Sering kesal karena anda adalah pejalan kaki dan penikmat angkot
harian, lalu menemukan angkot langganan anda ngetem lama hingga mengganggu jadwal yang
sudah anda usahakan ditepati? Atau anda pengguna kendaraan roda dua atau empat
yang hampir celaka lalu lintas karena angkot tetiba berhenti didepan mata,
parkir di dua lajur diantara tiga lajur jalan, atau mengambil-menurunkan
penumpang ditengah marka?
Anda tidak sendiri, saya rasa jutaan orang berpendapat yang sama.
Di republik ini —saya nggak tahu di tempat lain—,
kesewenang-wenangan memang merajalela. Tiada peduli kaya ataupun miskin. Bila
yang kaya seolah boleh sombong karena kekayaannya, maka yang miskin juga merasa
yang sama. Karena merasa dirinya ‘wong cilik‘ atau
‘orang susah’ jadi seolah-olah menjustifikasinya melakukan apa saja semaunya,
merasa punya hak untuk dzalim.
Karena susah, lantas merasa pantas untuk meminta-minta, boleh
untuk bertindak semaunya, layak untuk berbuat seenaknya. Ini betul-betul mental
yang buruk, tiada bedanya dengan orang kaya yang sombong karena hartanya.
Bila yang kaya memarkir kendaraannya sembarang tempat dengan
legitimasi ‘kekayaannya’, maka yang miskin pun tak mau kalah dengan memarkir
kendaraannya disembarang tempat karena legitimasi ‘kemiskinannya’. Tampaknya
kita sudah mulai kehilangan rasa malu.
Bila yang kaya membuang sampah sembarangan karena merasa sudah
‘membayar’, maka yang miskin pun tidak mau kalah dengan membuang sampah
sembarangan karena merasa ‘tidak mampu membayar’
Karena anda ‘wong cilik‘ atau ‘wong susah’, tidak lantas anda boleh
merasa arogan.
Tapi itulah yang terjadi pada ummat Muslim di negeri ini. Seolah
arogan menjadi boleh jika kita merasa tertindas, merasa kecil. Atau lebih
tepatnya, merasa boleh bermaksiat sebagai balasan atas terdzaliminya diri kita.
Membalas yang serupa, atau yang lebih daripadanya. Mungkin ini
mental buruk yang masih kita simpan, penanda hati yang mulai membusuk.
Seorang sopir angkot mungkin —mungkin— menganggap tindakannya
ugal-ugalan di jalan, parkir dan ngetem memakan seluruh badan jalan, adalah
tindakan yang benar. Sebagai balasan atas tertindasnya dirinya. Sama seperti
orang kaya yang memarkir sembarangan kendaraan mewahnya karena merasa itu
adalah balasan atas pajak yang dia bayarkan.
Perilakunya berdasar ide yang sama. Membalas.
Lucunya, perilaku ini bahkan hadir ditengah kelompok manusia
istimewa diantara yang teristimewa, ialah pengemban dakwah. Seringkali diantara
kita merasa boleh berkata kasar pada yang lainnya, mencela dan memaki tanpa
henti, mengolok-olok dan mencaci. Hanya karena kita merasa sudah didzalimi.
Membalas yang sepadan, kalau bisa lebih menyakitkan. Bukankah
itu idenya?
Padahal Allah telah ingatkan kita dalam Al-Qur’an dengan sebuah
nasihat yang berlaku hingga akhir zaman
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan
itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang diantaramu dan dia
ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat
yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan
yang besar. (TQS Fushilat [41]: 34-35)
Tidak akan selesai dengan kebaikan orang-orang yang membalas
kejahatan dengan sepadan atau dengan yang lebih menyakitkan. Jelas itu bukan
cara Islam.
Membalas perlakuan serupa hanya menempatkan diri kita dalam
tingkatan yang sama rendahnya, bukan amal yang luhur sebagaimana digariskan
Islam, dan dicontohkan Rasulullah saw. Membalas perlakuan lebih menyakitkan
tidak akan memberikan sebuah penyadaran, bahkan justru membuat mudharat yang
lebih besar lagi.
Walau kita disakiti dan didzalimi oleh saudara seiman, hak
saudara kita tetap lisan yang baik dan amal yang indah dari kita. Tiada
terkotori oleh rasa dendam dan rasa ingin membalas. Wangi perbuatan inilah yang
diajarkan oleh Nabi saw pada ummatnya.
تعرض الأعمال كل يوم اثنين وخميس، فيغفر الله عزَّ وجلَّ في ذلك اليوم لكل امرئ لا يشرك بالله شيئاً إلا امرأ كانت بينه وبين أخيه شحناء فيقول: انظروا هذين حتى يصطلحا
Amal perbuatan diperlihatkan (dihadapan Allah) setiap hari senin
dan kamis, kemudian pada hari itu Allah Azza wa Jalla mengampuni dosa setiap
orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kecuali orang yang
terdapat diantara dia dan saudaranya sebuah permusuhan, Allah berfirman:
“Tangguhkanlah dari kedua orang ini hingga keduanya berdamai” (HR Muslim)
Seseorang mencela Imam As Sya’bi, lalu As Sya’bi mejawab:
“Bilamana engkau berbohong, semoga Allah mengampunimu, namun bila engkau benar,
semoga Allah mengampuniku”
Tidak sulit “menolak kejahatan dengan cara yang lebih baik”.
Karena sesungguhnya syaitan bersemayam dalam tindakan kasar kepada sesama, dan
lisan buruk yang terucap dari lisan. Tanpa kita sadari amal kita dibakar habis
api hasud dan meninggalkan debu yang kelak disapu angin waktu. Atau lebih parah
lagi amal kita sudah disita ghibah dan kata-kata kasar, meninggalkan kita
dengan hutang dosa yang kelak dibayar dengan menindihkan diri atas dosa orang
lain. Tiada guna balas membalas dalam keburukan. Tiada manfaat balas membalas
bahkan dengan yang lebih buruk.
Jadilah pemaaf. Jadilah orang yang bertanggung jawab atas diri
kita. Bukan pelaknat dan karenanya kita dicatat sebagai yang terlaknat.
Patut dicatat, pada saat Perang Uhud, kaum Muslim banyak yang
gugur, bahkan wajah Rasulullah terluka tersayat pedang. Darah bercucuran dan
satu gigi beliau tanggal terkena tombak musuh. Pada saat itu, ada sebagian
sahabat yang berkata, “Ya Rasulullah, berdoalah untuk kebinasaan orang-orang
musyrik.”
Dengan suara lirih menahan rasa sakit, beliau menjawab, “Tidak,
aku bukan tukang laknat. Sesungguhnya aku diutus sebagai pembawa rahmat” (HR Muslim)
Biarlah orang lain bertindak dzalim, maka tugas kita menasihati
bukan melaknati, memberikan keterangan bukan membalas yang sepadan, menampilkan
kebaikan bukan justru menyakitkan.
Dan bila urusan ‘balas-membalas keburukan ini bisa selesai’.
Mudah-mudahan karena kita lantas orang-orang terinspirasi. Dari yang mulia
hatinya karena mengemban Islam orang bisa mengambil tauladan. Karenanya
tersebarlah Islam, dan mulialah agama.
Akal bisa diajar dengan dalil, namun hati hanya dengan akhlak
bisa diambil. Bersikaplah mulia, dan mudah-mudahan Allah ganjar dengan surga.
akhukum, @felixsiauw
0 comments:
Post a Comment