Saturday, February 1, 2014

Lelaki Kaya yang Belajar Berpenampilan

Oleh Ahmad Zairofi AM

Lelaki kaya raya itu baru saja belajar satu hal. Bagaimana mengelola ekspresi. Namanya Auf bin Malik. Panggilannya Abu Ahwas. Orang yang sangat kaya. Tapi hari itu ia bertemu Rasulullah dalam pakaian yang lusuh dan kumal, dengan ekspresi yang tidak layak sebagai orang yang dikaruniai banyak nikmat dan kekayaan.

“Apakah kamu punya harta?” tanya Rasulullah.“Ya, punya,” jawab Auf. “Apa jenis kekayaan hartamu?” tanya Rasul lagi. “Apa saja kekayaan dari Allah yang diberikan, dari unta-unta dan domba-domba.” “Tunjukkan agar Allah melihat tanda-tanda nikmat-Nya dan karunia-Nya yang telah diberikan kepadamu,” pinta Rasulullah.

Lelaki kaya raya itu baru saja belajar tentang satu hal. Tentang bagaimana sopan santun menjadi orang kaya. Bahwa menjadi kaya dan penuh karunia punya tuntutan ekspresi syukurnya. Kumal, kusam, dan lusuh tidak menunaikan tugas syukur yang semestikan ditunjukkan lelaki kaya itu. Maka Rasul pun menegurnya. Allah Maha Melihat. Dan karunianya mustahil bisa kita balas. Bila pun semua manusia kufur, Dia, Allah, tetap Dzat
Yang Maha Kaya. Tapi segala penampilan hamba-hamba-Nya yang memberi pesan positif tentang Kuasa Allah Yang Maha Membagi Rezeki, akan menyebarkan makna positif. 

Begitu orang melihat orang lain menampakkan rasa syukurnya dalam bentuk penampilan yang mengesankan, tafsir pertama umumnya hadir dalam bentuk kesadaran, bahwa segala rezeki yang tampak tampil pada ekspresi orang itu, adalah karunia dari Allah. Bagi setiap ekspresi ada maknanya, juga fungsi dan landasannya. Kadang kita diajari cara bersyukur dengan apa yang kita dapat. Kadang juga kita diajari bagaimana bersyukur dengan apa yang kita lihat. Sebagaimana kita juga diajari bagaimana membantu orang lain mengenal Allah dengan cara menunjukkan tanda-tanda karunianya melalui penampilan kita.

Ini dialog singkat, tapi sangat penting dan mendalam. Ini dialog sesaat, tetapi berkenaan dengan substansi ajaran Islam yang sangat luas: segala hal yang berhubungan dengan bagaimana kita berekspresi. Semua itu terkait dengan bagaimanakah kita semestinya menampilkan kesan. Menjadi Muslim tidak semata bagaimana kita membina keshalihan batin. Tapi juga bagaimana kita mengerti cara menata keshalihan penampilan. 

Menjadi Muslim adalah juga soal bagaimana kita mengelola kesan. Sebab ekspresi kemusliman kita adalah setengah dari jati diri kemusliman itu sendiri. Rahasianya mengalir sampai jauh. Tak semata bagaimana penampilan itu sendiri dinilai sebagai sebuah penampilan semata, tapi bagaimana jejaring interaksi kehidupan saling kait mengait, bahkan sebagiannya menjadi kumpulan sebab-sebab yang menimbulkan akibat-akibat. Semuanya merambat melaui sinyal-sinyal yang tampak pada penampilan yang kita tampakkan. 

Kaidah penting dalam hidup kita adalah adanya perintah tolong menolong dalam kebajikan dan takwa. Juga larangan untuk tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Perintah itu tidak semata tolong menolong untuk memperjuangkan Islam. Untuk segala hal yang dengannya kita menopang hidup, menyambung harapan, pun kita harus tolong menolong dalam kebajikan. Lingkupnya bisa antara beberapa orang, antara beberapa keluarga, antara kelompok masyarakat, hingga dalam lingkup negara dan ummat Islam secara umum.

Tetapi semua bentuk tolong menolong itu memiliki pengantar yang sangat panjang. Pengantar-pengantar itu mula-mula diperankan oleh bagaimana di antara kita saling menangkap kesan tentang orang lain. Sebab, impresi atau kesan adalah modal dasar bagi orang lain untuk membangun prasangka. Dari prasangka itu kemudian orang saling membangun persepsi. Lalu persepsi itu akan sangat mempengaruhi sejauh mana kita akan saling bersikap. Dan dari sikap-sikap itu kita akan menemukan beragam cara bagaimana saling bekerjasama dalam hidup ini. 

Segala bentuk dan jenis kerjasama maupun tolong menolong, akan diawali dengan persepsi kita tentang orang lain. Seperti apakah pandangan kita tentang orang lain, seperti apa dugaan kita tentang orang lain, pada kali pertamanya akan kita dapatkan dari seperti apa penampilan, ekspresi, dan kesan yang tampak dari orang lain tersebut. Jadi, seperti apakah cara kita membuat kesan, seperti itu pula orang lain akan membangun persepsinya tentang kita. Suka atau tidak, kesan didapat dari penampilan, dari ekspresi, dan dari bagaimana kita bertindak tanduk. Ekspresi adalah modal persepsi. Karena itu perlu dipahami kiranya, betapa.

Islam sangat serius mengatur, mengajarkan, dan mendidik kita dalam soal berpenampilan. Maka falsafah penampilan ini, kepentingannya berpulang kepada kita sendiri. Adapun di mata Allah, penilaian tetaplah terkait dengan kualitas iman dan takwa kita. Bahwa Allah tidak melihat tampilan lahir, gambar, wajah, tetapi melihat kepada ketakwaan, melihat kepada kualitas hati kita. Tetapi ketika berurusan dengan sesama orang, Islam mengajarkan kepada kita pentingnya memperhatikan ekspresi dan penampilan. Sebab, takwa yang di dalam hati itu sendiri memerlukan bukti nyata dalam bentuk amal. Sedang amal itu sendiri banyak yang punya ikatan dan kaitan dengan orang lain. Karena itu Islam memberi perhatian serius dalam soal ini, karena dari penampilan itu akan ada kaitannya dengan banyak hal penting yang akan ditimbang secara serius oleh Islam.

Penampilan fisik meliputi bagaimana kita berpakaian, misalnya. Bagaimana kita merawat diri agar segar, terutama ketika berjumpa dengan sesama saudara seiman. Itu sebabnya mengapa pada hari jum’at, kitadisunnahkan untuk mandi besar, karena kaum Muslimin akan saling berjumpa ketika melaksanakan shoalat jum’at, akan saling duduk bersama mendengarkan khutbah. Jangan sampai saat itu mereka berpenampilan buruk, bau, sehingga sangat mengganggu sesama. Penampilan komunikasi, misalnya, meliputi bagaimana cara kita berbicara. Bagaimana kita memilih ucapan, mengambil momen yang tepat. Rasulullah menyebut seorang Muslim adalah orang yang orang lain selamat dari lidah dan tangannya. Imam Ibnu Hajar menjelaskan, penggunaan kata lidah untuk menegaskan bahwa kejahatan lidah dalam bentuk yang menyakitkan bisa berupa menjulurkan lidah dengan maksud menghina. Tidak selalu harus dalam pengertian kata-kata yang menyakitkan. Semua contoh-contoh itu dan masih banyak lagi yang lainnya, adalah gambaran
betapa Islam sangat serius mengajarkan bagaimana seharusnya kita berpenampilan.

Lebih dari itu, bahkan kita dapat melihat, betapa soal-soal penampilan itu, secara hukum maupun secara moralitas, oleh Islam langsung dikaitkan dengan pokok-pokok ajaran penting dalam Islam, seperti soal iman kepada Allah, soal iman kepada hari akhirat, dan juga soal sorga maupun neraka. Misalnya bagaimana tersenyum untuk sesama saudara seiman dinilai sedekah. Atau misalnya dalam soal bicara, Rasulullah menegaskan, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan kepada hari akhir, maka hendalkan ia berbicara yang baik, atau kalau tidak diam saja.”

Bicara yang baik, berkomunikasi yang sopan, berkata yang tidak menyakitkan, adalah sebentuk penampilan. Itu adalah sebagian dari ekspresi yang kita pakai dalam berinteraksi dengan orang lain. Interaksi itu sendiri adalah jalan menuju tolong menolong dalam kebajikan dan takwa. Karena itu dengan tegas, Rasulullah mengaitkan bicara yang baik dengan iman kepada Allah dan kepada hari akhir. Mengelola penampilan yang menyemangati lahirnya kerjasama, tolong menolong, merupakan bagian tak terpisahkan dari tolong menolong
itu sendiri. Begitu pula sebaliknya, betapa sering terjadi kekacauan interaksi di antara kita, lantara persepsi yang keliru. 

Maka, ketika Islam menyuruh kita berprasangka baik, ia juga menyuruh kita membantu orang lain berprasangka baik. Caranya, dengan mengerti cara mengelola ekspresi dan penampilan.

0 comments:

Post a Comment

Komentar anda