginya sebuah himpunan yang terpilih, yang paling bening dan jernih setelah dengan penuh kesulitan menyaringnya dari campuran yang keruh. “Sumbermu keruh, sedang sumberku jernih”, ujarnya.
Segala puji bagi Allah yang mengaruniai kita para ‘ulama yang akhlaq dan ilmunya bagai gugus bintang penuh cahaya. Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmatNya menjadi sempurna segala kebaikan.
Tamat pengantar sederhana ini, dari hamba Allah yang tertawan dosanya, santri yang tertahan kejahilannya, berharap ada manfaat terbagi walau dalam faqir dan dha’ifnya. Sepenuh cinta.*

Salim A. Fillah
-pelayan Majelis Jejak Nabi-


Wednesday, December 11, 2013

Puisi: Asa Kerja dengan Cinta dan Harmoni


Asa Kerja dengan Cinta dan Harmoni

Terasah rasa oleh cinta
Terasah bahagia oleh asa
Cinta bermuara pada bahagia
Karena cinta bercerita tentang sebuah rasa

Ada relung terselimuti oleh cinta
Ada ruang berisi bahagia
Cinta bercerita tentang harmoni
Ketika kerja nyata tak tersentuh oleh jumawa

Cinta itu tentang kerja
Untuk mewujudkan sebuah cita mulia
Cinta itu tentang harmoni
Mengharmonikan sebuah amal dengan niat

Tuhan....
Menciptakan cinta untuk kita
Mewujudnya menjadi nyata
Ketika manusia telah berdoa

Kerja itu tentang harmonisasi
Antara Doa dan Tawakal semata
Tugas kita berdoa dan berusaha
TugasNya mewujudkan menjadi nyata

Salam cinta dariku pada pejuang cinta dinusantara

KTB, 21 Nov ‘13




Memorial ini
Kutulis untukmu belahan jiwa
Akan kisah kita dalam wujud cinta
Bukti cinta dimasa lalu, kini dan nanti

Kita merajutnya 4 tahun silam
Dalam diam dan ikhtiar
Diam karena tak ingin meraung-raung dengan nafsu
Ikhtiar karena bahagia itu perlu

Memorial ini
Ingatkan aku akan satu masa lalu
Dimana engkau dan aku menyatu dalam muara cinta
Banyak air mata dan tawa menemani kita

Saat itu
Kau dan aku menyatu di KUA
Mengundang RidhaNya
Merayu padaNya
Memohon padaNya

Bahwa cinta itu suci
Bahwa kita ingin menuju syurga
Bersama-sama
Bukan aku dan kau saja tapi kita bersama

KTB, 21 Nov ‘13



Bermimpi
Berusaha
Dan berdoa
Bukan tentang sampai dapat

Tapi hingga Allah ridha pada usaha kita
Tak perlu menunggu ridhaNya
Cemput ia dengan usaha dan doa
Hingga Allah ridha

Berusaha saja tak guna
Doa saja itu sia-sia
Padukan kedua-duanya
Agar bahagia itu terasa

Bukan bicara tentang siapa dia
Bukan pula tentang siapa kita
Tapi tentang ini usaha saya
Menjemputmu dengan usaha dan doa

Tak melulu bicara tentang cinta
Tapi rangkai dia dengan doa
Buktikan dengan usaha
Agar hatimu bahagia




Rupamu tak seindah bidadari
Sifatmu tak seperti putri
Maharmu bukan mobil Mercy
Rumahmu tak semegah istana putri

Namun ikhtiarku laksana raja menjemput bidadari
Yakinku engkaulah putri
Maharku sebaik-baik harta yang kumiliki
Rumahku adalah taman surgawi

Dimana kita merajut mimpi
Menghiasinya dengan ibadah pada ilahi
Disurga ada bidadari
Namun bagiku engkau adalah ratunya bidadari

Istriku....
Disini kita rajut mimpi-mimpi tentang indahnya surga ilahi
Disini kita lahirkan para mujahid sejati
Mendidik mereka dengan tarbiyah ilahi

3th Anniversary kita merajut mimpi
Maafkan bila sering membuatmu kecewa
Maafkan bila usahaku tak seperti raja-raja
Maaf bila mimpimu banyak sirna










Tentang kita
Ini bukan tentang kamu
Ini bukan tentang mereka
Ini bukan tentang dia
Ini tentang kita menuju surga

Aku, kau dan KUA
Penghulu, saksi dan ayahmu
Melihatku mengucap ikrar setia
Menjemputmu menuju surga

Membangun istana didunia
Membangun surga kita berdua
Merajut asa membangun cita
Bukan aku dan kamu saja
Tapi ini tentang kita


                                                                                Ltg, 22 Nov ‘13



Mengukir cinta
Merajut asa
Itulah warna warni rasa
Indah meski sakit itu tetap ada

Bukan rasa yang salah
Tapi cara yang bermasalah
Bukan cinta yang berdosa
Tapi ia, tak pernah bicara

Tuntun ia agar tak salah
Bawa ia dengan cara Allah
Agar indahnya cinta dapat berkah
Indah pada waktunya


Mencintai Penanda Dosa

“Ah, surga masih jauh.”
Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?
Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.
Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?
Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.
“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.
“Ah, surga masih jauh.”
Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.
Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”
“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”
Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”
“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”
“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.
Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.
Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”


Komentar anda