Inilah Madinah, pekan-pekan
menjelang Perang Ahzab.
Pada
hari-hari itu, sebagaimana diceritakan oleh Jabir ibn ‘Abdillah Radhiyallahu
‘Anhu, jatah makan untuk setiap penggali Khandaq di kota Madinah adalah
sebutir kurma, seteguk air, dan tepung yang diadoni minyak panas. Seberapa
banyak tepung itu? “Jika tangan kami terbasuh air kemudian dimasukkan ke dalam
kantung persediaan tepung”, ujar Jabir, “Maka tepung yang menempel di telapak
yang basah itulah jatah makan sehari kami.”
Tentu saja,
sebab terbayangkan bahwa pengepungan pasukan Quraisy dan sekutunya akan
berlangsung lama.
Dan para
sahabat kian merasa malu ketika Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamyang
turut bekerja bersama mereka sejak di hari pertama mengangkat beliungnya untuk
menghantam batu terkeras yang mereka temukan di jalur penggalian parit
pertahanan. “Allahu Akbar”, beliau bertakbir, mengabarkan akan sampainya Islam
dan kaum muslimin ke Syam, Persia, dan Yaman. Selain iman yang semakin terukir
lagi berkibar, di benak para sahabat tersisa rasa getir yang menggeletar.
Ada dua batu
di sana. Terselempit di sela sabuk celana Rasulullah yang mengganjal perutnya.
Aduhai, bagaimana tak terbit airmata. Kekasih Allah yang paling mulia, lebih
lapar dibandingkan seluruh sahabatnya. Dia ada bersama, dalam suka dan duka.
Dia turut bekerja, tak ingin istimewa. “Seandainya kami duduk saja sementara
Sang Rasul bekerja”, demikian senandung orang-orang Anshar yang lalu
dinasyidkan semua, “Jadilah ia bagi kami hal yang membawa sesat selamanya.”
Tibalah hari
itu, ketika Jabir ibn ‘Abdillah pulang dengan air mata menggenangi pelupuk dan
dada sesak. “Wahai istriku”, panggilnya, “Demi Allah, apakah yang masih engkau
miliki? Demi Allah, aku tak tega melihat rasa lapar yang menyiksa Rasulullah.
Andai selain beliau, pasti sudah tak sanggup menahannya!”
“Hanya ada
seekor anak kambing”, jawab sang istri gugup, “Dan segenggam tepung kasar di
persediaan kita”.
“Keluarkanlah
semua. Aku akan menyembelih dan menguliti anak kambing itu. Kau adonilah
tepungnya menjadi roti.”
Ketika
akhirnya masakan itu siap, Jabir pun mendatangi Sang Nabi dengan
mengendap-endap. “Ya Rasulallah”, bisiknya kemudian, “Ada sekedar roti dan
sedikit daging di rumah kami. Berkenanlah untuk sejenak datang dan
menyantapnya.”
Beliau
tersenyum dan mengangguk. Dipanggillah seseorang dan diperintahkan untuk
mengumumkan kepada semua penggali parit, “Semuanya, datanglah ke rumah Jabir
untuk makan bersama!” Betapa gugupnya Jabir melihat itu. “Aduhai celaka”,
batinnya panik, “Aku hanya meminta beliau untuk bersantap tapi beliau mengajak
seluruh Muhajirin dan Anshar!” Tapi Rasulullah tersenyum padanya, menepuk
bahunya, dan menggamit lengannya. Tak bisa tidak Jabir hanya bergumam,
“Demikian inilah Rasulullah!”
“Jangan
kalian buka penutup wadahnya”, ujar Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Beliau juga meminta kedua suami istri yang saling berpandangan
dengan khawatir itu untuk sejenak menyingkir. Kemudian beliaupun berdoa dan
memohon berkah atas hidangan itu. “Masuklah rombongan berrombongan dan jangan
berdesakan”, perintah beliau kepada seluruh hadirin.
Kelompok
demi kelompok mereka masuk, sedangkan Nabi mengambilkan roti dan menuangkan
masakan daging ke atasnya. Beliau berkhidmah pada semua sahabatnya, satu demi
satu, hingga yang terakhir. Padahal penggali parit dalam Perang Ahzab,
kira-kira 3000 jumlahnya. Semuanya makan, semua merasa kenyang, dan puas. Tiba
giliran Jabir dan istrinya, dan Rasulullah masih melayani mereka, baru
sesudahnya beliau makan dengan penuh kesyukuran. Beliau mengucap terimakasih
pada keduanya dan mendoakan kebaikan, lalu beranjak.
“Demi
Allah”, ujar Jabir, “Ketika kuperiksa wadah makanan kami, roti maupun dagingnya
masih utuh seperti semula.”
Mu’jizat ini
mengagumkan. Tapi apa yang dilakukan Rasulullah dengan menjaga kebersamaan
dalam suka dan duka, terlebih lagi bagaimana beliau melayani para sahabat dengan
tangannya sendiri adalah lebih menakjubkan. Inilah Nabi, penghulu alam semesta.
Maka beliaupun menjadi pelayan yang paling rendah hati bagi sesama.
Hatta kelak
di akhirat, di perjalanan seluruh manusia antara kebangkitan dan penghimpunan,
beliau akan bersiaga di tepi sebuah telaga yang lebih harum dari kasturi.
Beliau menyambut ummatnya, melayani mereka minum dari airnya yang lembut dari
susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju. Tapi wajahnya mendung
tiap kali beberapa manusia dihalau dari Al Kautsar. “Ya Rabbi”, serunya sendu,
“Mereka bagian dariku! Mereka ummatku!”
Ada suara
menjawab, “Engkau tak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu!”
Telaga itu
sebentang Ailah di Syam hingga Shan’a di Yaman. Di sisinya ada gelas kemilau
sebanyak bilangan gemintang. Dan inilah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, sang pelayan yang paling menakjubkan.
termuat
dalam UMMI, Maret
sepenuh
cinta,
salim a.
fillah
0 comments:
Post a Comment