Oleh:
Assatid Salim.A. Fillah
“Dan Allah jadikan diantara kalian Mawaddah”. Dalam kalimat “litaskuni ilaihaa”, ketentraman yang
Allah karuniakan mengiringi pernikahan dua sosok yang terdiri, sejiwa dan
senafas penyebutannya dengan kata sambung yang langsung. Adapun tentang mawaddah cinta yang bergelora dalam
serumah keluarga. Allah menggunakan kata “Ja’ala”
yang menurut sebagian pemberi tafsir menunjukkan makna diperlukannya ilmu untuk
menghadirkannya.
Maka banyak rumah tangga bermasalah bukan bersebab kurangnya cinta,
melainkan karena tidak memadainya ilmu yang diperlukan untuk mengejawantahkan
cinta.
Dengan demikian, di antara asas dari cinta yang bergelora untuk
menghadirkan bersusun-susun rasa surga dalam serumah keluarga adalah memahami
perbedaan antara laki-laki dan perempuan; sebagaimana berbedanya kutub utara
dan kutub selatan besi berani, membuat keduanya tarik-menarik dengan sangat
kuat.
Banyak suami merasa sangat mencintai istrinya, namun sang istri justru
merasa sangat terhina. Sebab mereka mencintai pasangannya dengan cara yang dia
inginkan bagi dirinya, bukan apa yang dihajatkan oleh pasangannya.
Kaidah “Cintailah orang lain sebagaimana engkau ingin dicintai” dapat
menjadi berbahaya jika diterapkan dalam hidup berumah tangga. Sebab laki-laki
dan perempuan berbeda; cara berpikir, merasa dan bertindaknya juga berlainan.
Maka, membangun mawaddah bagi seorang
suami adalah kesiapan untuk mendengar, mengerti dan memahami istri. Dia belajar
untuk tak menyambi memegang majalah ataupun peranti genggam ketika sang istri
sedang berbicara. Dia belajar belajar bersambung-tatap dengan istri ketika
saling bercakap. Dia belajar untuk tidak memotong ucapan istri meski kisah yang
disampaikan berulang. Dia belajar untuk tak cepat-cepat menawarkan penyelesaian
sebab keluhan sang istri amatlah berharga setiap hurufnya.
Suami belajar untuk menenggang ketika karena satu kesalahan, sang istri
lalu fasih menyebutkan berbagai khilafnya yang telah lalu. Dia belajar untuk
bersabar, sebab persoalan yang dapat disederhanakan justru dihubung-hubungkan
dengan persoalan lain oleh istrinya. Dia belajar seberharga permata dan
perhiasan surgawi yang teruntai di dunia.
Suami belajar, bahwa panggilan mesra, pujian tulus adalah hal yang harus
terus dia lisankan diberbagai kesempatan. Dia belajar, bahwa hadiah kecil yang
sederhana bisa menjadi sebuah penguat ikatan, karena yang dilihat sang istri
selalulah perhatian yang ada disebaliknya.
Maka pula, membangun mawaddah bagi
seorang istri adalah kesiapan untuk mentaati, menghormati dan memberi dukungan kepada
suami. Dia belajar untuk memahami bahwa suami adalah makhluk yang menangani
urusan satu demi satu, berbeda dengannya yang dapat menuntaskan beberapa tugas
sekaligus. Dia belajar untuk mengerti suami berpikir memusat lagi
menyederhanakan demi menghadirkan penyelesaian, berbeda dengan dirinya yang
berpikir menjelajahi segala kemungkinan dan berbicara untuk meredakan
ketegangan.
Sang istri juga belajar untuk memberi ruang menyendiri bagi suaminya
ketika sedang dirundung tekanan, seperti Khatijah yang tak bertanya didepan
pintu Muhammad menggigil berkeringat dan pucat pasi setelah turun wahyu pertama.
Ya, Khatijah menyediakan kamar tempat sang suami menenangkan diri, sebab
seperti wanita memerlukan bahu pria yang penuh cinta untuk sandaran menangis
hingga lega, lelaki memerlukan kesunyian untuk merenung, merumuskan masalah dan
pemecahannya.
Sang istri juga belajar untuk belajar berbicara dalam kalimat langsung
yang mudah dipahami suami, alih-alih kalimat tak langsung yang sering keliru
dimengerti suami “Tolong jemput anak-anak” misalnya, adalah kalimat yang jauh
lebih mudah dimengerti para lelaki daripada “Anak-anak belum dijemput, aku
masih harus masak”. Dia juga belajar bahwa untuk merayu suami melakukan
sesuatu, sering kali ia harus berdiri sejenak sembari menatap wajah lelaki itu
dengan senyum mekar. Ya, saat suaminya mengiyakan tapi belum juga beranjak
untuk melaksanakan apa yang diminta.
Sang istri juga belajar bahwa kadang suaminya menjaga kemesraan dengan
beberapa saat berjeda menjauhkan diri, sebagaimana pertemuan yang sesekali
lebih menguatkan ikatan. Dia belajar bahwa tak seperti dirinya yang
menggerahkan semua untuk cinta, suami justru berhitung. Jika telah meluangkan
waktu untuk istri dan anak-anak selama sekian lama misalnya, lelaki itu perlu
diberi waktu untuk menunaikan hobi dalam kesendiriannya, agar kembali dengan
pelukan yang mesra berlipat ganda.
Inilah mawaddah yang senantiasa harus digelorakan. Inilah cinta membara
yang memerlukan ilmu dalam menyalakan kobarannya. (bersambung)