Suatu benda yang jika dilempar ke
atas tidak akan turun ke bawah melainkan telah melewati satu tahap diam di
atas. Pasti ada tahapan diam, meski sejenak kemudian baru ia akan turun ke
bawah. Bola yang di tendang ke atas takkan turun melainkan setelah berhenti
sejenak di atas, kondisi berhenti itu adalah fase stagnasi, yang tidak begitu
tertangkap oleh mata karena umumnya ia sangat sebentar. Tapi, kondisi itu
terjadi.
Saudaraku
Tahukah kita bila sebenarnya
ternyata iman kita juga mengalami hal yang sama. Bahwa iman takkan menurun
secara tiba-tiba. Keimanan takkan menurun setelah ia menanjak naik dan berada
di atas, kecuali melewati masa-masa amal terhenti untuk beberapa saat. Tidak
akan terjadi, penurunan ibadah terjadi secara cepat dan tanpa ada termin stagnasi
terlebih dahulu. Dalam hal ini, keimanan akan menurun setelah kita mengalami
posisi junud, diam yang mungkin tidak begitu kita rasakan. Persis
seperti kondisi bola tadi. Atau serupa dengan kondisi api yang takkan padam
sebelum baranya benar-benar mati dan dingin. Fase matinya bara api ini adalah
fase stagnan dan diamnya, hingga api itu benar-benar mati.
Kita pernah mengalami stagnasi
keimanan itu sebelum kemudian kita mengalami penurunan kita pasti menjalani
hidup dalam suasana keimanan yang hangat dulu. Di hari-hari saat kita secara
berkala menghadiri majelis-majelis zikir. Disaat kita banyak berada
dilingkungan yang kerap mendorong kita untuk memperkuat keimanan, memperbanyak
mengingat Allah, meningkatkan kesalehan
dan semacamnya. Ketika kita, dalam rentang waktu tertentu itu, ada dan duduk
bersama mengkaji dan memperdalam keimanan kita kepada Allah.
Tapi, mungkin peristiwa ini bagi
sebagian orang kini sudah menjadi kenangan, menjadi kisah dan cerita dipojok
ingatan. Ketika kita lebih banyak mengarungi lautan luas kehidupan, lebih
banyak bersentuhan dengan aneka ragam kenikmatan dunia, lebih jauh lagi
berjalan melewati berbagai ujian dan godaan, barangkali kita tidak lebih baik
dari dahulu. Artinya kita saat ini, mungkin berada pada tahapan keimanan dan
tingkat ibadah yang sangat rendah dari pada kondisi kita pada waktu itu.
Masalahnya tak hanya kondisi kita
dahulu yang lebih baik tapi juga pada kenyataannya bila kita kaji dan mengerti,
bahwa kondisi semangat juang dan ibadah kita dahulu itu termasuk dalam kondisi
lemah bila dibandingkan para salafusaleh dahulu. Mereka yang sudah mendahului
kita itu, terus menerus berhimpun karena Allah, bekerja karena Allah, menangis
karena Allah dan berduka karena mereka ada dalam konsdisi lemah dan rendahnya
tingkat ubudiyahnya kepada Allah.
Saudaraku
Sadarkah kita bahwa kita pernah
mengalamai kondisi stagnasi keimanan, kondisi diam dalam ibadah, hingga
kemudian kita mengalami penurunan iman dan ibadah?
Dahulu para sahabat dan orang-orang
saleh mereka mengalami kondisi semangat, di saat kita sekarang mengaku
mengalami kondisi semangat dan tinggi dalam ibadah. Anas ibn Malik ra.
Mengatakan. ”sesungguhnya kalian akan melakukan perbuatan-perbuatan yang
dalam pandangan mata kalian hal itu lebih ringan daripada helaian rambut.
Sementara kami dulu di masa Nabi menganggapnya termasuk perkara-perkara yang
membinaskan” atau kita, seperti kutipan syair yang mengatakan “Bangunan
kita sama seperti bangunan mereka. Tapi aku tak mendapatkan para penghuninya
sama dengan penghuni bangunan mereka dahulu”
Saudaraku
Pembicaraan paling melenakan,
indah, nikmat adalah pembicaraan mengenang masa lalu. Bicara tentang
kebaikan-kebaikan masa lalu. Cerita tentang kesalehan waktu dahulu. Bertukar
kisah soal semangat ibadah yang pernah kita alami di zaman yang sudah kita
lewati tapi kita lupa memeriksa tahap demi tahapan penurunan yang kita alami.
Bagaimana dan kapan kita mengalaminya stagnasi keimanan lalu jatuh dari
ketinggian yang menurut salafusaleh itu masih sangat rendah.
Tangisilah masa stagnasi sebelum
kita mengalami penurunan keimanan itu. Jika dikatakan bahwa saat-saat ibadah
kita masih dalam kategori saat-saat futur (lemahnya ibadah) para
salafusaleh, masa stagnasi keimanan kita pasti harus lebih kita tangisi lagi.
bahkan lebih dari itu, ternyata masa stagnansi keimanan kita tidaknya sebentar
melainkan memakan waktu yang lama. Mungkin berbilang hari, minggu, bulan bahkan
tahun?
Saudaraku
Bukankah para salafusaleh telah
berduka dan menangisi ketidasertaan mereka dalam salat berjamaah dimasjid?
Bahkan bukankah orang-orang saleh terdahulu sangat sedih dan merasa bersalah
karena terlambat datang ke masjid untuk salat berjamaah? Mereka juga sangat
berduka disebabkan tidak lagi sering salat malam, merunduklah disini,
berdukalah disini atas semua penurunan yang terjadi.
Saudaraku
Mari kita bicarakan lebih jauh
tentang apa yang ada dibenak kita dibandingkan dengan apa yang ada dibenak para
salafusaleh. Saat ini kita lebih banyak berbicara tentang banyaknya salat yang
kita lakukan, sementara mereka lebih banyak berbicara bagaimana tingkat
kekhusyukan dalam salat mereka. Saat ini kita lebih banyak berbicara tentang
berapa banyak hafalan Al Quran yang kita miliki. Tentu saja ini sangat baik.
Tapi mereka dahulu berbicara tentang sejauh mana pengamalan isi Al Quran yang
sudah dilakukan. Jika kita sekarang berbicara tentang anjuran membantu saudara
kita yang sedang memerlukan bantuan, sedangkan para salafusalih telah membantu
saudaranya melebihi dari kebutuhan mereka sendiri terhadap bantuan yang diberikan
dan lain sebagainya.
Saudaraku
Marilah, hembuskan nafas kita dan
tarik kembali di dalam mihrab ini saat kita bertemu dengan Allah renungkan
firman Allah “Bukankah telah datang saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk
tunduk dan khusyuk hati mereka untuk mengingat Allah dan apa-apa yang
diturunkan dari pada alhaq?
0 comments:
Post a Comment