Menikahlah
bila sudah ba’ats. Bukan bila sudah usia sekian. Bukan bila sudah menempuh
jenjang ini dan itu. Bukan pula pasrah pada takdirNya. Allamah Haddad
mengingatkan kita melalui syairnya”
Sehat dan masa muda adalah kenikmatannya
hidup
Bila keduanya pergi tiada lagi hidup berguna
Bukan karena bosan hidup si tua menyatakan
kesalnya
Tapi karena kelemahannya penyebab kebosanan
Menikah
adalah keniscayaan. Mempersiapkannya seharusnya jauh-jauh hari. Bukan mendadak
sifatnya. Para orangtua dikalangan orang-orang saleh sangat bertanggungjawab
terhadap pernikahan putra-putrinya.
Kita pernah
membaca dalam sejarah. Saat Khunais ibn Hudzaifah syahid, Umar ibn Khattab
segera mencarikan suami baru untuk istri Khunais yang menjanda, Hafsah yang
tidak lain adalah putri Umar. Beliau pun menawarkan kepada Usman dan Abu Bakar.
Dalam Shahih Bukhari dikisahkan oleh
Abdullah ibn Umar:
Ketika
Hafsah menjanda, Umar bertemu dengan Utsman dan menawarkan Hafsah kepadanya.
Utsman meminta waktu beberapa hari untuk memikirkannya. Selang beberapa hari,
Utsman memberikan jawaban bahwa dirinya tidak akan menikah untuk saat ini.
Kemudian Umar bertemu dengan Abu Bakar dan menawarkan Hafsah kepadanya. Namun
Abu Bakar diam sehingga Umar merasa lebih tersinggung daripada penolakan
Utsman.
Selang
beberapa hari, Rasulullah saw menerima dan langsung menikahinya. Abu Bakar
kemudian menjelaskan. “Mungkin engkau tersinggung saat menawarkan Hafsah kepada
saya sedangkan saya tidak memberikan jawaban. Sungguh tidak ada yang
menghalangi saya untuk menerima tawaran itu. Hanya saja, saya telah mengetahui
bahwa Nabi Saw menyebut-nyebutnya dan saya tidak mau menyebarkan rahasia
Rasulullah Saw. Seandainya Nabi Saw tidak ingin mengambil Hafsah sebagai istri
beliau, niscaya saya akan menerimanya”.
Kisah ini
memberikan kita pelajaran bahwa bila kita hendak meminang seorang gadis yang
ternyata ada sahabat kita yang juga ingin meminang, akan lebih baik kalau kita
mendahulukan sahabat kita. Syaratnya, selama kita ketahui bahwa sahabat kita
itu lelaki yang shaleh. Namun bila kita mengetahui bahwa calon peminang adalah
lelaki yang fasik justru kita yang perlu bergegas meminang bila wanita yang
akan dipinang adalah wanita yang shalehah.
Para
orangtua dikalangan para salafus saleh sangat memperhatikan masa depan
putra-putri. Termasuk dalam urusan pernikahan mereka. Bila orangtua kita sangat
memperhatikan diri kita sampai sedemikian itu. Bersyukurlah. Akan tetapi, bila
orangtua seakan tidak mau tahu menganggap kita sudah bisa menentukan pilihan
dan mencari sendiri, jangan salahkan mereka. Kita mesti aktif dan progresif.
Kemapanan
finansial biasanya juga sangat mempengaruhi. Bila kita merasa sudah mapan
kondisi finansialnya. Bila kita dirasa sudah mapan kondisi finansialnya, mereka
akan mulai mempertanyakan kapan kita akan menikah? Sudah punya calon belum?
Tapi kalau kita masih menganggur, sukanya ngeluyur,
mereka mau bertanya pun rasanya enggan. Boro-boro
memikirkan pernikahan kita, memikirkan diri kita yang sering pergi tak
tentu tujuan saja, mereka sudah pusing.
Kita yang
merasa memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari mereka, jangan menyalahkan
sejarah. Mengapa Allah menakdirkan kita
seperti ini? Mengapa orangtua kita seperti ini? Mengapa orangtua kita tidak
memiliki sifat seperti Umar ataupun Said yang memperhatikan anak-anaknya.
Kitalah yang semestinya bertindak proaktif dan mempersiapkan diri.
Sahabatku....
Mantapkanlah
target. Engkau yang masih duduk di bangku SMA, teruslah mendalami ilmu diin ini. Persiapkan pula untuk menjadi
seorang suami atau istri. Menjadi seorang ayah atau ibu. Menjadi orangtua dan
tidak hanya menjadi seorang. Agar semakin usia menanjak, semakin matang dalam
memantapkan langkah sehingga ketika memutuskan menikah sudah bukan
ketergesa-gesaan namanya, melainkan menyegerakan.
Wallahu a’alam