Anshar berarti penolong. Dan kaum
Anshar adalah penolong yang paling menakjubkan.
Perang Hunain baru saja berakhir.
Duabelas ribu pasukan yang semula berbangga dengan jumlahnya, berantakan
tercerai berai ketika dikepung di celah sempit. Gemuruh berjatuhannya batu,
luncuran tombak, hujan anak panah, serta hingar-bingar teriakan perang suku
Hawazin dan Tsaqif menderu mengerikan, menyisakan tak lebih dari 40 orang di
sisi Rasulullah.
“Aku Rasulullah! Aku putra ‘Abdul
Muthalib!”, seru Sang Nabi.
Kalimat pertama mungkin ditujukan pada
mereka yang iman telah kokoh dalam hatinya. Kalimat kedua barangkali teruntuk
mereka yang masih diliputi perasaan jahiliyah, yang mereka ingat adalah
keagungan kakek Sang Nabi memimpin Makkah.
“Wahai Paman”, kata Rasulullah kepada
‘Abbas, “Panggil mereka!”
Maka ‘Abbas ibn ‘Abdil Muthalib, saksi
Bai’atul ‘Aqabah itu, pertama-tama teringat para ahli Madinah. “Wahai
orang-orang yang berbai’at di ‘Aqabah! Wahai orang-orang Anshar!” Maka
merekapun menyambut, “Labbaik.. Labbaik.. Labbaik wa sa’daik..”
Maka
Anshar-lah yang menjadi penentu kemenangan hari itu. Saat akhirnya
berlembah-lembah kambing dan unta menjadi rampasan perang yang dikumpulkan di
Ji’ranah. Pertimbangan manusiawi mengatakan, Anshar yang paling berhak
mendapatkan segala harta yang memenuhi wadi itu. Tapi Rasulullah justru
membagikannya kepada pemuka-pemuka Thulaqaa , para muallaf Makkah yang paling
depan dalam melarikan diri dari pertempuran dan berkata, “Mereka takkan
berhenti berlari sampai mencapai laut!“
Ada sesuatu yang mengganjal setelah
pembagian itu, sesuatu yang disampaikan oleh Sa’ad ibn ‘Ubadah dan membuat
orang-orang Anshar dikumpulkan di sebuah ladang penggembalaan. Rasulullah
datang dan berbicara kepada mereka.
“Amma ba’du. Wahai semua orang Anshar,
ada kasak kusuk yang sempat kudengar dari kalian, dan di dalam diri kalian ada
perasaan yang mengganjal terhadapku. Bukankah dulu aku datang, sementara kalian
dalam keadaan sesat lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian melalui diriku?
Bukankah dulu kalian miskin lalu Allah membuat kalian kaya melalui wasilahku?
Bukankah dulu kalian bercerai berai lalu Allah menyatukan hati kalian dengan
perantaraanku?“
Mereka menjawab, “Begitulah. Allah dan
RasulNya lebih murah hati dan lebih banyak karunianya.“
“Apakah kalian tak mau menjawabku,
mendebatku, membantahku, wahai orang-orang Anshar?“, tanya beliau.
Dengan terhenyak, mereka ganti
bertanya, “Dengan apa kami menjawabmu Ya Rasulallah? Milik Allah dan RasulNya
lah semua anugrah dan karunia…“
Beliau bersabda, “Demi Allah, kalau
kalian menghendaki, dan kalian adalah benar lagi dibenarkan, maka kalian bisa
mengatakan padaku: Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu
kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan lemah lalu kami menolongmu.
Engkau datang dalam keadaan terusir lagi papa lalu kami memberikan tempat dan
menampungmu..“
Air mata sudah mulai melinang, pelupuk
mereka terasa panas, dan isak mulai tersedan.
“Apakah di dalam hati kalian masih
membersit hasrat terhadap sampah dunia, yang dengan sampah itu aku hendak
mengambil hati segolongan orang agar mereka berislam, sedang keimanan kalian
tak mungkin lagi kuragukan?“
“Wahai semua orang Anshar, apakah tidak
berkenan di hati kalian jika orang-orang pulang bersama kambing dan unta,
sedang kalian kembali bersama Allah dan RasulNya ke tempat tinggal kalian?“
Isak itu semakin keras, janggut-janggut
sudah basah oleh air mata…
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad dalam
genggamanNya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku termasuk orang-orang Anshar.
Jika manusia menempuh suatu jalan di celah gunung, dan orang-orang Anshar
memilih celah gunung yang lain, tentulah aku pilih celah yang dilalui
orang-orang Anshar. Ya Allah, sayangilah orang-orang Anshar, anak orang-orang
Anshar, dan cucu orang-orang Anshar…“, Rasulullah menutup penjelasannya dengan
doa yang begitu menenteramkan.
Dan tentu, akhir dari semua ini
mempesona, semempesona semua pengorbanan orang-orang Anshar selama ini, “Kami
ridha kepada Allah dan RasulNya dalam pembagian ini.. Kami ridha Allah dan
RasulNya menjadi bagian kami…“
{termuat dalam UMMI Februari}
sepenuh cinta,
salim a. fillah
0 comments:
Post a Comment