Saturday, August 23, 2014

Sang Titipan

“Ya Rasulallah”, demikian Ummu Sulaim bergegas menemui Sang Nabi ketika beliau tiba di Madinah dalam hijrah, “Semua lelaki dan perempuan penduduk Yatsrib telah menghaturkan hadiah kepadamu. Namun aku sungguh tak memiliki apa-apa untuk dipersembahkan. Maka inilah putraku Anas ibn Malik. Bahagiakanlah kami dengan menjadikannya sebagai pelayanmu.”
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam menerima wakaf Ummu Sulaim itu dengan berbahagia. Beliau jadikan Anas sebagai sebaik-baik khadam, dan beliau perlakukan Anas dengan sebaik-baik keadaban. “Sepuluh tahun aku berada di rumah Rasulullah”, ujar Anas kelak, “Dan tak pernah sama sekali beliau menegurku dengan kata-kata, ‘Mengapa kau berbuat ini?’ atau ‘Mengapa tak kaukerjakan itu?’”.
Sejatinya, Anas bukan hanya menjadi pelayan, namun juga seakan dialah putra kesayangan dan murid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang paling dekat. “Kami melihat Anas ibn Malik seakan-akan dia adalah bayang-bayang Rasulullah yang mengikuti beliau ke manapun pergi”, demikian kesaksian beberapa sahabat. “Tak ada yang shalatnya lebih mirip Rasulullah”, begitu kata Abu Hurairah, “Daripada putra Ummu Sulaim.”
Demikianlah. Selama sepuluh tahun, detak-detik kehidupan Anas ibn Malik berdenyut dan berdentam bersama derasnya wahyu dan luhurnya nubuwwah.Detak dan detiknya adalah lapis-lapis keberkahan.
Betapa berbahagianya dia menerima doa Rasulullah, “Ya Allah panjangkanlah umurnya, perbanyaklah anak dan hartanya, serta berkahilah baginya di dalam kesemua itu.” Maka Anas hidup hingga usia seratus tahun atau lebih, sentausa di tengah keluarga besarnya, sejahtera dengan kecukupan yang penuh berkah.
Dan Anas tahu, di rumah Rasulullah itu dia menghirup udara yang amat berharga, berada di antara debu-debu yang sangat bernilai, dan mengeja detak-detik yang penuh dengan lapis-lapis keberkahan. Maka dia mengerahkan segenap indranya untuk mengambil ayat-ayat ilmu, titis-titis rizqi, dan gerak-gerak ‘amal dari Sang Nabi, mendekapnya bagai permata di dalam jiwa, menuangkannya sebagai daya bagi raga.
Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan air bekas mandi Rasulullah, lalu mencampurkannya ke dalam air mandinya. Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan keringat Rasulullah, dan mencampurkannya ke dalam minyak wangi yang dibalurkan ke sekujur badannya. Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan rambut yang jatuh, gigi yang tanggal, dan benda-benda peninggalan Rasulullah dari sandal hingga surbannya, untuk kelak dia wasiatkan diikutsertakan dalam penguburan dirinya.
Tapi yang paling berkah dari itu semua adalah, bahwa dari Anas ibn Malik kelak, ummat ini berhutang 2286 hadits yang dia riwayatkan. Betapa berharga matanya yang menyaksikan, telinganya yang menyimak, dan akalnya yang memahami sepanjang  detak-detik kebersamaannya dengan Rasulullah. Kini, tiap kali hadits-hadits itu ditulis, dihafal, diajarkan, dan diamalkan oleh ummat MuhammadShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Anas ibn Malik berhak atas pahala yang tak henti mengalir hingga hari kiamat.
Sang titipin, menjelma menjadi mata air ilmu dan samudra keberkahan.



Kebaikan di TanganMu, Yang Maha Tahu

Kemarin, lelaki kekar itu memukul seseorang sekali hantam. Dan korbannya mati.
Semalaman dia gelisah, celingak-celinguk mengkhawatirkan dirinya. Si korban yang tewas adalah orang Qibthi, dari bangsa sang Fir’aun penguasa Mesir. Adapun dia dan teman-temannya dari keturunan Ya’qub, ‘Alaihissalam, suku pendatang yang diperbudak. Penguasa kejam itu bisa berbuat hal tak terbayangkan pada sahaya-sahaya yang melanggar aturan.
Lelaki dalam cerita di Surah Al Qashash itu, Musa namanya.
Dan pagi ini, kawan yang tempo hari dibelanya hingga dia tak sengaja menghilangkan nyawa kembali meminta bantuannya. Lagi-lagi teman sekampung yang memang pembuat onar itu bersengketa dengan seorang penduduk Lembah Nil. “Sungguh kamu ini benar-benar pencari gara-gara yang sesat perbuatannya!”, hardik Musa.
Tapi Musa sukar bersikap lain. Dicekaunya leher pria Qibthi itu, dan kepalan tangannya siap meninju. “Wahai Musa”, kata orang itu dengan takut-takut, “Apakah kau bermaksud membunuhku seperti pembunuhan yang kau lakukan kemarin?” Musa terhenyak. Rasa bersalah menyergapnya, keraguan melumuri hatinya. Cengkeramannyapun mengendur dan lepas. Melihat itu si calon korban tumbuh nyalinya. “Kau ini memang hanya bermaksud menjadi orang yang sewenang-wenang di negeri ini!”, semburnya.
“Hai Musa”, tetiba muncul seorang lelaki yang tergopoh dari ujung kota, “Para pembesar negeri di sisi Fir’aun sedang berunding untuk membunuhmu. Keluarlah segera!” Musa bimbang. “Pergilah cepat!”, tegas orang itu, “Sungguh aku ini tulus memberimu saran!”
Tanpa tahu jalan dan tanpa ada kawan, Musa bergegas lari. Dengan penuh was-was dan galau dia ayunkan kaki. Batinnya menggumamkan harap, “Semoga Rabbku memimpinku ke jalan yang benar”. Langkahnya lebar-lebar dan tak berjeda, pandangnya lurus ke depan tanpa menoleh. Dan setelah menempuh jarak yang jauh; memburu nafas hingga menderu, menguras tenaga hingga lemas, memerah keringat hingga lemah; inilah dia kini, sampai di sebuah mata air.
Negeri itu, nantinya kita tahu, bernama Madyan. Musa melihat orang berrebut berdesak-desak memberi minum ternak-ternak. Adapun di salah satu sudut yang jauh, dua gadis memegang kekang kambing-kambingnya yang meronta, menahan mereka agar tak mendekat ke mata air meski binatang-binatang itu teramat kehausan tampaknya.
Musa nantinya akan disifati sebagai lelaki perkasa oleh salah seorang gadis itu. Bukan tersebab dia menceritakan kisahnya yang membunuh dengan sekali pukul, melainkan karena dalam lapar hausnya, lelah payahnya, takut cemasnya, serta asing kikuknya; Musa sanggup menawarkan bantuan. Orang yang masih mau dan mampu menolong di saat dirinya sendiri memerlukan pertolongan adalah pria yang kuat.
Musa melakukannya.
Musa menggiring domba-domba itu ke mata air. Ketika dilihatnya ada batu menyempitkan permukaan situ, dia sadar inilah salah satu sebab orang-orang harus berdesak-desakan. Maka dengan sisa tenaga, diangkatnya batu itu, disingkarkannya hingga sumur itu lapang tepiannya. Lagi-lagi Musa membuktikan kekuatannya. Bahwa pria perkasa tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran dari manusia.
Tanpa bicara lagi dan tak menunggu ungkapan terimakasih, Musa berlalu seusai menuntaskan tugasnya. Dia menggeloso di bawah sebuah pohon yang kecil-kecil daunnya. Rasa lelah melinukan tulangnya dan rasa lapar mencekik lambungnya. Kemudian dia berdoa, “Rabbi inni lima anzalta ilayya min khairin faqiir. Duhai Pencipta, Pemelihara, Pemberi Rizqi, Pengatur Urusan, dan Penguasaku; sesungguhnya aku terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan amat memerlukan.”
***
 Karena desakan hajat yang memenuhi jiwa; sebab keinginan-keinginan yang menghantui angan; kita lalu menghadap penuh harap pada Allah dengan doa-doa. Sesungguhnya meminta apapun, selama ianya kebaikan, tak terlarang di sisi Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahkan kita dianjurkan banyak meminta. Sebab yang tak pernah memohon apapun pada Allah, justru jatuh pada kesombongan.
“Kita dianjurkan untuk meminta kepada Allah”, demikian Dr. ‘Umar Al Muqbil menggarisbawahi tadabbur atas doa Musa setelah menolong dua gadis Madyan itu, “Baik hal kecil maupun hal besar”. Dalam kisah ini, sesungguhnya Musa yang kelaparan hendak meminta makanan. Cukup baginya, seandainya dia meminta jamuan kepada orang yang dia telah diberikannya jasa. Cukup baginya, sekiranya dia mengambil imbalan atas kebaikannya.
Tetapi Musa mengajarkan pada kita tiga hal penting dalam doanya. Pertama, bahwa hanya Allah yang layak disimpuhi kedermawananNya, ditadah karuniaNya, dan diharapi balasanNya. Mengharap kepada makhluq hanyalah kekecewaan. Meminta kepada makhluq hanyalah kehinaan. Bertimpuh pada makhluq hanyalah kenistaan.
Apapun hajat kita, kecil maupun besar, ringan maupun berat, remeh maupun penting; hanya Allah tempat mengharap, mengadu, dan memohon pertolongan.
Pelajaran kedua dari Musa adalah adab. Bertatakrama pada Allah, pun juga di dalam doa, adalah hal yang seyogyanya kita utamakan. Para ‘ulama menyepakati tersyariatkannya berdoa pada Allah dengan susunan kalimat perintah, sebagaimana banyak tersebut dalam Al Quran maupun Sunnah. Ia benar dan dibolehkan. Tetapi contoh dari beberapa Nabi dalam Al Quran menunjukkan ada yang lebih tinggi dari soal boleh atau tak boleh. Ialah soal patut tak patut. Ialah soal indah tak indah. Ialah soal adab.
Maka demikian pulalah Musa, ‘Alaihis Salam. Dia tidak mengatakan, “Ya Allah berikan.. Ya Allah turunkan.. Ya Allah sediakan..”. Dia merundukkan diri dan berlirih hati, “Duhai Rabbi; Penciptaku, Penguasaku, Penjamin rizqiku, Pemeliharaku, Pengatur urusanku; sungguh aku, terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan, amat memerlukan.”
Yang ketiga, bahwa Allah dengan ilmuNya yang sempurna lebih mengerti apa yang kita perlukan dan apa yang baik bagi diri ini daripada pribadi kita sendiri. Musa menunjukkan bahwa berdoa bukanlah memberitahu Allah apa hajat-hajat kita, sebab Dia Maha Tahu. Berdoa adalah bincang mesra dengan Rabb yang Maha Kuasa, agar Dia ridhai semua yang Dia limpahkan, Dia ambil, maupun Dia simpan untuk kita.
Maka Musa tidak mengatakan, “Ya Allah berikan padaku makanan”. Dia pasrahkan karunia yang dimintanya pada ilmu Allah yang Maha Mulia. Dia percayakan anugrah yang dimohonnya pada pengetahuan Allah yang Maha Dermawan. Diapun mengatakan, “Rabbi, sungguh aku, terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan, amat memerlukan.”
***
Gadis itu berjingkat dalam langkah malu-malu. Dia tutupkan pula ujung lengan baju ke wajah sebab sangat tersipu. Musa masih di sana, duduk bersahaja. Tepat ketika bayangan berkerudung itu menyusup ke matanya, lelaki gagah ini menundukkan pandangan.
“..Sesungguhnya Ayahku memanggilmu agar dia dapat membalas kebaikanmu yang telah memberi minum ternak-ternak kami..” (QS Al Qashash [28]: 25)
Allah yang merajai alam semesta memiliki jalan tak terhingga untuk memberikan karuniaNya kepada hamba. Baik untuk yang meminta maupun diam saja, yang menghiba maupun bermasam muka, yang yakin maupun tak percaya; limpahan rahmatNya tiada dapat dihalangi. Allah yang menguasai segenap makhluq memiliki cara tak terbatas untuk menghadirkan penyelesaian bagi masalah hambaNya. Allah yang menggenggam seluruh wujud, mudah bagiNya memilihkan sarana terbaik untuk menjawab pinta dan menghadirkan karunia.
Maka jangan pernah mengharap balasan itu datang dari orang yang pada kitalah budinya terhutang.
Tapi dalam kisah ini, Allah pilihkan jawaban doa dan balasan kebaikan melalui orang yang padanya Musa telah menghulurkan bantuan. Bukan sebab tiadanya jalan lain, melainkan karena Allah memang hendak menghubungkan Musa dengan mata air kebaikan yang telah disiapkanNya bagi tugas besarnya kelak. Sebuah keluarga terpilih, yang akan menjadi tempatnya mendewasa dan jadi titik tolak kenabian dan kerasulannya.
Untuk kita insyafi agar diri hanya menggantungkan asa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, bahwa tak selalu Dia membalas kebaikan melalui orang yang menerima pertolongan kita. Hanya, mungkin saja itu terjadi. Sebab ada kebaikan yang Allah persiapkan di balik itu, berlipat-lipat, bergulung-gulung. Seperti yang dialami Musa.
“Berjalanlah di belakangku”, sahut Musa, “Dan berilah isyarat terhadap arah yang kita tuju.” Kita tahu, nanti Musa akan dijuluki sebagai ‘Yang Tepercaya’ karena ucapan ini. Sungguh memang, betapa tepercaya lelaki muda yang tetap menjaga pandangannya, pada gadis asing yang jelita, yang mendatanginya untuk kemudian berjalan hanya berdua.
Maka hari itu berubahlah hidup Musa. Sang pelarian dari Mesir menemukan tambatan hidup. Di rumah seorang bapak tua dari negeri Madyan, dia dijamu makan, dilingkupi perlindungan, diberi tempat tinggal, ditawari pekerjaan, kemudian nantinya dinikahkan, dan akhirnya diberi tugas kenabian.
Musa meminta makanan dengan tatakrama yang baik. Yaitu, dia pasrahkan kebaikan apapun yang hendak diberikan Allah padanya ke dalam cakupan ilmuNya. Musa meyakini bahwa apapun yang akan dikaruniakan Allah padanya adalah lebih baik dari semua dugaan dalam permohonannya. Maka Allah memberinya kelimpahan tak terbayangkan.
Demikianlah Allah, Rabb yang Maha Pemurah. Bahkan apa yang kita tak pernah memintanya, Dia tak pernah alpa memberikannya. Maka pada tiap doa, sesungguhnya kita diharap bersiap untuk menerima yang lebih baik, lebih banyak, dan lebih indah. Di dunia maupun akhirat. Sebab hanya di tanganNyalah segala kebaikan. Sebab Dialah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
***
“Aku tak pernah mengkhawatirkan apakah doaku akan dikabulkan”, demikian ‘Umar ibn Al Khaththab pernah berkata. “Sebab setiap kali Allah mengilhamkan hambaNya untuk berdoa, maka Dia sedang berkehendak untuk memberi karunia.”
“Yang aku khawatirkan adalah”, lanjut ‘Umar, “Jika aku tidak berdoa.”
Takkan terasa manisnya kehambaan, hingga kita merasa bahwa bermesra pada Allah dalam doa itulah yang lebih penting dari pengabulannya. Takkan terasa lezatnya ketaatan, hingga kita lebih mencintai Dzat yang mengijabah permintaan kita, dibanding wujud dari pengabulan itu.
Inilah lapis-lapis keberkahan.
Seperti Musa, di lapis-lapis keberkahan kita berlatih untuk meyakini bahwa segala kebaikan ada dalam genggaman Allah. Di lapis-lapis keberkahann, kita juga belajar bahwa ilmu Allah tentang kebaikan yang kita perlukan adalah pengetahuanNya yang sempurna, jauh melampaui kedegilan akal dan kesempitan wawasan kita. Maka di antara jalan berkah adalah, rasa percaya yang diwujudkan dalam tatakrama.
Di lapis-lapis keberkahan, kita mengeja iman dan adab itu dalam doa-doa. Dan inilah firmanNya yang Maha Mulia menutup renungan kita dengan lafal doa yang penuh makna:
“Katakan: duhai Allah, pemilik kerajaan maharaya, Engkau berikan kekuasaan kepada sesiapa yang Kau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan itu dari siapa saja yang Kau kehendaki. Engkau muliakan sesiapa yang Kau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa jua yang Kau kehendaki. Di tanganMulah segala kebaikan. Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau memasukkan malam ke dalam siang dan Kau benamkan siang ke dalam malam. Engkau mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan Kau seruakkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau mengenugrahi rizki pada siapapun yang Kau kehendaki tanpa terbatasi.” (QS Ali ‘Imran [3]: 26-27)

Majalah AMF

Assalamualaikum
Posting kali ini ana mau memuat sebuah bulletin elektronik yang ana buat menggunakan Coreldraw dalam format pdf.
silahkan downloa 

TIGA SUASANA DALAM SATU MASA

Ingatkah kita saat menjadi seorang anak bagi sepasang anak manusia yang kita sebut Ibu dan Ayah, bagi mereka kita telah merubah suasana hidup mereka dimana dari seorang pemuda dan pemudi berubah menjadi sepasang suami istri dan karena kitalah status mereka berubah kita panggil dengan Ayah dan Ibu.
Dari seorang wanita berubah menjadi seorang istri saat seorang laki-laki hadir dalam kehidupannya, ada tiga suasana dimana saat masih sendiri sang ‘wanita’ bergantung hidup pada kedua orang tuanya, segala sesuatu dalam hidup mereka menjadi tanggungjawab ayah ibunya. Tapi saat menikah wanita tersebut menyerahkan semua tanggungjawab hidupnya pada seorang laki-laki bernama suami, dipundak suamilah hidupnya berlangsung. Suka, duka, canda tawa mereka bagi bersama.
Begitu pula dengan lelaki, dari seorang pria lajang membujang ia telah menjemput kesempurnaan ‘Diin’ dengan meminang dan menikahi sang wanita yang telah menjadi tali takdir hidupnya untuk masa depan, semua peluh, lelah dan semua hasil kerjanya ia bagi dengan wanita pilihannya tadi.
Dan pada akhirnya mereka akan mengharapkan hadirnya seorang anak penyejuk mata pengisi keceriaan mereka. Dan mencurahkan kasih sayang dan perhatian bagi tumbuh kembangnya sang anak.
Namun perubahan ketiga suasana tadi perlu pembelajaran. Dari seorang yang bebas dalam berpikir dan bertindak. Mereka tak terbebani harus mengkomunikasikan pada siapa atas apa yang mereka rasakan, rasa ego pribadi yang cenderung ‘liar’. Namun tak jarang terkadang kita terbawa nuansa sifat masa bebas tadi ketika telah berkeluarga, padahal ketika seseorang telah menikah kita tidak sendiri lagi, ada orang yang tidak hanya sekedar teman hidup saja, teman tidur, orang yang mengurus kita, tapi juga menjadi mitra dalam tugas membangun bahtera di dalam sebuah ikatan suci nan sakral, kita akan membawa mereka dalam bahtera tadi sampai ke akhirat kelak.

Maka seorang Ayah harus siap batin, raga, jiwa dan kerja-kerja untuk menghidupi penghuni ‘istana’ kita, mereka-merekalah        

Resensi: Bahasa Jiwa

Mendengar kata ‘Bahasa Jiwa’, memori kita akan mengingat sebuah album nasyid Bahasa Jiwa yang beredar pada Tahun 2002 milik team nasyid Maidany dari Medan. Memang tidak salah pemikiran itu, karena buku ini adalah karya dari sang maestro Fakhrudin Amri ‘Si Jiwa’ Damanik sang personil Maidany.
Buku ini adalah buah karya yang dilahirkan oleh seorang Amri atau lebih dikenal dengan nama ‘Si Jiwa’ untuk persembahan bagi sang istri tercintanya, dalam buku ini ada banyak puisi-puisi dan esai serta kata-kata mutiara yang lahir dari goresan tangan sang penulis.
Buku yang diterbitkan atas kerjasama WSC dengan Format Publishing, adalah salah satu buku sastra. Mungkin bagi yang telah akrab dengan syair-syair Maidany tidak asing lagi dengan sosok ‘Si Jiwa’ ini, bagaimana tidak. Dia merupakan sang pencipta dari karya-karya maidany. Di dalam buku ini kita juga akan disugguhkan dengan kisah-kisah dari pernikahan mulia dua insan si Fakhruddin Amri ‘Si Jiwa’ Damanik dengan istrinya Shisca ‘Bassam’ Elliza.
Buku yang turut diapresiasi oleh sang Gubernur Sumatera Utara yang pada saat itu masih menjabat sebagai Plt. Gubernur ini sangat menginspirasi kader-kader dakwah, terlebih para kader dari Partai Keadilan Sejahtera, buku yang terbit pada tahun 2012 ini penuh dengan kata-kata puitis yang akan disuguhkan oleh sang penulis. Mungkin bisa menjadi salah satu koleksi buku sastra anda.
Dari penuturan bang Amri yang sempat smsan dengan saya buku ini telah lama ingin ia terbitkan namun terkendala dengan kesibukan beliau di Maidany, Lesat dan Kepanduan DPW PKS Sumatera Utara sehingga baru bisa diterbitkan pada Tahun 2014.   
Dari yang penulis baca dan telaah memang tidak salah kiranya kalo Bapak Gatot Pujo Nugroho, ST ‘dia orangnya sangat perasa. Walaupun dia juga dikenal sebagai guru bela diri dan orang lapangan, yang notabene terkadang kehidupannya penuh dengan nuansa yang keras’.
Buku ini memang sangat menginterprestasikan sosok sang Si Jiwa, dimana didalam buku ini juga turut dilampirkan beberapa foto seperti foto Kotak Mahar, Potongan kalimat “Bila yang Tertulis olehNya engkau yang terpilih untukku telah terbuka hati ini menyambut  cintamu, Selamat datang diseparuh nafasku, selamat datang dipertapaan hatiku”. Foto bersama istri dan ketiga anak beliau Salvinia Casilda alias Yumna, Imad Ar Ruhussyahid alias Aiman dan Rumaisha Huurun Naashita alias Rumaisha dan foto personil Maidany, Foto LESAT.
Penulis ingin mengatakan disini buku Bahasa Jiwa ini sangat “Mahal” karena ia adalah sebuah Mahar, inspiratif dan menggugah.

Mungkin penulis dalam hal ini bukan hanya memuji karya beliau, namun di sini penulis mencoba sedikit mengkritik meski bukan pengkritik sastra yang mumpuni namun ikhtiar ini penulis lakukan sebagai penyeimbang dari eloknya sebuah karya dari Si Jiwa. Dari desain cover buku ini sangat simpel namun tidak menghilangkan unsur keindahan, tapi memiliki kekurangan dari segi Lay out isi dalam dimana isi buku ini terkesan seperti hanya difoto copy di atas kerta HVS tak ada daya tarik sama sekali ditambah tanpa ada gambar ilustrasi apapun. Namun kekurangan ini agak tertutupi oleh beberapa lampiran foto yang disertakan tadi.
Terlepas dari beberapa kekurangan tadi, buku yang berisi 188 halaman ini patut kita apresiasi sebagai upaya awal untuk lebih memperkenalkan diri dari Si Jiwa, dan pada kesempatan ini penulis ingin mengatakan “saya bukan hanya menikmati dari kesemua karya-karya nasyid beliau bersama Maidany namun juga begitu terkesan dengan apa yang telah beliau tulis ini.
Salam sukses kanda, moga tetap istiqamah menginspirasi dalam syair dan karya-karya lain, semoga Buku Bahasa Jiwa nya Best Seller bang ya :D.

Judul Buku     : Bahasa Jiwa
Penulis            : Si Jiwa
Penerbit         : Format Publishing
Cetakan          : I Oktober 2014
Tebal              : XXII+188

ISBN                : 978-602-7543-10-2

Komentar anda