Ingatkah kita saat menjadi seorang anak bagi sepasang anak manusia yang
kita sebut Ibu dan Ayah, bagi mereka kita telah merubah suasana hidup mereka
dimana dari seorang pemuda dan pemudi berubah menjadi sepasang suami istri dan
karena kitalah status mereka berubah kita panggil dengan Ayah dan Ibu.
Dari seorang wanita berubah menjadi seorang istri saat seorang laki-laki
hadir dalam kehidupannya, ada tiga suasana dimana saat masih sendiri sang
‘wanita’ bergantung hidup pada kedua orang tuanya, segala sesuatu dalam hidup
mereka menjadi tanggungjawab ayah ibunya. Tapi saat menikah wanita tersebut
menyerahkan semua tanggungjawab hidupnya pada seorang laki-laki bernama suami,
dipundak suamilah hidupnya berlangsung. Suka, duka, canda tawa mereka bagi
bersama.
Begitu pula dengan lelaki, dari seorang pria lajang membujang ia telah
menjemput kesempurnaan ‘Diin’ dengan meminang dan menikahi sang wanita yang
telah menjadi tali takdir hidupnya untuk masa depan, semua peluh, lelah dan
semua hasil kerjanya ia bagi dengan wanita pilihannya tadi.
Dan pada akhirnya mereka akan mengharapkan hadirnya seorang anak
penyejuk mata pengisi keceriaan mereka. Dan mencurahkan kasih sayang dan
perhatian bagi tumbuh kembangnya sang anak.
Namun perubahan ketiga suasana tadi perlu pembelajaran. Dari seorang
yang bebas dalam berpikir dan bertindak. Mereka tak terbebani harus
mengkomunikasikan pada siapa atas apa yang mereka rasakan, rasa ego pribadi
yang cenderung ‘liar’. Namun tak jarang terkadang kita terbawa nuansa sifat
masa bebas tadi ketika telah berkeluarga, padahal ketika seseorang telah
menikah kita tidak sendiri lagi, ada orang yang tidak hanya sekedar teman hidup
saja, teman tidur, orang yang mengurus kita, tapi juga menjadi mitra dalam
tugas membangun bahtera di dalam sebuah ikatan suci nan sakral, kita akan
membawa mereka dalam bahtera tadi sampai ke akhirat kelak.
Maka seorang Ayah harus siap batin, raga, jiwa dan kerja-kerja untuk
menghidupi penghuni ‘istana’ kita, mereka-merekalah
0 comments:
Post a Comment