“Akh,
biar sholat antum lebih semangat lagi, jadi biar saja nasyid ini berkumandang
keras”
ucap Yanto yang tetap mengangkat tangan sambil mengepalkannya.
“Akh,
ternyata antum perlu diruqyah kalau gitu! Jangan-jangan ada jin
bersamayam
ditubuh
antum” gumamku kesal
“Hehe…
afwan akh, tadi kan cuman bercanda!” jawab Yanto dengan mengecilkan suara
tape.
Aku
menggelar sajadah, bersiap untuk menghadap sang khalik. Menghadap sang maha
pemaaf.
Menghadap sang Maha dari segalah maha yang ada di alam semesta ini.
***
Cuaca
diluar sangat cerah, terasa mentari tersenyum dengan sinarnya. Panasnya
tidak
terik, tetapi tidak pula mendung. Udara tidak panas, dan pula tidak dingin.
Cuaca
benar-benar
sangat bersahabat. Terbukti, banyak sekali hilir mudik orang-orang yang
lewat
kontrakanku, terlihat wajah-wajah yang segar. Wajah-wajah yang siap menghadapi
hari
yang lebih baik. Insya Allah.
“Akh,
antum kok nggak siap-siap? Apa nggak ada kuliah!” tanya Heri
“Ana
ada bimbingan jam sembilan! Jadi sekarang bisa nyantai-nyantai dulu” ucapku
“Wah
yang lagi mau kelar kuliahnya, udah bersiap-siap nggak akh?” tanya Heri, sambil
menyeruput
teh hangatku.
“Emang,
maksud antum apa akh? Bersiap-siap untuk apa?” jawabku
“Iya,
berusaha bersiap-siap untuk melanjutkan sunnah Rasulullah! Menyempurnakan
agama
kita”
“Sunnah
Rasulullah! Yang mana?” tanyaku heran
“Akh,
antum kayak nggak tahu aja! Itu loh akh, sekretaris antum dulu, perlu
diselamatkan!”
ucap Heri serius
“Ha..?
maksud antum apa sich, akh?” tanyaku penasaran
“Antum,
harus menyelamatkan ukhti Farah dari fitnah dunia. Juga dari orang-orang jahil
yang
ingin menjahilinya! Jadi antum harus cepat menyelamatkan ukthi Farah! Nikahi
ukhti
Farah” jawab Heri sambil tertawa.
Dengan
tersenyum aku menjawab “Antum itu ada-ada aja! Kenapa bukan antum saja
yang
menyelamatkannya!”
Heri
tertawa sambil mengatakan “Akh, kalau ana sich gampang! Tapi ana
mempersilahkan
senior dulu. Dan lagi, Ukhti Farah kan termasuk jajaran-jajaran bidadari
Allah
yang bisa dibilang sempurna! Apa antum nggak tertarik dengan Ukhti Farah?”
“Akh,
udah nggak usah seperti itu! Ukhti Farah itu wanita yang paling sempurna.
Makanya
ana takut mendekati wanita-wanita sempurna, seperti akhwat yang satu itu”
jawabku
sekenanya
“Antum,
takut apa minder! Udah, ana berangkat dulu. Ana takut terlambat.
Assalamu’alaikum”
jawab Heri sambil tertawa, sambil ngeloyor pergi
“Walaikumsalam”
jawabku sambil tersenyum
Ukhti
Farah, akhwat yang bisa dibilang sempurna. Semua terdapat pada
keagungan
wanita, berada padanya. Aku tidak melihat kecantikan wajahnya, sebelum aku
melihat
kelembutan hatinya. Aku memang belum pernah melihat wajah ukhti Farah, aku
hanya
mendengar keagungan kecantikannya dari teman-teman kuliahku. Teman-teman
yang
masih meninggikan kecantikan wajah, teman-teman yang masih belum tertarbiyah.
Tetapi
saat dia menjadi sekretarisku pun, aku masih belum tahu kecantikan wajahnya.
Yang
aku tahu, sungguh benar-benar kecantikan yang sempurna saat aku mengetahui
sikap
dia. Dan mulai dari situlah aku benar-benar tidak membutuhkan lagi kecantikan
wajahnya,
aku tidak butuh lagi mengetahui wajah cantiknya. Aku tidak butuh lagi
kecantikan
pada jasadnya. Yang aku butuhkan, adalah kecantikan seorang wanita pada
dalam
dirinya, pada tanggung jawabnya sebagai wanita. Yaitu wanita yang mempelihara
aurat-auratnya
atas fitnah dunia.
Banyak
akhwat yang aku kenal, tetapi memang tidak sesempurna ukhti Farah.
Dulu
saat aku masih senang dengan cara jahilia, yaitu mengetest akhwat. Banyak
akhwat
yang
sering aku telphone. Dan banyak juga, akhwat yang dengan nada santai tetapi
benar-benar
menghanyutkan. Bicaranya santun, tetapi topik pembicaraannya tidak pantas
untuk
dibicarakan oleh seorang akhwat apalagi kader dakwah. Ada lagi seorang akhwat
yang
tergesa-gesa menjelaskan sesuatu masalah, lebih-lebih lagi si akhwat
memposisikan
dirinya
sebagai orang yang paling tahu dan paling beriman. Ada juga akhwat yang
menjelaskan
agama Islam, tetapi si akhwat menjelaskannya layaknya seorang marketing.
Sungguh
memang benar-benar lucu. Dan kadang pula menjengkelkan dengan para
akhwat
yang sok suci dan sok yang paling tahu itu. Tetapi itu dulu. Saat terakhir aku
menelephone
ukhti Farah. Selesailah sudah perjalanan mengetest kemampuan para
akhwat.
Dengan nada bicara yang santun, topik yang bagus dan bisa memposisikan
dirinya
sebagai seorang yang sama dengan lawan bicaranya. Setelah itu, sebuah nasehat
yang
bagus dari ukhti Farah
“Afwan,
akh! Ana merasa, antum bukanlah ikhwan yang belum tertarbiyah. Ana takut
antum
adalah ikhwan yang senangnya mengetest akhwat. Ana cuma mau berpesan
kepada
antum, sebaik-baik muslim itu adalah seorang yang bisa menghormati muslim
satu
dengan muslim yang lainnya. Dan bukan saling mengetest kemampuan
kepintarannya!”
Saat
itulah, akhirnya aku benar-benar paham. Bahwa sesungguhnya, sakitlah hati
seseorang
manakala seseorang itu merasa dikerjain oleh saudaranya sendiri. Akhirnya,
aku
tidak pernah lagi mempunyai keinginan untuk mengetahui tingkat kemampuan
saudaraku
sendiri. Biarlah tingkat kemampuan dalam kepintarannya yang akan
membimbing
dia menjadi seorang muslim yang sejati. Seorang muslim sejati tidak akan
memposisikan
dia sebagai orang yang paling pintar dan beriman, seorang muslim sejati
tidak
akan tergesa-gesa dalam menjelaskan sesuatu hal, seorang muslim sejati tidak
akan
memberi
sebuah penjelasan layaknya seorang marketing produk. Karena Islam adalah
agama
perbuatan, maka perbuatanlah yang akan mencontohkan muslim yang baik atau
muslim
yang buruk.
Sejak
saat itu aku memang benar-benar tertarik dengan ukhti Farah, bukan tertarik
karena
wajahrnya. Tapi aku tertarik dengan keteduhan bahasa bicaranya, keteduhan yang
mungkin
membuat manusia benar-benar ingat akan adanya siksa neraka. Sungguh benarbenar
wanita
yang sempurna. Tapi aku sadar bahwa aku bukanlah ikhwan yang pantas
untuk
dia. Untuk wanita sesempurna ukhti Farah.
***
“Gimana
Lid, dosen pembimbing kamu! Enak nggak?” sapa Hendra, teman kuliahku dari
belakang
sambil menepuk pundakku. Saat sedang berjalan menuju fakultasku.
“Eh,
kamu Hen! Tak kira siapa” jawabku sambil tersenyum
Dia
tersenyum lalu berkata “Hem, dosen pembimbingku, nggak enak Lid! Masa aku
kalau
mau ketemu harus janjian dulu. Dan nggak pernah ada di ruang dosen”
“Hem
emang siapa, dosen pembimbing kamu Hen?” tanyaku sambil berjalan.
“Itu,
Pak Hartono!” jawab Hendra
“Hem,
pantes Hen! Pak Hartono kan super sibuk. Tapi enak loh Hen, Pak Hartono kan
orangnya
sabar banget!” terangku
“Iya
sich, tapi kalau gini terus aku nggak akan tepat waktu mengerjakan skripsiku”
keluh
Hendra
dengan wajah terlihat pasrah.
“Ya,
nggak gitu Hen. Kalau kamu janji dulu sama beliau, kan beliau nanti bisa
menyesuaikan
jadwalnya” sergahku sambil tersenyum
“Hem,”
Hendra manggut-manggut. “oh yach, dosen pembimbingmu siapa Lid?”
“Dosen
pembimbingku, Pak Susilo!” jawabku sambil tersenyum
“Ha..
Pak Susilo! Yang bener kamu Lid?” Hendra memandangku tak percaya
“Iya.
Pak Susilo! Kenapa?”
“Jadi
kamu, satu-satunya mahasiswa yang dosen pembimbingnya Pak Susilo!” Hendra
masih
terlihat tidak percaya.
Aku
tersenyum sambil menjawab “iya..!”
“Ha…!
Kamu mau dibimbing si Prof killer itu? Apa kamu dulu nggak milih
pembimbing?”
“Aku
memang milih Prof. Susilo Nugroho! Kasihan beliau nggak ada yang milih”
gumamku
sambil tersenyum.
“Kamu
gila, atau gimana sich Lid? Milih kok yang killer kaya dia” ucap Hendra sambil
menggeleng-gelengkan
kepala.
“Sebenarnya
sich, aku milih Pak Susilo karena dia kan guru besar di fakultas kita!
Apalagi
dia kan juga guru besar di Universitas ini. Jadi aku beruntung Pak Susilo mau
menjadi
pembimbingku” kilahku sembari tersenyum banggga.
“Sekarang
kamu ada keperluan apa kekampus? Apa ikut SP (Semester Pendek)?” tanya
Hendra
“Hem
sorry kalau Khalid ikut SP! Aku kan mau ketemu sama dosen pembimbing yang
baik
hati” jawabku sambil tersenyum.
“Ok
deh, met ketemu sama Prof killer itu! Lid aku mau ke kantin dulu yach.” Ucap
Hendra
sambil menepuk pundakku.
“Ok.”
Kantor
dosen sudah terlihat didepan mata, tinggal beberapa langkah aku sudah
masuk
dikantor yang dipenuhi pembimbing-pembimbing intelektual.
“Permisi,
mbak! Pak Susilo sudah datang belum?” sapaku pada mbak Dina, pengurus
secretariat.
“Ada,
Lid. Masuk aja! Pak Susilo di mejanya” jawab mbak Dina.
“Terima
kasih, mbak!”
Aku
langsung menuju mejanya Pak Susilo. Benar Pak Susilo sudah berada di
mejanya,
sedang mengerjakan sesuatu. Hatiku berdegup tak beraturan. Ini pertama
kalinya
aku berhadapan langsung dengan Pak Susilo.
“Selamat
siang, Pak!” sapaku
Dia
menatap dingin padaku sembari menjawab sapaanku “Siang!” selanjutnya bertanya
dengan
tatapan yang dingin “Ada perlu apa?”
Jantungku
saat itu benar-benar berdegup kencang, layaknya seorang ikhwan yang
sedang
ditawari Murrabi untuk menikah. Bertemu dengan pakar hukum yang satu
ini,
membuatku
merasa sangat canggung. Bagaimana tidak canggung, Pak Susilo merupakan
tetua
dari para dosen hukum difakultasku. Dan beliau merupakan dosen yang tidak
diragukan
kemampuannya. Selain kemampuannya, yang membuat dia benar-benar
disegani
oleh semua mahasiswa dan dosen difakultasku, adalah ketegesannya dalam hal
apapun.
Termasuk masalah nilai. Pak Susilo tidak dapat diganggu gugat masalah nilai. Di
fakultasku
banyak sekali dosen yang mudah merubah nilai, entah karena apa mereka
dapat
merubah nilai. Tapi untuk Pak Susilo, sebuah nilai ujian tidak dapat diganggu
gugat,
dan tidak dapat dirubah. Aku benar-benar senang dengan prinsip dosen yang satu
ini.
Karena, meskipun aku jarang sekali mengikuti perkuliahan beliau. Tetapi aku
tetap
bisa
mengerjakan ujian-ujian yang diberikan oleh beliau. Dan nilaiku bisa dikatakan
sangat
memuaskan. Karena saat itu memang aku sangat sibuk dalam organisasi, sehingga
jarang
sekali aku masuk kuliah. Tetapi aku tetap mempelajari semua mata kuliah.
Sehingga
aku tidak ketinggalan dengan mahasiswa yang lainnya.
“Saya
Khalid, Pak! ” jawabku tenang
“Hem
jadi kamu, mahasiswa yang sok pintar itu yach!” ucap pak Susilo sinis.
Aku
hanya mengangguk pelan sambil tersenyum kecut. Jantung ini semakin berdegup
kencang.
Apalagi kata-kata Professor killer ini benar-benar menyakitkan.
“Khalid,
mahasiswa yang sukanya menuntut. Mahasiswa yang sukanya demonstrasi.
Mahasiswa
yang sukanya manantang para dosen. Apalagi sok idealis!” pak Susilo berkata
tanpa
melihatku, sambil merapikan beberapa berkas-berkasnya.
Darah
muda mulia memuncak. Ucapan sang Professor sudah tidak dapat didiamkan.
Keras
sekali penghinaannya padaku. Saat aku akan mengucapkan sesuatu, pak Susilo
berdiri
sambil menghadapku. Dengan nada mengejek “baik, kalau kamu ingin saya
menjadi
dosen pembimbing kamu! Saya ingin sekarang juga, memberikan soal kuis
kepada
kamu. Jika seandainya jawaban kamu tujuh puluh persen banar, maka saya
bersedia.
Tetapi jika kurang dari itu, maka saya akan bilang ke dosen-dosen yang lain
untuk
tidak menerima seorang mahasiswa yang hanya suka omong besar!”
Aku
benar-benar tertantang dengan ucapan pak Susilo. “baik, saya siap!” jawabku
enteng.
Terlihat
pak Susilo masih mamandang sinis kearahku.
Dalam
hati aku berfikir, bahwa ini saatnya aku menunjukkan kemampuanku
didepan
dosen sacara langsung. Aku ingin membuktikan, meskipun aku jarang mengikuti
Fajar
Agustanto (Blackrock1/Fajar001/Jaisy01)
www.ggs001.cjb.net
kuliah,
tapi aku tetap bisa mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh para dosen.
Meskipun
aku tidak pernah masuk, bukan berarti aku tidak kuliah, apalagi tidak bisa
mengerjakan
soal-soal kuliah. Kuliah hanya aku anggap sebagai alat mengambil ijazah
saja,
karena kuliah yang sebenarnya adalah mendapatkan pengetahuan dari sumber
manapun.
Dan inti dari kuliah adalah belajar. Jadi, bukan berarti orang yang tidak
kuliah
tingkat
keilmuannya rendah. Apalagi menganggap bahwa orang yang tidak kuliah, tidak
belajar.
Pak
Susilo memberikan lembaran kertas yang berisi soal-soal kepadaku. “Ini
kerjakan!
Saya
kasih kamu waktu satu jam” ucap pak Susilo tegas.
Pak
Susilo duduk tak jauh dari hadapanku. Dengan tenang aku mengambil kertas itu,
santai
aku mengerjakan soal-soal yang diberikan pak Susilo. Meskipun memang banyak
soal-soal
yang sulit, tetapi aku tetap yakin bahwa aku bisa mengerjakannya. Sebuah
pertaruhan
yang sangat berat, antara sebuah nama baik, nilai dan soal-soal ujian. Jikalau
aku
tidak bisa mengerjakan soal-soal itu, yang akan terjadi adalah sebuah petaka
buruk
bagiku
apalagi untuk organisasi dan teman-teman yang sangat mempercayaiku.
“Baik,
waktu sudah habis!” ucap pak Susilo mengagetkan aku.
Untung
semua yang aku kerjakan sudah selasai, tetapi entah benar apa tidak. Aku
tidak
tahu, hanya Allah swt dan pak Susilo yang tahu. Kertas soal dan jawaban aku
serahkan.
Dengan teliti sekali pak Susilo memeriksa jawaban soal-soal kuis. Wajahnya
terlihat
sangat dingin, dan terkesan sangat acuh sekali. Berkali-kali terlihat pak
Susilo
menggeleng-gelengkan
kepala, sambil terlihat kecewa. Aku hanya diam, menatap kosong
kedepan.
Menyesali kesombongan, kesombongan yang membuat aku jatuh pada lubang
yang
tak termaafkan, kesombongan yang membuat harga diriku runtuh terpinggirkan
dalam
jiwa yang tak tenang.
“KHALID!”
ucap pak Susilo dengan mengeraskan suaranya, aku sedikit kaget waktu itu.
Setelah
itu pak Susilo berkata “Hem, benar ternyata. Aku sangat meragukan kemampuan
kamu.
Ternyata kemampuanmu, lebih dari yang saya bayangkan!”
Aku
masih diam, tidak mengerti tentang ucapan pak Susilo.
“Khalid,
aku memang sudah menduga. Bahwa kamu memang mahasiswa yang brilian,
saat
banyak dosen-dosen yang meragukan kemampuanmu dalam menerima perkuliahan.
Saya
mengetahui kamu memang mahasiswa pintar. Jadi, akhirnya saya yakin bahwa
kamu
benar-benar mahasiswa yang pintar” ucap pak Susilo dengan tersenyum puas.
Selanjutnya
pak Susilo melanjutkan ucapannya “sekarang, kamu bisa menunjukkan judul
skripsi
yang akan kamu pakai”
Subhanallah,
Alhamdulillah, Allahuakbar, ucapku berulang-ulang dalam
hati. Sungguh
tiada
suatu yang lebih menggembirakan dalam hati kecuali, seorang professor yang
merekomendasi
ilmuku. Merekomendasi tentang apa yang aku peroleh dari belajarku.
Aku
merasa benar-benar memenangkan sebuah pertarungan. Memenangkan sebuah
pertarungan
yang mempertaruhkan sebuah kehormatan. Memenangkan sebuah pemikiran
baru,
bahwa kuliah bukan berarti harus kuliah.
“Perspektif
hukuman mati dalam Hukum Pidana Positif dan Hukum Islam” jawabku
Sambil
mengernyitkan dahinya pak Susilo berkata “Hem, kayaknya bagus. Apa kamu
sudah
dapat bahan-bahannya?”
“Hem,
Insya Allah sudah Pak! Tinggal di ketik” ucapku mantab
“Ok,
saya tunggu! Saya sudah percaya dengan kamu, dan saya tidak meragukan
kemampuan
kamu” ucapnya tegas.
“Baik
Pak, kalau gitu saya permisi dulu!”
“Baik,
saya akan tunggu hasil-hasil yang sudah kamu tulis”
Setalah
berdiri, aku langsung berpamitan. Tetapi saat aku akan berpamitan. Pak Susilo,
memanggilku
“Khalid, saya orang Islam! Perlakukan saya seperti orang Islam”
“Oh
maaf pak, Assalamualaikum” ucapku saat berpamitan
Pak
Susilo tersenyum sambil menjawab “Walaikumsalam”
Tekad
maju penuh kemanangan, senandung nasyid kunyanyikan dalam hati
“Langkah
ini langkah-langkah abadi
Menapak
gagah laju tanpa henti
Langkah
ini langkah-langkah abadi
Menapak
gagah laju tanpa henti”
Sebuah
kemulian yang diberikan oleh Allah Azza wa jalla. Pada para mujahid dan
mujahidah
yang melaju menegakkan kebenaran menyingkirkan kebathilan. Dan Allah
pasti
akan menolong hambanya yang telah berjuang didalam agama-Nya.
......................................Bersambung.........................................
0 comments:
Post a Comment