Thursday, July 25, 2013

Semangatnya Kita, Lemahnya Mereka

Suatu benda yang jika dilempar ke atas tidak akan turun ke bawah melainkan telah melewati satu tahap diam di atas. Pasti ada tahapan diam, meski sejenak kemudian baru ia akan turun ke bawah. Bola yang di tendang ke atas takkan turun melainkan setelah berhenti sejenak di atas, kondisi berhenti itu adalah fase stagnasi, yang tidak begitu tertangkap oleh mata karena umumnya ia sangat sebentar. Tapi, kondisi itu terjadi.

Saudaraku
Tahukah kita bila sebenarnya ternyata iman kita juga mengalami hal yang sama. Bahwa iman takkan menurun secara tiba-tiba. Keimanan takkan menurun setelah ia menanjak naik dan berada di atas, kecuali melewati masa-masa amal terhenti untuk beberapa saat. Tidak akan terjadi, penurunan ibadah terjadi secara cepat dan tanpa ada termin stagnasi terlebih dahulu. Dalam hal ini, keimanan akan menurun setelah kita mengalami posisi junud, diam yang mungkin tidak begitu kita rasakan. Persis seperti kondisi bola tadi. Atau serupa dengan kondisi api yang takkan padam sebelum baranya benar-benar mati dan dingin. Fase matinya bara api ini adalah fase stagnan dan diamnya, hingga api itu benar-benar mati.
Kita pernah mengalami stagnasi keimanan itu sebelum kemudian kita mengalami penurunan kita pasti menjalani hidup dalam suasana keimanan yang hangat dulu. Di hari-hari saat kita secara berkala menghadiri majelis-majelis zikir. Disaat kita banyak berada dilingkungan yang kerap mendorong kita untuk memperkuat keimanan, memperbanyak mengingat Allah, meningkatkan  kesalehan dan semacamnya. Ketika kita, dalam rentang waktu tertentu itu, ada dan duduk bersama mengkaji dan memperdalam keimanan kita kepada Allah.
Tapi, mungkin peristiwa ini bagi sebagian orang kini sudah menjadi kenangan, menjadi kisah dan cerita dipojok ingatan. Ketika kita lebih banyak mengarungi lautan luas kehidupan, lebih banyak bersentuhan dengan aneka ragam kenikmatan dunia, lebih jauh lagi berjalan melewati berbagai ujian dan godaan, barangkali kita tidak lebih baik dari dahulu. Artinya kita saat ini, mungkin berada pada tahapan keimanan dan tingkat ibadah yang sangat rendah dari pada kondisi kita pada waktu itu.
Masalahnya tak hanya kondisi kita dahulu yang lebih baik tapi juga pada kenyataannya bila kita kaji dan mengerti, bahwa kondisi semangat juang dan ibadah kita dahulu itu termasuk dalam kondisi lemah bila dibandingkan para salafusaleh dahulu. Mereka yang sudah mendahului kita itu, terus menerus berhimpun karena Allah, bekerja karena Allah, menangis karena Allah dan berduka karena mereka ada dalam konsdisi lemah dan rendahnya tingkat ubudiyahnya kepada Allah.

Saudaraku
Sadarkah kita bahwa kita pernah mengalamai kondisi stagnasi keimanan, kondisi diam dalam ibadah, hingga kemudian kita mengalami penurunan iman dan ibadah?
Dahulu para sahabat dan orang-orang saleh mereka mengalami kondisi semangat, di saat kita sekarang mengaku mengalami kondisi semangat dan tinggi dalam ibadah. Anas ibn Malik ra. Mengatakan. ”sesungguhnya kalian akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan mata kalian hal itu lebih ringan daripada helaian rambut. Sementara kami dulu di masa Nabi menganggapnya termasuk perkara-perkara yang membinaskan” atau kita, seperti kutipan syair yang mengatakan “Bangunan kita sama seperti bangunan mereka. Tapi aku tak mendapatkan para penghuninya sama dengan penghuni bangunan mereka dahulu”

Saudaraku
Pembicaraan paling melenakan, indah, nikmat adalah pembicaraan mengenang masa lalu. Bicara tentang kebaikan-kebaikan masa lalu. Cerita tentang kesalehan waktu dahulu. Bertukar kisah soal semangat ibadah yang pernah kita alami di zaman yang sudah kita lewati tapi kita lupa memeriksa tahap demi tahapan penurunan yang kita alami. Bagaimana dan kapan kita mengalaminya stagnasi keimanan lalu jatuh dari ketinggian yang menurut salafusaleh itu masih sangat rendah.
Tangisilah masa stagnasi sebelum kita mengalami penurunan keimanan itu. Jika dikatakan bahwa saat-saat ibadah kita masih dalam kategori saat-saat futur (lemahnya ibadah) para salafusaleh, masa stagnasi keimanan kita pasti harus lebih kita tangisi lagi. bahkan lebih dari itu, ternyata masa stagnansi keimanan kita tidaknya sebentar melainkan memakan waktu yang lama. Mungkin berbilang hari, minggu, bulan bahkan tahun?

Saudaraku
Bukankah para salafusaleh telah berduka dan menangisi ketidasertaan mereka dalam salat berjamaah dimasjid? Bahkan bukankah orang-orang saleh terdahulu sangat sedih dan merasa bersalah karena terlambat datang ke masjid untuk salat berjamaah? Mereka juga sangat berduka disebabkan tidak lagi sering salat malam, merunduklah disini, berdukalah disini atas semua penurunan yang terjadi.


Saudaraku
Mari kita bicarakan lebih jauh tentang apa yang ada dibenak kita dibandingkan dengan apa yang ada dibenak para salafusaleh. Saat ini kita lebih banyak berbicara tentang banyaknya salat yang kita lakukan, sementara mereka lebih banyak berbicara bagaimana tingkat kekhusyukan dalam salat mereka. Saat ini kita lebih banyak berbicara tentang berapa banyak hafalan Al Quran yang kita miliki. Tentu saja ini sangat baik. Tapi mereka dahulu berbicara tentang sejauh mana pengamalan isi Al Quran yang sudah dilakukan. Jika kita sekarang berbicara tentang anjuran membantu saudara kita yang sedang memerlukan bantuan, sedangkan para salafusalih telah membantu saudaranya melebihi dari kebutuhan mereka sendiri terhadap bantuan yang diberikan dan lain sebagainya.

Saudaraku
Marilah, hembuskan nafas kita dan tarik kembali di dalam mihrab ini saat kita bertemu dengan Allah renungkan firman Allah “Bukankah telah datang saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk dan khusyuk hati mereka untuk mengingat Allah dan apa-apa yang diturunkan dari pada alhaq?
   



      

        

0 comments:

Post a Comment

Komentar anda