Tuesday, January 28, 2014

Pilihan Allah Swt Pasti Lebih Baik

DR. Aidh Abdullah Al Qarni

Seorang hamba, karena kedha’ifan dan kelemahannya, ia takkan tahu yang ghaib yang terlapis tirai. Ia juga takkan mengerti kecuali sesuatu yang bisa dilihatnya dan dirasakannya. Pengetahuan tentang yang tersembunyi, yang ghaib, yang tak terindera, hanyalah milik Allah Rabb semesta alam. Berapa banyak sebuah bencana yang kemudian menjadi anugerah kenikmatan. Banyak sekali se-suatu yang menyulitkan, tapi menjelma menjadi awal kemudahan. 

Ada kebaikan dalam suatu keadaan yang tidak disukai. Dahulu, orang tua kita Adam alaihissalam pernah memakan buah dari sebuah pohon dan ia menentang perintah Rabbnya. Karena pelanggaran itu, iapun diturukan dari surga ke muka bumi. Secara lahir, peristiwa ini menyebutkan bahwa Adam meninggalkan sesuatu yang sudah sangat baik dan benar. Adam dalam kisah itu eksplisit terjerumus dalam suatu keburukan. Tapi ternyata, akibat dari peristiwa itu justru kebaikan yang luar biasa, dan karunia yang sangat agung.

Allah swt kelak menerima taubatnya, lalu memberi petunjuk kepada Adam alaihissalam, dan memilihnya menjadi seorang Nabi yang kelak menjadi rahim lahirnya keturunan para Nabi, para Rasul, para ulama, para syuhada, para wali, para mujahidin, para ahli ibadah, para ahli berinfaq dan lainnya. Subhanallah, maha suci Allah … Antara Makan dan Minum, dengan Pilihan Allah Bandingkanlah antara firman Allah swt dalam Al Quran kepada Adam, “Tinggallah di surga, engkau bersama istrimu, dan makanlah makanan …..” dengan firman-Nya, “Kemudian Rabbnya memilihnya (Adam) lalu menerima taubatnya dan memberi petunjuk kepadanya….” Lingkup firman Allah swt yang pertama adalah persoalan tempat tinggal, makanan dan minuman. Ini merupakan lingkup kehidupan yang umum dialami semua orang yang hidup. Tapi lihatlah bagaimana ruang lingkup firman Allah swt berikutnya terkait ”pilihan” Allah swt atas Adam, pengangkatan menjadi Nabi, pengampunan dosa, dan pemberian hidayah. Ini merupakan karunia luar biasa, kedudukan terhormat dan sangat mulia. Kini, perhatikan lagi kondisi yang dialami Nabiyullah Daud alaihissalam. Ia melakukan kesalahan, lalu menyesal dan menangis. Padahal ia telah mendapatkan kenikmatan yang sangat besar. 

Tapi Nabiyullah Daud alaihissalam menjadi semakin mengenal Rabbnya setelah melakukan kesalahan dan menyesal, sebagai hamba yang rendah dan hina, luruh di hadapan Rabbnya. Itulah substansi ubudiyah (peribadatan). Termasuk rukun ubudiyah adalah totalitas kehinaan (tamaam adz dzill). Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang firman Allah swt, ”Menakjubkan sikap seorang Mukmin, tak ada yang ditetapkan oleh Allah swt atas dirinya kecuali baik untuknya.” (HR Ahmad). Apakah termasuk ketetapan maksiat atas seorang hamba?” Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab, ”Ya, dengan syarat kemaksiatan yang diikuti penyesalan, taubat, istigfar, dan bersimpuh di hadapan Allah swt.” Jadi, secara lahir, masalahnya adalah kemaksiatan yang buruk bagi seorang hamba. Tapi bisa jadi intinya adalah sesuatu kebaikan yang dikehendaki, bila diiringi syarat-syarat tadi.


Sumber: Tarbawi

0 comments:

Post a Comment

Komentar anda