Saturday, September 20, 2014

Mengisi Rumah Sejati #1

Oleh: Assatid Salim.A. Fillah 

“Dan Allah jadikan diantara kalian Mawaddah”. Dalam kalimat “litaskuni ilaihaa”, ketentraman yang Allah karuniakan mengiringi pernikahan dua sosok yang terdiri, sejiwa dan senafas penyebutannya dengan kata sambung yang langsung. Adapun tentang mawaddah cinta yang bergelora dalam serumah keluarga. Allah menggunakan kata “Ja’ala” yang menurut sebagian pemberi tafsir menunjukkan makna diperlukannya ilmu untuk menghadirkannya.
Maka banyak rumah tangga bermasalah bukan bersebab kurangnya cinta, melainkan karena tidak memadainya ilmu yang diperlukan untuk mengejawantahkan cinta.
Dengan demikian, di antara asas dari cinta yang bergelora untuk menghadirkan bersusun-susun rasa surga dalam serumah keluarga adalah memahami perbedaan antara laki-laki dan perempuan; sebagaimana berbedanya kutub utara dan kutub selatan besi berani, membuat keduanya tarik-menarik dengan sangat kuat.
Banyak suami merasa sangat mencintai istrinya, namun sang istri justru merasa sangat terhina. Sebab mereka mencintai pasangannya dengan cara yang dia inginkan bagi dirinya, bukan apa yang dihajatkan oleh pasangannya.
Kaidah “Cintailah orang lain sebagaimana engkau ingin dicintai” dapat menjadi berbahaya jika diterapkan dalam hidup berumah tangga. Sebab laki-laki dan perempuan berbeda; cara berpikir, merasa dan bertindaknya juga berlainan.
Maka, membangun mawaddah bagi seorang suami adalah kesiapan untuk mendengar, mengerti dan memahami istri. Dia belajar untuk tak menyambi memegang majalah ataupun peranti genggam ketika sang istri sedang berbicara. Dia belajar belajar bersambung-tatap dengan istri ketika saling bercakap. Dia belajar untuk tidak memotong ucapan istri meski kisah yang disampaikan berulang. Dia belajar untuk tak cepat-cepat menawarkan penyelesaian sebab keluhan sang istri amatlah berharga setiap hurufnya.
Suami belajar untuk menenggang ketika karena satu kesalahan, sang istri lalu fasih menyebutkan berbagai khilafnya yang telah lalu. Dia belajar untuk bersabar, sebab persoalan yang dapat disederhanakan justru dihubung-hubungkan dengan persoalan lain oleh istrinya. Dia belajar seberharga permata dan perhiasan surgawi yang teruntai di dunia.
Suami belajar, bahwa panggilan mesra, pujian tulus adalah hal yang harus terus dia lisankan diberbagai kesempatan. Dia belajar, bahwa hadiah kecil yang sederhana bisa menjadi sebuah penguat ikatan, karena yang dilihat sang istri selalulah perhatian yang ada disebaliknya.
Maka pula, membangun mawaddah bagi seorang istri adalah kesiapan untuk mentaati, menghormati dan memberi dukungan kepada suami. Dia belajar untuk memahami bahwa suami adalah makhluk yang menangani urusan satu demi satu, berbeda dengannya yang dapat menuntaskan beberapa tugas sekaligus. Dia belajar untuk mengerti suami berpikir memusat lagi menyederhanakan demi menghadirkan penyelesaian, berbeda dengan dirinya yang berpikir menjelajahi segala kemungkinan dan berbicara untuk meredakan ketegangan.
Sang istri juga belajar untuk memberi ruang menyendiri bagi suaminya ketika sedang dirundung tekanan, seperti Khatijah yang tak bertanya didepan pintu Muhammad menggigil berkeringat dan pucat pasi setelah turun wahyu pertama. Ya, Khatijah menyediakan kamar tempat sang suami menenangkan diri, sebab seperti wanita memerlukan bahu pria yang penuh cinta untuk sandaran menangis hingga lega, lelaki memerlukan kesunyian untuk merenung, merumuskan masalah dan pemecahannya.
Sang istri juga belajar untuk belajar berbicara dalam kalimat langsung yang mudah dipahami suami, alih-alih kalimat tak langsung yang sering keliru dimengerti suami “Tolong jemput anak-anak” misalnya, adalah kalimat yang jauh lebih mudah dimengerti para lelaki daripada “Anak-anak belum dijemput, aku masih harus masak”. Dia juga belajar bahwa untuk merayu suami melakukan sesuatu, sering kali ia harus berdiri sejenak sembari menatap wajah lelaki itu dengan senyum mekar. Ya, saat suaminya mengiyakan tapi belum juga beranjak untuk melaksanakan apa yang diminta.
Sang istri juga belajar bahwa kadang suaminya menjaga kemesraan dengan beberapa saat berjeda menjauhkan diri, sebagaimana pertemuan yang sesekali lebih menguatkan ikatan. Dia belajar bahwa tak seperti dirinya yang menggerahkan semua untuk cinta, suami justru berhitung. Jika telah meluangkan waktu untuk istri dan anak-anak selama sekian lama misalnya, lelaki itu perlu diberi waktu untuk menunaikan hobi dalam kesendiriannya, agar kembali dengan pelukan yang mesra berlipat ganda.
Inilah mawaddah yang senantiasa harus digelorakan. Inilah cinta membara yang memerlukan ilmu dalam menyalakan kobarannya. (bersambung)     



Komentar anda