Friday, April 24, 2015

Mengemis di Langit Bermanis di Bumi


Betapa indah hidup yang terhubung ke langit
Ketika ruhmu yang meronta-ronta rindu
Kau pertemukan dengan Rabb Yang Maha Tahu
Bagai tetes air atas batu, naik menyatu ke awan biru
Untuk nanti menghamburkan bersama kawan beribu-ribu
Menghidupkan bumi sesudah mati sekian waktu

Begitulah seharusnya kita lima waktu dalam sehari
Sejenak mengiba pada Rabb yang maha suci
Hingga alam semesta terjaga dari mungkar nan keji
Dari sejenak kita mengucapk salam hingga bertakbir lagi

Begitulah selayaknya kita sekali disepertiga malam
Berdiri diwaktu kelam, bersujud dalam-dalam
Mengokohkan hati melebihi gunung menjulang
Lalu kita mewarisi dari RasulNya beban untuk mencintai semesta
Membagi senyum ketika terluka
Memberi minum ketika dahaga
Menghibur jiwa-jiwa ketika berduka

Begitulah seyogianya kita sekali disetiap pekan
Mandi bersuci, memangkas yang risi dan berharuman
Bersisir Rapi, memakai pakaian ranggi, dan merunduk berjalan

Demi mendengar wasiat taqwa dengan merunduk hati
Agar keluar darinya bergegas menjelajah bumi
Membawa kejujuran niaga dan berzikir tiada henti

(sumber: Lapis-Lapis Keberkahan)

Tuesday, April 14, 2015

Berpelangi Dalam Cinta

a yang mengkaji Al Quran agunglah bobotnya.Dia yang mempelajari Fiqh mulialah kadarnya.Dia yang menulis hadits menguatlah hujjahnya.-Imam Asy Syafi’i- Fiqh artinya pemahaman. Maka ia adalah hasil dari bersambutnya teks-teks syari’at dengan persoalan masyarakat pada suatu keadaan, zaman, dan tempat, di dalam benak seorang faqih yang berijtihad. Artinya, ahli fiqh itu mengerahkan segenap kemampuan untuk menggali Al Quran dan Sunnah Rasulillah, menjadikannya dasar untuk mengistinbath hukum atas suatu kejadian, atau merumuskan panduan sikap serta ‘amalan.“Hampir-hampir”, demikian Syaikh Yusuf Al Qaradlawy dalam Fiqhul Ikhtilaf, “Perbedaan pemahaman fiqh adalah niscaya, sebab sifat bahasa ‘Arab dalam nashyang kosakatanya terkadang musytarak atau bermakna banyak. Belum lagi, perbedaan karunia kecerdasan setiap manusia, cara berfikirnya, dan bahkan watak serta akhlaq. Ditambah pula perbedaan latar belakang, tempat, zaman, dan kebiasaan turut mewarna-warnikan pengertian.”Hatta di kalangan para sahabat Rasulullah yang cemerlang misalnya, ada empat ‘Abdullah yang fuqaha’ dengan kecenderungan berbeda. ’Abdullah ibn ‘Umar cenderung mengetatkan, ‘Abdullah ibn ‘Abbas cenderung melonggarkan, ‘Abdullah ibn Mas’ud suka menegaskan satu pendapat, dan ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn Al ‘Ash suka memberi beberapa pilihan.Maka setelah perkara pokok yang tersepakati, utamanya dalam dasar-dasar ‘aqidah, juga maksud-maksud syari’ah, menerima adanya perbedaan dalam Fiqh termasuk asasan yang tak boleh tidak.Seperti ketika Harun Ar Rasyid hendak menjadikan kitab Al Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai undang-undang negara, sang penulis menolaknya. “Wahai Amirul Mukminin”, ujar beliau, “Para sahabat Rasulullah bagaikan bintang gemintang di langit. Mereka telah menyebar ke segala penjuru dunia. Ummat di berbagai wilayah itu telah mengambil pemahaman dari mereka. Menggiring rakyatmu pada satu pendapat saja, hanya akan menimbulkan bencana.”***Dari kesadaran itu, kita menemukan bahwa khazanah Fiqh dalam cabang-cabangnya begitu kaya. Di dalam himpunan pendapat yang benar, masih ada mana-mana yang lebih tepat dan mana juga yang ternyata luput. Di dalam himpunan pendapat yang tepat termaktub mana-mana yang disepakati jumhur dan mana pula  yang menjadiqaul menyendiri seorang faqih tapi terakui mendalam ilmunya lagi kokoh ijtihadnya. Ada yang rajih, ada yang marjuh. Ada pendapat yang ‘lebih disukai’ oleh sebagian Imam. Ada pula yang disikapi dengan kehati-hatian, sehingga ditinggalkan bukan karena kepastian bahwa ia keliru, melainkan demi terraihnya sesuatu yang lebih terjamin keselamatannya dan terhindarkan kemungkinan buruknya.Di kalangan Tabi’in, Imam Atha’ ibn Abi Rabah menabrak pendapat Jumhur ‘Ulama kala menyatakan bahwa melempar jumrah sebelum lingsir mentari adalah utama. Pendapat beliau, pada zamannya, dianggap ganjil dan menyalahi ijma’. Sebab berbagai riwayat menyatakan, Rasulullah hanya melaksanakannya setelah lingsir.Tapi lalu tibalah masa di mana pendapat beliau dianggap tepat dan dirujuk demi terraihnya kemaslahatan dan terhindarkannya bahaya. Masa itu adalah hari ini, ketika jama’ah haji membludak dan jamarat serta jalan menujunya amat padat jika semua mengambil waktu utama menurut jumhur ‘ulama. Pendapat Imam Atha’ ibn Abi Rabah yang meluaskan waktu utama, menjadi dasar untuk menghimbau jama’ah agar berkenan menerima pembagian jadwal demi kesentausaan dan keamanan, ketertiban dan kenyamanan.Semoga Allah merahmati Imam Muhammad ibn ‘Abdirrahman ibn Husain, pemuka madzhab Asy Syafi’i pada zamannya. ‘Alim Quraisy keturunan Sayyidina ‘Utsman yang bermukim di Damaskus ini menulis kitabnya dengan judul Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah. Artinya; rahmat bagi ummat dalam perbedaan pendapat para Imam. Walau disandarkan pada kalimat yang dianggap hadits namun tak terlacak keshahihannya yakni “Ikhtilafu ummati rahmah, perbedaan pendapat ummatku adalah rahmat”, tetapi para ‘ulama mempersaksikan kebenaran dan kebaikan isi kitab ini.Sebab yang dimaksud rahmat dalam tajuk itu adalah keluasan, tenggang rasa, dan keragaman yang bermanfaat bagi ummat. Memang demikianlah perbedaan di kalangan ahli ‘ilmu, ada dasarnya, dan lembut penyampaiannya. Tentu hal ini tak sama dengan beda pendapatnya para ‘awam, yang tak berdasar ilmu namun hawa nafsu, yang diikuti ta’ashub dan tak sudi mendengar, yang diisi bertengkar dan enggan belajar.Perbedaan pendapat para Imam adalah rahmat bagi ummat, seperti kita baca dalam kisah Imam Atha’ ibn Abi Rabah dan pendapatnya tentang melempar jumrah. Perbedaan pendapat yang berdasar ilmu dan ditampilkan dengan akhlaq, akan menjadi lapis-lapis keberkahan.Demikianlah Fiqh dengan kekayaan khazanahnya, akan menemukan tempat dan waktu di mana ummat menghajatkan fahaman tepat dari berragamnya pendapat. Maka setelah ‘ilmu, ada yang tak kalah penting kita warisi dari Salafush Shalih. Ialah akhlaq. Bahwa setelah hujjah bertemu hujjah, saling hujat tak lagi mendapat tempat.***Bukankah sesuatu yang ikhtilaf, apalagi jika bertolak belakang, meniscayakan yang satu benar sedangkan yang lain keliru? Dalam soal pokok-pokok agama dan dasar-dasar ‘aqidah yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, demikianlah adanya. Tetapi dalam perkara furu’iyah fiqhiyah, para ‘ulama memiliki penjelasan. Berikut ini sebuah contoh yang sering dikutip.Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada rombongan pasukan yang akan berangkat ke Benteng Bani Quraizhah setelah perang Ahzab, “Jangan kalian shalat ‘Ashr kecuali di Bani Quraizhah!” Kemudian sariyah inipun bergerak menuju perkampungan Yahudi di bagian atas Kota Madinah itu.Ternyata, sebelum barisan ini sampai ke Bani Quraizhah, waktu ‘Ashr telah hampir habis. Maka merekapun terbelah dalam silang pendapat. Sebagian sahabat memutuskan berhenti untuk shalat ‘Ashr. Sebagian yang lain jalan terus.Yang berhenti beranggapan bahwa sabda Nabi, “Jangan shalat ‘Ashr kecuali di Bani Quraizhah” mengandung makna kiasan bahwa mereka harus segera berangkat dan bergegas dalam berjalan agar cepat sampai ke tujuan. Makna itu tak menghapus ketentuan bahwa shalat ‘Ashr harus ditunaikan pada waktunya.“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” (QS An Nisaa’ [4]: 103)Bagi para sahabat yang berhenti, adalah tidak mungkin melanggar batas waktu ‘Ashr dengan menunaikannya nanti. Mereka telah memperhitungkan, secepat apapun mereka gesakan, Benteng Bani Quraizhah baru akan mereka capai jauh setelah mentari terbenam. Andai menjama’ shalat ‘Ashr dengan Maghrib ada dalilnya, tentu mereka akan maju terus. Tapi tidak. Mereka memutuskan harus shalat sekarang.Adapun para sahabat yang terus berjalan berpendapat bahwa sabda RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu mutlak sebagai perintah seorang panglima. Mereka tidak boleh shalat ‘Ashr kecuali di Bani Quraizhah. Dalam perintah tersebut, yang ditentukan dan ditetapkan oleh Sang Nabi adalah tempatnya, bukan waktunya. Bagi mereka, menyelisihi perintah Rasulullah adalah kedurhakaan dan pelanggaran berat. Maka merekapun jalan terus meski belum shalat ‘Ashr dan waktunya sudah habis.Mari perhatikan bahwa bagi mereka yang berhenti, anggota pasukan yang berjalan terus itu berdosa karena tidak shalat ‘Ashr pada waktunya. Pun sebaliknya, bagi yang melanjutkan perjalanan,  para prajurit yang berhenti itu berdosa karena menyelisihi perintah Rasulullah dengan shalat tidak di tempat yang telah beliau tentukan. Betapa rumit kedua fahaman.Tapi apa yang terjadi ketika seusai tuntasnya tugas mereka menghadap Rasulullah dan saling melaporkan? Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tak menyalahkan siapapun. Sama sekali.Beginilah Fiqh, ia bermakna pemahaman. Maka kadang pemahaman memang tak bisa seutuhnya satu dan tak dapat sepenuhnya sama. Dalam kisah, kedua kelompok sama-sama tidak disalahkan oleh Baginda Nabi. Maka para Imam Fuqaha’  yang agung mengajari, bahwa Ikhtilaf tak selalu berarti yang satu benar dan yang satu keliru secara mutlak.Pada dua pendapat yang semacam ini, hatta meski kita hanya meyakini salah satunya, haruslah ia diletakkan sebagaimana ujaran indah Imam Asy Syafi’i. “Pendapatku benar”, kata beliau, “Tapi berkemungkinan mengandung kekeliruan. Adapun pendapat orang selainku itu keliru, tapi berkemungkinan mengandung kebenaran.”Pun, ketika membahasnya dengan mereka yang berbeda, perbantahan harus didasarkan juga pada semangat menemukan kebenaran sebagaimana yang dimiliki Imam Asy Syafi’i. “Sungguh demi Allah”, papar beliau, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang, melainkan aku sangat berharap agar Allah menampakkan kebenaran padaku melalui lisannya.”Di saat lain beliau menyampaikan, “Kuburu akhlaq dan ilmu dari setiap orang yang dengannya aku bertemu, bagaikan seorang ibu mencari anaknya semawata wayang yang telah hilang.” Semoga Allah merahmatinya, salah satu lelaki yang dengan gemilang telah menunjukkan pada kita betapa beriris-iris perbedaan pendapat para ‘ulama adalah lapis-lapis keberkahan bagi ummat ini.***“Kita lebih berhajat pada sedikit adab”, ujar Imam ‘Abdullah ibn Al Mubarak, “Daripada berbanyak pengetahuan.” Demikianlah di kala lain beliau menyatakan bahwa dirinya memerlukan waktu 30 tahun untuk belajar adab, ditambah 20 tahun untuk belajar ilmu. “Adapun ilmu yang kuhimpun dari seluruh penjuru raya selama dua dasawarsa”, simpulnya, “Sama sekali tak bernilai tanpa Adab yang kulatihkan sebelumnya.”“Maka pada guru yang sebenar berilmu”, begitu ditulis Ibn ‘Athaillah, “Kan kau reguk adab yang tak disediakan oleh buku-buku.” Demikianlah dikisahkan Harun ibn ‘Abdillah tentang majelis Imam Ahmad yang dihadiri lima ribu orang. “Yang membawa kertas dan pena untuk mencatat hadits hanya lima ratus dari mereka”, kisahnya, “Yang lain memperhatikan seluruh diri dan gerak-gerik Imam Ahmad untuk meneladani adab dan menyimak akhlaq.”Yang mempelangikan perbedaan pemahaman menjadi lapis-lapis keberkahan adalah adab.Adalah Imam Ahmad ibn Hanbal dalam suatu pendapat menyatakan bahwa orang yang keluar darah mengalir, maka wudhu’nya dihukumi batal. Lalu ada yang bertanya pada beliau Rahimahullah, “Apakah engkau mau bermakmum di belakang Imam yang mimisan, yakni keluar darah dari hidungnya saat shalat?”Maka beliau menjawab dengan tegas. “Subhanallah”, serunya, “Bagaimana mungkin aku tidak mau shalat di belakang Imam Malik, Sufyan Ats Tsaury, dan Imam Al Auza’i?Imam Ahmad menyebutkan nama-nama para ‘Alim  mulia itu, yang mana mereka berpendapat bahwa keluar darah tidaklah membatalkan shalatnya. Inilah adab. Inilah tata krama seorang ‘Alim yang Rabbani terhadap sesama ‘Ulama. Perbedaan pendapat tak menghalangi mereka untuk berrebut memuliakan dengan Adab.Dua orang faqih dari kalangan sahabat, ‘Abdullah ibn ‘Abbas dan Zaid ibn Tsabit, RadhiyaLlahu ‘Anhuma, juga berbeda pendapat dalam banyak masalah. Salah satunya soal faraidh atau penghitungan waris.Menurut Ibn ‘Abbas, bagian kakek sama dengan ayah kala dia tiada, dan adanya kakek menghijab hak saudara. Tidak demikian menurut Zaid. Bagi penulis wahyu kebanggaan orang-orang Anshar ini, kakek berkedudukan sama dengan saudara.“Ana sa-ubahiluh”, geram Ibn ‘Abbas suatu ketika,”Aku akan bermubahalah dengan Zaid! Bagaimana mungkin dia bedakan bagian kakek dengan ayah tapi tetap samakan bagian anak dengan cucu?”Tapi ketika ada kerabat Ibn ‘Abbas mengalami persoalan waris yang harus diselesaikan dengan memilih pnedapatnya atau pendapat si faqih Anshar; beliau justru mengundang Zaid ibn Tsabit, untuk dimintai fatwa dalam menyelesaikannya.Zaid pun datang dan setelah mendengar penuturan dari keluarga tentang susunan para Ahli waris, beliau memutuskannya menurut pendapat Ibn ‘Abbas, bukan pendapatnya. Ketika Zaid pamit pulang, Ibn ‘Abbas  pun menuntun keledai sang Mufti kota Nabi sembari berjalan kaki,  bermaksud mengantar hingga ke rumahnya. Zaidpun merasa tak enak hati dan menegurnya.“Tak usah begitu duhai putra Paman RasuluLlah” ujar Zaid, “Tak perlu engkau menuntun keledaiku!”“Beginilah kami diperintahkan”, ujar Ibn ‘Abbas sambil tersenyum, “Untuk memuliakan para ‘ulama kami.”“Kalau begitu”, tukas Zaid, “Perlihatkanlah tanganmu duhai sepupu RasuluLlah!”Maka Ibn ‘Abbas pun menunjukkan tangannya dan segeralah Zaid mencium serta mengecupnya dengan penuh ta’zhim. Ibn ‘Abbas amat terkejut atas perlakuan ini dan menegur Zaid, “Apa ini wahai sahabat RasuluLlah? Apa ini wahai penulis Al Quran dan faqihnya kaum Anshar?”Maka Zaid tersenyum. “Demikianlah kami diperintahkan, jelasnya, “Untuk memuliakan keluarga dan ahli bait RasuluLlah ShallaLlahu ‘Alaihi wa Sallam.”Moga Allah ridhai mereka semua; yang luas ilmunya, dalam fikihnya, lapang dadanya, jelita akhlaqnya. Moga kita dimampukan meneladaninya. Hari ini, kita dan mereka bagai bumi dan langit dalam ilmu. Maka di lapis-lapis keberkahan, dalam adab dan akhlaq, mari mengupayakan jadi cermin pemantul para mentari itu.

Monday, January 12, 2015

Rizqi Kita, Soal Rasa

u tahu, rizqiku takkan diambil orang, karenanya hatiku tenang..
Aku tahu, ‘amalku takkan dikerjakan orang, karenanya kusibuk berjuang..
-Hasan Al Bashri-

Pemberian uang yang sama-sama sepuluh juta, bisa jadi sangat berbeda rasa penerimaannya. Kadang ia ditentukan oleh bagaimana cara menghulurkannya.
Jika terada dalam amplop coklat yang rapi lagi wangi, dihulurkan dengan senyum yang harum dan sikap yang santun, betapa berbunga-bunga kita menyambutnya. Apatah lagi ditambah ucapan yang sopan dan lembut, “Maafkan sangat, hanya ini yang dapat kami sampaikan. Mohon diterima, dan semoga penuh manfaat di jalan kebaikan.”
Ah, pada yang begini, jangankan menerima, tak mengambilnya pun tetap nikmat rasanya. Semisal kita katakan, “Maafkan Tuan, moga berkenan memberikannya pada saudara saya yang lebih memerlukan.” Lalu kita tahu, ia sering berjawab, “Wah, jika demikian, kami akan siapkan yang lebih baik dan lebih berlimpah untuk Anda. Tapi mohon tunggu sejenak.”
Betapa berbeda rasa itu, dengan jumlah sepuluh juta yang berbentuk uang logam ratusan rupiah semuanya. Pula, ia dibungkus dengan karung sampah yang busuk baunya. Diberikan dengan cara dilempar ke muka, diiringi caci maki yang tak henti-henti. Betapa sakitnya. Betapa sedihnya. Sepuluh juta itu telah hilang rasa nikmatnya, sejak mula ia diterima.
Inilah di antara hakikat rizqi, bahwa ia bukan soal berapa. Sungguh ia adalah nikmat yang kita rasa. Sebab sesungguhnya, ia telah tertulis di langit, dan diterakan kembali oleh malaikat ketika ruh kita ditiupkan ke dalam janin di kandungan Ibunda. Telah tertulis, dan hendak diambil dari jalan manapun, hanya itulah yang menjadi jatah kita. Tetapi berbeda dalam soal rasa, karena berbeda cara menghulurkannya. Dan tak samanya cara memberikan, sering ditentukan bagaimana adab kita dalam menjemput dan menengadahkan tangan padaNya.
Rizqi memiliki tempat dan waktu bagi turunnya. Ia tak pernah terlambat, hanyasanya hadir di saat yang tepat.
“Janganlah kalian merasa bahwa rizqi kalian datangnya terlambat”, demikian sabda Rasulullah yang dibawakan oleh Imam ‘Abdur Razzaq, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, “Karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba meninggal, hingga telah datang kepadanya rizqi terakhir yang ditetapkan untuknya. Maka tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizqi, yaitu dengan  yang halal dan meninggalkan yang haram.”
Jika jodoh adalah bagian dari rizqi, boleh jadi berlaku pula kaidah yang sama. Sosok itu telah tertulis namanya. Tiada tertukar, dan tiada salah tanggal. Tetapi rasa kebersamaan, akan ditentukan oleh bagaimana adab dalam mengambilnya. Bagi mereka yang menjaga kesucian, terkaruniakanlah lapis-lapis keberkahan. Bagi mereka yang mencemarinya dengan hal-hal mendekati zina, ada kenikmatan yang kan hilang meski pintu taubat masih dibuka lapang-lapang. Sebab amat berbeda, yang dihulurkan penuh keridhaan, dibanding yang dilemparkan penuh kemurkaan.
Rizqi adalah ketetapan. Cara menjemputnya adalah ujian. Ujian yang menentukan rasa kehidupan. Di lapis-lapis keberkahan dalam setetes rizqi, ada perbincangan soal rasa. Sebab ialah yang paling terindra dalam hayat kita di dunia.
***
Di antara makna rizqi adalah segala yang keluar masuk bagi diri dengan anugrah manfaat sejati. Nikmat adalah rasa yang terindra dari sifat maslahatnya. Kasur yang empuk dapat dibeli, tapi tidur yang nyenyak adalah rizqi. Ia dapat saja terkarunia di alas koran yang lusuh, dan bukan di ranjang kencana yang teduh. Hidangan yang mahal dapat dipesan, tetapi lezatnya makan adalah rizqi. Ia dapat saja terkarunia di wadah daun pisang bersahaja, bukan di piring emas dan gelas berhias permata.
Atau bahkan, ada yang memandang seseorang tampak kaya raya, tapi sebenarnya Allah telah mulai membatasi rizqinya.
Ada yang bergaji 100 juta rupiah setiap bulannya, tapi tentu rizqinya tak sebanyak itu. Sebab ketika hendak meminum yang segar manis dan mengudap yang kue yang legit, segera dikatakan padanya, “Awas Pak, kadar gulanya!” Ketika hendak menikmati hidangan gurih dengan santan mlekoh dan dedagingan yang lembut, cepat-cepat diingatkan akannya, “Awas Pak, kolesterolnya!” Hatta ketika sup terasa hambar dan garam terlihat begitu menggoda, bergegaslah ada yang menegurnya, “Awas Pak, tekanan darahnya!”
Rasa nikmat itu telah dikurangi.
Lagi-lagi, ini soal rasa. Dan uang yang dia himpunkan dari kerja kerasnya, amat banyak angka nol di belakang bilangan utama, disimpan rapi di Bank yang sangat menjaga rahasia, jika dia mati esok pagi, jadi rizqi siapakah kiranya? Apa yang kita dapat dari kerja tangan kita sendiri dan kita genggam erat hari ini, amat mungkin bukan hak kita. Seperti hartawan yang mati meninggalkan simpanan bertimbun. Mungkin itu mengalir ke ahli warisnya, atau bahkan musuhnya. Allah tak kekurangan cara untuk mengantar apa yang telah ditetapkanNya pada siapa yang dikehendakiNya.
Rizqi sama sekali bukan yang tertulis sebagai angka gaji.
Seorang pemilik jejaring rumah makan dari sebuah kota besar Pulau Jawa, demikian cerita shahibul hikayat yang kami percaya, dengan penghasilan yang besarnya mencengangkan, punya kebiasaan yang sungguh lebih membuat terkesima. Sepanjang hidupnya, tak pernah dia bisa berbaring di kasur, apalagi ranjang berpegas. Dia hanya bisa beristirahat jika menggelar tikar di atas lantai dingin, tepat di depan pintu.
Rizqi sama sekali bukan soal apa yang sanggup dibeli.
Ada lagi kisah tentang seorang pemilik saham terbesar sebuah maskapai penerbangan yang terhitung raksasa di dunia. Armada pesawat yang dijalankan perusahaannya lebih dari 100 jumlahnya. Tetapi dia menderita hyperphobia, yakni rasa takut terhadap ketinggian. Seumur hidupnya, yang bersangkutan tak pernah berani naik pesawat.
Rizqi sama sekali bukan soal apa yang dikuasai.
Sebaliknya pula, ada seorang lelaki bersahaja yang tidak mampu membeli mobil sepanjang hidupnya. Tapi sungguh Allah telah menetapkan bahwa rizqinya adalah naik mobil ke mana-mana. Maka para tetangga selalu berkata bergiliran padanya, “Mas, tolong hari ini pakai mobil saya untuk kegiatannya ya. Saya senang kalau Mas yang pakai. Sungguh karenanya terasa ada berkah buat kami sekeluarga.” Dan pemilik mobil pergi bekerja ke kantornya dengan mengayuh sepeda. Sebab itulah yang disarankan dokter padanya.
Rizqi sama sekali bukan soal apa yang dimiliki.
***
Dzat Yang Mencipta kita, sekaligus menjamin rizqi bagi penghidupan kita, adalah Pemilik, Pemelihara, dan Pengatur segala urusan kita. Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala, tiada sekutu bagiNya. Maka bagaimana kiranya, jika anugrah dariNya justru kita gunakan untuk mendurhakaiNya? Maka apa jadinya, jika dengan karuniaNya kita malah tenggelam dalam maksiat dan dosa?
“Sesungguhnya seseorang dihalangi dari rizqinya”, demikian Rasulullah bersabda sebagaimana dicatat oleh Imam Ahmad, “Disebabkan dosa yang dilakukannya.”
Ada beberapa keterangan ‘ulama tentang dosa menghalangi rizqi ini, yang selaiknya kita simak. Pertama, bahwa memang yang bersangkutan terhalang dari rizqinya, hingga ke bentuk zhahir rizqi itu. Ini sebagaimana firman Allah tentang dakwah Nuh pada kaumnya.
“Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampunan kepada Rabb kalian. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan mengadakan di dalamnya sungai-sungai.” (QS Nuh [71]: 10-12)
“Maknanya”, demikian ditulis Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirul Quranil ‘Azhim, “Jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepada-Nya dan kalian senantiasa mentaatiNya, niscaya Dia akan membanyakkan rizqi kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit.”
“Selain itu”, lanjut beliau, “Dia juga akan mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak kalian, menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya terdapat bermacam-macam buah untuk kalian, serta mengalirkan sungai-sungai di antara kebun-kebun itu untuk kalian.”
Jika bertaubat menjadikan berlimpahnya bentuk rizqi, maka berdosa berarti membatalkan semua itu. Ini pemahaman pembalikannya.
Keterangan yang kedua, bahwasanya yang dihalangi dari si pendosa adalah rasa nikmat yang dikaruniakan Allah dari berbagai bentuk rizqi tersebut. Rizqi tetap hadir, tapi rasa nikmatnya dicabut. Rizqi tetap turun, tapi rasa lezatnya dihilangkan. “Maka”, demikian menurut Imam An Nawawi, “Karena dosa yang menodai hatinya, hamba tersebut kehilangan kepekaan untuk menikmati rizqinya dan mensyukuri nikmatnya. Dan ini adalah musibah yang sangat besar.”
Hujjah bahwa semua bentuk rizqi itu tetap turun, ada dalam berbagai hadits Rasulillah. Ada yang sudah kita sebut, demikian pula yang berikut ini:
“Sesungguhnya Jibril mengilhamkan ke dalam hatiku”, demikian sabda Rasulullah dalam riwayat Imam Ath Thabrani dan Al Baihaqi, “Bahwa tidak ada satu pun jiwa yang meninggal kecuali telah sempurna rezekinya. maka bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah dalam mencari rezeki. Jangan sampai lambatnya rezeki menyeret kalian untuk mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah, karena apa yang ada pada sisi Allah tidak akan bisa diperoleh dengan bermaksiat kepada-Nya.”
“Apa yang ada di sisi Allah”, demikian lanjut Imam An Nawawi, “Adalah ridhaNya yang menjadikan rizqi itu ternikmati di dunia, berkah senantiasa, dan menjadi pahala di akhirat. Maka memang ia tak dapat diraih dengan kemaksiatan dan dosa.”
“Adapun ayat dalam Surah Nuh”, terusnya, “Khithab da’wahnya ditujukan kepada orang kafir, yang meskipun mereka mengingkari Allah dan menyekutukanNya, tapi Allah tidak memutus rizqi mereka secara mutlak. Akan tetapi, jika mereka beristighfar dan bertaubat, sesungguhnya karunia yang lebih besar pastilah Allah limpahkan.”
Menghimpun kedua catatan ini, amat jadi renungan sebuah kisah tentang Imam Hasan Al Bashri. Pada suatu hari, seorang lelaki datang kepada beliau. “Sesungguhnya aku”, ujarnya pada Tabi’in agung dari Bashrah itu, “Melakukan banyak dosa. Tapi ternyata rizqiku tetap lancar-lancar saja. Bahkan lebih banyak dari sebelumnya.”
Sang Imam tersenyum prihatin. Beliau lalu bertanya, “Apakah semalam engkauqiyamullail wahai Saudara?”
“Tidak”, jawabnya heran.
“Sesungguhnya jika Allah langsung menghukum semua makhluq yang berdosa dengan memutus rizqinya”, jelas Hasan Al Bashri, “Niscaya semua manusia di bumi ini sudah habis binasa. Sungguh dunia ini tak berharga di sisi Allah walau sehelai sayap nyamukpun, maka Allah tetap memberikan rizqi bahkan pada orang-orang yang kufur kepadaNya.”
“Adapun kita orang mukmin”, demikian sambung beliau, “Hukuman atas dosa adalah terputusnya kemesraan dengan Allah, Subhanahu wa Ta’ala.”
***
Lagi-lagi terrenungi, bahwa di lapis-lapis keberkahan, ini soal rasa. Semoga Allah melimpahkan rizqiNya kepada kita, dan menjaga kita dari bermaksiat padaNya. Dengan begitu, sempurnalah datangnya nikmat itu dengan kemampuan kita menikmati rasa lezatnya, lembutnya, dan harumnya. Di lapis-lapis keberkahan, soal rasa adalah terjaganya kita dari dosa-dosa.

sepenuh cinta, dinukil dari:
Lapis-Lapis Keberkahan, Setitis Rizqi

Kebaikan di TanganMu, Yang Maha Tahu

oleh Salim A. Fillah dalam Inspirasi, Rajutan Makna. 16/07/2014






LLK 2aKemarin, lelaki kekar itu memukul seseorang sekali hantam. Dan korbannya mati.
Semalaman dia gelisah, celingak-celinguk mengkhawatirkan dirinya. Si korban yang tewas adalah orang Qibthi, dari bangsa sang Fir’aun penguasa Mesir. Adapun dia dan teman-temannya dari keturunan Ya’qub, ‘Alaihissalam, suku pendatang yang diperbudak. Penguasa kejam itu bisa berbuat hal tak terbayangkan pada sahaya-sahaya yang melanggar aturan.
Lelaki dalam cerita di Surah Al Qashash itu, Musa namanya.
Dan pagi ini, kawan yang tempo hari dibelanya hingga dia tak sengaja menghilangkan nyawa kembali meminta bantuannya. Lagi-lagi teman sekampung yang memang pembuat onar itu bersengketa dengan seorang penduduk Lembah Nil. “Sungguh kamu ini benar-benar pencari gara-gara yang sesat perbuatannya!”, hardik Musa.
Tapi Musa sukar bersikap lain. Dicekaunya leher pria Qibthi itu, dan kepalan tangannya siap meninju. “Wahai Musa”, kata orang itu dengan takut-takut, “Apakah kau bermaksud membunuhku seperti pembunuhan yang kau lakukan kemarin?” Musa terhenyak. Rasa bersalah menyergapnya, keraguan melumuri hatinya. Cengkeramannyapun mengendur dan lepas. Melihat itu si calon korban tumbuh nyalinya. “Kau ini memang hanya bermaksud menjadi orang yang sewenang-wenang di negeri ini!”, semburnya.
“Hai Musa”, tetiba muncul seorang lelaki yang tergopoh dari ujung kota, “Para pembesar negeri di sisi Fir’aun sedang berunding untuk membunuhmu. Keluarlah segera!” Musa bimbang. “Pergilah cepat!”, tegas orang itu, “Sungguh aku ini tulus memberimu saran!”
Tanpa tahu jalan dan tanpa ada kawan, Musa bergegas lari. Dengan penuh was-was dan galau dia ayunkan kaki. Batinnya menggumamkan harap, “Semoga Rabbku memimpinku ke jalan yang benar”. Langkahnya lebar-lebar dan tak berjeda, pandangnya lurus ke depan tanpa menoleh. Dan setelah menempuh jarak yang jauh; memburu nafas hingga menderu, menguras tenaga hingga lemas, memerah keringat hingga lemah; inilah dia kini, sampai di sebuah mata air.
Negeri itu, nantinya kita tahu, bernama Madyan. Musa melihat orang berrebut berdesak-desak memberi minum ternak-ternak. Adapun di salah satu sudut yang jauh, dua gadis memegang kekang kambing-kambingnya yang meronta, menahan mereka agar tak mendekat ke mata air meski binatang-binatang itu teramat kehausan tampaknya.
Musa nantinya akan disifati sebagai lelaki perkasa oleh salah seorang gadis itu. Bukan tersebab dia menceritakan kisahnya yang membunuh dengan sekali pukul, melainkan karena dalam lapar hausnya, lelah payahnya, takut cemasnya, serta asing kikuknya; Musa sanggup menawarkan bantuan. Orang yang masih mau dan mampu menolong di saat dirinya sendiri memerlukan pertolongan adalah pria yang kuat.
Musa melakukannya.
Musa menggiring domba-domba itu ke mata air. Ketika dilihatnya ada batu menyempitkan permukaan situ, dia sadar inilah salah satu sebab orang-orang harus berdesak-desakan. Maka dengan sisa tenaga, diangkatnya batu itu, disingkarkannya hingga sumur itu lapang tepiannya. Lagi-lagi Musa membuktikan kekuatannya. Bahwa pria perkasa tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran dari manusia.
Tanpa bicara lagi dan tak menunggu ungkapan terimakasih, Musa berlalu seusai menuntaskan tugasnya. Dia menggeloso di bawah sebuah pohon yang kecil-kecil daunnya. Rasa lelah melinukan tulangnya dan rasa lapar mencekik lambungnya. Kemudian dia berdoa, “Rabbi inni lima anzalta ilayya min khairin faqiir. Duhai Pencipta, Pemelihara, Pemberi Rizqi, Pengatur Urusan, dan Penguasaku; sesungguhnya aku terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan amat memerlukan.”
***
 Karena desakan hajat yang memenuhi jiwa; sebab keinginan-keinginan yang menghantui angan; kita lalu menghadap penuh harap pada Allah dengan doa-doa. Sesungguhnya meminta apapun, selama ianya kebaikan, tak terlarang di sisi Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahkan kita dianjurkan banyak meminta. Sebab yang tak pernah memohon apapun pada Allah, justru jatuh pada kesombongan.
“Kita dianjurkan untuk meminta kepada Allah”, demikian Dr. ‘Umar Al Muqbil menggarisbawahi tadabbur atas doa Musa setelah menolong dua gadis Madyan itu, “Baik hal kecil maupun hal besar”. Dalam kisah ini, sesungguhnya Musa yang kelaparan hendak meminta makanan. Cukup baginya, seandainya dia meminta jamuan kepada orang yang dia telah diberikannya jasa. Cukup baginya, sekiranya dia mengambil imbalan atas kebaikannya.
Tetapi Musa mengajarkan pada kita tiga hal penting dalam doanya. Pertama, bahwa hanya Allah yang layak disimpuhi kedermawananNya, ditadah karuniaNya, dan diharapi balasanNya. Mengharap kepada makhluq hanyalah kekecewaan. Meminta kepada makhluq hanyalah kehinaan. Bertimpuh pada makhluq hanyalah kenistaan.
Apapun hajat kita, kecil maupun besar, ringan maupun berat, remeh maupun penting; hanya Allah tempat mengharap, mengadu, dan memohon pertolongan.
Pelajaran kedua dari Musa adalah adab. Bertatakrama pada Allah, pun juga di dalam doa, adalah hal yang seyogyanya kita utamakan. Para ‘ulama menyepakati tersyariatkannya berdoa pada Allah dengan susunan kalimat perintah, sebagaimana banyak tersebut dalam Al Quran maupun Sunnah. Ia benar dan dibolehkan. Tetapi contoh dari beberapa Nabi dalam Al Quran menunjukkan ada yang lebih tinggi dari soal boleh atau tak boleh. Ialah soal patut tak patut. Ialah soal indah tak indah. Ialah soal adab.
Maka demikian pulalah Musa, ‘Alaihis Salam. Dia tidak mengatakan, “Ya Allah berikan.. Ya Allah turunkan.. Ya Allah sediakan..”. Dia merundukkan diri dan berlirih hati, “Duhai Rabbi; Penciptaku, Penguasaku, Penjamin rizqiku, Pemeliharaku, Pengatur urusanku; sungguh aku, terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan, amat memerlukan.”
Yang ketiga, bahwa Allah dengan ilmuNya yang sempurna lebih mengerti apa yang kita perlukan dan apa yang baik bagi diri ini daripada pribadi kita sendiri. Musa menunjukkan bahwa berdoa bukanlah memberitahu Allah apa hajat-hajat kita, sebab Dia Maha Tahu. Berdoa adalah bincang mesra dengan Rabb yang Maha Kuasa, agar Dia ridhai semua yang Dia limpahkan, Dia ambil, maupun Dia simpan untuk kita.
Maka Musa tidak mengatakan, “Ya Allah berikan padaku makanan”. Dia pasrahkan karunia yang dimintanya pada ilmu Allah yang Maha Mulia. Dia percayakan anugrah yang dimohonnya pada pengetahuan Allah yang Maha Dermawan. Diapun mengatakan, “Rabbi, sungguh aku, terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan, amat memerlukan.”
***
Gadis itu berjingkat dalam langkah malu-malu. Dia tutupkan pula ujung lengan baju ke wajah sebab sangat tersipu. Musa masih di sana, duduk bersahaja. Tepat ketika bayangan berkerudung itu menyusup ke matanya, lelaki gagah ini menundukkan pandangan.
“..Sesungguhnya Ayahku memanggilmu agar dia dapat membalas kebaikanmu yang telah memberi minum ternak-ternak kami..” (QS Al Qashash [28]: 25)
Allah yang merajai alam semesta memiliki jalan tak terhingga untuk memberikan karuniaNya kepada hamba. Baik untuk yang meminta maupun diam saja, yang menghiba maupun bermasam muka, yang yakin maupun tak percaya; limpahan rahmatNya tiada dapat dihalangi. Allah yang menguasai segenap makhluq memiliki cara tak terbatas untuk menghadirkan penyelesaian bagi masalah hambaNya. Allah yang menggenggam seluruh wujud, mudah bagiNya memilihkan sarana terbaik untuk menjawab pinta dan menghadirkan karunia.
Maka jangan pernah mengharap balasan itu datang dari orang yang pada kitalah budinya terhutang.
Tapi dalam kisah ini, Allah pilihkan jawaban doa dan balasan kebaikan melalui orang yang padanya Musa telah menghulurkan bantuan. Bukan sebab tiadanya jalan lain, melainkan karena Allah memang hendak menghubungkan Musa dengan mata air kebaikan yang telah disiapkanNya bagi tugas besarnya kelak. Sebuah keluarga terpilih, yang akan menjadi tempatnya mendewasa dan jadi titik tolak kenabian dan kerasulannya.
Untuk kita insyafi agar diri hanya menggantungkan asa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, bahwa tak selalu Dia membalas kebaikan melalui orang yang menerima pertolongan kita. Hanya, mungkin saja itu terjadi. Sebab ada kebaikan yang Allah persiapkan di balik itu, berlipat-lipat, bergulung-gulung. Seperti yang dialami Musa.
“Berjalanlah di belakangku”, sahut Musa, “Dan berilah isyarat terhadap arah yang kita tuju.” Kita tahu, nanti Musa akan dijuluki sebagai ‘Yang Tepercaya’ karena ucapan ini. Sungguh memang, betapa tepercaya lelaki muda yang tetap menjaga pandangannya, pada gadis asing yang jelita, yang mendatanginya untuk kemudian berjalan hanya berdua.
Maka hari itu berubahlah hidup Musa. Sang pelarian dari Mesir menemukan tambatan hidup. Di rumah seorang bapak tua dari negeri Madyan, dia dijamu makan, dilingkupi perlindungan, diberi tempat tinggal, ditawari pekerjaan, kemudian nantinya dinikahkan, dan akhirnya diberi tugas kenabian.
Musa meminta makanan dengan tatakrama yang baik. Yaitu, dia pasrahkan kebaikan apapun yang hendak diberikan Allah padanya ke dalam cakupan ilmuNya. Musa meyakini bahwa apapun yang akan dikaruniakan Allah padanya adalah lebih baik dari semua dugaan dalam permohonannya. Maka Allah memberinya kelimpahan tak terbayangkan.
Demikianlah Allah, Rabb yang Maha Pemurah. Bahkan apa yang kita tak pernah memintanya, Dia tak pernah alpa memberikannya. Maka pada tiap doa, sesungguhnya kita diharap bersiap untuk menerima yang lebih baik, lebih banyak, dan lebih indah. Di dunia maupun akhirat. Sebab hanya di tanganNyalah segala kebaikan. Sebab Dialah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
***
“Aku tak pernah mengkhawatirkan apakah doaku akan dikabulkan”, demikian ‘Umar ibn Al Khaththab pernah berkata. “Sebab setiap kali Allah mengilhamkan hambaNya untuk berdoa, maka Dia sedang berkehendak untuk memberi karunia.”
“Yang aku khawatirkan adalah”, lanjut ‘Umar, “Jika aku tidak berdoa.”
Takkan terasa manisnya kehambaan, hingga kita merasa bahwa bermesra pada Allah dalam doa itulah yang lebih penting dari pengabulannya. Takkan terasa lezatnya ketaatan, hingga kita lebih mencintai Dzat yang mengijabah permintaan kita, dibanding wujud dari pengabulan itu.
Inilah lapis-lapis keberkahan.
Seperti Musa, di lapis-lapis keberkahan kita berlatih untuk meyakini bahwa segala kebaikan ada dalam genggaman Allah. Di lapis-lapis keberkahann, kita juga belajar bahwa ilmu Allah tentang kebaikan yang kita perlukan adalah pengetahuanNya yang sempurna, jauh melampaui kedegilan akal dan kesempitan wawasan kita. Maka di antara jalan berkah adalah, rasa percaya yang diwujudkan dalam tatakrama.
Di lapis-lapis keberkahan, kita mengeja iman dan adab itu dalam doa-doa. Dan inilah firmanNya yang Maha Mulia menutup renungan kita dengan lafal doa yang penuh makna:
“Katakan: duhai Allah, pemilik kerajaan maharaya, Engkau berikan kekuasaan kepada sesiapa yang Kau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan itu dari siapa saja yang Kau kehendaki. Engkau muliakan sesiapa yang Kau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa jua yang Kau kehendaki. Di tanganMulah segala kebaikan. Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau memasukkan malam ke dalam siang dan Kau benamkan siang ke dalam malam. Engkau mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan Kau seruakkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau mengenugrahi rizki pada siapapun yang Kau kehendaki tanpa terbatasi.” (QS Ali ‘Imran [3]: 26-27)


Komentar anda