Sunday, May 6, 2012

BIDADARI KECIL

Petikan gitar Slash yang membahana dari kamar sebelah membangunkanku
dari tidur panjang. Aku menggeliat malas dan mencoba membuka mataku
yang terasa sangat berat. Pengaruh ekstasi yang kuminum tadi malam
bersama Ardy sudah mulai mengendap. Basi'an, begitu istilah yang
digunakan anak-anak muda terhadap pengaruh pemakaian ekstasi.
Tenggorokanku terasa kering dan panas. Aku mencoba menggapai gelas
yang ada di samping ranjang. Kosong. Tak berisi setetes airpun.
Aku menoleh. Ardy masih tergolek di sampingku. Tadi malam memang ia
mengkonsumsi pil-pil setan itu jauh lebih banyak dariku. Tak heran jika
sekarang ia masih tertidur nyenyak. Perbuatan yang kami lakukan semalam
sangat liar.
Aku berusaha bangkit untuk mengambil sebotol Aqua dari dalam kulkas.
Dengan sisa tenaga yang ada, aku berhasil menuangkan air putih ke dalam
gelas dan meminumnya. Setelah itu aku berjalan ke kamar mandi, ingin
mengguyur tubuhku yang terasa panas dan berkeringat.
Untung saja tempat kost yang baru kutempati dua bulan terakhir ini tidak
seketat tempat kostku yang dulu. Rata-rata penghuni rumah mewah
bertingkat tiga ini memang orang-orang mencintai pergaulan bebas dan
pengkonsumsi narkoba seperti diriku. Ditambah lagi pemilik kost tinggal di
Bandung dan jarang mengunjungi tempat ini. Mereka hanya
mempercayakan keamanan kost kepada seorang satpam dan lima orang
pembantu rumah tangga yang mata duitan. Keenam orang hanya ingin
uang kost dibayar tepat waktu, dengan sejumlah tip untuk membungkam
mulut mereka. Mereka tidak peduli para penghuninya mabuk-mabukan,
pesta narkoba atau tinggal bersama. Yang penting bagi mereka adalah
uang karena mereka sendiri bukan orang yang suci. Tersiar kabar bahwa
pembantu-pembantu rumah tangga itu menjalani pekerjaan lain sebagai
pramuria di warung bilyard.
"Vi! Evi! Lagi ngapain kamu di dalam? Mandi ya?" Terdengar suara Ardy
mencariku.
"Iya, Dy! Panas, nih!" Seruku dari dalam kamar mandi.
"Jangan lama-lama yah! Aku mau pipis nih!" Teriaknya.
Aku melengos. Memang setelah pengaruh obat-obatan tidak terasa lagi,
aku sering merasa malas dan muak melihat Ardy. Entah mengapa. Aku
hanya menyukainya jika dalam keadaan fly. Mungkin karena itulah cinta di
antara pemuja obat-obatan terlarang dan pergaulan bebas sepertiku tak
pernah langgeng.
Ardy sedang duduk mencangkung dengan celana pendek dan kaus oblong
kumalnya ketika aku keluar dari kamar mandi. Asap rokok berbentuk
bulatan-bulatan putih seperti donat menghempus dari hidungnya. Aku
tersenyum terpaksa.
"Vi, basi'an kamu? Langsung mandi gitu!" ujarnya dengan gayanya yang
kurang ajar.
Aku melengos. Aku memang tidak menganggap Ardy istimewa. Ia sama
bejatnya seperti Roy, Glen, Harry, Rudy, bahkan Aryo yang telah merenggut
keperawananku dan pergi begitu saja meninggalkanku. Mereka semua
adalah pemuda-pemuda berandalan yang bisanya hanya berhubungan
intim dan mengkonsumsi narkoba. tak lebih.
"Sok tau banget kamu! Kamu sendiri juga kegerahan, kan ?!" Tukasku tak
suka. "Oh ya, kamu mau ke kampus nga siang ini? Daftar ulang , lho! Aku
mau ke kampus, ah!"
Sebenarnya aku tak berniat ke kampus. Tapi karena ingin mengusir Ardy
yang sudah dua hari menginap di sini. Aku tepaksa melakukan hal itu. Aku
tau, Ardy sangat menghindari kampus. Mungkin semester ini pun ia sudah di-
DO.
"Masih mikirin kampus juga , Vi?" Ardy tersenyum sinis. "Aku males, ah! Lagian
buat apa belajar susah-susah? Toh kita masih bisa beli inex sama PT, kok!
Nanti aja deh, kalo aku udah insyaf baru ke kampus. Aku mau ke rumah Tony
aja!"
Ardy bangkit dan mengganti celana pendeknya dengan jeans bolongbolong
kesayangannya.
Aku pun sibuk berdandan dan merapihkan berkas-berkas pendaftaran
ulang, berpura-pura ingin pergi ke kampus. Padahal sehabis ini aku aku akan
pergi ke kost Firna. Kemarin sahabatku itu mengajak shopping di Plaza
Senayan. Daripada suntuk di kamar terus, lebih baik mencari udara segar.
Siapa tau ada cowok keren yang bisa kugaet! Aku sudah bosan dengan
Ardy yang sudah dua bulan menjadi pengawal setiaku. Meskipun
tampangnya lumayan keren, badannya sama sekali tidak bagus. Kurus
kerempeng seperti tiang listrik. Maklumlah pecandu narkoba! Mana bisa ia
memiliki tubuh berotot seperti Ade Rai.
"Eh, Vi...."kata Ardy di depan pintu.
"Apa?!"
"Eh, jangan galak-galang dong! gini lho.... eng....bagi duit dong, Vi. Biasa..."
Ardy memamerkan nyengir kudanya. "Buat beli cimeng."
"Ah, buat beli cimeng aja make minta sama aku!" Tukasku merogoh dompet
dan melemparkan dua lembar lima puluh ribuan.
"Udah sana cabut! Eneg melihat tampangmu di sini!" Ardy tertawa senang
dan melambaikan tangannya.
Pertengahan Oktober 1998
Aku memegang perutku sambil tertatih-tatih menuju kamar mandi. Perutku
terasa sangat mual. Di kelas tadi, pandanganku tiba-tiba kabur dan aku
merasa ingin pingsan. Setelah pamit pada Pak Suryadi, dosen killer pengajar
manajemen pemasaran, aku cepat-cepat ke kamar mandi. Di kamar mandi,
kumuntahkan semua isi perutku. Kepalaku berdenyut-denyut seperti
dihantam oleh tongkat yang sangat besar. Perutku terasa keras dan nafasku
sesak. Aku mencoba bangkit. Ini pasti pengaruh putaw yang kukonsumsi
bersama Firna dan teman-teman beberapa hari ini. Aku memang belum
terbiasa menggunakan barang yang satu itu. Mungkin seperti inilah
reaksinya, kataku dalam hati. Mual dan pusing.
Cepat-cepat kukeluarkan lipstik dan bedak dari tas mungilku. Aku harus
berdandan untuk menutupi pucat pasi wajahku. Ketika hendak
mengembalikan pearalatan kecantikan itu ke tempat semulanya,
pandanganku bersirobok dengan bungkusan panty shield. Aku terpana.
Otakku mulai berpikir cepat. Terakhir kali aku mendapat haid kira-kira satu
setengah bulan yang lalu. Ah, sudah lama sekali? Apa.....aku sedang
mengandung?!
Dengan panik, aku segera melarikan mobilku menuju apotik terdekat.
Tanganku bergetar memegang test kehamilan pribadi bersampul biru. Aku
segera pulang ke kost yang hanya sepuluh menit dari kampus, dan
mencoba alat yang mengerikan itu. Selama menunggu hasilnya, aku
mondar-mandir tak karuan di dalam kamar. Jantungku berdegup kencang
sekali. Oh Tuhan, aku tidak ingin hamil! Jeritku dalam hati.
Tapi ternyata semuanya sudah terlambat. Tertera dua garis merah di benda
putih yang pipih dan panjang itu. Aku berteriak tak percaya. Kubanting kuatkuat
alat pengecek kehamilan dan gelas aqua bekas kugunakan untuk
menampung urine. Tidak! Oh.....aku tidak mau mengandung! Aku tidak mau
punya anak!
Aku menghenyakkan tubuhku ke atas ranjang. Berteriak-teriak seperti orang
gila. Ku jambakjambak
rambutku yang panjang sampai kulit kepalaku seperti mau lepas.
kutinju dinding kamar berkali-kali. Yang ada hanya kesakitan. Tapi tidak
melenyapkan jabang bayi di dalam rahimku.
Mengapa aku sedemikian bodoh? Aku lupa memakai alat kontrasepsi ketika
berhubungan dengan si brengsek Ardy! Padahal biasanya aku tak pernah
lupa. Mungkin karena pengaruh ekstasi yang memabukkan, membuatku
lupa akan kebiasaanku untuk mencegah kehamilan. Tapi nasi udah menjadi
bubur. Aku memang mengandung. Dan cara terbaik yang harus kulakukan
sekarang adalah menggugurkan kandunganku? Aku tidak ingin
membesarkan anak di luar nikah. Tidak mungkin aku menuntut
pertanggungjawaban Ardy. Pasti ia akan mengelak dan menuduh bayi ini
hasil hubunganku dengan orang lain. Lagipula aku tidak siap menikah
dengan pemuda bajingan itu dan membesarkan anakku dengannya.
Menjadi orang tua tunggal pun aku tak siap.
Apa yang akan terjadi jika aku nekad mempertahankan janin ini?! Papa
yang kejam dan bengis akan mengusirku. Beliau tidak memukulku dan
menamparku seperti dulu kalau aku pulang sekolah lewat waktu atau aku
kedapatan bergaul akrab dengan pria. Papa yang sok ningrat dan berdarah
dingin itu pasti akan mencincang tubuhku! Dan beliau pasti tidak akan
mengakuiku sebagai anaknya lagi. Padahal aku sangat membutuhkan harta
dan warisannya. Aku adalah anak sulungnya dan aku harus mewarisi
kekayaannya yang berlimpah ruah.
Cepat-cepat kuraih handphone dari dalam tas dan menghubungi Firna. Ia
pasti tau cara mengeyahkan janin ini karena beberapa bulan lalu ia pun
pernah melakukan yang sama.
Akhir oktober 1998
Berkat pertolongan Firna, aku berhasil menemui seorang dokter ahli
kandungan yang bernaung di balik klinik megahnya di pusat Jakarta untuk
mengadakan aborsi terhadap bayi-bayi malang dari wanita-wanita muda
yang tidak siap memiliki anak sepertiku. Ketika sedang di-USG, aku sempat
melihat bulatan kecil berwaran putih di layar monitor. Itu adalah janinku!
"Tuh, lihat.....sudah agak besar kan, anakmu, Evi?” Ujar dokter itu. "Sudah
siapkah kamu menggugurkan janin yang lucu ini? Kelak dia akan menjadi
anak yang sehat. Apa kamu tidak menyesal nantinya?"
"Nggak, Dok! saya ngak akan nyesal, kok!" Tukasku sekeras batu. Kulirik Firna
yang cepat-cepat mengalihkan pandangan dariku. Aku tidak akan
mempertahankan bayi ini. Aku tidak sanggup melihatnya menghancurkan
masa depanku!
"Ok, deh....kalo gitu! Siap-siap aja di ruangan sebelah, ya! Pembayarannya
tolong di urus di kasir.” Kata Dokter itu tersenyum. Aku melengos. Sok
moralitas kau Dokter! Padahal dalam hati kau bersorak kegirangan
membayangkan dua juta rupiah lagi masuk ke kantongmu!
Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Tidak seperti yang pernah kubaca di korankoran,
proses pengguguran kandungan ini tidaklah mengerikan. Mungkin
karena aku di bius sehingga aku tidak merasakan apa-apa. Sehabis itu sudah
boleh pulang dan aku merasa sangat lega karena akhirnya si pengganggu
itu tidak ada lagi dalam rahimku.
Pertengahan Januari 1999
“Evi! Evi! kenapa kamu, Nak? Pa! Pa! Aduh, bagaimana ini? Evi! Evi kenapa,
Pa?!”
Sayup-sayup aku mendengar suara Mama. Aku berusaha membuka mataku
lebar-lebar. Tapi tidak dapat memperjelas penglihatanku. Hanya bayangbayang
sosok Mama dan Papa mendekatiku dan menguncang-guncang
tubuhku. Tak lama kemudian, aku segera di larikan ke Rumah Sakit terdekat.
Tubuhku terasa ringan seperti kapas. Efek beberapa butir valium yang
kutenggak bersama sekaleng bir memang membuatku seperti hilang
ingatan. Sejak beberapa hari aku mulai bosan dan akhirnya mencoba
bereksperimen dengan mencampurkan minuman keras dan obat-obat
terlarang itu. Aku tidak tahu akibatnya akan seperti ini. Kedatangan Papa
dan Mama yang mendadak ke Jakarta pun tak kuhiraukan lagi. Aku seperti
ingin mati saja.
Awal Februari 1999
Aku mengikuti Papa dan Mama ke sebuah kamar putih yang bersih di ujung
gang. Anganku masih melayang-layang dan tubuhku terasa sakit karena aku
belum benar-benar bebas dari narkoba. Mungkin karena itulah Papa dan
Mama membawaku ke tempat terpencil ini. Sebuah pesantren yang memiliki
divisi rehabilitasi ketergantungan narkoba.
Setelah bercakap-cakap sebentar dengan seorang wanita yang berjilbab
putih, Papa dan Mama meninggalkanku. Aku tak peduli pada mereka. Yang
kuinginkan saat ini adalah putaw, cimeng, dan valium!
"Oh....oh, tolong! Tolong! Tolong! Mana PT? Mana PT? Aku butuh PT! Ohhh!"
Aku menjerit-jerit kesakitan. Sakaw, itulah keadaanku saat ini. Tubuhku terasa
sakit dan luluh lantak. Tulangku ngilu. Perutku mual dan lendir tak hentihentinya
mengalir dari hidungku. Aku berteriak-teriak sampai wanita berjilbab
tadi dan empat orang lainya datang. Mereka menyeretku ke kamar mandi.
Sambil melafazkan dzikir, mereka menyiram sekujur tubuhku. Aku mengerang.
Pagi-pagi buta seperti ini aku diguyur air dingin!
"Tolong! Aku mau pergi dari sini! Lepaskan aku! Tolong! Tolong! Tolong!" Aku
memberontak berusaha melepaskan diri dari cengkeraman wanita-wanita
itu. Tapi mereka seperti pantang menyerah. Setelah selesai memandikanku,
mereka mengganti bajuku dan dengan tetap berdzikir mereka
menidurkanku. Aku masih berteriak-teriak kesakitan. Akhirnya sepanjang
malam aku menjerit-jerit tanpa ada yang menolong.
Pertengahan Oktober 1999
Aku sudah tidak menjerit-jerit lagi. Tubuhku sudah sehat menurut pemeriksaan
dan laporan dari pembimbingku, aku sudah terlepas dari narkoba. Khasiat
jamu ramuan dari pesantren, mandi dini hari diiringi dzikir dan doa,
berendam di kolam yang tertutup dan air rebusan jahe yang diteteskan ke
kedua bola mataku ternyata cukup ampuh menyembuhkan sakaw-ku. Kini
aku sudah dapat mengikuti rutinitas pesantren dan bergaul dengan temantemanku
yang lain. Aku pun sudah mengenakan jilbab! Ya, aku sudah
berjilbab seperti Ustadzah Maryam, Ustadzah Ayu, Wina, Shanti, Elvira, Saras,
Dewi, dan muslimah-muslimah lainnya di pesantren ini. Dan aku memakainya
bukan karena peraturan di sini mengharuskan wanita berjilbab, tapi karena
hidayah dari Allah.
Meskipun bagi orang luar kegiatan pesantren ini membosankan, tapi bagiku
di sinilah surgaku. Aktivias sholat berjamaah, tadarus Qur'an, mengikuti kajian,
berdzikir, salat malam, kerja bakti membersihkan pondok dan sekitarnya,
membuatku lupa akan kesenanganku dulu. Aku bahkan telah meminta izin
kepada orang tuaku dan para pembimbingku untuk tinggal di sini dalam
waktu yang cukup lama agar bisa mengabdikan diri. Aku ingin menolong
orang lain yang pernah mengalami nasib yang sama seperti diriku dulu. Aku
ingin membantu menyembuhkan dan mengembalikan kepercayaan diri
mereka. Alhamdulillah niat baiku ini disambut dengan gembira oleh para
pembimbing dan pengurus pondok pesantren. Bahkan kabarnya Ustadz Fikry
yang menjadi ketua yayasan sekaligus anak pendiri pondok dan kepala
pembimbing menyetujui dan mendukung niatku. Ia pun mengusulkan agar
aku menjadi guru dan pembimbing di panti asuhan "Nurul Iman" milik
yayasan yang letaknya tak jauh dari pondok ini.
Pertengahan Mei 2000
Sore hari yang cerah usai memberikan pelajaran bahasa inggris kepada
anak-anak panti asuhan. Ustadzah Salma memanggilku. Pengurus "Nurul
Iman" itu mengatakan bahwa besok ada seorang ikhwan yang ingin
berta'auf denganku dan kalau memang kami berjodoh, ia akan segera
melamarku untuk menjadi istrinya.
Subhanallah! Betapa terkejutnya aku mendengar kabar itu. Rasanya tak
mungkin ikhwan yang sedemikian alim dan istiqamah seperti yang
diceritakan Ustadzah Salma mau meminangku. Rasanya sudah lama aku
mengubur impian menjadi istri dan ibu yang baik mengingat masa laluku
yang sangat suram.
"Allah selalu memaafkan umat-nya yang pernah melakukan kesalahan,
Evi."Ucap Ustadzah Salma dengan lembut ketika aku menyampaikan
kekhawatiranku. "Jika seseorang telah bertobat. Lagipula kita ini manusia
biasa, bukan Tuhan atau Malaikat. Setiap orang pasti pernah berbuat
kesalahan, entah besar atau kecil. Allah akan memaafkan dan memberikan
karunia kepada kita yang sudah kembali Fitrah-Nya. Jangan pesimis, Evi.
Jangan pernah terbelenggu oleh masa lalu. Ambilah hikmah dari masa
lalumu, dan buang yang buruk!"
"Tapi.....apakah ikhwan itu telah mengetahui latar belakang hidup saya,
Ustadzah? tanyaku lagi.
"Apakah... ia benar-benar mau menerima saya yang sudah pernah berzina
dan mengkonsumsi obat-obat terlarang?"
"Tidak ada yang tidak ia ketahui tentang kau, Evi," sahut Ustadzah Salma
sambil mengusap jilbabku.
"Dan ia siap menerimamu apa adanya. Percayalah, ia sangat jujur dan baik
hati."
Aku mengangguk haru. Hatiku mulai tenang. Dan ketika acara ta'aruf tiba,
aku tidak lagi diliputi keraguan seperti sebelumnya. Aku mulai mantap dan
berdoa kalau memang Allah telah mengizinkanku untuk menggenapkan
setengah dienku, aku telah siap. Tak disangka ikhwan yang datang
melamarku adalah Ustadz Fikry! Setelah melaksanakan salat istikharah
beberapa malam, kami pun memutuskan untuk segera menikah.
Akhir Mei 2001
Pagi ini, aku sedang melayani suamiku sarapan pagi. Seperti biasa, tepat
pukul delapan pagi setelah sarapan dan salat dhuha, Bang Fikri kembali
dengan rutinitas di pondok pesantren. Sedangkan aku bersiap-siap untuk
mengajar panti. Entah mengapa, ketika aku sedang mengoleskan selai
coklat ke atas setangkup roti tawar di atas piring Bang Fikri, kram yang
sangat dahsyat terasa di daerah pinggul dan di bawah perutku. Aku
berteriak kesakitan sampai roti ditanganku terlempar.
"Evi....Evi! Ada apa, Vi! Evi!?" Bang Fikri meraih tubuhku yang terjatuh di lantai.
Ia menepuk-nepuk pipiku tapi aku tak mampu bergerak lagi. Rasa sakit yang
tak tertahankan membuatku tidak mampu berbuat apa-apa.
Dokter yayasan yang datang memeriksaku menyarankan agar aku segera di
bawa ke rumah sakit Ibu dan Anak terkenal di Jakarta. Menurutnya,
penyakitku sangat parah dan berkaitan dengan organ reproduksiku.
Memang sejak pengguguran kandungan beberapa tahun lalu, jadwal
haidku tidak teratur. Pernah aku lima bulan tidak mendapat haid. Tapi sekali
menstruasi, darah kental bercampur onggokan-onggokan daging seperti
hati ayam keluar dari vaginaku. Kupikir hal itu biasa aja dan aku enggan
memeriksakan kandunganku ke dokter karena takut suamiku akan
mengetahui rahasia pengguguran kandungan yang kupendam selama ini.
Aku memang belum pernah menceritakan hal itu kepada siapa pun kecuali
Firna.
Setelah dirawat selama seminggu di rumah sakit dan melakukan beberapa
tes mulai mulai USG vagina, observasi, tes kimia darah, hormon, dan urine;
dokter spesialis kendungan menyatakan aku mengidap kanker leher rahim
atau kanker cerviks! Astagfirullah, betapa beratnya ujian yang harus ku lewati
ini, Ya Allah! inilah akibat kesalahan terbesar dalam hidupku yang pernah
kubuat!
Aku tahu, Bang Fikri sangat terpukul dengan kejadian yang menimpaku ini
aku juga sempat menangis berhari-hari tapi tetap saja tidak ada yang dapat
kulakukan kecuali memasrahkan diri kepada Allah. Dan meskipun sangat
berat, kami berdua berusaha tetap tabah dan tawakal, tidak mau
menyalahkan Allah atas keputusan yang ia buat. Apapun yang terjadi, kami
telah siap dan inilah yang terbaik bagi kami. Akhirnya kami mengikuti saran
dokter untuk mengangkat rahimku agar kanker tidak menjalar ke bagian
tubuhku yang lain. Aku tahu, aku tidak akan memiliki kesempatan untuk
punya anak lagi, setelah janin yang dengan......kubunuh dulu.
Pertengahan Agustus 2001
Aku terbangun dan mendapati diriku sedang berada di ruangan putih yang
bersih dan sangat terang. Tubuhku kurus kering. Mengenakan gamis dan
jilbab putih. Ranjang yang kutiduri seperti berada di atas asap yang mirip
segumpalan awan di langit. Aku ingin berteriak menanyakan keberadaanku.
Tapi tenggorokanku tercekat, tak sanggup mengeluarkan suara apapun.
“Assalamualaikum, Ibu.” Seorang gadis kecil yang cantik dan berpita putih
menghampiriku. Ia meraih tanganku dan menciumnya. Aku tersentak.
“Waalaikumsalam, Nak. Maaf, kau siapa? Aku tidak mengenalmu,” kataku
heran. Gadis kecil itu tersenyum.
“Ibu, Ibu memang belum pernah mengenalku. Aku bidadari kecilmu. Bu.
Bidadari yang kau lenyapkan tiga tahun yang lau,” sahut si gadis. Matanya
yang bulat dan besar menatapku.
“Bidadari kecilku? Maksudmu kau janin yang kugugurkan itu?!”
“Ya benar. Sekarang Ibu bisa melihat dan menyentuhku. Aku masih ada, Bu.
Aku belum mati. Aku masih hidup . di surga.”
“Apakah ini surga? Apakah aku sudah mati?”
“Tidak, Ibu belum mati. Akupun belum mati meskipun aku kau bunuh lewat
tangan dokter yang keji itu. Aku masih ada di sini dan mengawasimu dari
atas.”
Aku terpana. Wajah bidadari kecil itu begitu dekat. Aku menyentuh pipinya
yang halus kemerahan. Ia tersenyum senang. Senyum kanak-kanaknya yang
tulus dan memancarkan keluguan itu menyentuh hatiku. Ya, Allah, betapa
teganya aku menghilangkan nyawnya untuk kepentinganku sendiri! Padahal
ia tidak bersalah! Ia adalah anak yang suci dan bersih, tidak seperti
pasangan biologis berlumur dosa yang membentuknya seperti ini. Sekarang
aku sudah tidak bisa mengandung dan memiliki keturunan lagi. Ia adalah
keturunanku pertama dan terakhir!
“Oh bidadari kecilku!” Isakku dan meraih tubuhnya ke pelukanku. “Maafkan
Ibu, Nak! Dulu Ibu khilaf, Ibu banyak dosa! Betapa teganya dulu Ibu
memusnahkanmu! Maafkan Ibu, Nak! Sekarang semuanya sudah Ibu tebus.”
“Tidak, Ibu bukan aku yang bisa memaafkan kesalahan ibu. Allah tidak ingin
melihat Ibu menderita lagi. Allah akan memberikan kebahagiaan abadi buat
Ibu,” ucap bidadari kecilku. Ia mengusap pipiku lembut, kemudian
melangkah meninggalkanku.
Aku berteriak memanggilnya tapi ia tetap berjalan ke balik cahaya.
Bersamaan dengan menghilangnya bidadari kecil itu, aku mendengar
samar-samar suara ramai di sekelilingku.
“Subhanallah! Evi membuka matanya! Papa Mama Avi sudah sadar!”
Aku mengerjapkan mataku. Dengan pandangan yang masih agak kabur,
aku melihat Bang Fikry duduk di samping ranjang sambil menggenggam
tanganku. Tasbih terjuntai di tangan satunya lagi. Papa, Mama, adik-adikku,
ustadzah Salma, ustadzah Maryam, mengelilingi tempat tidurku. Aku tak
dapat bergerak karena tubuhku terasa sakit dengan selang-selang yang
seperti membelengguku.
“Evie, kau sudah tiga hari koma. Alhamdulillah sudah sadar,” bisik bang Fikry.
Sadar? Aku masih di dunia! Tidak, aku harus pergi! Tugasku di sini sudah
selesai! Aku tidak boleh berada di sini!
Kutatap Bang Fikry lekat-lekat. Ia tersenyum manis. Aku mencoba tersenyum
kepadanya dan kepada orang-orang di sekelilingku. Lalu dengan tenaga
yang ada, kuucapkan Laailaahaillallah berkali-kali. Bang Fikry seperti tahu
maksudku. Dengan penuh ketabahan, ia menuntunku melafalkan
kalimatullah. Yang lain hanya menatap kami sambil terisak. Tidak sampai
sepuluh menit, terdengar suara tersedak dari tenggorokanku.
Kupersembahkan senyumku yang terakhir kepada orang-orang yang setia
menungguiku. Tubuhku terasa ringan ketika dijemput Malaikat Izrail. Aku telah
siap menjalani kehidupan yang abadi di sisi Allah dan bertemu dengan
bidadari kecilku lagi. [Majalah Annida Edisi 10/XI]

0 comments:

Post a Comment

Komentar anda