“Jadi ini yach, Guru ngaji itu!” ucap salah
satu preman yang berada ditengah.
“Iya Bos, dia salah
satu dari guru ngaji itu!” jawab salah satu preman disebelahnya.
Aku hanya diam dan
menatap mereka, serta bersiap siaga jika mereka akan berbuat
sesuatu kepadaku.
“Apa benar kamu guru
ngaji, yang ngajar digubuk sana?” tanya preman yang dipanggil
Bos, dan kemungkinan
dia memang memang Bos preman didaerah kumuh ini.
“Iya benar!” jawabku
singkat dan mantap, sambil sedikit menganggukan kepala.
“Hem, aku sudah mendengar
kalakuan kalian pada anak-anak disini!” ucap si Bos
preman itu. “apa kamu
nggak takut, sama kami!” ucapnya lanjut, dengan sedikit agak
membentakku.
Saat itu aku hanya
sedikit tersenyum lalu mengatakan “maaf kalau saya mengganggu atau
ada kelakuan saya dan
teman-teman yang tidak mengenakkan, kami mengajar kesana
hanya untuk
meningkatkan keilmuan anak-anak, serta mencari pahala yang dijanjikan
oleh Allah swt! Tidak
ada maksud lain selain itu.” Ucapku tenang dan tegas
“Jadi, kamu memang
benar-benar tidak takut pada kami!” Bos preman itu membentak
keras kepadaku
“Maaf, bukan
bermaksud seperti itu! Saya dan teman-teman, mengajar dengan
keIkhlasan. Bukan
mencari permusuhan!” jawabku mencoba untuk menenangkan
mereka.
“Dasar bocah. Kamu
sudah berani menginjak daerah kami!” ucap salah satu preman yang
berambut gondrong.
“Sudah sikat saja!”
ucap preman yang berbadan ceking, berambut cepak sambil langsung
bergerak mengepungku,
tidak terkecuali preman yang berambut gondrong itu. Si Bos
preman hanya melihat
dan diam saja.
Darah sudah mendidih,
luapan emosi sudah menerjang pada ketiga preman itu. Aku juga
sudah bersiapsiaga
menerima serangan dari kedua preman itu.
“Tak ada yang saya
takuti selain Allah swt, jikalau saya mati disini! Maka akan banyak
tentara Allah yang
akan menghajar kalian! Dan saya syahid dijalan-Nya” ucapku keras
Saat si preman
gondrong akan menyerang, terdengar teriakan keras “HENTIKAN”. Kami
menoleh pada Si bos
preman itu. “Sudah, hentikan!” perintahnya lagi.
Aku masih tetap
bersiapsiaga jika sewaktu-waktu mereka menyerangku.
Si Bos preman itu
mendatangiku, lalu dia tersenyum sambil berkata “Hai anak muda,
siapa namamu?”
“Khalid, Khalid
Hendriansyah!” ucapku tenang dan tetap tegas.
“Baru kali ini, saya
berhadapan dengan anak muda yang berani!” ucap Si bos preman,
selanjutnya dia
mengatakan “sebenarnya beberapa kali, ada anak muda yang
mengajarkan ngaji
pada anak-anak diperkampungan kumuh ini. Tetapi mereka adalah
anak muda yang
munafik, mereka mengatakan kebesaran Tuhannya tetapi mereka
menakuti manusia.
Mereka takut pada kami, para preman! Saat aku melihat kamu, aku
ingin menguji
keberanianmu, aku ingin menguji keimananmu, ingin menguji kekuatan
kepercayaanmu kepada
Tuhanmu. Dan menguji, apakah kamu dari golongan anak muda
yang munafik itu?
Sungguh luar biasa keberanianmu, engkau tak takut akan kematian.
Bahkan engkau mencari
kematian, kematian diatas nama Tuhanmu! Dan ternyata kamu
bukan dari golongan
anak-anak muda yang munafik itu.”
Nih
preman gak tau kali ya, kalau aku sebenarnya juga takut! Tapi Alhamdulillah,
dengan
pertolongan Allah swt, rasa takutku pun menjadi sebuah keberanian. Ucapku
dalam hati.
Si Bos preman
mendekat kepadaku, lalu menepuk pundakku sambil mengatakan “hai
anak muda, kami tidak
ingin ada orang yang mengajarkan anak-anak kami tentang
bagaimana mengenal
Tuhan, sedangkan dia sendiri tidak mengenal-Nya. Kami ingin
anak-anak kami di
didik oleh orang-orang yang memang mengerti tentang Tuhan. Tidak
takut akan ancaman manusia,
tetapi dia lebih menakuti ancaman-ancaman Tuhannya.
Sehingga anak-anak
kami nantinya, menjadi seorang pemberani dalam hidup. Dan
termasuk dari
golongan orang-orang yang shaleh.” Si bos preman itu memandangi aku,
layaknya berharap
kepadaku, berharap tentang ajaran kebenaran. Berharap akan
datangnya cahaya
keIlahian. Setelah itu Si bos berkata “Khalid, jangan kamu kira bahwa
kami tidak perduli
dengan masa depan anak-anak kami! Kami berpenampilan seperti ini,
karena kami ingin
melindungi daerah ini, dari preman-preman yang lain! Dengan seperti
ini kami lebih
leluasa untuk bergerak.”
Aku tersenyum saat Si
bos preman itu menatap tajam penuh makna, penuh pengharapan
dari orang yang
menginginkan kebenaran. “Insya Allah, saya akan mendidik anak-anak
dilingkungan sini
dengan ilmu yang pernah saya dapatkan! Saya hanya menginginkan
keridhoan Allah saja
dalam berjuang, bukan yang lainnya.” Ucapku.
“Terima kasih,
Khalid! Dan jika kamu butuh apa-apa silakan panggil kami.” Ucap Si bos
preman sambil akan
beranjak pergi.
Saat dia akan
beranjak pergi, serta merta pun aku langsung memanggil Si bos “maaf, saya
belum tahu nama
Abang!”
Si bos preman
membalikkan tubuhnya menghadap aku, dia tersenyum sambil menjawab
“Panggil aku, Jamal!
Sampai jumpa Khalid”
Fajar Agustanto (Blackrock1/Fajar001/Jaisy01)
www.ggs001.cjb.net
Saat hendak Si bos
preman alias Bang Jamal melangkah meninggalkanku, aku berteriak
“Assalamua’alaikum,
Bang”
Bang Jamal menoleh,
sambil tersenyum dan menjawab “Walaikumsalam” setelah itu dia
pergi.
Aku tertegun sesaat,
pikiranku menerawang mengingat apa yang dikatakan Bang
Jamal “Kami tidak
ingin ada orang yang mengajarkan anak-anak kami tentang bagaimana
mengenal Tuhan,
sedangkan dia sendiri tidak mengenal-Nya.” Sungguh luar biasa apa
yang diucapkan Bapak
Jamal. Tiada kata yang seindah dengan pengingatan keras, seperti
apa yang diucapkan
Bang Jamal. Sungguh aku benar-benar takut, takut jika tidak dapat
mengemban amanah ini.
Sebuah ucapan yang harus diperhitungkan, meski ucapan itu
diucapkan oleh
orang-orang jalanan atau bahkan seorang preman.
Tiada hal yang harus
kita singkirkan, dari pernyataan seorang preman yang begitu
agung. Mungkin
pernyataan Bang Jamal, layak disetarakan dengan Aristoteles atau
mungkin Imam Ghazali,
sungguh pernyataan yang tidak dapat diduga dari mulut seorang
yang masih tidak
begitu mengenal tentang kebenaran dari Tuhan. Tapi tetap, Bang Jamal
adalah Jamal, bukan
Aristoteles atau bahkan Imam besar Al Ghazali.
Yang aku tahu,
dijaman seperti sekarang ini pernyataan yang di ucapkan oleh
Bang Jamal sangat
langka. Kita lebih banyak tahu, tentang orang-orang yang selalu
berpikiran sempit
tentang ajaran-ajaran kebenaran ini, Islam. Apalagi menganggap
bahwa, anak-anak yang
mempelajari agama Islam, adalah anak-anak yang ketinggalan
jaman. Mereka mungkin
lupa dengan apa yang dikatakan Imanuel Kant, bahwa tingkatan
paling tinggi dari
estetika dan etika, dari derajat manusia adalah rasa keimanan yang
tinggi terhadap
agamanya (relegius).
Setelah aku kenal
bang Jamal, terjadi banyak hal yang memang membuatku
kagum dengan Dia.
Sosok preman yang satu ini memang beda dengan preman-preman
yang lainnya. Dia
tidak pernah meminta uang apapun didaerah kekuasaannya, apalagi
hanya sebatas uang
keamanaan. Tetapi tetap kerjanya Bang Jamal, jadi bodyguardnya
0 comments:
Post a Comment