oleh Salim A. Fillah dalam Inspirasi, Sirah. 07/02/2014
Anshar
berarti penolong. Dan kaum Anshar adalah penolong yang paling menakjubkan.
Perang
Hunain baru saja berakhir. Duabelas ribu pasukan yang semula berbangga dengan
jumlahnya, berantakan tercerai berai ketika dikepung di celah sempit. Gemuruh berjatuhannya
batu, luncuran tombak, hujan anak panah, serta hingar-bingar teriakan perang
suku Hawazin dan Tsaqif menderu mengerikan, menyisakan tak lebih dari 40 orang
di sisi Rasulullah.
“Aku
Rasulullah! Aku putra ‘Abdul Muthalib!”, seru Sang Nabi.
Kalimat
pertama mungkin ditujukan pada mereka yang iman telah kokoh dalam hatinya.
Kalimat kedua barangkali teruntuk mereka yang masih diliputi perasaan
jahiliyah, yang mereka ingat adalah keagungan kakek Sang Nabi memimpin Makkah.
“Wahai
Paman”, kata Rasulullah kepada ‘Abbas, “Panggil mereka!”
Maka ‘Abbas
ibn ‘Abdil Muthalib, saksi Bai’atul ‘Aqabah itu, pertama-tama teringat para
ahli Madinah. “Wahai orang-orang yang berbai’at di ‘Aqabah! Wahai orang-orang
Anshar!” Maka merekapun menyambut, “Labbaik.. Labbaik.. Labbaik wa sa’daik..”
Maka Anshar-lah yang menjadi penentu kemenangan hari
itu. Saat akhirnya berlembah-lembah kambing dan unta menjadi rampasan perang
yang dikumpulkan di Ji’ranah. Pertimbangan manusiawi mengatakan, Anshar yang
paling berhak mendapatkan segala harta yang memenuhi wadi itu. Tapi Rasulullah
justru membagikannya kepada pemuka-pemuka Thulaqaa , para
muallaf Makkah yang paling depan dalam melarikan diri dari pertempuran dan
berkata, “Mereka takkan berhenti berlari sampai mencapai laut!“
Ada sesuatu
yang mengganjal setelah pembagian itu, sesuatu yang disampaikan oleh Sa’ad ibn
‘Ubadah dan membuat orang-orang Anshar dikumpulkan di sebuah ladang
penggembalaan. Rasulullah datang dan berbicara kepada mereka.
“Amma ba’du.
Wahai semua orang Anshar, ada kasak kusuk yang sempat kudengar dari kalian, dan
di dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal terhadapku. Bukankah dulu aku
datang, sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberi petunjuk kepada
kalian melalui diriku? Bukankah dulu kalian miskin lalu Allah membuat kalian
kaya melalui wasilahku? Bukankah dulu kalian bercerai berai lalu Allah
menyatukan hati kalian dengan perantaraanku?“
Mereka
menjawab, “Begitulah. Allah dan RasulNya lebih murah hati dan lebih banyak
karunianya.“
“Apakah kalian
tak mau menjawabku, mendebatku, membantahku, wahai orang-orang Anshar?“, tanya
beliau.
Dengan
terhenyak, mereka ganti bertanya, “Dengan apa kami menjawabmu Ya Rasulallah?
Milik Allah dan RasulNya lah semua anugrah dan karunia…“
Beliau
bersabda, “Demi Allah, kalau kalian menghendaki, dan kalian adalah benar lagi
dibenarkan, maka kalian bisa mengatakan padaku: Engkau datang kepada kami dalam
keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan lemah
lalu kami menolongmu. Engkau datang dalam keadaan terusir lagi papa lalu kami
memberikan tempat dan menampungmu..“
Air mata
sudah mulai melinang, pelupuk mereka terasa panas, dan isak mulai tersedan.
“Apakah di
dalam hati kalian masih membersit hasrat terhadap sampah dunia, yang dengan
sampah itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar mereka berislam,
sedang keimanan kalian tak mungkin lagi kuragukan?“
“Wahai semua
orang Anshar, apakah tidak berkenan di hati kalian jika orang-orang pulang
bersama kambing dan unta, sedang kalian kembali bersama Allah dan RasulNya ke
tempat tinggal kalian?“
Isak itu
semakin keras, janggut-janggut sudah basah oleh air mata…
“Demi Dzat
yang jiwa Muhammad dalam genggamanNya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku
termasuk orang-orang Anshar. Jika manusia menempuh suatu jalan di celah gunung,
dan orang-orang Anshar memilih celah gunung yang lain, tentulah aku pilih celah
yang dilalui orang-orang Anshar. Ya Allah, sayangilah orang-orang Anshar, anak
orang-orang Anshar, dan cucu orang-orang Anshar…“, Rasulullah menutup
penjelasannya dengan doa yang begitu menenteramkan.
Dan tentu,
akhir dari semua ini mempesona, semempesona semua pengorbanan orang-orang
Anshar selama ini, “Kami ridha kepada Allah dan RasulNya dalam pembagian ini..
Kami ridha Allah dan RasulNya menjadi bagian kami…“
{termuat
dalam UMMI Februari}
sepenuh
cinta,
salim a.
fillah
0 comments:
Post a Comment