Wednesday, September 11, 2013

Pasien yang Sabar

Pasien artinya orang yang sabar, bukan orang yang sakit. Namun karena banyak yang sakit dan sabar menunggu, maka orang yang sabar menunggu itu disebut pasien. Sabar menunggu dokter, sabar menunggu antrian mendaftar, sabar menunggu resep, sabar mengobati sakit sampai sembuh.
Hidup kita itu sebenarnya ibarat pasien, kita harus tahu terlebih dahulu apa gejala penyakit yang menimpa sebelum tergopoh-gopoh ke UGD atau konsultasi ke dokter dan meminta resep. Hanya saja, kenyataannya banyak pasien yang tidak sabar lagi untuk beristiqamah menempuh jalan yang benar. Akhirnya mereka mencari pengobatan mungkar dengan bantuan dukun yang sangar.
Sahabat, sabarlah untuk mengenali diri dijalan ini, jika kita mampu mengenali diri kita dengan sebenar-benarnya serta mengerti kedudukan yang diberikan Allah swt kepada kita, maka kita dapat menunaikan hak Allah yang menjadi kewajiban kita. Dengan demikian, sahabat akan sampai pada makrifatullah. Sebagaimana firman Allah swt.
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?” (Q.S: Adz-Dzaariyat: 21)
Untuk mengenal kedudukan kita dihadapan Allah, maka Dia menfasilitasi kita dengan dua hal, yakni Ayata Kauniyah berupa alam semesta ini beserta seluruh isinya dan Ayat Qauliyah sebagai pemandu jalannya.
Manusia tetaplah manusia, yang dikaruniakan akal, nafsu dan perasaan. Ia bukanlah malaikat. Makhluk yang taat namun pasif karena imannya tetap tidak berkurang dan bertambah. Ia juga bukan setan yang durhaka, selalu mencari pendukung untuk menemaninya dineraka nanti.
Manusia sebagai Ahsanul Takwim sebaik-baiknya makhluk ciptaan Allah bisa lebih mulia dari malaikat dengan keaktifannya memberdayakan potensi takwa. Namun, ia juga bisa menjadi lebih sesat ketimbang setan apabila jalan futur yang ditempuhnya. Tangga kedua kemanusiaan adalah menjadi Muslim yang khairul ummah. Inilah yang akan membedakannya dari manusia lainnya. Mengapa? Karena tak cukup dengan modal fisik, namun juga harus capak dalam berkata: Ahsanul Qaulan, yang paling baik ucapannya. Yakni dengan menjadi penyeru di jalan Allah.
Namun, ucapan tak akan berkesan dan berarti apa-apa bila tidak dibangun di atas pemahaman keikhlasan dan amal perbuatan. Maka khairun naas, yakni yang paling berkualitas amalnya, ahsanu amalan. Amal terbaik inilah yang paling baik, paling besar dan paling banyak manfaatnya sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw,
Khairun naas anfa’ uhum linnaas... khairukum man ta’allamal Quraana wa ‘allamahu... Khairukum man thaala ‘umruhu wa hasuna ‘amaluhu...       
Wahai sahabat, untuk menapaki tangga kemuliaan dan mencapai derajat kemanusiaan yang sempurna dibutuhkan adanya:
Pertama: Tazkiyatun Nafs untuk membangun sikap dan sifat mulia seperti dengan qiyammullail, tartil Al Quran, taubat, zikrullah dan membangun kesabaran. Mari kita tadaburi surat Al Muzammil sebagai instal spiritual para sahabat sebelum memikul beban berat dakwah yang mulia, kita mesti latihan dengan menegakkan kaki dan tubuh via qiyamullail. Latihan ini keniscayaan agar kita sanggup memikul beban Tarbiyah Ruhiyah harus diprioritaskan Tarbiyah Rupiah. Bila kita tak punya daya kelola terhadap potensi diri, seberapapun besar modal harta dalam dakwah tak akan berarti. Namun dengean bekal pengelolaan potensi rohani yang apik, harta sekecil apapun bisa mencetak amal-amal heroik.
Kedua Mujahadun Nafs untuk mengikis habis sifat-sifat tercela. Allah berfirman:
69. dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Menurut Sa’id Hawa dalam Jalan Ruhani, bahwa untuk mendapatkan dan meraih hidayah harus melalui perjuangan mujahadah. “Hidayah hanya akan diperoleh dengan Mujahadah”.
Ketiga Istiqamah, lawan rasa bosan. Penyakit orang yang ingin mencari dan meraih sesuatu adalah rasa bosan. Iya kan? Inilah yang harus kita waspadai. Sahabat, jangan menyerah melakukan kebaikan dan menjadi orang baik, sebab jebakan keterjerumusan pelaku kebaikan bisa muncul saat rasa bosan tidak mampu dikendalikan. Bukankah tali tidak pernah bosan memberikan bekas pada kayu atau batu yang menjadi tambatannya? Air yang lembut bisa menembus batu yang sangat keras karena tak pernah bosa meneteskan air setetes demi setetes setiap saat. Semut akan terus berulang berjuang dan berjuang, jatuh, bangkit lagi, merangkak, terplanting, bangkit lagi, merambat lagi, terus berulang-ulang tanpa sedikitpun rasa bosan sampai akhirnya sukses mencapai tujuan.
Terus bagaimana caranya? Inilah masalahnya dan banyak ditanyakan oleh banyak orang. Banyak yang tidak tau cara melawan rasa bosan sehingga melarikan diri pada keburukan dan terjerumus dalam dosa dan kemaksiatan, tak terkecuali dai dan para murabbi pun bisa terhempas dalam godaan setan.
Ada tiga cara Pertama melakukan variasi amal misalnya segarkan tarbiyah dengan charge ibadah, tilawah, rihlah, tausiah, telaah dan perbanyak amalan yang menggugah. Kedua tingkatkan kualitas amal memupuk pemahan dan pertajam keikhlasan sehingga hanya kepada Allah menumpuk harapan. Ketiga, perluas kuantitas dan manfaat amalan dengan mewariskan, mengajarkan, mengajak teman, sehingga makin kokoh dukungan pada kebaikan. “Sehebat apapun kita, takkan mampu memikul beban dakwah ini sendirian”.

Sumber: Buku Super Murabbi   




0 comments:

Post a Comment

Komentar anda