Tuesday, December 20, 2011

Keterhijaban dan Baik Sangka


Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh. “Di mana keadilan Tuhan?” ujarnya, “Telah lama aku memohon dan meminta padaNya satu hal saja. Kuiringi semua itu dengan segala ketaatan padaNya. Kujauhi laranganNya. Kutegakkan yang wajib. Kutekuni yang sunnah. Kutebar sadaqah . Aku berdiri di waktu malam. Aku bersujud di kala Duha, aku baca kalamNya. Aku upayakan sepenuhnya kemampuan mengikuti jejak RasulNya. Tapi hingga kini Allah belum mewujudkan harapanku itu. Sama sekali.”
Saya menatapnya iba. Lalu tertunduk sedih.
“Padahal,” lanjutnya sambil kini berkaca-kaca, “Ada teman lain yang aku tahu ibadahnya berantakan. Wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhlaknya kacau, otaknya kotor, bicaranya bocor. Tapi begitu dia berkata bahwa ia menginginkan sesuatu, hari berikutnya segalanya telah tersajikan. Semua yang dia minta didapatkannya. Di mana keadilan Allah?.
Rasanya saya punya banyak kata-kata untuk menghakiminya. Saya bisa mengatakan, “Kamu sombong, kamu bangga dengan ibadahmu, menganggap orang lain hina, kamu tertipu dengan kabaikanmu, sebagaimana iblis tertipu dengan ibadahnya! Jangan heran kalau doamu tidak diijabah. Kesembonganmu telah menghapus segala kebaikan. Nilai dirimu hanya anai-anai beterbangan . Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih tinggi kedudukannyadi mata Allah karena ia mengrahasiakan amal salehnya.
Tapi saya sadar. Ini ujian dalam dekapan ukhuwah. maka saya memilih sudut pandang lain yang saya anggap lebih bermakna baginya daripada sekedar terinsafkan tapi sekaligus terluka. Saya khawatir, luka akan bertahan lebih lama dari pada kesalahannya.
Maka saya Katakan padanya, “Pernahkah engkau di datangi pengamen?”
“Maksudmu?”
“ya, pengamen,” lanjut saya seiring senyum. “Pernah?”
“Iya, pernah,” Wajahnya serius, matanya menatap saya lekat-lekat.
“Bayangkan jika pengamennya adalah seorang yang berpenampilan seram, bertindik, bertato dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiannya lebih mirip teriakan yang memekakkan telinga. Suaranya kacau-balau, sengau, parau, sumbang dan cemprang. Lagunya malah menyakitkan uluhati, sama sekali tidak bisa dinikmati. Apa yang akan kau lakukan?”
“Segera aku beri ia uang”, jawabnya, “Agar segera berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi”.
“Lalu bagaimana jika ada pengamen yang menyanyi, jika bersuara emas, mirip sempurna dengan Ebiet G. Ade atau Sam Bimbo yang kau suka, menyanyi dengan sopan dan penampilannya rapi lagi wangi; apa yang akan kau lakukan?”.
“Kudengarkan, kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata mungkin membayangkan kemerduan yang dicanduinya itu. “Lalu kuminta ia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi. Dan lagi.
Saya tertawa
Dia tertawa
“Kau mengerti kan?” tanya saya. “Bisa saja Allah juga bermaksud seperti itu pada kita hambaNya, jika ada manusia yang fasik, keji, mungkar, banyak dosa dan dibenciNya berdoa memohon padaNya, mungkin akan Dia firmankan pada malaikat; “Cepat berikan apa yang dia minta. Aku benci menyimak suaranya. Aku risi mendengar pintanya”.
“Tapi”, saya melanjutkan sambil memastikan ia mencerna setiap kata, “Bila yang menengadahkan tangan adalah hambaNya yang rajin sedekahnya, yang dicintaiNya, yang giat ibadahnya, yang menyempurnakan ibadah wajibnya dan menegakkan sunnah; maka mungkin saja Allah akan berfirman pada malaikatnya: ‘Tunggu! tunda dulu apa yang menjadi hajatnya. Sungguh Aku bahagia bila dia minta. Dan biarlah hambaKu ini terus meminta, terus mengiba. Aku menyukai doa-doanya, Aku menyukai kata-kata dan tangis isaknya. Aku menyukai khusyuk dan tunduknya. Aku menyukai puja dan pujinya yang dilantukannya. Aku tak ingin dia menjauh dariKu setelah mendapatkan apa yang dia pinta. Aku mencintainya.”
“Oh ya?” matanya berbinar. “Betul demikiankah yang terjadi padaku?”
“Hmmm....pastinya aku tak tahu” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut. Segera saya sambung sambil menepuk pundaknya, “Aku hanya ingin kau berbaik sangka.”
Dan ia tersenyum. Alhamdulillah

(Inspiring: Dalam Dekapan Ukhuwah)

0 comments:

Post a Comment

Komentar anda