Tuesday, January 28, 2014

Jika Kita Tetap Dibenci....

Oleh Sulthan Hadi

Tujuan paling mulia dari hidup ini adalah mendapat ridha Allah swt. Sebab itulah yang akan membawa kepuasan, ketenangan dan keselamatan pada diri kita. Namun bukan berarti kita harus mengabaikan keridhaan manusia. Bukan. Karena kita pun tidak bisa hidup dengan nyaman tanpa ridha manusia. Kita tidak dapat hidup tenang jika masyarakat kita selalu memusuhi kita, memandang kita dengan tatapan yang buruk, sinis, penuh kebencian, walaupun sebenarnya kita sendiri tidak akan pernah membuat mereka selalu ridha dengan kita. Jika memang kita mesti berhadapan dengan kenyataan untuk selalu dibenci, maka tetaplah berdiri pada posisi kita, dengan tetap memperhatikan hal-hal berikut. 

Lakukan Sebaik Mungkin Membuat orang lain suka dengan kita tidaklah mudah. Mengubahbenci menjadi cinta bukan pula perkara sepele. Sulit, dan penuh tantangan. Barangkali yang lebih mudah adalah, tetap konsisten pada keadaan kita, pada kebenaran yang kita yakini, pada kebaikan yang kita sampaikan. Jika kita memang membutuhkan sebuah kehormatan di mata manusia, untuk menghapus sebuah kebencian, maka kehormatan merupakan buah dari pohon bernama perilaku positif, konsistensi dan sikap profesional. Kehormatan tidak mungkin muncul dari tindakantindakan negatif. Bahkan, melakukan tindakan negatif sama artinya kita mempertaruhkan kehormatan kita. Dan orang yang kehilangan kehormatan tentu tidak akan mendapatkan tempat yang terhormat.

Maka janganlah kita mengorbankan kehormatan untuk menyenangkan orang lain. Mungkin saja mereka akan suka pada kita, tapi di dalam hati, mereka tetap merendahkan kita. Jadi, apa yang bisa kita lakukan adalah; tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai positif. Menjaga moral. Dan memastikan bahwa apa yang kita lakukan itu untuk meningkatkan nilai kebaikan diri kita. 

Berkontribusi kepada orang lain, memberi manfaat sebanyak mungkin. Dengan begitu, boleh saja orang tetap tidak menyukai kita. Tetapi, hati mereka menghormati. Hati mereka menyukai. Karena ada orang yang tidak mau secara terbuka mengakui penghormatan itu. Lidah mereka boleh mencela. Mata mereka boleh mencari-cari aib, kesalahan dan kelemahan. Mereka boleh memaki. Mereka boleh mengusir. Bahkan mereka boleh menyingkirkan kita dari komunitas, pekerjaan, atau jabatan, tetapi hati mereka memberikan pengakuan terhadap kemampuan dan kelebihan kita. 

Naluri mereka yang jujur tetap respek dan menaruh rasa hormat. Jikapun mereka tetap tidak menghormati kita, ingatlah; nilai hidup kita tidak ditentukan oleh orang seperti mereka, melainkan oleh kontribusi yang bisa kita berikan kepada diri sendiri, dan orangorang di sekitar kita. Karena itu, jangan berhenti melakukan yang terbaik. Yakinlah, bahwa dengan begitu kecintaan Allah semakin dekat. Karena Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai jika seorang di antara kalian berbuat sesuatu, dia melakukannya dengan baik.” 

Kendalikan Perasaan pada Reaksi Pertama Meski dibenci, kita harus tetap berlapang dada. Mendahulukan prasangka baik. Misalnya, dengan mengatakan, “Ya Allah, ternyata setiap orang memang lebih baik dariku.” Ini bukanlah sebuah sikap pesimisme. Melainkan agar kita selalu termotivasi untuk semakin memperbaiki diri agar kita bisa menutup celah yang dianggap aib dan kelemahan oleh orang lain. Respon dan prasangka kita yang baik, dari reaksi pertama, akan melahirkan banyak manfaat. Di antaranya, hubungan persahabatan dan persaudaraan yang tetap terjaga. Sebab berbaik sangka dalam interaksi kita dengan sesama Muslim akan menghindarkan kita dari keretakan. 

Sebaliknya, keharmonisan hubungan akan semakin terasa karena tidak ada halangan psikologis yang menghambatnya. Selain itu, persangka baik juga menghindarkan kita dari beban dosa. Sebab buruk sangka itu akan membuat seseorang menimpakan keburukan kepada orang lain tanpa bukti yang benar, seperti ditegaskan Allah pada ayat, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa.” (QS. Al Hujurat:12)

Berbaik sangka juga memberi kesan bahagia atas segala kemajuan yang dicapai orang lain, sehingga kita pun berusaha untuk mencapainya. Ini memiliki arti yang sangat penting, karena dengan demikian jiwa kita menjadi tenang dan terhindar dari iri hati yang bisa berkembang dan berlanjut pada dosa-dosa yang baru. Ini juga berarti, kebaikan dan kejujuran akan membawa kita pada kebaikan yang banyak. Sedang dosa serta keburukan akan membawa kita pada dosa-dosa berikutnya yang lebih besar lagi dengan dampak negatif yang semakin banyak.

Berburuk sangka akan melahirkan banyak kerugian, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Karena itu Rasulullah mengingatkan kita untuk selalu jujur dan menjauhi dusta dan prasangka buruk. Beliau bersabda, “Hendaklah kamu selalu bersikap jujur. Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa kepada surga. Selama seseorang jujur dan selalu memilih kejujuran dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Berhati-hatilah terhadap dusta, sesungguhnya dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa kepada neraka. Selama seseorang berdusta dan selalu memilihdusta dia akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari) 

Dan dusta yang paling nyata adalah prasangka buruk. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Jaujilah prasangka itu, sebab prasangka itu pembicaraan yang paling dusta.” (HR. Muttafaqun alaih)

Sesekali, Berilah Hadiah Menyemai cinta di hati manusia tidak hanya punya satu pintu. Begitu juga, menghilangkan dengki dan prasangka buruk dari orang lain tidak semata dilakukan dengan satu cara. Ada banyak pintu, dan ada sejumlah cara untuk memulainya. Tetapi ada satu cara yang bisa menyatukan keduanya, yaitu dengan saling memberi hadiah. Dalam sebuah hadits dari Atha bin
Abdillah Al Khurasani ra, Rasulullah
bersabda,

”Saling berjabat tanganlah kalian, niscaya akan hilang rasa dengki; dan saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian kalian akan saling mencintai dan akan lenyap rasa permusuhan.” (HR. Imam Malik)

Dalam dakwah dan juga aktifitas kehidupan yang lain, manusia tidak lepas dari interaksi dengan sesamanya. Dan dari setiap interaksi itu tentu kita mengharapkan lahirnya keakraban, kerja sama yang baik, dan hilangnya kecurigaan dan sekat-sekat yang sering membatasi hubungan kita, antara satu dengan yang lain.

Seorang da’i, misalnya, ia dituntut untuk memaksimakan interaksinya dengan orang lain agar dia berhasil menghilangkan prasangka buruk masyarakat terhadap dakwah yang diembannya. Dan memberi hadiah merupakan salah satu seni interaksi yang mampu melahirkan dampak dan pengaruh yang luar biasa terhadap orang-orang yang menjadi objek dakwahnya. Memberi hadiah, terkadang menjadi solusi yang sangat tepat bagi seorang da’i kehilangan sentuhan untuk melunakkan hati mad’u.

Dalam hal apa saja, memberi hadiah bisa menjadi solusi untuk merapatkan hubungan. Karena itu, Rasulullah saw sering menganjurkan kita melakukannya. Beliau saw sangat mendorong kita, kaum Muslimin agar saling memberi hadiah, bahkan meskipun hadiah itu terlihat sepele dan tampak kurang bernilai. Seperti anjuran beliau, “Berbagilah, meski hanya sebuah tungkai kambing.” 

Di zaman para sahabat, kita temukan betapa seorang sahabat Anshar pernah menawarkan separuh hartanya kepada Abdurrahman bin Auf ra yang hijrah ke Madinah bersama Nabi. Bahkan, sahabat itu siap menceraikan salah seorang istrinya untuk kelak dinikahkan kepada Abdurrahman bin Auf.

Sepertinya, sahabat Anshar itu menangkap suatu kesulitan dari sahabatnya yang terusir dari Makkah itu, setelah meninggalkan semua hartanya demi menunaikan perintah Rasul untuk berhijrah. Tanpa menunggu diminta, ia langsung menawarkan meski akhirnya tawaran yang tulus itu ditolak Abdurrahman ra. 

Kita perlu bejar dari sejarah ini, bahwa memberi hadiah itu penting. Terutama kepada orang-orang yang secara nyata menampakkan penolakan dan ketidaksukaannya kepada kita. Ini adalah solusi pertemanan dari Rasulullah, yang dijadikan kebiasaan di kalangan sahabat beliau. 

Jika Memang Baik, Beranilah Memuji 
Sirah kehidupan Rasulullah menyimpan banyak sekali teladan persahabatan dan jalinan kemanusiaan yang mengispirasi. Khususnya, bagaimana menyenangkan orang lain dan menghilangkan kebencian dan perasangka buruk. 

Selain memberi hadiah, Rasulullah saw juga mengajarkan kita untuk memuji orang lain, atas prestasi dan kebaikan yang dimilikinya. Karena pujian itu akan memberi dampak yang baik orang yang dipuji, menghilangkan kedengkian dan kecurigaannya. Tetapi kita harus melakukannya secara bertanggung jawab dan di tempat yang benar. Jangan sampai pula, pujian itu diberikan secara berlebihan.

Pujian seperti ini berpotensi merusak kepribadian dan dapat membunuh karakter seseorang. Karenanya, untuk menghindari efek negatif itu, Rasulullah saw telah memberikan contoh yang baik. Di antaranya, beliau melakukannya di belakang orang yang beliau puji. Misalnya, ketika seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya tentang Islam, Nabi menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka orang Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah si Badui pergi, Nabi saw memujinya di hadapan para sahabat, “Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya tadi.” Setelah itu beliau menambahi, “Barangsiapa yang ingin melihat penghunisurga, maka lihatlah orang (Badui) tadi.”(HR. Bukhari dan Muslim) 

Beliau juga sering melontarkan pujiannya dalan bentuk doa. Misalnya, ketika beliau melihat ketekunan Ibnu Abbas ra dalam mendalami tafsir Al Qur’an, beliau saw tidak serta merta memujinya. Beliau lebih memilih untuk mendoakan Ibnu Abbas ra, “Ya Allah, jadikanlah dia ahli dalam ilmu agama dan ajarilah dia tafsir (Al Qur’an).” (HR. Al Hakim) 

Begitu pula, di saat Nabi saw melihat ketekunan Abu Hurairah ra dalam mengumpulkan hadits dan menghapalnya, beliau lantas berdoa agar Abu Hurairah ra dikaruniai kemampuan untuk tidak lupa apa yang pernah dihapalnya. Doa ini kemudian dikabulkan Allah swt dan Abu Hurairah ra menjelma sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. 

Menjaga Hubungan Persaudaraan 
Ikatan ukhuwah adalah aspek vital yang harus selalu diperhatikan dalam setiap interaksi kita dengan orang lain. Karena itu, Islam berkali-kali mengingatkan kita untuk selalu menjaganya, baik melalui firman Allah swt di dalam Al Qur’an maupun melalui sabda Rasulullah saw di dalam Al Hadits. Segala hal yang mungkin memutuskannya, akan selalu dicegah.

Rasulullah saw dengan tegas memerintahkan umatnya untuk senantiasa menjaga hubungan persaudaraan. Abdullah bin Abi Aufa ra menceritakan, “Ketika sore hari pada hari Arafah, waktu kami duduk mengelilingi

Rasulullah saw, tiba-tiba beliau bersabda, “Jika di majelis ini ada orang yang memutuskan silaturahim, silahkan berdiri, jangan duduk bersama kami.” Saat itu, di antara yang hadir hanya ada satu yang berdiri, dan orang itupun duduk di bagian belakang. Kemudian lelaki itu pergi, dan tidak lama berselang ia datang dan duduk kembali. 

Lalu, Rasulullah saw pun bertanya kepadanya,“Karena di antara yang hadir hanya kamu yang berdiri, dan kemudian kamu datang dan duduk kembali, apa sesungguhnya yang terjadi?”

Lelaki itu menjawab, “Begitu mendengar engkau bersabda, aku segeramenemui bibiku yang telah memutuskan silaturahim denganku. Karena kedatanganku tersebut, ia berkata, “Untuk apa kamu datang, tidak seperti biasanya kamu datang kemari.” Lalu aku menyampaikan apa yang telah engkau sabdakan. Kemudian ia memintakan ampun untukku, dan aku meminta ampun untuknya (setelah kami berdamai).

” Rasulullah saw pun bersabda kepadanya, “Kamu telah melakukan perbuatan yang baik, duduklah, rahmat Allah tidak akan turun kepada suatu kaum jika di dalamnya ada orang yang memutuskan silaturahim.”

Saling marah, membenci atau menebar kebencian adalah perilaku yang bisa merusak hubungan persaudaraan. Maka ketika apinya mulai tampak, yang dinyalakan oleh kita atau orang lain, segeralah berusaha memapadamkannya sebelum membakar dan menghanguskan ikatan persaudaraan kita.

Ibnu Rajab Al Hambali berkata “Sesama muslim dilarang saling membenci dalam hal selain karena Allah, apalagi atas dasar hawa nafsu. Karena sesama Muslim itu telah dijadikan Allah bersaudara dan persaudaraan itu saling cinta bukan saling benci.

”Memang, persaudaraan tidak hanya rusak oleh kebencian. Tetapi kebencian juga tidak hanya merusak persaudaraan. Kebencian bisa melahirkan kerusakan yang lebih besar, bencana yang lebih luas, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat.

Syaikh Muhammad Hayat As Sindi menegaskan, “Janganlah kalian melakukan apa yang akan menyebabkan saling membenci karena itu akan menyebabkan bermacam-macam kerusakan di dunia dan bencana di akhirat.”

Karena itu tahanlah diri kita untuk tidak membenci, dan tetap berbuat baik ketika dibenci agar kebencian itu tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar pada diri kita, dan pada hubungan kita dengan sesama manusia.

0 comments:

Post a Comment

Komentar anda