Sunday, April 29, 2012

Bidadari untuk Ikhwan Part #4

yang ikut kajian mereka itu dikasih uang saku plus oleh-oleh kalau pulang” ujar Dadang
preman gondrong anak buah bang Jamal.
“Loh, lalu kenapa bang Dadang nggak ikut kajian mereka?” tanyaku dengan heran
“Saya kok, merasa ada yang ganjil yach di kajian itu!” kata bang Jamal
“Benar Bos!” ucap bang Dadang. Selanjutnya dia mengatakan “saya pernah melihat
mereka yang wanitanya memakai jilbab. Seperti teman-teman mas Khalid yang pake
jilbab besar-besar itu! Tetapi saat saya melihat terus, ternyata saat masuk kedalam mobil,
mereka melepas jilbabnya. Dan disitu ada tiga wanita, empat laki-laki. Mereka terlihat
tertawa lepas, para wanita itu dipeluk oleh laki-lakinya! Saat itu saya sebenarnya mau
hajar mereka karena bertingkah tidak baik dan saya kira itu juga melecehkan ajaran
Islam. Tetapi saya urungkan, karena waktu itu saya sendirian. Takut juga, kalau
dikeroyok mereka!”
“Dasar, penakut kamu! Siapa yang ajari kamu jadi pengecut begitu” bentak bang Jamal,
“kenapa kalau takut nggak bilang! Bisa aku hajar mereka. Aku nggak pernah ajari kamu
sebagai pengecut kan?” bang Jamal terlihat sangat emosi, melihat perilaku bang Dadang
yang menurutnya pengecut.
“Sabar bang, sabar!” ucapku sambil memegangi tangan bang Jamal. “sebenarnya bang
Dadang nggak salah bang, Islam mengajarkan kita untuk berani menindak kezaliman.
Tetapi Islam juga mengajak kita untuk bisa membuat strategi. Kalaulah bang Dadang saat
itu melawan mereka, dan setelah itu bang Dadang dihajar oleh mereka atau bahkan
dibunuh oleh mereka! Maka saat ini kita tidak akan tahu perbuatan yang dilakukan oleh
mereka. Dengan begini kita akhirnya tahu apa yang dilakukan oleh mereka. Tetapi
seandainya jika bang Dadang melawan mereka, meskipun bang Dadang kalah atau
bahkan mati. Maka bang Dadang akan mendapatkan pahala, dan kematian bang Dadang
adalah syahid. Surga adalah balasan bagi orang-orang yang syahid. Untuk saat ini
sebaiknya kita pantau kelakuan mereka, para pembagi sembako itu!” ucapku tegas.
Semua yang hadir saat itu terlihat setuju sambil menganggukkan kepalanya. Sejak
saat itu, aku dan teman-teman lebih intensif memusatkan perhatianku pada gerak-gerik
para dermawan itu. Dan bang Jamal, sebagai spionaseku untuk mengorek semua kegiatan
yang dilakukan oleh mereka.
“Ada maksud apa dibalik semua ini?” itulah sebuah pertanyaan besar, bagi kami
para aktivis dakwah ini. Dan pada saat itu, muncul ideku untuk ikut kajian para pembagi
sembako itu. .
***

Saat itu jum’at malam, pengajian diadakan ditempat rumah Bapak RT. Banyak
sekali yang datang menghadiri. Saat akan masuk ke tempat pengajian, para penyambut
tamu sudah bersiap memberikan makanan. Makanan-makanan yang memang lezat-lezat
itu mengundang sekali untuk disikat. “hem, bagaimana tidak senang! Yang hadir saja
dikasih makanan lezat kayak gini” gumamku sendirian.
Saat itu Samsul yang aku ajak untuk menghadiri kajian tersenyum, lalu mengatakan
“Wah, Akh. Dakwah kita memang kalah canggih yach!”
Saat aku melihat sekeliling, terlihat memang tidak ada yang perlu dicurigai.
Hanya saja, memang terlihat beda sekali dengan sistem kajianku. Terlihat beda karena
aku bisa melihat para wanita yang juga ikut dalam kajian jum’at itu. Mereka mungkin
lupa untuk menggunakan hijab (batasan/penutup) antara wanita dan pria.
Saat aku melihat sekitar, mataku melihat sosok seorang gadis berjilbab lebar yang sedang
membagikan makanan kecil kepada para wanita. “siapa dia? Kayaknya aku mengenal
dia! Hem, dimana yach?” pikirku. Memang aku merasa mengenal wajahnya.
Seorang ustad memakai sorban, naik ke mimbar yang sudah disediakan. Terlihat memang
meyakinkan sekali orang itu. “oh namanya, kyai Badrul!” gumamku saat kyai itu
mengenalkan namanya diawal pembukaan, baru kali ini aku mengenal kyai Badrul.
Beberapa saat setelah lama ustad itu berceramah, dia langsung berkata “sesungguhnya
agama Islam itu agama yang pasrah! Jadi sesungguhnya, orang-orang yang pasrah adalah
orang-orang yang beragama Islam. Meskipun dia tidak beragama Islam, kalau dia pasrah
kepada Tuhannya, maka dia orang Islam” kata kyai Badrul yang saat itu sedang
berceramah didepan mimbar.
Sontak saja aku dan Samsul yang mengikuti kajian itu, saling berpandangan. Wajah
Samsul terlihat geram “Akh, ini nggak bisa dibiarin! Ini namanya pendangkalan
akhidah!” ucapnya lirih.
“Tenang, Akh. Jangan gegabah, kita lihat dulu maksud dari kyai yang baru kita kenal ini”
jawabku lirih pula.
“Sesungguhnya, Islam itu adalah rahmat bagi seluruh alam! Jadi, untuk bisa menjadi
agama yang rahmat, orang Islam haruslah saling menghormati dengan agama yang
lainnya. Agar tercipta kehidupan saling menghormati, ucapkanlah selamat jika ada agama
lain yang sedang merayakan perayaan! Karena Islam agama rahmat, ucapan selamat itu
adalah ucapan rahmat!” kata kyai Badrul saat masih berada diatas mimbar.
Sontak pun aku dan Samsul saling memandang “Akh, ini memang nggak bisa dibiarkan!
Ini sudah pendangkalan akhidah” ucap Samsul padaku
“Iya benar, ini memang sudah pendangkalan akhidah umat Islam! Entah kyai mbeling
dari mana dia, dengan seenaknya ngomong kejamaah umat Islam seperti itu!” ucapku
lirih

“Akh, setelah ini kita harus gerak cepat! Sebelum banyak orang yang akan didangkalkan
akhidahnya” pintaku ke Samsul.
“Iya, kita harus gerak cepat!” jawab Samsul pasti.
Saat kyai Badrul selesai berceramah, datang beberapa bingkisan makanan.
Bingkisan makanan itu dibagikan untuk oleh-oleh para jamaah yang hadir disitu. Saat
pembagian sembako itulah aku melihat, sosok cantik yang berjilbab lebar itu lagi. Aku
benar-benar menatapnya, sambil mengingat-ingat dimana aku pernah berjumpa dia.
Aku kaget saat Samsul menyikutku pelan, sambil berkata “Akh, antum jangan lihat
akhwat terus! Ingat, pandangan pertama itu dari Allah tetapi selanjutnya dari syetan! Tapi
akh, memang tuh akhwat cantik juga yach!”
“Ana, nggak melihat akhwatnya! Ana cuma melihat wajahnya” ujarku
“Hem, dibilang ngelihat akhwat nggak mau! Tapi malah bilang, melihat wajahnya
akhwat. Ini malah lebih parah, Akh!” ujar Samsul sambil tersenyum.
“Yee, akh. Antum seharusnya dengerin ana dulu, jangan langsung potong pembicaraan
ana. Ingat Rasulullah itu pantang memotong pembicaraan orang!” ucapku kecut.
“hehe, begitu aja marah! Ana kan cuma bercanda, Akh!” ucap Samsul sambil
cengengesan.
“Akh, sebenarnya ana merasa pernah bertemu dengan tuh Akhwat! Tapi ana lupa
dimana?” ucapku dengan mengingat-ingat kembali.
“Hem, coba di ingat lagi! Ana juga heran, kenapa ada akhwat yang ikut kyai mbeling
kayak gitu, ya akh!” ucap Samsul sembari mengambil makanan yang dibagikan saat awal
masuk pengajian.
“Yee, antum ini gimana! Masa benci kyainya, tapi memakan pemberian kyai Badrul”
kataku dengan nada bercanda mengejek.
“Hem, selama makanan ini nggak haram, kan boleh dimakan! Ingat Akh, ambil kuenya
jangan ambil akhidahnya” jawab Samsul sambil mengunyah kue lalu tersenyum.
Aku tersenyum sambil mengatakan “Dasar, mahasiswa kontrakan!”
Saat aku masih melihat kearah wanita itu, wanita berjilbab itu menatapku sambil
terlihat menajamkan matanya kearahku. Tak lama setelah beradu pandang denganku,
wanita berjilbab itu langsung meninggalkan tempat dengan tergesa-gesa. “Akh, ana rasa
akhwat itu mengenal ana! Antum tadi lihat nggak ekspresi wajahnya, saat ana beradu
pandang dengan akhwat itu! Dia terlihat terkejut, dan dia langsung meninggalkan tempat
Fajar Agustanto (Blackrock1/Fajar001/Jaisy01)
www.ggs001.cjb.net
pembagian oleh-oleh untuk para jamaah! Akhwat itu terlihat sangat terburu-buru sekali”
ucapku serius.
“Iya akh, tuh akhwat gimana nggak lari! Lah antum, ngelihatin akhwat kayak mau
gebukin maling. Terang aja dia lari!” setelah itu Samsul terlihat serius sambil
mengucapkan “Atau mungkin dia terpesona kali akh, sama antum. Biasalah, siapa yang
nggak terpesona dengan antum. Pangeran tampan dari negeri kodok” ucap Samsul
dengan masih mengunyah kue yang hampir habis, sambil cekikikan sendiri.
“Hem, nih Ikhwan! Becanda mulu’, apa nggak ingat kalau sering tertawa itu bisa
mematikan hati!” jawabku jengkel.
Sambil cengengesan Samsul mengatakan “Afwan akh, afwan!”
Saat kami semua sudah mendapatkan bingkisan masing-masing, dan bergegas
pulang. Dan pada saat kami akan pulang, aku menyempatkan memeriksa bingkisan yang
sedang berada digenggamanku. Dan ternyata “masya Allah, berisi uang saratus ribuan”
gumamku dalam hati.

JILID 2
Waktu terus bergulir, roda kehidupan terus berjalan. Dengan rasa malas aku
berjalan menuju ruang kamarku. Dirumah kontrakan yang kusam ini, rumah ini
mengingatkanku pada rumah yang ada didesa. Rumah tua, yang dihuni oleh Ayah, Ibu
dan Nurul adikku yang masih duduk dibangku SMU. Entah sekarang bagaimana keadaan
Ayah dan Ibu, semoga mereka baik-baik saja. Aku juga kangen dengan Nurul, kangen
saat bertengkar dengan Nurul.
Kuletakkan tas yang sudah lama berada dipunggung ini, sambil duduk dalam
kasur kusam yang selalu menyangga dalam setiap tidurku. Rasa penat melanda dalam
setiap relung pikiranku, ditambah dengan rasa capek yang mendera ditubuhku. Ingin
rasanya aku langsung terbuai dengan mimpi-mimpi indah. Mimpi-mimpi bertemu dengan
para syuhada, dan bertemu dengan bidadari surga. Kalau mimpi yang kedua itu, pasti
selalu ditunggu-tunggu. Saat aku lihat kaset IZIS (IzatullIslam) dengan bungkus dan
segel yang belum terbuka. Karena memang baru aku beli kemarin, berada diatas tape
Simbaku. Tape yang kubeli dengan menabung selama dua tahun, dan barang termahal
pertama sampai saat ini yang bisa aku beli. Dengan santai aku ambil kaset itu, serta
membuka bungkus dan segel kaset lalu memasukkan kaset kedalam tape.
“Dimana dicari pemuda kahfi
Terasing demi kebenaran hakiki
Dimana jiwa pasukan badar berani
Menoreh nama mulia perkasa abadi
Umat melolong di gelap kelam
Tiada pelita penyinar terang
Penunjuk jalan kini membungkam
Lalu kapankah fajar kan datang
Mengapa kau patahkan pedangmu
Hingga musuh mampu membobol bentengmu
Menjarah menindas dan menyiksa
Dan kita hanya diam sekedar terpana”
Sayup suara nasyid IZIS, serta hembusan kipas angin mini. Membuatku melayang
jauh dan terbang, terbang bersama segerombolan cahaya-cahaya yang terang. Tak
seberapa lama suara “Assalamualaikum”
Dengan lirih aku menjawab sambil tersenyum “Walaikumsalam”. Aku benar-benar
merasa dalam segerombolan keindahan-keindahan yang datang kepadaku, datang dan
saling berpelukan. Memelukku erat, pelukan persaudaraan yang sangat erat dan kental.
Tak lama aku mendengar suara
“Akh, Akhi! Bangun. Sudah jam empat sore! Bangun, Akh. Apa antum sudah sholat
Ashar!”

Aku mencoba untuk membuka mata, tapi mata ini terasa sangat berat untuk
membukanya. Dan tubuh ini benar-benar sangat payah, serta sangat susah untuk
digerakkan. Tak seberapa lama, aku pun bisa mengontrol diri. Ternyata Yanto sudah
berada dikamarku. Sambil melihat kaset baruku. IZIS.
“Hem antum mengagetkan ana aja, akh!” ucapku dengan rasa yang sangat malas sambil
bersandar pada dinding kasur yang terlihat cat-catnya mengelupas.
“Antum tadi jawab salam ana, tapi ana lihat antum masih memejamkan mata!” jawab
Yanto sambil membolak-balikkan kaset IZIS.
“Loh! Jadi antum tadi, yang salam! Ana kira itu salamnya cahaya-cahaya indah yang baru
ana lihat tadi” jawabku sambil mengusap-usap mataku.
“Iya itu ana! Wah, antum bermimpi apaan Akh? Nggak bermimpi ketemu bidadari di
surga kan?” jawab Yanto dengan senyum.
“Antum itu ada-ada saja, Akh! Antum dari mana, kok jam segini baru pulang?” tanyaku
“Ana, dari ikut kajian! Biasalah, hari ini ana kan Liqo’!” Ucap Yanto. Setelah itu dia
melanjutkan perkataannya “Akh, antum punya kasetnya IZIS yach? Wah pasti boleh
dipinjam nich!”
“Antum, satu rumah kok pake’ pinjam-pinjaman segala! Kalau mau pinjam ya ambil aja,
tapi setelah itu dikembalikan, jangan seperti biasanya! Atau antum putar di tape ana aja,
tape antum kan rusak akh!” ujarku sambil beranjak untuk berwudhu.
Tak lama setelah aku berwudhu, terdengar IZIS mengumandang keras.
“Berkobar tinggi panaskan bumi
Membakar ladang dan rumah kami
Darah Syuhada mengalir suburkan negri
Tiada kata lagi….
Kami harus kembali!”
Saat aku lihat, ternyata Yanto memutar kaset IZIS sambil bernasyid dan
mengepalkan tangannya dengan bersemangat. Sungguh memang luar biasa, nuansa yang
ditimbulkan oleh nasyid. Nasyid bukan seperti lagu Islam yang lainnya, nasyid adalah ruh
dari setiap perjuangan para mujahid. Nasyid tidak seperti lagunya Gigi, yang
mengumandang keras tetapi tidak bersemayam dihati. Apalagi nasyid tidak seperti lagulagunya
Dewa, yang bernada sombong seperti pemainnya. Nasyid bukanlah seperti lagulagu
lainnya, karena nasyid punya pembeda, pembeda dari lagu cengeng percintaan yang
memabukkan.
“Akh, tolong kecilkan! Ana mau sholat” pintaku
Bersambung...................

0 comments:

Post a Comment

Komentar anda