Tuesday, December 20, 2011

Bekerja Maka Keajaiban


Kita masih bicara tentang iman. Dengan akarnya yang teguh, kita bergayut memeluknya memeluk keyakinannya. Hunjamannya yang dalam menjadi pengokoh pijakan kaki. Kita berharap tak terusik dilanda badai. Kita tak ingin hanyut, tak hendak luruh dipukul ribut.
Tapi iman terkadang menggelisahkan. Atau setidaknya menghajatkan ketenangan yang mengguyuri hati, dengan terkuaknya keajaiban. Mungkin itu yang dirasakan Ibrahim ketika meminta kepada Rabbnya bagaimana menghidupkan yang telah mati. Maka Rabbnya bertanya, “Belum yakinkah engkau akan kuasaKu?”, dengan sepenuh hati ia menjawab. “Aku yakin. Hanya saja agar hati ini menjadi tentram.”
Tetapi keajaiban itu terkadang tak datang serta merta di hadapan. Meski Allah bisa saja menunjukkan kekuasaanNya dalam satu kata “Kun!” tapi kita tahu bukan itu yang terjadi pada ibrahim, ia harus bersipayah untuk menangkaplalu mencincang empat ekoor burung. Lalu disusurnya jajaran bukit untuk meletakkan masing-masing cincangan. Baru ia bisa memanggilnya. Dan beburung itupun datang padanya.
“Disinilah keajaiban itu, setelah kerja yang menguras tenaga”
           

Berkilaulah, Dalam Dekapan Ukhuwah


Alangkah syahdu menjadi kepompong; berkarya dalam diam,
bertahan dalam kesempitan. Tetapi bila tiba waktunya
untuk menjadi kupu-kupu, tak ada pilihan lain selain terbang menari
melantunkan kebaikan di antara bunga, menebar keindahan pada dunia

Dan angin pun memeluknya, dalam sejuk
Dan wangi surga

Alangkah damai menjadi bebijian; bersembunyi dalam
Kegelapan, menanti siraman hujan, menggali hunjaman dalam-dalam
Tapi bila tiba waktunya untuk tumbuh dan mekar,
tak ada pilihan selain menyeruak menampilkan diri;
bercabang mengapai langit, membagikan buah manis di
setiap musim pada segenap penghuni bumi.

Dan mataharipun mendekapnya, dalam hangat serta cahaya

Aku cembur.
Ku harap jiwaku berkilau dalam dekapan ukhuwah


Keterhijaban dan Baik Sangka


Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh. “Di mana keadilan Tuhan?” ujarnya, “Telah lama aku memohon dan meminta padaNya satu hal saja. Kuiringi semua itu dengan segala ketaatan padaNya. Kujauhi laranganNya. Kutegakkan yang wajib. Kutekuni yang sunnah. Kutebar sadaqah . Aku berdiri di waktu malam. Aku bersujud di kala Duha, aku baca kalamNya. Aku upayakan sepenuhnya kemampuan mengikuti jejak RasulNya. Tapi hingga kini Allah belum mewujudkan harapanku itu. Sama sekali.”
Saya menatapnya iba. Lalu tertunduk sedih.
“Padahal,” lanjutnya sambil kini berkaca-kaca, “Ada teman lain yang aku tahu ibadahnya berantakan. Wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhlaknya kacau, otaknya kotor, bicaranya bocor. Tapi begitu dia berkata bahwa ia menginginkan sesuatu, hari berikutnya segalanya telah tersajikan. Semua yang dia minta didapatkannya. Di mana keadilan Allah?.
Rasanya saya punya banyak kata-kata untuk menghakiminya. Saya bisa mengatakan, “Kamu sombong, kamu bangga dengan ibadahmu, menganggap orang lain hina, kamu tertipu dengan kabaikanmu, sebagaimana iblis tertipu dengan ibadahnya! Jangan heran kalau doamu tidak diijabah. Kesembonganmu telah menghapus segala kebaikan. Nilai dirimu hanya anai-anai beterbangan . Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih tinggi kedudukannyadi mata Allah karena ia mengrahasiakan amal salehnya.
Tapi saya sadar. Ini ujian dalam dekapan ukhuwah. maka saya memilih sudut pandang lain yang saya anggap lebih bermakna baginya daripada sekedar terinsafkan tapi sekaligus terluka. Saya khawatir, luka akan bertahan lebih lama dari pada kesalahannya.
Maka saya Katakan padanya, “Pernahkah engkau di datangi pengamen?”
“Maksudmu?”
“ya, pengamen,” lanjut saya seiring senyum. “Pernah?”
“Iya, pernah,” Wajahnya serius, matanya menatap saya lekat-lekat.
“Bayangkan jika pengamennya adalah seorang yang berpenampilan seram, bertindik, bertato dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiannya lebih mirip teriakan yang memekakkan telinga. Suaranya kacau-balau, sengau, parau, sumbang dan cemprang. Lagunya malah menyakitkan uluhati, sama sekali tidak bisa dinikmati. Apa yang akan kau lakukan?”
“Segera aku beri ia uang”, jawabnya, “Agar segera berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi”.
“Lalu bagaimana jika ada pengamen yang menyanyi, jika bersuara emas, mirip sempurna dengan Ebiet G. Ade atau Sam Bimbo yang kau suka, menyanyi dengan sopan dan penampilannya rapi lagi wangi; apa yang akan kau lakukan?”.
“Kudengarkan, kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata mungkin membayangkan kemerduan yang dicanduinya itu. “Lalu kuminta ia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi. Dan lagi.
Saya tertawa
Dia tertawa
“Kau mengerti kan?” tanya saya. “Bisa saja Allah juga bermaksud seperti itu pada kita hambaNya, jika ada manusia yang fasik, keji, mungkar, banyak dosa dan dibenciNya berdoa memohon padaNya, mungkin akan Dia firmankan pada malaikat; “Cepat berikan apa yang dia minta. Aku benci menyimak suaranya. Aku risi mendengar pintanya”.
“Tapi”, saya melanjutkan sambil memastikan ia mencerna setiap kata, “Bila yang menengadahkan tangan adalah hambaNya yang rajin sedekahnya, yang dicintaiNya, yang giat ibadahnya, yang menyempurnakan ibadah wajibnya dan menegakkan sunnah; maka mungkin saja Allah akan berfirman pada malaikatnya: ‘Tunggu! tunda dulu apa yang menjadi hajatnya. Sungguh Aku bahagia bila dia minta. Dan biarlah hambaKu ini terus meminta, terus mengiba. Aku menyukai doa-doanya, Aku menyukai kata-kata dan tangis isaknya. Aku menyukai khusyuk dan tunduknya. Aku menyukai puja dan pujinya yang dilantukannya. Aku tak ingin dia menjauh dariKu setelah mendapatkan apa yang dia pinta. Aku mencintainya.”
“Oh ya?” matanya berbinar. “Betul demikiankah yang terjadi padaku?”
“Hmmm....pastinya aku tak tahu” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut. Segera saya sambung sambil menepuk pundaknya, “Aku hanya ingin kau berbaik sangka.”
Dan ia tersenyum. Alhamdulillah

(Inspiring: Dalam Dekapan Ukhuwah)

Sebening Prasangka

Dengan satu kekecualian kecil
seluruh dunia terdiri dari orang lain
melalui merekalah kita dianugerahi persaudaraan

tapi dari semua alasan kita menarik seseorang dalam hidupkita
tentu salah satunya bukan untuk menemukan kesalahannya
atau mencari-cari aibnya

karena itulah, di jalanNya kita bermesra
dengan sebening-bening prasangka



Bata Demi Bata Menara Cahaya

Kau mengatakan “Dalam takdir kesalahanmu padaku,  aku senantiasa berharap takdir kemaafanku mengiringinya”  kujawab lirih, “Dalam tiap takdir kejatuhanmu,  semoga tertakdir pula uluran tanganku”  Maka kamipun bersenandung, “Dalam takdir ukhuwah kita, semoga terbangun kokoh menara cahaya, tempat kita bercengkrama kelak di surga

Pernah Ada Masa-Masa


Pernah ada masa-masa dalam cinta kita
kita lekat bagaikan api dan kayu
bersama menyala, saling menghangatkan rasanya
hingga terlambat untuk menginsafi bahwa
tak tersisa dari diri-diri selain abu dan debu

pernah ada waktu-waktu dalam ukhuwah ini
kita terlalu akrab bagai awan dan hujan
merasa menghiasi langit, menyubur bumi dan melukis pelangi
namun tak sadar, hakikatnya kita saling meniadakan

di satu titik lalu sejenak kita berhenti, menyadari
mungkin hati kita telah terkecualikan dari ikatan di atas iman
bahkan saling menasehati pun tak lain bagai dua lilin
saling mencahayai, tapi masing-masing habis dimakan api

kini saatnya kembali pada iman yang menerangi hati
pada amal saleh yang saling menjulang bercabang-cabang
pada akhlak yang manis, lembut dan wangi
hingga ukhuwah kita menggabungkan huruf-huruf menjadi kata
yang dengannya kebenaran terbaca dan bercahaya

Kubaca Firman Persaudaraan


ketika ku baca firmanNya “Sungguh tiap muslim bersaudara”
aku merasa, kadang ukhuwah tak perlu dirisaukan, tak perlu
karena ia hanyalah akibat dari iman

aku ingat pertemuan pertama kita, akhi sayang
dalam dua detik, dua detik saja
aku telah merasakan perkenalan, bahkan kesepakatan
itulah ruh-ruh kita yang saling sapa, bertepuk mesra
dengan iman yang menyala, mereka telah mufakart
meski lisan belum saling sebut nama dan tangan belum berjabat

ya, kubaca lagi firmaNya “Sungguh tiap muslim itu bersaudara”
aku makin tahu persaudaraan tak perlu dirisaukan

karena saat ikatan melemah, saat keakraban kita merapuh
saat salam terasa menyakitkan, saat kebersamaan serasa siksa
saat pemberian bagai bara api, saat kebaikan justru melukai
aku tahu, yang rombeng bukan ukhuwah kita
hanya iman-iman kita yang sedang sakit atau mengerdil
mungkin dua-duanya, mungkin kau saja
tentu terlebih sering, imankulah yang compang-camping

ku baca firmanNya persaudaraan akhi sayang
dan aku makin tahu, mengapa di kala lain diancamkan
“Para kekasih pada hari itu, sebagian menjadi musuh sebagian yang lain...
kecuali orang-orang yang bertaqwa


Komentar anda