Pasien artinya orang yang sabar,
bukan orang yang sakit. Namun karena banyak yang sakit dan sabar menunggu, maka
orang yang sabar menunggu itu disebut pasien. Sabar menunggu dokter, sabar
menunggu antrian mendaftar, sabar menunggu resep, sabar mengobati sakit sampai
sembuh.
Hidup kita itu sebenarnya ibarat
pasien, kita harus tahu terlebih dahulu apa gejala penyakit yang menimpa
sebelum tergopoh-gopoh ke UGD atau konsultasi ke dokter dan meminta resep.
Hanya saja, kenyataannya banyak pasien yang tidak sabar lagi untuk beristiqamah
menempuh jalan yang benar. Akhirnya mereka mencari pengobatan mungkar dengan
bantuan dukun yang sangar.
Sahabat, sabarlah untuk mengenali
diri dijalan ini, jika kita mampu mengenali diri kita dengan sebenar-benarnya
serta mengerti kedudukan yang diberikan Allah swt kepada kita, maka kita dapat
menunaikan hak Allah yang menjadi kewajiban kita. Dengan demikian, sahabat akan
sampai pada makrifatullah. Sebagaimana firman Allah swt.
“Dan (juga) pada dirimu sendiri.
Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?” (Q.S: Adz-Dzaariyat: 21)
Untuk mengenal kedudukan kita
dihadapan Allah, maka Dia menfasilitasi kita dengan dua hal, yakni Ayata
Kauniyah berupa alam semesta ini beserta seluruh isinya dan Ayat
Qauliyah sebagai pemandu jalannya.
Manusia tetaplah manusia, yang
dikaruniakan akal, nafsu dan perasaan. Ia bukanlah malaikat. Makhluk yang taat
namun pasif karena imannya tetap tidak berkurang dan bertambah. Ia juga bukan
setan yang durhaka, selalu mencari pendukung untuk menemaninya dineraka nanti.
Manusia sebagai Ahsanul Takwim
sebaik-baiknya makhluk ciptaan Allah bisa lebih mulia dari malaikat dengan
keaktifannya memberdayakan potensi takwa. Namun, ia juga bisa menjadi lebih
sesat ketimbang setan apabila jalan futur yang ditempuhnya. Tangga kedua
kemanusiaan adalah menjadi Muslim yang khairul ummah. Inilah yang akan
membedakannya dari manusia lainnya. Mengapa? Karena tak cukup dengan modal
fisik, namun juga harus capak dalam berkata: Ahsanul Qaulan, yang paling
baik ucapannya. Yakni dengan menjadi penyeru di jalan Allah.
Namun, ucapan tak akan berkesan dan
berarti apa-apa bila tidak dibangun di atas pemahaman keikhlasan dan amal
perbuatan. Maka khairun naas, yakni yang paling berkualitas amalnya, ahsanu
amalan. Amal terbaik inilah yang paling baik, paling besar dan paling
banyak manfaatnya sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw,
Khairun naas anfa’ uhum linnaas...
khairukum man ta’allamal Quraana wa ‘allamahu... Khairukum man thaala ‘umruhu
wa hasuna ‘amaluhu...
Wahai sahabat, untuk menapaki
tangga kemuliaan dan mencapai derajat kemanusiaan yang sempurna dibutuhkan
adanya:
Pertama: Tazkiyatun Nafs
untuk membangun sikap dan sifat mulia seperti dengan qiyammullail, tartil Al
Quran, taubat, zikrullah dan membangun kesabaran. Mari kita tadaburi surat
Al Muzammil sebagai instal spiritual para sahabat sebelum memikul beban
berat dakwah yang mulia, kita mesti latihan dengan menegakkan kaki dan tubuh
via qiyamullail. Latihan ini keniscayaan agar kita sanggup memikul beban
Tarbiyah Ruhiyah harus diprioritaskan Tarbiyah Rupiah. Bila kita
tak punya daya kelola terhadap potensi diri, seberapapun besar modal harta
dalam dakwah tak akan berarti. Namun dengean bekal pengelolaan potensi rohani
yang apik, harta sekecil apapun bisa mencetak amal-amal heroik.
Kedua Mujahadun Nafs untuk
mengikis habis sifat-sifat tercela. Allah berfirman:
69. dan orang-orang yang berjihad
untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.
Menurut Sa’id Hawa dalam Jalan
Ruhani, bahwa untuk mendapatkan dan meraih hidayah harus melalui perjuangan
mujahadah. “Hidayah hanya akan diperoleh dengan Mujahadah”.
Ketiga Istiqamah, lawan rasa
bosan. Penyakit orang yang ingin mencari dan meraih sesuatu adalah rasa
bosan. Iya kan? Inilah yang harus kita waspadai. Sahabat, jangan menyerah
melakukan kebaikan dan menjadi orang baik, sebab jebakan keterjerumusan pelaku
kebaikan bisa muncul saat rasa bosan tidak mampu dikendalikan. Bukankah tali
tidak pernah bosan memberikan bekas pada kayu atau batu yang menjadi
tambatannya? Air yang lembut bisa menembus batu yang sangat keras karena tak
pernah bosa meneteskan air setetes demi setetes setiap saat. Semut akan terus
berulang berjuang dan berjuang, jatuh, bangkit lagi, merangkak, terplanting,
bangkit lagi, merambat lagi, terus berulang-ulang tanpa sedikitpun rasa bosan
sampai akhirnya sukses mencapai tujuan.
Terus bagaimana caranya? Inilah
masalahnya dan banyak ditanyakan oleh banyak orang. Banyak yang tidak tau cara
melawan rasa bosan sehingga melarikan diri pada keburukan dan terjerumus dalam
dosa dan kemaksiatan, tak terkecuali dai dan para murabbi pun bisa terhempas
dalam godaan setan.
Ada tiga cara Pertama
melakukan variasi amal misalnya segarkan tarbiyah dengan charge ibadah,
tilawah, rihlah, tausiah, telaah dan perbanyak amalan yang menggugah. Kedua tingkatkan
kualitas amal memupuk pemahan dan pertajam keikhlasan sehingga hanya kepada
Allah menumpuk harapan. Ketiga, perluas kuantitas dan manfaat amalan
dengan mewariskan, mengajarkan, mengajak teman, sehingga makin kokoh dukungan
pada kebaikan. “Sehebat apapun kita, takkan mampu memikul beban dakwah ini
sendirian”.
Sumber: Buku Super Murabbi
0 comments:
Post a Comment