Monday, January 30, 2012

Usia Dakwah

Tak hanya sekarang. Sejatinya perjalanan dakwah akan selalu mengalami perbenturan. Memang ada kalanya juru dakwah berjalan seiring dengan objek dakwah. Tapi ketika bermesraan itu menjadikan seorang dai menghindari pertentangan, maka hal ini bisa dibilang sebagai anomali. Ketidakwajaran, karena haq dan bathil tak bisa bersatu. Sebagaimana minyak dan air selamanya tak bisa bersatu.
Oleh Eman Mulyatman
Ketika perang terorisme berlangsung. Dakwah kali ini dihadapkan apakah kembali ke bawah tanah, tegak berhadap-hadapan atau masuk melakukan perbaikan dari dalam. Setiap harakah dihadapkan pada pilihan-pilihan. Dari beberapa diskusi ada beberapa catatan yang patut menjadi bahan renungan.
Pertama,  usia biologis dan usia harakah. Apakah usia seorang qiyadah dakwah otomatis menjadi program bagi laju dakwah itu sendiri. Policy yang dikeluarkan pimpinan bisa dari pengalaman pribadi dan pengalaman gerakannya.
Untuk konkretnya perhatikan contoh berikut; apakah benar seorang anak perempuan yang masih balita diharuskan memakai jilbab (cadar). Apakah tidak mengganggu kenyamanan anak? Apalagi bila anak-anak itu diajak demo.
Mengapa seorang remaja dipaksa untuk bergaya syaikh. Harusnya ada program dakwah yang sesuai dengan usia remaja. Sehingga bisa menjadi penyaluran energinya yang berlebih itu.
Pada masa khairul qurun, sebaik-baik masa, kita mendapati ada sosok Bilal dan ada sosok Abu Bakar ra. Mengapa dalam dakwah kontemporer seseorang dipaksa menjadi laskar, kepanduan atau militeristik. Sementara tidak disiapkan generasi penerus Abu Bakar yang siap menyandang dana.
Mengapa semua menjadi politisi, mengapa semua program pengajian isinya adalah fiqh ibadah. Sehingga rasa-rasanya dengan fiqh semua persoalan akan beres. Di zaman modern ini dituntut spesialisasi. Dunia semakin kompleks, tidak mungkin seseorang hidup sendiri. Tidak mungkin semua persoalan diatasi sendiri.
Sebagai contoh, untuk belajar komputer saja sudah menyita usia seseorang. Apalagi bila harus berlatih olah tubuh. Belum lagi belajar pengobatan islami, ekonomi syariah. Apalagi siasat, politik yang penuh dengan perangkap. Era kekinian menuntut sistem kerja berupa jaringan. Semua memang perlu persiapan.
Semoga kader dakwah bisa melepas diri dari sikap robot yang membuatnya tidak kreatif. Mengapa ketika seseorang rekan kader dakwah berjualan buku, semua latah berjualan buku, ketika musim stiker semua berjualan stiker. Dan ketika musimnya berjualan habbatussauda, semua seakan membebek mengikuti hal yang sama.
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya.” (QS al-Anfal: 60)
Memang persoalan besar umat Islam ini adalah tidak di bawah satu payung kepemimpinan. Pasca runtuhnya Khilafah Islamiyah, umat Islam seperti anak ayam yang kehilangan induknya.
Meski ada sebagian yang berusaha menyelamatkan diri dengan membuat sekoci. Tapi segera disusul dengan sekoci lain. Sayangnya sekoci-sekoci itu menganggap diri sebagai kapal induk.
Hal yang perlu menjadi catatan penting adalah, bahwa setiap gerakan Islam yang mengarah ke politik akan langsung dibabat oleh musuh-musuh Islam. Atau dipecah belah dan diadu. Hal ini memang warisan penjajah kolonial.
Perhatikan bagaimana ketika Abu Bakar sidik membebaskan Bilal. Kalau kita tarik ke masa kini, pembebasan itu bisa berarti membebaskan seseorang dari pengangguran. Selain itu, pembebasan itu juga membayar jasa keamanan untuk seorang Bilal. Terbayanglah berapa dana yang harus dikeluarkan. Memang dengan politik dakwah lebih efektif tapi tidak semua orang berbakat untuk terjun ke politik.
Tulisan ini berangkat dari keprihatinan yang juga dimiliki oleh pembaca. Yang menuju cita-cita yang sama, izzul Islam wal Muslimin. Agar tidak terjadi seorang Hafidz al Qur’an tapi asosial, seorang belajar fiqih ibadah tapi tidak belajar akhlak. Seorang sibuk bertabligh tapi keluarga terbengkalai. Asyik berwacana tapi tak ada aksi. Bercita-cita besar tapi lupa tahapan.
Agar tidak seperti orang buta yang memegang gajah. Dia pegang belalai lalu menyimpulkan, gajah itu seperti ular. Ketika dipegang kupinyanya, gajah itu lebar  seperti  ikan pari. Bagaimana ketika memegang kaki atau ekornya? Tentu kesimpulan masing-masing akan berbeda.
Mudah-mudahan kita terhindar dari hal itu, kita senantiasa berupaya memahami dan mengamalkan Islam secara utuh.

0 comments:

Post a Comment

Komentar anda