Tuesday, March 26, 2013

Pesona Sang Nabi


“Kaiau saja aku adalah Muhammad,” kata Iqbal, “aku takkan turun kembali ke bumi setelah sampai
di Sidratul Muntaha.”
Iqbal barangkali mewakili perasaan kita semua: pesona keteduhan di haribaan Allah, di puncak
tangit ke tujuh, di SidratuI Muntaha, terlalu menggoda untuk ditinggalkan, apalagi untuk sebuah
kehidupan penuh darah dan air mata di muka bumi.
Dua kehidupan yang tidak dapat diperbandingkan. Sebab perjalanan ke SidratuI Muntaha itu
memang terjadi setelah sepuluh tahun masa kenabian yang penuh tekanan, disusul kematian orangorang
terdnta yang menjadi penyangga, Khadijah dan Abu Thalib. Perjalanan itu perlu untuk
menghibur Sang Nabi dengan panorama kebesaran Allah SWT.
Tapi SidratuI Muntaha bukan penghentian. Maka Sang Nabi turun ke bumi juga akhirnya.
Menembus kegelapan hati kemanusiaan dan menyalakannya kembali dengan api cinta. Cintalah
yang menggerakkan langkah kakinya turun ke bumi. Cinta juga yang mengilhami batinnya dengan
kearifan saat ia berdoa setelah anak-anak Thaif melemparinya dengan batu sampai kakinya
berdarah: “Ya Allah, beri petunjuk pada umatku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Seperti juga cinta menghaluskan jiwanya sebelas tahun kemudian, saat ia membebaskan penduduk
Makkah yang ia taklukkan setelah pertarungan berdarah-darah selama dua puluh tahun: “Pergilah
kalian semua, kalian sudah kumaafkan,” katanya ksatria.
Dengan kekuatan cintalah Sang Nabi menaklukkan jiwa-jiwa manusia dan meretas jalan cepat
kedalamnya. Maka wahyu mengalir bagai air membersihkan kerat-kerat hati yang kotor dan sakit,
kemudian menyatukannya kembali dalam jalinan persaudaraan abadi, lalu menggerakkannya untuk
menyalakan dunia dengan api cinta mereka.
Seketika kota Madinah menyala dengan cinta. Lalu Jazirah Arab. Lalu Persi. Lalu Romawi, Lalu
dunia. Dan Rumi pun bersenandung riang:
Jalan para nabi kita adalah jalan cinta
Kita adalah anak-anak cinta
Dan cinta adalah ibu kita
Jalan cinta selalu melahirkan perubahan besar dengan cara yang sangat sederhana. Karena ia
menjangkau pangkal hati secara langsung darimana segala perubahan dalam diri seseorang bermula.
Bahkan ketika ia menggunakan kekerasan, cinta selalu mengubah efeknya, dan seketika ia berujung
haru.
Begitulah sebuah pertanyaan sederhana mengantar Khalid menuju Islam. Sang Nabi bertanya
kepada saudara laki-laki Khalid yang sudah lebih dulu masuk Islam: “Ke mana Khalid?
Sesungguhnya aku menyaksikan ada akal besar dalam dirinya.” Khalid yang pernah membantai
pasukan panah Sang Nabi dalam perang Uhud seketika tergetar. Padahal saat itu ia sedang
merencanakan serangan kepada Sang Nabi menjelang perjanjian Hudaibiyah. la pun mencapai
kepasrahannya.
(Sumber: Majalah Tarwabi edisi 92 Th. 6/Ra]ab 1425 H/2 September 2004 M)

0 comments:

Post a Comment

Komentar anda