JILID
4
“Assalamualaikum!”
salamku pada penghuni rumah.
“Walaikumsalam!”
serentak jawaban para orang-orang yang ada didalamnya.
Ustad
Fadlan menghampiriku lalu memelukku. Pelukan yang membuatku
merasakan
keindahan persaudaraan. “Khaifa khaluk, akhi?” tanya ustad Fadlan
“Alhamdulillah,
be khoir ustad!” jawabku
Setelah
itu ustad Fadlan mempersilahkan aku masuk kedalam rumahnya. Ternyata
semua
saudara-saudara seimanku pun telah datang lebih awal dariku. Irwan, Hamsah,
Feri,
Abidin, Rochim sudah menanti kedatanganku. Setelah aku menyalami mereka
semua.
Kajianku pun dimulai.
Ustad
Fadlan menerangkan tentang keimanan dengan sangat baik. Tutur katanya
lembut
dan mengena pada setiap relung jiwa. Tata bahasa diatur sedemikian rupa agar
tidak
menyinggung orang yang mendengarkannya. Sehingga, kita dapat mencerna apa
yang
dikatakan oleh ustad Fadlan. Keimanan adalah sebuah unsur untuk dapat
mengetahui,
apakah kita memang benar-benar meyakini keberadaan Allah, atau malah
kita
tidak meyakini keberadaan Allah.
“Keimanan
adalah keyakinan kita terhadap sesuatu, jika kita meyakini adanya
keberadaan
Allah. Maka hanya Allah lah yang seharusnya dihati kita. Tidaklah seorang
yang
menyatakan diri beriman kepada Allah sedangkan dia masih takut pada selain
Allah.
Jikalau kita takut pada selain Allah, maka kita beriman pada apa yang kita
takuti
tadi,
bukan beriman kepada Allah.” ucapan ustad Fadlan sangat menyentuh kalbuku.
Setelah
ustad Fadlan banyak memberikan taujihnya kepada para pencari
kebenaran.
Kami berenam ditanya satu-persatu tentang permasalahan yang ada pada
kami.
Disinilah ajang curhat para aktivis dakwah. Seorang aktivis dakwah tidak akan
langsung
meluapkan masalahnya secara sembarangan kepada setiap orang yang dikenal.
Tiada
keluh kesah yang diluapkan kepada manusia, melainkan membuka sebuah wacana
solusi
pada setiap individu yang sedang dilanda masalah. Jadi bukan berarti, seorang
aktivis
dakwah yang sedang curhat kepada murabbinya adalah orang yang bermental
lemah.
Atau bahkan minta dikasihani. Bukan, bukan seperti itu. Seorang aktivis dakwah
yang
sedang curhat kepada murabbinya adalah merupakan membuka peluang masalah
yang
sedang terjadi pada individu untuk diselesaikan bersama-sama. Sehingga jika ada
seorang
aktivis dakwah yang sedang dihadang masalah, selain dia meminta kepada Allah
untuk
menyelesaikan masalahnya. Juga membagi ladang pahala bagi saudaranya untuk
menyelesaikan
masalahnya.
Dengan
begini seorang aktivis dakwah dituntut untuk selalu tahu tentang
permasalahan
saudaranya. Sehingga diharapkan, rasa persaudaraan itulah yang
mendorong
satu dengan lainnya menciptakan ikatan tali ukhuwah yang sangat erat. Dan
seharusnya
tidaklah seorang saudara meminta bantuan atau bahkan belaskasihan kepada
saudara
lainnya, tetapi seharusnya aktivis dakwah mengetahui apa yang dibutuhkan
saudaranya
dan membantu sebelum saudaranya meminta bantuan atau bahkan yang
menghinakan
saudaranya, yaitu meminta belaskasihan.
“Ustad,
ana ada permasalahan!” ucap Hamsah.
“Iya,
antum ada persoalan apa?” jawab ustad Fadlan dengan lembut.
“Gini,
Ustad. Ana ada persoalan tentang ruhiyah ana! Ana rasakan, ruhiyah ana semakin
lama
semakin menurun. Ana kok merasa futur, Ustad. Ana masih bingung kenapa
iman
ana
melemah hari demi hari!” Hamsah sejenak berfikir, lalu melanjutkan keluh
kesahnya
“ana
menjadi begitu tidak bersamangat untuk berdakwah. Langkah-langkah ana begitu
berat
dan gamang dalam setiap dakwah ana! Ana butuh pencerahan kembali, Ustad!”
Hamsah
menyelesaikan dengan menghembuskan nafas panjang.
“Hem,
iya ana mengerti, Akh! Apa yang antum rasakan memang beberapa kali sering
menghinggapi
pada perasaan kita. Kadang kita merasa sangat bersemangat sekali,
sehingga
seakan-akan bahwa kekuatan semangat kita tidak akan terbendung! Tetapi
dalam
waktu tertentu, ghiroh (semangat) kita menjadi melemah, atau bahkan
luntur. Ini
menjadi
pelajaran yang baik bagi kita semua!” sejenak Ustad Fadlan tersenyum, lalu
melanjutkan
taujihnya “ikhwa fillah, saat ghiroh kita dalam semangat,
puncaknya adalah
saat
kita tidak dapat mencapai apa yang kita inginkan. Sehingga semangat kita
menjadi
kendur,
atau melemah. Dan lama kelamaan akan terkikis habis. Maka dari itu, kenapa
kita
sangat perlu adanya Liqo’(pertemuan/berkumpul). Dengan adanya Liqo’
semangat
kita
yang semula luntur, Insya Allah akan bangkit kembali. Atau kalau lah semangat
kita
luntur
tidak begitu drastis penurunannya. Ibaratnya adalah handphone yang perlu di
charge.
Maka kita juga perlu untuk di charge kembali. Untuk menumbuhkan keimanan
kita
kembali. Untuk mengisi melemahnya ruhiyah kita, saat menghadapi
permasalahanpermahasalan
yang
berat!” ucap Ustad Fadlan dengan sikap tegasnya. “Akhi Hamsah.
Coba
pikirkan kembali apa yang membuat ghiroh antum melemah?” tanya Ustad Fadlan.
Hamsah
terlihat sedikit mengerutkan dahinya, mencoba untuk memikirkan apa yang
membuat
semangat dia luntur. Tak lama setelah itu “Hem, Insya Allah ana sudah
menemukan
penyebab permasalahan ana ini ustad!” ucap Hamsah serius.
“apa
itu, yaa akhi?” tanya Ustad Fadlan
“akhir-akhir
ini banyak Al Akh, yang meminta tolong ke ana untuk mengerjakan sesuatu
yang
berhubungan dengan dakwah kita. Karena memang itu profesi ana, sehingga Al
Akh
banyak
datang ke ana. Ana mengerjakan lebih dulu permintaan Al Akh, ketimbang
pesanan
orang lain. Dana-dana yang lebih dulu masuk, ana arahkan semuanya ke pesanan
Al
Akh. Sehingga pesanan-pesanan banyak yang terbangkalai. Setelah ana
selesai
mengerjakan
pesanan Al Akh. Ana jadi tidak bisa mengerjakan pesanan yang lain. Dan
membuat
dana-dana dari usaha ana macet. Karena pembayaran dana dari Al Akh, masih
belum
dibayar. Usaha ana benar-benar collaps, dan saat ini pesanan-pesanan
yang lain
masih
tetap belum bisa ana kerjakan, karena berhubungan dengan dana tadi!” Hamsah
mengerutkan
dahinya, setelah itu dia melanjutkan perkataannya “dan kemudian ana, jadi
berfikir.
Bahwa berdakwah harus siap untuk rugi. Tetapi ana juga berfikir, bahwa jika ana
rugi
terus-menerus. Maka usaha ana nggak akan jalan! Mungkin, itu yang membuat ana
futur
ustad”
Ustad
Fadlan terlihat mengerti dengan apa yang dialami oleh Hamsah. Tak lama setelah
itu,
Ustad Fadlan berkata “iya, inilah Akh yang ana sering bilang kepada setiap Al
Akh.
Banyak
Al Akh yang salah kaprah tentang memahami arti dakwah. Mereka mengira
dengan
mangatas namakan dakwah, meraka dengan mudahnya meminta bantuan kepada
Al
Akh yang lain. Tetapi bantuan yang diberikan tidak di imbangi dengan
kontribusi yang
lain.
Kadang setelah Al Akh puas dengan hasil kerja kita, mereka hanya
mengucap,
Syukron,
Jazakallah atau perkataan yang lainnya. Padahal kontribusi dari dakwah itu ada
imbalbaliknya. Bukannya kita terus mengimbal tanpa ada baliknya.
Dan dakwah bukan
berarti
harus merugikan kita. Seharusnya imbalbalik dari dakwah itu adalah
menciptakan
suasana
yang Islami. Contohnya, dalam Islam diharuskan untuk membayar orang yang
telah
bekerja sebelum keringat orang yang bekerja itu mengering. Ini merupakan
perintah
langsung
dari Rasulullah. Sedangkan kalau hanya dibayar dengan ucapan syukron,
jazakallah.
Apakah kita dapat memberikan makan anak dan istri kita dengan perkataan
itu!
Memang itu juga salah satu penyebab seorang menjadi futur. Sehingga
semangat
untuk
berdakwah lama-kelamaan akan terkikis habis. Dan perekonomian umat Islam
tidak
akan berjaya, jika harus dibayar dengan perkataan! Karena Rasulullah pun
bersabda
yang
pada intinya, kemiskinan itu akan menyebabkan kekufuran.”
“Wah
saya kok jadi tersindir yach!” celetuk Irwan.
“Ggeerrrr........”
serempak semua tertawa.
“Kalau
kita sich akh, bukan bermaksud untuk tidak membayar. Tapi kita ngutang dulu!”
ucapku.
“Kalau
antum berdua sich ana udah tau, antum kan raja ngutang! Biasalah mahasiswa,
ngontrak
lagi!” jawab Hamsah. Yang akhirnya membuat kita tertawa lagi.
Ustad
Fadlan tersenyum, lalu setelah itu bertanya “Akhi Hamsah. Usaha antum rugi
berapa?
Dan butuh dana berapa?”
“Usaha
ana sekarang agak tersendat Ustad. Rugi sekitar 4 jutaan!” jawab Hamsah.
Ustad
Fadlan mengangguk tanda mengerti, lalu ustad Fadlan beranjak berdiri sambil
mengatakan
“Afwan, sebentar ana tinggal kebelakang!”
Serempak
kita menjawab “tafadhol, Ustad!”
Aku
dan Irwan tersenyum, tak lama Irwan berkata “wah Ustad, tau saja kalau kita
sedang
lapar!”
Serentak
kami pun tertawa lagi.
“Hehe….
Antum tau juga, apa yang ada dalam pikiran ana!” kataku.
“Dasar..
mahasiswa!” celetuk Feri.
Tak
lama Ustad Fadlan datang. Tak lupa membawa boncengannya.
“hehe…
Ustad tahu saja kalau kita lagi mengharapkannya!” ucap Rochim
Ustad
Fadlan tersenyum. Tak lama Ustad Fadlan berkata “Akh, Hamsah. Ini ana punya
simpanan
uang 4 juta. Antum silakan ambil. Kalau misalkan uang dari Al Akh yang
lain
sudah
dibayarkan. Baru silakan dikembalikan. Kalaulah memang belum dapat
dikembalikan,
antum pakai dulu tidak apa-apa.” Ustad Fadlan terlihat sangat tulus sekali
saat
memberikan uang itu.
Subhanallah
ucapku lirih dalam hati. Sungguh seharusnya, seperti inilah
seorang dai.
Seperti
apa yang dilakukan oleh Ustad Fadlan. Sebuah contoh yang sangat bagus. Tidak
hanya
berdakwah dengan kata-kata, tetapi diimplementasikan dengan perbuatan.
Manakala
seorang saudara muslim membutuhkan bantuan. Maka dengan cepat saudara
muslim
yang lainnya menolongnya. Inilah yang seharusnya dipegang umat Islam. Saat
saudaranya
sedang butuh pertolongan. Sebelum saudaranya meminta bantuan, maka
saudara
yang lainnya langsung menawarkan bantuan. Subhanallah.
“Nggak
usah, Ustad! Biar ana menunggu uang pembayaran dari Al Akh saja Ustad.”
Ucap
Hamsah.
Allahu
Akbar ucapku dalam hati. Sungguh memang seharusnya seperti inilah
muslim.
Dia
tidak mengharapkan bantuan saudaranya yang lain. Selama dia masih bisa
bertahan.
Dan
bahkan tidak membutuhkan rasa dikasihani oleh saudara yang lainnya. Inilah yang
seharusnya
menjadi sebuah contoh. Aku tak habis pikir. Peristiwa sahabat Rasulullah
terulang
kembali. Saat terjadi peperangan, beberapa sahabat Rasulullah sangat
membutuhkan
air. Tapi apa yang dilakukan oleh sahabat yang membutuhkan air itu. Dia
bahkan
mementingkan saudara yang lainnya. Sahabat Rasulullah ini memberikan air
yang
sangat dibutuhkan itu pada sahabatnya yang lain. Sungguh peristiwa yang sangat
luar
biasa. Tingkatan keimanan yang paling tinggi itsar (mementingkan
saudaranya
ketimbang
dirinya sendiri) telah dilakukan oleh saudaraku.
“Tidak,
Akh! Kelihatannya, antum lebih memerlukan uang itu dari pada ana. Ambil saja,
ana
masih belum begitu membutuhkannya” ucap Ustad Fadlan. “sudahlah Akh, terima
saja!
Kelihatannya antum lebih memerlukannya ketimbang ana. Biar nanti usaha antum
dapat
berjalan lebih optimal” Ustad Fadlan mencoba untuk mempertegas ucapannya.
“Hem,”
Hamsah sedikit berfikir. “kalau begitu syukron Ustad!” jawab Hamsah, sambil
menerima
uangnya.
“Afwan!”
jawab Ustad Fadlan sambil tersenyum lega.
Sebuah
hal yang dapat aku petik hikmahnya. Sebuah fenomena yang membedakan antara
umat
muslim dan umat yang lainnya. Sebuah karekter dasar yang seharusnya sudah
tertanam
dibenak umat Islam sejak lama. Sebuah tauladan yang telah dicontohkan oleh
Muhammad
Rasulullah Saw. Hingga akhirnya, umat Islam lah yang seharusnya berjaya.
“Wah,
antum sudah siap untuk usaha lagi nich.” Ucap Abidin.
“Siap
usaha, and siap menikah!” timpal Rochim
serempak
kami tertawa. Ustad Fadlan hanya tersenyum.
“Iya,
kok kalian hanya tertawa! Padahal Rasulullah mengajarkan kepada para pemuda
untuk
bersegerah menikah, bagi yang sudah mampu. Dan ana yakin kalian sudah mampu.
Jangan
jadi alasan karena nggak punya penghasilan atau pekerjaan yang tetap,
menjadikan
kalian menghambat pernikahan! Ingat loh pernikahan itu juga termasuk
membuka
pintu rezeki” taujih Ustad Fadlan.
Tak
pelak kami pun semua tersenyum, sambil melirik satu sama lainnya.
“Maka
dari itu, kalian harus bersegara. Banyak akhwat yang belum menikah loh, Akh!
Masa
kalian membiarkan akhwat-akhwat sendiri dalam perjuangannya.” Ucap lanjut
Ustad
Fadlan.
Kami
masih tetap tersenyum penuh arti. Entah itu senyuman pengharapan, ataukah
senyuman
karena malu. Aku tak tahu. Yang penting senyumku adalah senyum
pengharapan.
Senyum yang mengharap mendapatkan bidadari untuk menemaniku
berjuang
dalam dakwah ini. Aku jujur loh.
Entah
sudah berapa lama kami berkumpul. Berkumpul untuk saling mengingatkan
tentang
agama yang haq ini. Yang menjadikan kami terus mengingat tentang pentingnya
berdakwah.
Apalagi pentingnya jalan menuju surga Ilahi. Dan tak kalah pentingnya
mendapatkan
bidadari. Nah kan, bidadari lagi.
Tak
terasa mentari sudah akan menyiapkan tempat tidur yang enak. Serta kasur
yang
empuk, hingga akhirnya surya pun berangsur-angsur tenggalam dengan membawa
sinar
kehangatanannya. Dan menjadi saksi perjuanganku. Perjuangan yang tak akan
pernah
henti sampai kapanpun, hingga akhirnya akupun berada diatas sang surya. Tunggu
aku
wahai mentari.
***
“Krriiiiiiiinggg………….”
Jam wakerku berbunyi keras sekali. Keras, tetapi tidak
sekeras
cambuk malaikat dineraka nanti. Aku terbangun. Aku lihat Lorus, jam wakerku.
Menunjukkan
pukul tiga pagi. Saat-saat yang paling dinanti. Dinanti, oleh para malaikat
yang
memburu manusia-manusia, yang terbangun dari tidurnya. Dan menegakkan sholat
untuk
Rabbnya. Hingga malaikat-malaikat tersenyum, seraya mengatakan “Wahai
Tuhanku,
janganlah engkau menyiksa para manusia-manusia yang terbangun disepertiga
malam
ini. Saat mereka terbangun dan menyembahmu! Menyembah dengan berharap
kepadaMu.
Wahai Rabb, jadikan manusia-manusia ini sebagai mujahid-mujahidahmu.
Yang
kelak akan engkau masukkan kesurga, yang telah engkau janjikan nanti”
Aku
mencoba untuk bangkit dari tempat tidur. Menapak dengan kaki gontai yang
teramat
sangat. Karena rasa kantuk yang datang menggebu. Menggebu-gebu seraya
melarangku
untuk datang bersimpuh, meminta ampun dan pertolongan kepada sang
Maha
Pencipta alam. Allah Swt. Sungguh ini menjadikan rasa jihad yang sesungguhnya.
Jihad
melawan hawa nafsu, jihad melawan sifat burukku. Tapi, itu bukan jihad yang
sesungguhnya.
Karena jihad yang sesungguhnya, adalah melawan penguasa yang zalim
kepada
umat Islam. Langkah kakiku terasa berat, tetapi tetap aku berusaha melangkah.
Melangkah
dalam setiap langkah yang berpahala. Air kran aku nyalakan, sungguh
segar
nikmat
dingin air sepertiga malam. Hingga aku kedinginan. Aku basuh semua yang
seharusnya
dibasuh, aku bersihkan semua yang seharusnya dibersihkan. Dari tubuhku ini.
Hingga
aku menjadi suci. Suci dalam pandangan Ilahi. Wudhu sudah selesai aku lakukan.
Kini
aku kembali berjalan. Berjalan menuju kamar kusam, yang terawat rapi.
Kubentangkan
sajadah berlambang Ka’bah. Yaa Rabb, aku menghadapmu.
Sayup-sayup
terdengar tartil Al Qur’an mengumandang pada masjid dekat
kontrakan.
Sudah biasa. Sholat tahajjud, sudah aku selasaikan. Tinggal kini menanti
datangnya
shubuh.
Terdengar
suara keras dari kamar Deni “BRUAAAK….”
Serentak
semua penghuni kontrakan keluar kamar semua.
“Ada
apa, Akh?” tanyaku pada saat melihat Yanto yang sudah berada didepan kamar
Deni.
“Ana
juga tidak tau, Akh!” jawab Yanto bingung
Kini
penghuni kontrakan sudah berada didepan kamar Deni. Yanto, Heri, Samsul juga
termasuk
aku.
“Akhi,
Deni! Antum kenapa?” panggilku sambil mengetuk pintu kamar Deni.
Tetapi
tetap tidak ada jawaban sama sekali. Kami semua menjadi panik. Tak biasanya
seorang
Al Akh yang kami panggil, tidak menyahut panggilan kami. Deni tetap tidak
bersuara.
“Udah
kita, kita dobrak saja!” usul Samsul, panik.
“Iya
kita dobrak saja!” serentak Yanto dan Heri menyetujui usul Samsul.
Saat
pintu akan didobrak. “sebentar-sebentar akh, jangan dobrak dulu! Kita lihat
dulu
apakah
kamar ini dikunci apa nggak” ucapku, dengan langsung memegang gagang pintu.
“Nah,
kan nggak dikunci! Ngapain harus mendobrak segala, habis-habisin energi” ucap
Samsul
enteng
“Yee…
yang usul dobrakkan antum, Akh!” jawab Heri kesal.
“Udah-udah,
kita langsung aja lihat kondisi Akhi Deni sekarang!” ajakku sambil
tersenyum.
Tersenyum karena sifat kedua saudara seimanku ini.
Saat
kami membuka pintu kamar Deni. Terlihat tubuh Deni terkapar dilantai dengan
barang-barang
yang berserakan. Kami semua sangat cemas dengan keadaan Deni.
Dengan
cepat aku langsung memeluk tubuh Deni.
“Akh,
bangun! Antum kenapa? Akhi, sadar akh!” teriakku. Aku benar-benar sangat
panik.
Mengingat bahwa aku adalah yang paling tua dikontrakan.
“Akhi,
bangun akh! Sadar Akh” Yanto dengan agak berteriak.
Sedikit
demi sedikit Deni membuka matanya. Dengan mengucek matanya dan terlihat
sedikit
bingung.
“Ada
apa, akh? Kok tumben rame-rame! Tidur ana jadi terganggu.” Ucap Deni dengan
bingung
“Loh
antum nggak kenapa-napa, Akh?” tanya Yanto.
“Emang,
ana kenapa?” tanya Deni bingung
“Hem,
antum nggak ngerasa bikin kita panik yach!” sahut Heri.
“Iya,
akh! Tadi di kamar antum terdengar bunyi keras sekali. Seperti ada benda jatuh
dikamar
antum!” ucap Samsul.
“Iya!
Makanya kami langsung kesini” timpal Yanto
“Bener!
Saat kita tiba, antum sudah tergeletak dilantai. Dan barang-barang antum
berserakan
semuanya” sahut Heri lagi.
“Ana
nggak apa-apa kok. Mungkin, ana terjatuh dari kasur!” jawab Deni sambil
menggaruk-garuk
kepalanya.
“Yee….
Antum itu kebiasaan. Kalau tidur nggak bisa dibangunin. Ya, gini akhirnya!
Sampai-sampai
jatuh nggak ngerasa jatuh, saking lelapnya!” ucap Yanto
“Kali
aja, emang nggak pernah baca doa sebelum tidur!” timpal Samsul.
“Iya,
bener! Pasti, tadi nggak sholat tahajjud” sahut Heri
Deni
masih terlihat bingung sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dan terlihat hanya
nyengir
karena malu.
“Udah-udah!
Sekarang sholat shubuh. Tuh sudah adzan” selaku.
Kami
pun beranjak pergi kekamar masing-masing, untuk mengambil sajadah. Setelah itu
kami
berangkat pergi ke masjid bersamaan.
***
Selesai
pulang dari masjid. Aku langsung mengambil al ma’tsurat. Dzikir pagi dan
petang.
Teman-teman kontrakanku, sudah kembali menjalankan aktifitas yang tertunda.
Menjalankan,
apa yang sudah menjadi rutinitas mereka. Meneruskan mimpi-mimpi
indahnya.
Bertemu dengan bidadari surga. Nahkan, bidadari lagi.
Sudah
jadi kebiasaan dikeluargaku. Kalau sudah bangun pagi, sholat shubuh.
Dilarang
untuk kembali tidur. Bapakku, bisa ngomel-ngomel seharian. Kalau tahu
anaknya
tidur setelah sholat shubuh. Katanya nanti nggak disiplin lah, orang yang tidur
itu
nggak dapat rezekilah atau pintu rezeki ditutup oleh Allah. Aku dulu, jengkel
juga
sama
Bapak. Masa, orang masih ngantuk-ngantuknya tidak boleh melanjutkan tidur.
Malah
disuruh untuk mandi. Kan, dingin.
Tapi
setelah itu aku benar-benar tahu kenapa Bapak menyuruh keluarga kami
untuk
tidak kembali tidur selesai sholat shubuh. Hikmah yang paling mendasar baru aku
ketahui
saat ini. Saat aku sudah terbuai dengan kenikmatan dakwah ini. Kenikmatan yang
akan
memberikan aku pencerahan kembali. Pencerahan atas nama Rabb penguasa alam.
Atas
nama Al Haq dari segalanya. Dari apa yang ada di alam semesta ini. Sang Ilahi.
Pukul
05.30, sudah kebiasanku juga. Setiap pagi harus selalu diselingi dengan
olah
raga. Minimal pemanasan otot dan lari pagi. Atau kalau lagi malas, biasanya aku
bermain
sepak bola, di komputerku. Bisa untuk melemaskan otot-otot tangan dan
jemarikan!.
Setelah itu, baru mandi.
“Tlluuutt….tlluuuut”
telfon berdering tepat pukul 06.00. Saat itu aku sedang asyikasyiknya
bermain
sepak bola, liga Italy di komputerku. Karena asyik banget, akhirnya
aku
biarkan saja. Itung-itung bikin teman-teman bangun, dan mengangkat telphonenya.
Benar
juga, akhirnya Deni yang mengangkat telphonnya.
“Akh,
Khalid. Ada yang telephone!” panggil Deni.
“Tumben,
ada yang menelephonku pagi-pagi. Biasanya, pagi-pagi seperti ini Samsul
yang
dapat telephone. Kadang, para Akhwat yang nelphone Samsul. Ngingetin kalau
siangnya
ada Syuro’. Biasalah ketua LDK. Yang pelupa, dan susah diingetin. Gimana
mau
ngingetin, ponsel aja kadang masih pinjem teman-teman. Hem, sama kayak aku
dulu.”
Aku pause FIFA ku. Lalu melangkah untuk menerima telephone.
“Wah,
akhi Khalid! Pagi-pagi sudah ditelphone akhwat. Suaranya merdu loh akh.
Ingatlah
akh. Awas, berkhalwat.” Ucap Deni bercanda.
“Hem,
kok mikirnya su’udhon terus! Nich ikhwan, lupa sama akhlaq yach?”
jawabku
sekenanya,
sambil mengambil gagang telphone.
“Afwan,
bercanda akh!” jawab Deni.
“Assalamualaikum!”
salamku pada seorang yang menelphoneku.
“iya,
ini Khalid yach?” jawab si penelphone.
Nih
akhwat, di doa’in kok nggak bales doa sich.
gumamku kesal, dalam hati. “iya benar,
ini
Khalid! Mbak siapa yach?” jawabku.
“Khalid,
ini aku! Nova” jawab si penelphone
Aku
terpaku, termangu. Nova, gadis cantik yang aku lihat. Gadis, yang membuatku
melupakan
kenikmatan untuk menyembah Al Haq. Melupakanku dalam memohon
ampunan
dosa-dosaku. Gadis, yang membuat dosa baru buatku. Gadis, yang melenakan
aku
dengan Ilahi.
“Hallo,
Khalid! Kamu kok diam? Kamu kenapa?” ucap Nova kebingungan.
“Nova?
Yang temannya Hendra itu yach?” tanyaku.
“Iya!
Apa kamu lupa?” jawabnya singkat
“Oh,
iya aku ingat! Kamu dapat nomor telponku dari mana?” tanyaku heran
“Dari,
Hendra! Kenapa?”
“Oh
nggak apa-apa! Cuman, nanya aja kok. Ada, keperluan apa Nov” ucapku
“Gini,
Khalid. Aku pengen tanya-tanya kekamu, tentang Islam! Aku pengen balajar
banyak
tentang Islam” Jawabnya
Hem.
Ada apa nich, kok nich cewek langsung pengen tanya-tanya tentang Islam.
gumamku
dalam hati. Aku langsung teringat. Teringat dengan Nova. Teringat dengan
wajahnya.
Teringat dengan akhwat, yang sama persis dengan wajahnya Nova. Teringat
dengan
rencanaku memadu-memadukan wajah akhwat itu dengan Nova. Teringat aku
akan
meminta tolong sama Deni, untuk mendesain wajah akhwat itu dengan wajahnya
Nova.
Tetapi aku harus tetap khusnodhon terhadap Nova. Aku takut, jangan-jangan jika
aku
berfikir yang tidak baik maka Allah akan mengabulkan apa yang aku pikir. Karena
Allah
kan menurut apa yang diprasangka hambanya. Jadi, aku harus berprasangka baik.
Biar
Allah mengambulkan kebaikan itu pula.
“Wah,
aku jadi tersandung ee tersanjung! Seorang ketua UK3 mau belajar agama Islam”
jawabku
sekenanya.
“Yee…
orang mau belajar kok diolok-olok!” ujar Nova, terdengar sinis.
“Nggak!
Bukan aku bermaksud mengolok-olok, cuman aneh aja” jawabku
“Nggak
anehlah! Seorang yang ingin mengetahui agama orang lain, itukan wajar!”
jawabnya
Kini
saatnya aku harus mendakwai orang non muslim. Kini saatnya, aku membuktikan
kebenaran
ajaran Islam. Meskipun benak-benak qolbu berontak, bertanya-tanya tentang
kebenaran
ketulusan Nova dalam belajar agama Islam. Tapi kalaulah seandainya dia
memang
ingin berdebat denganku. Insya Allah, aku sudah bersiapsiaga.
“Hem,
Ok deh! Kapan bisa mulai?” tanyaku
“Kamu,
punya waktu kapan?” Nova balik bertanya.
“Insya
Allah, nanti siang aku ada waktu!” jawabku enteng.
“Kalau
jam 8 pagi, gimana?” tawarnya.
“Waduh,
sorry! Aku ada bimbingan kalau jam segitu” jawabku.
“Baik,
nanti jam 1 siang aku tunggu” jawabnya
“Tempatnya,
dimana?” tanyaku
“Enaknya
dimana yach? Kalau di kantin gimana?”
“Wah,
kalau dikantin nggak kondusif. Lebih baik ditempat yang tenang aja”
“Hem
kalau gitu, selesai kuliah aku tunggu kamu di Fakultas ekonomi kelas A”
“Ok,
aku akan kesana!”
“Kalau
gitu, sampai nantinya yach!”
Saat
Nova akan menutup telefonnya.
“Eh,
tunggu-tunggu Nov. Jangan ditutup dulu telpnya!” sergahku
“Ada
apa, Lid?” Nova terdengar agak heran.
“Enggak,
gini loh. Kalau bisa, nanti kamu membawa teman yach! Biar kita nggak
berdua-duaan”
pintaku.
“Loh,
apa kamu nggak pengen berdua-duaan denganku, Lid? Kan, enak dua-duaan!”
jawab
Nova sambil tertawa.
“Maaf,
Nov. Kalau gitu aku nggak jadi aja deh! Aku nggak pengen melanggar apa yang
telah
diatur oleh agamaku” jawabku ketus.
“Loh,
sebentar Lid! Aku tadi cuman bercanda aja kok. Jangan dimasukkan kehati gitu
dong!
Ok lah, kalau kamu pengennya seperti itu. Aku akan ajak temenku Rani, Dewi dan
Hendra”
jawabnya
“Nah,
begitu kan lebih baik! Tidaklah diperbolehkan dalam Islam, laki-laki dan
perempuan
itu bercampur baur atau bahkan malah berdua-duaan. Karena itu adalah
mendekati
dosa! Dan, kalau untuk bercampur baur. Nanti aku akan atur biar nggak
terkesaan
bercampur antara wanita dan laki-laki.” Jawabku mantap.
“Hem.
Ok Lid! Aku tungguh, da…..h!”
setelah
itu yang terdengar hanya nada “tuttttt……”
Aku
tutup telponku. Setelah itu, aku kembali lagi kekamarku. Hilang sudah
semangatku
yang tadi telah berkobar-kobar berjuang untuk mengalahkan Roma. Dalam
games
FIFAku. Aku matikan games FIFA, setelah itu aku gantikan dengan winamp.
Dengan
serta mertapun semangatku kembali berkobar.
“Tujuan
kita Allah yang perkasa
Teladan
kita Muhammad tercinta
Panduan
kita Al Qur’an mulia
Cita-cita
kita Syahid dijalan Allah
Islam
adalah Satu
Satu
iman satu jiwa satu hati
Adilnya
tertinggi dihadapan Rabbi
Pada
api bagi hindi tirani
Islam
adalah Satu
Satu
pengorbanan dalam perjuangan
Menggenggam
dunia selimuti angkasa
Kibarkan
panji-panji kemenangan
Bangkit
dan bersatulah
Satukan
tekat tuk raih kemenangan
Naungi
dunia dengan kedamaian
Dibawah
panji Islam nan mulia”