Monday, July 2, 2012

Bidadari Untuk Ikhwan Part #8

pemilik hotel. Kata Bang Jamal sich, pemilik hotel itu takut, takut kalau ada yang bikin
gara-gara dihotelnya. Jadi akhirnya Bang Jamal yang diminta perlindungannya.
Sungguh memang ironis dinegara kita ini, para penegak hukumnya sudah tidak
lagi dapat diandalkan sebagai penegak hukum yang sebenarnya. Hingga akhirnya orangorang
yang punya uang pun, lebih aman dijaga preman dan satpam. Setalah sering
bertemu, akhirnya aku beranikan diri untuk mengajak Bang Jamal bikin kajian khusus
para preman-preman. Luar biasa tanggapan bang Jamal, ternyata sangat menerima sekali
ajakanku itu “ini yang ditunggu-tunggu dari dulu, jarang ada pengajian buat para
preman!” ucap Bang Jamal saat itu.
Tiada hal yang dapat menggembirakan hati ini, kecuali ajakan untuk berbuat baik
disambut dengan kebaikan pula. Sejak saat itulah, aku sering mengisi kajian para premanpreman.
Dan akhirnya aku banyak tahu, nama-nama dari preman diwilayahku sendiri.
Lambat laun kajian para preman yang aku adakan semakin ramai saja, karena para
preman ini sering mengajak teman-teman preman lainnya untuk ikut ngaji juga. Beberapa
preman yang masih baru mengikuti kajian, banyak yang canggung. Sehingga sesekali ada
celetukan yang kadang jorok, lucu, atau bahkan mengharukan. Mengharukan, karena
ternyata banyak para preman ini yang tidak dapat membaca Al Qur’an, “baca Al Qur’an!
La wong baca koran aja susah kok” itulah celetukan menyayat hati. Dinegara yang
katanya sebagian besar umat Islam ini, ternyata tidak sedikit yang belum bisa membaca
Al Qur’an. Tapi tertera dengan jelas di KTPnya (Kartu Tanda Penduduk), ISLAM. “Jadi,
sebenarnya yang benar ini, yang mana? Islam KTP apa KTPnya yang Islam. Kalau Islam
KTP sich masih punya identitas keIslamannya, nah kalo KTPnya yang Islam berarti yang
Islam itu?.” Gumamku dalam hati
Hari-hari yang aku lalui dengan para preman, ini sungguh memberikan kesan
yang tersendiri. Kesan yang membuatku kagum dengan semangat mereka, semangat yang
ingin lepas dari jeratan syetan. Sungguh besar rahmat Allah, disaat banyak orang yang
menjauhi agama Islam, tetapi mereka dengan berbondong-bondong belajar agama yang
haq ini, Islam. Mereka tidak merasa malu dengan keIslamannya, bahkan hari demi hari
mereka menjadi bangga dengan apa yang mereka peroleh.
Sejak saat itu aku sering main kerumah bang Jamal, tak jarang pun bang Jamal
main-main ketempat kosku. Beberapa teman-teman aktivis dakwah sempat kaget, dengan
jalinan pertemananku dengan bang Jamal. Sampai-sampai Deni, dengan ceplas-ceplosnya
mengatakan
“Akh, Khalid! Antum punya banyak binaan preman, kok gak disuruh untuk lebih
meningkatkan keimanannya! Sehingga dandanan para preman itu menjadi lebih sopan
lagi”
“Sebenarnya, gini Akh! Seseorang diberikan peringatan tidak harus langsung, kita harus
mengetahui kadar keimanan dari seseorang yang akan kita beri peringatan. Ana takut,
kalau ana memberikan peringatan yang keras kepada mereka, akhirnya menjadi lari
dengan dakwah kita. Cukup tunjukkan perilaku kita saja, biar mereka meniru apa yang
kita perbuat, dan tidak usah banyak berkata-kata! Karena sesungguhnya, Islam adalah
agama prilaku! Maka berikan contoh, karena sesungguhnya contoh itu yang mudah untuk
ditiru.” Memang ucapan Deni benar, tetapi suatu hal yang mendasar, yang diajarkan
Rasulullah kepada umatnya adalah rasa kasih dan sayang serta memberikan peringatan
dengan lemah lembut. Juga memberikan amanah kepada seseorang, dengan sesuai
tingkatan keimanannya. Tidaklah seorang yang bijak, jika menyeruhkan kebenaran tetapi
dia sendiri tidak melakukan. Tidaklah kebenaran itu akan terwujud, jika kebenaran itu
hanya berada pada ucapan-ucapan semata. Tidaklah ucapan-ucapan kebenaran akan
terwujud, jika perilaku si pengucap menyimpang dari perkataan kebenarannya. Orang
bijaklah, yang menyerukan tentang kebenaran, dan dia mengetahui kebenarannya serta
mengetahui kadar iman dari seorang yang akan diserunya.
Hari demi hari, pertemanan kami sangat dekat. Bang Jamal, sudah aku anggap
sebagai kakakku sendiri. Sehingga rasa kekeluargaan kami terasa begitu kental. Istri bang
Jamal, mbak Surtini juga sudah mengikuti kajian ibu-ibu yang diadakan oleh teman
teman akhwat kampusku. Apalagi Joko, putra bang Jamal ini lebih senang datang ke
kajian dari pada pergi ke sekolah “sekolah itu bosenin, Ustad! Masa kerjanya cuman
belajar melulu, nggak ada mainnya.” Itulah kata Joko saat aku tanya. Tapi memang, Joko
menjadi anak yang lebih cepat menangkap pelajaran agama daripada pelajaran-pelajaran
yang lainnya. “saya kan pengen kaya’ ustad Khalid!” akunya polos. Saat Joko
mengatakan itu dengan polos, badan ini menjadi benar-benar bergetar. Beribu tanya
dihatiku “apakah aku layak dijadikan contoh, bagi Joko?” sering juga bang Jamal
mengatakan kepadaku, “Khalid, Joko benar-benar kagum dengan kamu! Sering aku tanya
tentang cita-citanya, dia selalu berkata. “aku pengen jadi ustad. Kayak, ustad Khalid!”
aku mohon jangan sampai kamu kecewakan Joko!.” Sungguh ucapan bang Jamal menjadi
cambuk bagiku. Cambuk yang selalu mengingatkan aku, untuk selalu mendekatkan diri
pada Allah Azza wa jalla.
Beberapa kali saat aku mengisi kajian ditempat anak-anak yang kurang
beruntung. Selalu ada semangat baru bagiku, untuk dapat meningkatkan kualitas mereka.
Terutama kualitas dari pengetahuan agama mereka. Mungkin seperti itulah Allah,
memberikan kenikmatan berdakwah padaku.
Saat aku sedang mengisi kajian, aku didatangi oleh orang-orang yang tidak
dikenal. Sesekali mereka menanyakan tentang data-data daerah kumuh ini pada salah satu
RT. Setelah mereka mendapatkan data-datanya, mereka langsung pergi. Dan setelah itu
tak lama muncul sebuah kegiatan kemanusian, berupa pembagian sembako dan alat-alat
masak gratis. Dan anehnya kegiatan itu sangat mengetahui seluk beluk dari daerah
kumuh ini. Sehingga mereka dengan leluasa membagikan sembakonya kepada penduduk.
Entah dermawan mana yang membagikan sembako itu, yang aku harapkan tidak ada
maksud yang lain selain kegiatan kemanusiaannya.
Pertama-tama kegiatan pembagian sembako itu bersifat biasa-biasa saja, tetapi
lama kelamaan kegiatan sembako menjadi kegiatan kajian rutin. Entah siapa yang
mengusulkan kajian itu, tak pelak kajian keIslaman yang aku dan teman-teman adakan,
menjadi sedikit peminatnya. Apalagi kajian ibu-ibu yang diselenggarakan oleh para
akhwat kampus.
Saat aku sedang mengadakan kajian rutin para preman, aku mencoba untuk
mengorek beberapa keterangan tentang para dermawan-dermawan yang membagikan
sembako. Dengan mengorek keterangan dari para preman, aku bisa leluasa mendapatkan
banyak ketarangan yang sangat berharga.
“Bang Jamal, tahu nggak kajian yang dilaksanakan setiap jum’at malam itu?” tanyaku
“Iya saya tahu, Khalid!” jawab bang Jamal saat itu
“Saya cuma ingin tahu, berapa banyak orang-orang yang datang disana?” tanyaku
“Sangat banyak yang datang kesana, Khalid! Bahkan beberapa dari kita pun pindah ke
kajian mereka” ucap bang Jamal
“Benar, banyak sekali warga kita yang ikut kajian mereka! Kabarnya sich, orang-orang
yang ikut kajian mereka itu dikasih uang saku plus oleh-oleh kalau pulang” ujar Dadang
preman gondrong anak buah bang Jamal.
“Loh, lalu kenapa bang Dadang nggak ikut kajian mereka?” tanyaku dengan heran
“Saya kok, merasa ada yang ganjil yach di kajian itu!” kata bang Jamal
“Benar Bos!” ucap bang Dadang. Selanjutnya dia mengatakan “saya pernah melihat
mereka yang wanitanya memakai jilbab. Seperti teman-teman mas Khalid yang pake
jilbab besar-besar itu! Tetapi saat saya melihat terus, ternyata saat masuk kedalam mobil,
mereka melepas jilbabnya. Dan disitu ada tiga wanita, empat laki-laki. Mereka terlihat
tertawa lepas, para wanita itu dipeluk oleh laki-lakinya! Saat itu saya sebenarnya mau
hajar mereka karena bertingkah tidak baik dan saya kira itu juga melecehkan ajaran
Islam. Tetapi saya urungkan, karena waktu itu saya sendirian. Takut juga, kalau
dikeroyok mereka!”
“Dasar, penakut kamu! Siapa yang ajari kamu jadi pengecut begitu” bentak bang Jamal,
“kenapa kalau takut nggak bilang! Bisa aku hajar mereka. Aku nggak pernah ajari kamu
sebagai pengecut kan?” bang Jamal terlihat sangat emosi, melihat perilaku bang Dadang
yang menurutnya pengecut.
“Sabar bang, sabar!” ucapku sambil memegangi tangan bang Jamal. “sebenarnya bang
Dadang nggak salah bang, Islam mengajarkan kita untuk berani menindak kezaliman.
Tetapi Islam juga mengajak kita untuk bisa membuat strategi. Kalaulah bang Dadang saat
itu melawan mereka, dan setelah itu bang Dadang dihajar oleh mereka atau bahkan
dibunuh oleh mereka! Maka saat ini kita tidak akan tahu perbuatan yang dilakukan oleh
mereka. Dengan begini kita akhirnya tahu apa yang dilakukan oleh mereka. Tetapi
seandainya jika bang Dadang melawan mereka, meskipun bang Dadang kalah atau
bahkan mati. Maka bang Dadang akan mendapatkan pahala, dan kematian bang Dadang
adalah syahid. Surga adalah balasan bagi orang-orang yang syahid. Untuk saat ini
sebaiknya kita pantau kelakuan mereka, para pembagi sembako itu!” ucapku tegas.
Semua yang hadir saat itu terlihat setuju sambil menganggukkan kepalanya. Sejak
saat itu, aku dan teman-teman lebih intensif memusatkan perhatianku pada gerak-gerik
para dermawan itu. Dan bang Jamal, sebagai spionaseku untuk mengorek semua kegiatan
yang dilakukan oleh mereka.
“Ada maksud apa dibalik semua ini?” itulah sebuah pertanyaan besar, bagi kami
para aktivis dakwah ini. Dan pada saat itu, muncul ideku untuk ikut kajian para pembagi
sembako itu. .
***
Saat itu jum’at malam, pengajian diadakan ditempat rumah Bapak RT. Banyak
sekali yang datang menghadiri. Saat akan masuk ke tempat pengajian, para penyambut
tamu sudah bersiap memberikan makanan. Makanan-makanan yang memang lezat-lezat
itu mengundang sekali untuk disikat. “hem, bagaimana tidak senang! Yang hadir saja
dikasih makanan lezat kayak gini” gumamku sendirian.
Saat itu Samsul yang aku ajak untuk menghadiri kajian tersenyum, lalu mengatakan
“Wah, Akh. Dakwah kita memang kalah canggih yach!”
Saat aku melihat sekeliling, terlihat memang tidak ada yang perlu dicurigai.
Hanya saja, memang terlihat beda sekali dengan sistem kajianku. Terlihat beda karena
aku bisa melihat para wanita yang juga ikut dalam kajian jum’at itu. Mereka mungkin
lupa untuk menggunakan hijab (batasan/penutup) antara wanita dan pria.
Saat aku melihat sekitar, mataku melihat sosok seorang gadis berjilbab lebar yang sedang
membagikan makanan kecil kepada para wanita. “siapa dia? Kayaknya aku mengenal
dia! Hem, dimana yach?” pikirku. Memang aku merasa mengenal wajahnya.
Seorang ustad memakai sorban, naik ke mimbar yang sudah disediakan. Terlihat memang
meyakinkan sekali orang itu. “oh namanya, kyai Badrul!” gumamku saat kyai itu
mengenalkan namanya diawal pembukaan, baru kali ini aku mengenal kyai Badrul.
Beberapa saat setelah lama ustad itu berceramah, dia langsung berkata “sesungguhnya
agama Islam itu agama yang pasrah! Jadi sesungguhnya, orang-orang yang pasrah adalah
orang-orang yang beragama Islam. Meskipun dia tidak beragama Islam, kalau dia pasrah
kepada Tuhannya, maka dia orang Islam” kata kyai Badrul yang saat itu sedang
berceramah didepan mimbar.
Sontak saja aku dan Samsul yang mengikuti kajian itu, saling berpandangan. Wajah
Samsul terlihat geram “Akh, ini nggak bisa dibiarin! Ini namanya pendangkalan
akhidah!” ucapnya lirih.
“Tenang, Akh. Jangan gegabah, kita lihat dulu maksud dari kyai yang baru kita kenal ini”
jawabku lirih pula.
“Sesungguhnya, Islam itu adalah rahmat bagi seluruh alam! Jadi, untuk bisa menjadi
agama yang rahmat, orang Islam haruslah saling menghormati dengan agama yang
lainnya. Agar tercipta kehidupan saling menghormati, ucapkanlah selamat jika ada agama
lain yang sedang merayakan perayaan! Karena Islam agama rahmat, ucapan selamat itu
adalah ucapan rahmat!” kata kyai Badrul saat masih berada diatas mimbar.
Sontak pun aku dan Samsul saling memandang “Akh, ini memang nggak bisa dibiarkan!
Ini sudah pendangkalan akhidah” ucap Samsul padaku
“Iya benar, ini memang sudah pendangkalan akhidah umat Islam! Entah kyai mbeling
dari mana dia, dengan seenaknya ngomong kejamaah umat Islam seperti itu!” ucapku
lirih
“Akh, setelah ini kita harus gerak cepat! Sebelum banyak orang yang akan didangkalkan
akhidahnya” pintaku ke Samsul.
“Iya, kita harus gerak cepat!” jawab Samsul pasti.
Saat kyai Badrul selesai berceramah, datang beberapa bingkisan makanan.
Bingkisan makanan itu dibagikan untuk oleh-oleh para jamaah yang hadir disitu. Saat
pembagian sembako itulah aku melihat, sosok cantik yang berjilbab lebar itu lagi. Aku
benar-benar menatapnya, sambil mengingat-ingat dimana aku pernah berjumpa dia.
Aku kaget saat Samsul menyikutku pelan, sambil berkata “Akh, antum jangan lihat
akhwat terus! Ingat, pandangan pertama itu dari Allah tetapi selanjutnya dari syetan! Tapi
akh, memang tuh akhwat cantik juga yach!”
“Ana, nggak melihat akhwatnya! Ana cuma melihat wajahnya” ujarku
“Hem, dibilang ngelihat akhwat nggak mau! Tapi malah bilang, melihat wajahnya
akhwat. Ini malah lebih parah, Akh!” ujar Samsul sambil tersenyum.
“Yee, akh. Antum seharusnya dengerin ana dulu, jangan langsung potong pembicaraan
ana. Ingat Rasulullah itu pantang memotong pembicaraan orang!” ucapku kecut.
“hehe, begitu aja marah! Ana kan cuma bercanda, Akh!” ucap Samsul sambil
cengengesan.
“Akh, sebenarnya ana merasa pernah bertemu dengan tuh Akhwat! Tapi ana lupa
dimana?” ucapku dengan mengingat-ingat kembali.
“Hem, coba di ingat lagi! Ana juga heran, kenapa ada akhwat yang ikut kyai mbeling
kayak gitu, ya akh!” ucap Samsul sembari mengambil makanan yang dibagikan saat awal
masuk pengajian.
“Yee, antum ini gimana! Masa benci kyainya, tapi memakan pemberian kyai Badrul”
kataku dengan nada bercanda mengejek.
“Hem, selama makanan ini nggak haram, kan boleh dimakan! Ingat Akh, ambil kuenya
jangan ambil akhidahnya” jawab Samsul sambil mengunyah kue lalu tersenyum.
Aku tersenyum sambil mengatakan “Dasar, mahasiswa kontrakan!”
Saat aku masih melihat kearah wanita itu, wanita berjilbab itu menatapku sambil
terlihat menajamkan matanya kearahku. Tak lama setelah beradu pandang denganku,
wanita berjilbab itu langsung meninggalkan tempat dengan tergesa-gesa. “Akh, ana rasa
akhwat itu mengenal ana! Antum tadi lihat nggak ekspresi wajahnya, saat ana beradu
pandang dengan akhwat itu! Dia terlihat terkejut, dan dia langsung meninggalkan tempat
pembagian oleh-oleh untuk para jamaah! Akhwat itu terlihat sangat terburu-buru sekali”
ucapku serius.
“Iya akh, tuh akhwat gimana nggak lari! Lah antum, ngelihatin akhwat kayak mau
gebukin maling. Terang aja dia lari!” setelah itu Samsul terlihat serius sambil
mengucapkan “Atau mungkin dia terpesona kali akh, sama antum. Biasalah, siapa yang
nggak terpesona dengan antum. Pangeran tampan dari negeri kodok” ucap Samsul
dengan masih mengunyah kue yang hampir habis, sambil cekikikan sendiri.
“Hem, nih Ikhwan! Becanda mulu’, apa nggak ingat kalau sering tertawa itu bisa
mematikan hati!” jawabku jengkel.
Sambil cengengesan Samsul mengatakan “Afwan akh, afwan!”
Saat kami semua sudah mendapatkan bingkisan masing-masing, dan bergegas
pulang. Dan pada saat kami akan pulang, aku menyempatkan memeriksa bingkisan yang
sedang berada digenggamanku. Dan ternyata “masya Allah, berisi uang saratus ribuan”
gumamku dalam hati.
JILID 2
Waktu terus bergulir, roda kehidupan terus berjalan. Dengan rasa malas aku
berjalan menuju ruang kamarku. Dirumah kontrakan yang kusam ini, rumah ini
mengingatkanku pada rumah yang ada didesa. Rumah tua, yang dihuni oleh Ayah, Ibu
dan Nurul adikku yang masih duduk dibangku SMU. Entah sekarang bagaimana keadaan
Ayah dan Ibu, semoga mereka baik-baik saja. Aku juga kangen dengan Nurul, kangen
saat bertengkar dengan Nurul.
Kuletakkan tas yang sudah lama berada dipunggung ini, sambil duduk dalam
kasur kusam yang selalu menyangga dalam setiap tidurku. Rasa penat melanda dalam
setiap relung pikiranku, ditambah dengan rasa capek yang mendera ditubuhku. Ingin
rasanya aku langsung terbuai dengan mimpi-mimpi indah. Mimpi-mimpi bertemu dengan
para syuhada, dan bertemu dengan bidadari surga. Kalau mimpi yang kedua itu, pasti
selalu ditunggu-tunggu. Saat aku lihat kaset IZIS (IzatullIslam) dengan bungkus dan
segel yang belum terbuka. Karena memang baru aku beli kemarin, berada diatas tape
Simbaku. Tape yang kubeli dengan menabung selama dua tahun, dan barang termahal
pertama sampai saat ini yang bisa aku beli. Dengan santai aku ambil kaset itu, serta
membuka bungkus dan segel kaset lalu memasukkan kaset kedalam tape.
“Dimana dicari pemuda kahfi
Terasing demi kebenaran hakiki
Dimana jiwa pasukan badar berani
Menoreh nama mulia perkasa abadi
Umat melolong di gelap kelam
Tiada pelita penyinar terang
Penunjuk jalan kini membungkam
Lalu kapankah fajar kan datang
Mengapa kau patahkan pedangmu
Hingga musuh mampu membobol bentengmu
Menjarah menindas dan menyiksa
Dan kita hanya diam sekedar terpana”
Sayup suara nasyid IZIS, serta hembusan kipas angin mini. Membuatku melayang
jauh dan terbang, terbang bersama segerombolan cahaya-cahaya yang terang. Tak
seberapa lama suara “Assalamualaikum”
Dengan lirih aku menjawab sambil tersenyum “Walaikumsalam”. Aku benar-benar
merasa dalam segerombolan keindahan-keindahan yang datang kepadaku, datang dan
saling berpelukan. Memelukku erat, pelukan persaudaraan yang sangat erat dan kental.
Tak lama aku mendengar suara
“Akh, Akhi! Bangun. Sudah jam empat sore! Bangun, Akh. Apa antum sudah sholat
Ashar!”
Aku mencoba untuk membuka mata, tapi mata ini terasa sangat berat untuk
membukanya. Dan tubuh ini benar-benar sangat payah, serta sangat susah untuk
digerakkan. Tak seberapa lama, aku pun bisa mengontrol diri. Ternyata Yanto sudah
berada dikamarku. Sambil melihat kaset baruku. IZIS.
“Hem antum mengagetkan ana aja, akh!” ucapku dengan rasa yang sangat malas sambil
bersandar pada dinding kasur yang terlihat cat-catnya mengelupas.
“Antum tadi jawab salam ana, tapi ana lihat antum masih memejamkan mata!” jawab
Yanto sambil membolak-balikkan kaset IZIS.
“Loh! Jadi antum tadi, yang salam! Ana kira itu salamnya cahaya-cahaya indah yang baru
ana lihat tadi” jawabku sambil mengusap-usap mataku.
“Iya itu ana! Wah, antum bermimpi apaan Akh? Nggak bermimpi ketemu bidadari di
surga kan?” jawab Yanto dengan senyum.
“Antum itu ada-ada saja, Akh! Antum dari mana, kok jam segini baru pulang?” tanyaku
“Ana, dari ikut kajian! Biasalah, hari ini ana kan Liqo’!” Ucap Yanto. Setelah itu dia
melanjutkan perkataannya “Akh, antum punya kasetnya IZIS yach? Wah pasti boleh
dipinjam nich!”
“Antum, satu rumah kok pake’ pinjam-pinjaman segala! Kalau mau pinjam ya ambil aja,
tapi setelah itu dikembalikan, jangan seperti biasanya! Atau antum putar di tape ana aja,
tape antum kan rusak akh!” ujarku sambil beranjak untuk berwudhu.
Tak lama setelah aku berwudhu, terdengar IZIS mengumandang keras.
“Berkobar tinggi panaskan bumi
Membakar ladang dan rumah kami
Darah Syuhada mengalir suburkan negri
Tiada kata lagi….
Kami harus kembali!”
Saat aku lihat, ternyata Yanto memutar kaset IZIS sambil bernasyid dan
mengepalkan tangannya dengan bersemangat. Sungguh memang luar biasa, nuansa yang
ditimbulkan oleh nasyid. Nasyid bukan seperti lagu Islam yang lainnya, nasyid adalah ruh
dari setiap perjuangan para mujahid. Nasyid tidak seperti lagunya Gigi, yang
mengumandang keras tetapi tidak bersemayam dihati. Apalagi nasyid tidak seperti lagulagunya
Dewa, yang bernada sombong seperti pemainnya. Nasyid bukanlah seperti lagulagu
lainnya, karena nasyid punya pembeda, pembeda dari lagu cengeng percintaan yang
memabukkan.
“Akh, tolong kecilkan! Ana mau sholat” pintaku
“Akh, biar sholat antum lebih semangat lagi, jadi biar saja nasyid ini berkumandang
keras” ucap Yanto yang tetap mengangkat tangan sambil mengepalkannya.
“Akh, ternyata antum perlu diruqyah kalau gitu! Jangan-jangan ada jin bersamayam
ditubuh antum” gumamku kesal
“Hehe… afwan akh, tadi kan cuman bercanda!” jawab Yanto dengan mengecilkan suara
tape.
Aku menggelar sajadah, bersiap untuk menghadap sang khalik. Menghadap sang maha
pemaaf. Menghadap sang Maha dari segalah maha yang ada di alam semesta ini.
***
Cuaca diluar sangat cerah, terasa mentari tersenyum dengan sinarnya. Panasnya
tidak terik, tetapi tidak pula mendung. Udara tidak panas, dan pula tidak dingin. Cuaca
benar-benar sangat bersahabat. Terbukti, banyak sekali hilir mudik orang-orang yang
lewat kontrakanku, terlihat wajah-wajah yang segar. Wajah-wajah yang siap menghadapi
hari yang lebih baik. Insya Allah.
“Akh, antum kok nggak siap-siap? Apa nggak ada kuliah!” tanya Heri
“Ana ada bimbingan jam sembilan! Jadi sekarang bisa nyantai-nyantai dulu” ucapku
“Wah yang lagi mau kelar kuliahnya, udah bersiap-siap nggak akh?” tanya Heri, sambil
menyeruput teh hangatku.
“Emang, maksud antum apa akh? Bersiap-siap untuk apa?” jawabku
“Iya, berusaha bersiap-siap untuk melanjutkan sunnah Rasulullah! Menyempurnakan
agama kita”
“Sunnah Rasulullah! Yang mana?” tanyaku heran
“Akh, antum kayak nggak tahu aja! Itu loh akh, sekretaris antum dulu, perlu
diselamatkan!” ucap Heri serius
“Ha..? maksud antum apa sich, akh?” tanyaku penasaran
“Antum, harus menyelamatkan ukhti Farah dari fitnah dunia. Juga dari orang-orang jahil
yang ingin menjahilinya! Jadi antum harus cepat menyelamatkan ukthi Farah! Nikahi
ukhti Farah” jawab Heri sambil tertawa.
Dengan tersenyum aku menjawab “Antum itu ada-ada aja! Kenapa bukan antum saja
yang menyelamatkannya!”
Heri tertawa sambil mengatakan “Akh, kalau ana sich gampang! Tapi ana
mempersilahkan senior dulu. Dan lagi, Ukhti Farah kan termasuk jajaran-jajaran bidadari
Allah yang bisa dibilang sempurna! Apa antum nggak tertarik dengan Ukhti Farah?”
“Akh, udah nggak usah seperti itu! Ukhti Farah itu wanita yang paling sempurna.
Makanya ana takut mendekati wanita-wanita sempurna, seperti akhwat yang satu itu”
jawabku sekenanya
“Antum, takut apa minder! Udah, ana berangkat dulu. Ana takut terlambat.
Assalamu’alaikum” jawab Heri sambil tertawa, sambil ngeloyor pergi
“Walaikumsalam” jawabku sambil tersenyum
Ukhti Farah, akhwat yang bisa dibilang sempurna. Semua terdapat pada
keagungan wanita, berada padanya. Aku tidak melihat kecantikan wajahnya, sebelum aku
melihat kelembutan hatinya. Aku memang belum pernah melihat wajah ukhti Farah, aku
hanya mendengar keagungan kecantikannya dari teman-teman kuliahku. Teman-teman
yang masih meninggikan kecantikan wajah, teman-teman yang masih belum tertarbiyah.
Tetapi saat dia menjadi sekretarisku pun, aku masih belum tahu kecantikan wajahnya.
Yang aku tahu, sungguh benar-benar kecantikan yang sempurna saat aku mengetahui
sikap dia. Dan mulai dari situlah aku benar-benar tidak membutuhkan lagi kecantikan
wajahnya, aku tidak butuh lagi mengetahui wajah cantiknya. Aku tidak butuh lagi
kecantikan pada jasadnya. Yang aku butuhkan, adalah kecantikan seorang wanita pada
dalam dirinya, pada tanggung jawabnya sebagai wanita. Yaitu wanita yang mempelihara
aurat-auratnya atas fitnah dunia.
Banyak akhwat yang aku kenal, tetapi memang tidak sesempurna ukhti Farah.
Dulu saat aku masih senang dengan cara jahilia, yaitu mengetest akhwat. Banyak akhwat
yang sering aku telphone. Dan banyak juga, akhwat yang dengan nada santai tetapi
benar-benar menghanyutkan. Bicaranya santun, tetapi topik pembicaraannya tidak pantas
untuk dibicarakan oleh seorang akhwat apalagi kader dakwah. Ada lagi seorang akhwat
yang tergesa-gesa menjelaskan sesuatu masalah, lebih-lebih lagi si akhwat memposisikan
dirinya sebagai orang yang paling tahu dan paling beriman. Ada juga akhwat yang
menjelaskan agama Islam, tetapi si akhwat menjelaskannya layaknya seorang marketing.
Sungguh memang benar-benar lucu. Dan kadang pula menjengkelkan dengan para
akhwat yang sok suci dan sok yang paling tahu itu. Tetapi itu dulu. Saat terakhir aku
menelephone ukhti Farah. Selesailah sudah perjalanan mengetest kemampuan para
akhwat. Dengan nada bicara yang santun, topik yang bagus dan bisa memposisikan
dirinya sebagai seorang yang sama dengan lawan bicaranya. Setelah itu, sebuah nasehat
yang bagus dari ukhti Farah
“Afwan, akh! Ana merasa, antum bukanlah ikhwan yang belum tertarbiyah. Ana takut
antum adalah ikhwan yang senangnya mengetest akhwat. Ana cuma mau berpesan
kepada antum, sebaik-baik muslim itu adalah seorang yang bisa menghormati muslim
satu dengan muslim yang lainnya. Dan bukan saling mengetest kemampuan
kepintarannya!”
Saat itulah, akhirnya aku benar-benar paham. Bahwa sesungguhnya, sakitlah hati
seseorang manakala seseorang itu merasa dikerjain oleh saudaranya sendiri. Akhirnya,
aku tidak pernah lagi mempunyai keinginan untuk mengetahui tingkat kemampuan
saudaraku sendiri. Biarlah tingkat kemampuan dalam kepintarannya yang akan
membimbing dia menjadi seorang muslim yang sejati. Seorang muslim sejati tidak akan
memposisikan dia sebagai orang yang paling pintar dan beriman, seorang muslim sejati
tidak akan tergesa-gesa dalam menjelaskan sesuatu hal, seorang muslim sejati tidak akan
memberi sebuah penjelasan layaknya seorang marketing produk. Karena Islam adalah
agama perbuatan, maka perbuatanlah yang akan mencontohkan muslim yang baik atau
muslim yang buruk.
Sejak saat itu aku memang benar-benar tertarik dengan ukhti Farah, bukan tertarik
karena wajahrnya. Tapi aku tertarik dengan keteduhan bahasa bicaranya, keteduhan yang
mungkin membuat manusia benar-benar ingat akan adanya siksa neraka. Sungguh benarbenar
wanita yang sempurna. Tapi aku sadar bahwa aku bukanlah ikhwan yang pantas
untuk dia. Untuk wanita sesempurna ukhti Farah.
***
“Gimana Lid, dosen pembimbing kamu! Enak nggak?” sapa Hendra, teman kuliahku dari
belakang sambil menepuk pundakku. Saat sedang berjalan menuju fakultasku.
“Eh, kamu Hen! Tak kira siapa” jawabku sambil tersenyum
Dia tersenyum lalu berkata “Hem, dosen pembimbingku, nggak enak Lid! Masa aku
kalau mau ketemu harus janjian dulu. Dan nggak pernah ada di ruang dosen”
“Hem emang siapa, dosen pembimbing kamu Hen?” tanyaku sambil berjalan.
“Itu, Pak Hartono!” jawab Hendra
“Hem, pantes Hen! Pak Hartono kan super sibuk. Tapi enak loh Hen, Pak Hartono kan
orangnya sabar banget!” terangku
“Iya sich, tapi kalau gini terus aku nggak akan tepat waktu mengerjakan skripsiku” keluh
Hendra dengan wajah terlihat pasrah.
“Ya, nggak gitu Hen. Kalau kamu janji dulu sama beliau, kan beliau nanti bisa
menyesuaikan jadwalnya” sergahku sambil tersenyum
“Hem,” Hendra manggut-manggut. “oh yach, dosen pembimbingmu siapa Lid?”
“Dosen pembimbingku, Pak Susilo!” jawabku sambil tersenyum
“Ha.. Pak Susilo! Yang bener kamu Lid?” Hendra memandangku tak percaya
“Iya. Pak Susilo! Kenapa?”
“Jadi kamu, satu-satunya mahasiswa yang dosen pembimbingnya Pak Susilo!” Hendra
masih terlihat tidak percaya.
Aku tersenyum sambil menjawab “iya..!”
“Ha…! Kamu mau dibimbing si Prof killer itu? Apa kamu dulu nggak milih
pembimbing?”
“Aku memang milih Prof. Susilo Nugroho! Kasihan beliau nggak ada yang milih”
gumamku sambil tersenyum.
“Kamu gila, atau gimana sich Lid? Milih kok yang killer kaya dia” ucap Hendra sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
“Sebenarnya sich, aku milih Pak Susilo karena dia kan guru besar di fakultas kita!
Apalagi dia kan juga guru besar di Universitas ini. Jadi aku beruntung Pak Susilo mau
menjadi pembimbingku” kilahku sembari tersenyum banggga.
“Sekarang kamu ada keperluan apa kekampus? Apa ikut SP (Semester Pendek)?” tanya
Hendra
“Hem sorry kalau Khalid ikut SP! Aku kan mau ketemu sama dosen pembimbing yang
baik hati” jawabku sambil tersenyum.
“Ok deh, met ketemu sama Prof killer itu! Lid aku mau ke kantin dulu yach.” Ucap
Hendra sambil menepuk pundakku.
“Ok.”
Kantor dosen sudah terlihat didepan mata, tinggal beberapa langkah aku sudah
masuk dikantor yang dipenuhi pembimbing-pembimbing intelektual.
“Permisi, mbak! Pak Susilo sudah datang belum?” sapaku pada mbak Dina, pengurus
secretariat.
“Ada, Lid. Masuk aja! Pak Susilo di mejanya” jawab mbak Dina.
“Terima kasih, mbak!”
Aku langsung menuju mejanya Pak Susilo. Benar Pak Susilo sudah berada di
mejanya, sedang mengerjakan sesuatu. Hatiku berdegup tak beraturan. Ini pertama
kalinya aku berhadapan langsung dengan Pak Susilo.
“Selamat siang, Pak!” sapaku
Dia menatap dingin padaku sembari menjawab sapaanku “Siang!” selanjutnya bertanya
dengan tatapan yang dingin “Ada perlu apa?”
Jantungku saat itu benar-benar berdegup kencang, layaknya seorang ikhwan yang
sedang ditawari Murrabi untuk menikah. Bertemu dengan pakar hukum yang satu ini,
membuatku merasa sangat canggung. Bagaimana tidak canggung, Pak Susilo merupakan
tetua dari para dosen hukum difakultasku. Dan beliau merupakan dosen yang tidak
diragukan kemampuannya. Selain kemampuannya, yang membuat dia benar-benar
disegani oleh semua mahasiswa dan dosen difakultasku, adalah ketegesannya dalam hal
apapun. Termasuk masalah nilai. Pak Susilo tidak dapat diganggu gugat masalah nilai. Di
fakultasku banyak sekali dosen yang mudah merubah nilai, entah karena apa mereka
dapat merubah nilai. Tapi untuk Pak Susilo, sebuah nilai ujian tidak dapat diganggu
gugat, dan tidak dapat dirubah. Aku benar-benar senang dengan prinsip dosen yang satu
ini. Karena, meskipun aku jarang sekali mengikuti perkuliahan beliau. Tetapi aku tetap
bisa mengerjakan ujian-ujian yang diberikan oleh beliau. Dan nilaiku bisa dikatakan
sangat memuaskan. Karena saat itu memang aku sangat sibuk dalam organisasi, sehingga
jarang sekali aku masuk kuliah. Tetapi aku tetap mempelajari semua mata kuliah.
Sehingga aku tidak ketinggalan dengan mahasiswa yang lainnya.
“Saya Khalid, Pak! ” jawabku tenang
“Hem jadi kamu, mahasiswa yang sok pintar itu yach!” ucap pak Susilo sinis.
Aku hanya mengangguk pelan sambil tersenyum kecut. Jantung ini semakin berdegup
kencang. Apalagi kata-kata Professor killer ini benar-benar menyakitkan.
“Khalid, mahasiswa yang sukanya menuntut. Mahasiswa yang sukanya demonstrasi.
Mahasiswa yang sukanya manantang para dosen. Apalagi sok idealis!” pak Susilo berkata
tanpa melihatku, sambil merapikan beberapa berkas-berkasnya.
Darah muda mulia memuncak. Ucapan sang Professor sudah tidak dapat didiamkan.
Keras sekali penghinaannya padaku. Saat aku akan mengucapkan sesuatu, pak Susilo
berdiri sambil menghadapku. Dengan nada mengejek “baik, kalau kamu ingin saya
menjadi dosen pembimbing kamu! Saya ingin sekarang juga, memberikan soal kuis
kepada kamu. Jika seandainya jawaban kamu tujuh puluh persen banar, maka saya
bersedia. Tetapi jika kurang dari itu, maka saya akan bilang ke dosen-dosen yang lain
untuk tidak menerima seorang mahasiswa yang hanya suka omong besar!”
Aku benar-benar tertantang dengan ucapan pak Susilo. “baik, saya siap!” jawabku
enteng.
Terlihat pak Susilo masih mamandang sinis kearahku.
Dalam hati aku berfikir, bahwa ini saatnya aku menunjukkan kemampuanku
didepan dosen sacara langsung. Aku ingin membuktikan, meskipun aku jarang mengikuti
kuliah, tapi aku tetap bisa mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh para dosen.
Meskipun aku tidak pernah masuk, bukan berarti aku tidak kuliah, apalagi tidak bisa
mengerjakan soal-soal kuliah. Kuliah hanya aku anggap sebagai alat mengambil ijazah
saja, karena kuliah yang sebenarnya adalah mendapatkan pengetahuan dari sumber
manapun. Dan inti dari kuliah adalah belajar. Jadi, bukan berarti orang yang tidak kuliah
tingkat keilmuannya rendah. Apalagi menganggap bahwa orang yang tidak kuliah, tidak
belajar.
Pak Susilo memberikan lembaran kertas yang berisi soal-soal kepadaku. “Ini kerjakan!
Saya kasih kamu waktu satu jam” ucap pak Susilo tegas.
Pak Susilo duduk tak jauh dari hadapanku. Dengan tenang aku mengambil kertas itu,
santai aku mengerjakan soal-soal yang diberikan pak Susilo. Meskipun memang banyak
soal-soal yang sulit, tetapi aku tetap yakin bahwa aku bisa mengerjakannya. Sebuah
pertaruhan yang sangat berat, antara sebuah nama baik, nilai dan soal-soal ujian. Jikalau
aku tidak bisa mengerjakan soal-soal itu, yang akan terjadi adalah sebuah petaka buruk
bagiku apalagi untuk organisasi dan teman-teman yang sangat mempercayaiku.
“Baik, waktu sudah habis!” ucap pak Susilo mengagetkan aku.
Untung semua yang aku kerjakan sudah selasai, tetapi entah benar apa tidak. Aku
tidak tahu, hanya Allah swt dan pak Susilo yang tahu. Kertas soal dan jawaban aku
serahkan. Dengan teliti sekali pak Susilo memeriksa jawaban soal-soal kuis. Wajahnya
terlihat sangat dingin, dan terkesan sangat acuh sekali. Berkali-kali terlihat pak Susilo
menggeleng-gelengkan kepala, sambil terlihat kecewa. Aku hanya diam, menatap kosong
kedepan. Menyesali kesombongan, kesombongan yang membuat aku jatuh pada lubang
yang tak termaafkan, kesombongan yang membuat harga diriku runtuh terpinggirkan
dalam jiwa yang tak tenang.
“KHALID!” ucap pak Susilo dengan mengeraskan suaranya, aku sedikit kaget waktu itu.
Setelah itu pak Susilo berkata “Hem, benar ternyata. Aku sangat meragukan kemampuan
kamu. Ternyata kemampuanmu, lebih dari yang saya bayangkan!”
Aku masih diam, tidak mengerti tentang ucapan pak Susilo.
“Khalid, aku memang sudah menduga. Bahwa kamu memang mahasiswa yang brilian,
saat banyak dosen-dosen yang meragukan kemampuanmu dalam menerima perkuliahan.
Saya mengetahui kamu memang mahasiswa pintar. Jadi, akhirnya saya yakin bahwa
kamu benar-benar mahasiswa yang pintar” ucap pak Susilo dengan tersenyum puas.
Selanjutnya pak Susilo melanjutkan ucapannya “sekarang, kamu bisa menunjukkan judul
skripsi yang akan kamu pakai”
Subhanallah, Alhamdulillah, Allahuakbar, ucapku berulang-ulang dalam hati. Sungguh
tiada suatu yang lebih menggembirakan dalam hati kecuali, seorang professor yang
merekomendasi ilmuku. Merekomendasi tentang apa yang aku peroleh dari belajarku.
Aku merasa benar-benar memenangkan sebuah pertarungan. Memenangkan sebuah
pertarungan yang mempertaruhkan sebuah kehormatan. Memenangkan sebuah pemikiran
baru, bahwa kuliah bukan berarti harus kuliah.
“Perspektif hukuman mati dalam Hukum Pidana Positif dan Hukum Islam” jawabku
Sambil mengernyitkan dahinya pak Susilo berkata “Hem, kayaknya bagus. Apa kamu
sudah dapat bahan-bahannya?”
“Hem, Insya Allah sudah Pak! Tinggal di ketik” ucapku mantab
“Ok, saya tunggu! Saya sudah percaya dengan kamu, dan saya tidak meragukan
kemampuan kamu” ucapnya tegas.
“Baik Pak, kalau gitu saya permisi dulu!”
“Baik, saya akan tunggu hasil-hasil yang sudah kamu tulis”
Setalah berdiri, aku langsung berpamitan. Tetapi saat aku akan berpamitan. Pak Susilo,
memanggilku “Khalid, saya orang Islam! Perlakukan saya seperti orang Islam”
“Oh maaf pak, Assalamualaikum” ucapku saat berpamitan
Pak Susilo tersenyum sambil menjawab “Walaikumsalam”
Tekad maju penuh kemanangan, senandung nasyid kunyanyikan dalam hati
“Langkah ini langkah-langkah abadi
Menapak gagah laju tanpa henti
Langkah ini langkah-langkah abadi
Menapak gagah laju tanpa henti”
Sebuah kemulian yang diberikan oleh Allah Azza wa jalla. Pada para mujahid dan
mujahidah yang melaju menegakkan kebenaran menyingkirkan kebathilan. Dan Allah
pasti akan menolong hambanya yang telah berjuang didalam agama-Nya.
JILID 3
Aku keluar dari sekretariat dosen, dengan penuh kemenangan. Kemenangan awal
yang akan diikuti oleh perjuangan yang lainnya.
“Hey, Khalid! Gimana bimbingan dengan si Prof killer itu?” sapa Hendra, yang saat itu
berada disampingku.
“Alhamudillah, semua beres!” ucapku penuh kemenangan
“Wah, enak ya kalau aktivis” ujar Hendra
Aku tersenyum sambil mengatakan “makanya, kenapa dulu nggak jadi aktivis!”.
Belum tahu dia tentang perjuanganku untuk mempertahankan nama baik. Dan
belum tahu dia kalau keteganganku saat menghadapi Professor Susilo Nugroho bagaikan
tawaran untuk menikahi seorang akhwat, ucapku dalam hati.
“Kamu mau kemana sekarang, Lid?” tanya Hendra
“Mau, kesekretariat LDK! Kenapa? Mau ikut!” jawabku enteng
“Nggak! Sebenarnya aku ada perlu sama kamu, kalau kamu nggak repot!”
“Wah, ada perlu apa nich? Nggak kok, aku nggak repot!”
“Lid, gimana kita kalau duduk disitu!” Hendra menunjukkan tempat duduk di taman
fakultas hukum. Yang saat itu beberapa tempat duduk yang masih dipenuhi mahasiswamahasiswi
yang sedang berkumpul. Entah apa yang mereka lakukan.
Aku mengangguk setuju.
Setelah duduk di kursi paten beton. Hendra langsung mengatakan sesuatu yang
mengganjal hatinya “Sebenarnya gini Lid!” Hendra mengatakan tentang sesuatu yang
mengganjal pada hatinya. Sesuatu yang membuat dia resah. Membuat dia merasa
bingung harus ditanyakan kemana sebuah persoalan yang berada pada rongga pikirannya.
“Lid, aku mendapat SMS juga mendapat berita dari temanku. Akan ada sebuah
penyerangan besar yang ditujukan kepada orang-orang Kristen. Akan ada sweeping
besar-besaran yang dilakukan oleh umat Islam kepada orang-orang Kristen. Dan setiap
wanita Kristen akan diperkosa, laki-lakinya akan dibunuh!” ucap Hendra serius.
Hendra adalah seorang penganut Kristen yang sangat dekat danganku. Seorang
Kristen yang sangat mendukung tentang Hak Asasi dalam beragama. Seorang yang tidak
suka menghalalkan segala cara untuk menggapai tujuannya. Seorang yang toleran dalam
beragama.
“Boleh aku lihat SMSnya?” pintaku
Hendra langsung mengambil HPnya. Dan langsung memperlihatkan SMS gelap itu
kepadaku. “Assalamualaikum, untuk orang Islam semua. Seruan untuk mensweeping
umat Kristen. Kita habisi mereka. Kita perkosa wanita-wanitanya, kita bunuh lakilakinya.
Jangan ada ampun kepada umat Kristen yang kita temui. BUNUH mereka.
Allahu Akbar 5x”
Setelah membaca SMS itu, aku tersenyum.
“Kenapa kamu tersenyum, Lid? Apa ada yang lucu?” terlihat Hendra merasa tersinggung
dengan senyumanku.
“Kawan, saat kamu memperlihatkan SMS itu dan aku tersenyum, bukan aku bermaksud
menyinggungmu. Tapi senyumanku tertuju pada si pengirim SMS itu. Karena
sesungguhnya perkataannya bukan seperti orang Islam yang beriman. Dalam Islam tidak
pernah dihalalkannya untuk membunuh siapapun bahkan umat agama lain. Selama tidak
ada suatu alasan yang syar’I, atau sebuah hukuman. Maka tidak diperbolehkan orang
Islam membunuh. Juga, bermaksiat dalam Islam sangat berdosa besar. Apalagi
memperkosa wanita. Masya Allah. Itu sangat diharamkan pada umat Islam. Karena Allah
sangat murka pada orang-orang yang bermaksiat. Sesungguhnya kawanku, umat Islam
jika mengucapkan takbir, itu terbiasa dengan 3x kali. Tapi disitu janggal, dengan
mengucapkan takbir 5x. Berarti, si pengirim SMS itu tidak mengetahui pasti tentang
kebiasan orang-orang Islam. Bukan berarti aku mengatakan si pengirim SMS itu orang
beragama lain, tetapi bisa juga orang yang mengirim SMS itu adalah orang-orang Islam
tetapi yang tidak beriman. Dan apakah engkau tahu? Bahwa aku tidak pernah dikirim
SMS yang berbunyi seperti itu. Padahal aku adalah termasuk orang-orang yang
memperjuangkan agamaku!” jelasku panjang lebar.
“Tapi umat Kristen diisukan, bahwa mereka telah memurtadkan orang Islam. Apakah isu
itu tidak membuat orang-orang Islam sangat membenci umat Kristen?”
“Kawanku, apakah engkau menyangkal bahwa umat Kristen tidak memurtadkan umat
Islam?” tanyaku balik kepada Hendra
Hendra menunduk lesu, setelah itu menghembuskan nafas panjang “Iya, aku akui. Bahwa
memang ada sebagian besar orang-orang Kristen yang menghalalkan segala cara untuk
memurtadkan orang Islam. Mereka berfikir bahwa umat selain Kristen, adalah dombadomba
yang tersesat. Aku sudah berungkali menolak dogma itu, kepada kalanganku. Tapi
apalah dayaku,” Hendra menghela nafas panjangnya, setelah itu dia melanjutkan
perkatannnya “Aku hanya seorang anak pendeta yang telah terasing dari agamaku sendiri.
Tetapi aku masih yakin bahwa dogma itu harus dirubah. Semua umat beragama adalah
orang-orang yang ber Tuhan. Dan semua orang beragama adalah orang-orang yang baik.”
“Kawan, bukan berarti jika umat Kristen memurtadkan umat Islam. Dan umat Islam
membenci umat Kristen semua! Sesungguhnya yang kita benci bukan umat Kristen
semuanya, tetapi kelakuan yang telah dilakukan oleh segelintir umat Kristen yang
menghalalkan segala cara untuk menempuh tunjuannya. Kawan, kita memang
diperbolehkan untuk bersyiar, kita memang diperbolehkan untuk berdakwah. Tetapi
tujuan kita adalah memberikan sebuah pengetahuan yang benar, tentang arti sebuah
kebanaran itu sendiri. Kita boleh memberikan sebuah bantuan kepada orang lain. Tetapi
kawan, kita harus ingat tentang keikhlasan. Keikhlasan adalah sebuah maksud tanpa ada
tujuan tertentu selain tujuan untuk diridho’I oleh Tuhan kita. Bukanlah itu sebuah
keIkhlasan, manakala kita membantu seseorang dengan tujuan untuk menarik mereka
menuruti apa yang kita inginkan. Ada sebuah hal yang menarik dari sebuah kisah dua
sahabat Rasulullah Muhammad Saw. Dia adalah Abu Bakar dan Bilal. Abu Bakar adalah
orang yang membeli seorang budak muslim yang saat itu teraniaya dengan harga yang
sangat mahal, dia adalah Bilal. Sungguh saat itu Bilal sudah dizalami oleh orang-orang
Quraisy. Dengan serta merta Abu Bakar membeli Bilal dengan harga yang sangat mahal
dari budak yang lainnya. Setelah itu Abu Bakar membebaskan Bilal dari perbudakan.
Pada suatu masa, yang pada saat itu Abu Bakar meminta dengan sangat kepada Bilal
untuk menuruti perintahnya. Dengan sangat rendah hati, Bilal mengucapkan
“sesungguhnya wahai sahabat Rasulullah, apa yang engkau inginkan dari pembebasanku.
Apakah engkau ingin aku menuruti perintahmu? Atau kah engkau membebaskan aku
dengan keIkhlasanmu kepada Allah. Jika engkau memerdekakanku agar aku menjadi
milikmu, maka lakukan apa yang engkau inginkan. Jika engkau memerdekakanku karena
Allah, maka biarkanlah aku.” Saat itulah Abu Bakar dengan rendah hati pula mengatakan
“Aku membebaskanmu karena Allah, Wahai Bilal!” sungguh ini adalah sebuah kalimat
keikhlasan yang sangat dalam. Tiada dari sebuah maksud keikhlasan melainkan hanya
kepada Allah lah saja. Jadi sebenarnya, bahwa umat muslim boleh memberikan bantuan
kepada umat Kristen. Tetapi umat Islam diharamkan memaksa umat Kristen untuk
mengikuti keinginan dari umat Islam. Dan seharusnya pun, begitu pula sebaliknya.”
Jawabku panjang lebar.
“Tetapi Khalid, apakah engkau menjamin bahwa tidak akan ada pensweepingan umat
Islam terhadap umat Kristen?” tanya Hendra ragu
“Kawanku, sesungguhnya Islam itu adalah agama damai! Dan sesungguhnya umat Islam
itu, umat yang damai. Tetapi jika umat Islam dizalimi. Tidak ada kata lain selain Jihad.
Aku menjamin bahwa tidak akan ada pensweepingan umat Islam terhadap umat Kristen.
Selama umat Kristen tidak melakukan sebuah kecurangan. Dan tidak akan ada
pembunuhan dan perkosaan terhadap umat Kristen, meskipun jika memang dilakukan
pensweepingan terhadap umat Kristen yang curang. Karena Islam mengharamkan cara
yang bathil. Insya Allah, Kawan.” Jawabku mantap
“Lid, terima kasih atas jawab-jawabmu! Sebenarnya aku sangat khawatir sekali. Aku
khawatir terjadi permusuhan antar agama. Aku tidak menginginkan adanya sebuah
pertikaian antar agama. Yang aku inginkan adalah, kita merdeka dalam memeluk setiap
agama kita. Tidak ada saling memaksakan kehendak dalam beragama. Dengan
berpedoman bahwa semua orang beragama punya hak yang sama dalam menjalankan
agamanya.” Ucap Hendra
Aku tersenyum, sambil mengatakan “Hen! dalam Al Qu’ran, surat Al-Kafirun “Dan aku
tidak pernah menjadi penyembah yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah pula
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmulah agamamu dan untukkulah
agamaku” jadi dalam Islam sudah diatur tata cara kehidupan beragama. Selama kita
saling menghormati dan saling memberikan toleransi. Maka tidak akan ada permusuhan
bahkan pertikaian antar agama.”
“Benar, apa yang kamu katakana Khalid! Seharusnya seperti itulah orang-orang yang
beragama. Mereka mengurusi agama mereka masing-masing. Dan apabila saling
memberikan bantuan. Seharusnya bantuan itu diberikan dengan keikhlasan. Tanpa ada
maksud yang lainnya selain untuk mendapatkan pahala dari Tuhan.” ucap Hendra.
Aku mengangguk setuju.
“Lid, atas nama agamaku. Aku meminta maaf atas perilaku segelintir orang Kristen yang
menghalalkan segala cara untuk memuaskan kehendak mereka sendiri”
“Iya, Hen! Sama, aku juga meminta maaf mungkin beberapa dari umat Islam yang begitu
agresif dalam mempertahankan agama Islam. Membuat kamu merasa tidak tenang. Tetapi
sebenarnya apa yang dilakukan oleh umat Islam, hanya untuk mempertahankan saja
bukan menyerang. Dan SMS yang kamu terima itu bukan SMS dari umat Islam. Karena
Umat Islam tidak akan melakukan tindakan sehina itu.” Ucapku
Aku jadi teringat pertemuan awalku dengan Hendra. Saat itu Hendra sangat
tersinggung, saat aku katakan bahwa umat Islam diharamkan untuk mengucapkan
selamat kepada agama lain. Termasuk selamat Natal. Hendra saat itu mengatakan “kalau
begitu Islam tidak memberikan sebuah toleransi beragama”. Sungguh inilah yang selalu
diucapkan oleh kalangan orang yang tidak mengerti Islam. Mereka merasa bahwa ucapan
selamat merupakan sebuah hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Mereka
merasa ucapan adalah sekedar penyejuk hati. Atau sebatas kata-kata yang menyenangkan
orang lain. Padahal, dalam Islam. Ucapan itu merupakan sebuah doa. Jadi umat Islam
seharusnya sangat berhati-hati dalam berucap. Apalagi mengucapkan selamat kepada
agama lain. Dengan santai aku menjelaskan. Bahwa sesungguhnya saat umat Islam
mengatakan selamat kepada agama lain. Maka sesungguhnya umat Islam mendukung
adanya agama tersebut. Padahal dalam ajaran Islam tidak ada sebuah agama yang benar
kecuali agama Islam. Jadi sebuah ucapan selamat berarti membenarkan sebuah agama
selain Islam. Dan itu sangat tidak diperkanankan. Dan ucapan selamat sudah merupakan
sebuah akhidah bagi umat Islam. Jadi jika dalam akhidah sudah tidak diperbolehkan.
Maka kita tidak boleh melakukannya. Seperti halnya umat Kristen yang disuruh umat
Islam untuk sholat Jum’at. Secara otomatis umat Kristen tidak akan diperbolehkan.
Karena itu adalah aturan umat Kristen. Begitu pula sebaliknya jika umat Islam tidak
diperbolehkan mengucapkan selamat Natal. Maka seharusnya umat Kristen mengetahui
bahwa itu adalah bagian dari ajaran umat Islam. Dan seharusnya umat Kristen lebih
toleran kepada umat Islam, dengan tidak mengharapkan ucapan selamat yang diucapkan
oleh umat Islam.
Dengan begitu seharusnya umat Kristen jika mengaku toleran kepada agama lain.
Maka selayaknya mereka tidak memancing-mancing mengucapkan selamat kepada umat
Islam saat hari-hari besar agama Islam. Agar tidak menimbulkan rasa dengki yang timbul
oleh umat Kristen dikarenakan umat Islam tidak mengucapkan selamat kepada umat
Kristen. Karena kita harus ingat, bahwa toleransi beragama itu adalah hal-hal yang
bersifat umum atau muamalah. Bukan toleransi yang bersifat abstrak yang menyangkut
akhidah.
Hendra akhirnya mengerti tentang arti toleransi itu sendiri. Bahkan Hendra
berkali-kali mengucapkan, toleransi umat Islam lebih besar ketimbang toleransi
agamanya sendiri. Sudah lima tahun aku bersahabat dengan Hendra. Sehingga aku tahu
sifat seorang sahabatku itu. Meskipun kami berlainan keyakinan. Tapi kami mampu
memberikan sebuah aktulisasi tentang toleran itu sendiri. “Bukanlah itu sebuah toleransi
beragama, jika toleransi itu menginjak-ngijak keyakinan agama lain dan memaksa
menuruti kehendak dari apa yang kita yakini” itulah perkataan Hendra pada saat itu..
Tak lama setelah perbincangan kami. Pandanganku menangkap seorang wanita. Wanita
yang menggelisahkan hatiku. Wanita yang pernah aku lihat berjalan dihadapanku. Aku
benar-benar terpana melihat wanita itu. Benar-benar cantik. Sungguh benar-benar cantik.
Aku tak menyangka semua ilmuku sirna. Sirna dengan memandang wanita cantik
didepan mata ini.
“Lid, Khalid. kamu melamun! Ada apa?” tanya Hendra dengan memegang bahuku.
“Astagfirllah” ucapku lirih. Disertai ucapan “Subhanallah. Ya Allah sungguh
kebesaranmu menciptakan wanita secantik dia” ucapku dalam hati.
Hendra membalikkan badannya kebelakang. Yang pada saat itu duduknya masih
berhadapan padaku. Serta merta Hendra tersenyum. Lalu berucap “Lid, itu Nova.
Temanku di UK3 (Unit Kerohanian Kristen Katolik)”
“Oh.” Aku hanya mengangguk pelan saat itu
Tak lama Nova mendatangi kami berdua. Wanita yang aku kagumi kecantikannya
mendatangiku. Sungguh aku tidak percaya, dia sekarang berada dihadapanku. Tepat
didepanku.
“Hendra, kamu dicari Wiwid tuh!” ucapnya kepada Hendra.
“Oh, dimana dia sekarang?” Tanya Hendra
“Dikantin Fakultas Ekonomi!” ucapnya lirih.
“Oh ya, kenalin nich! Temanku” sambil menunjukku
Tak lama dia tersenyum. “Subhanallah, senyumnya cantik sekali” ucapku dalam hati.
Aku membalas senyumannya.
“Nova, Maria Nova lengkapnya!” ucapnya sambil menyodorkan tangannya kepadaku
untuk berjabat tangan.
Tangannya putih sekali. Seputih iklan produk pemutih. Jiwa ini berontak
menerima atau menolak uluran tangannya. Perjuangan akhidah dan nafsu tumpang tindih.
Sungguh, benar-benar inilah yang disebut ujian. Ujian untuk menaikkan tingkat
keimanan. Mungkin karena hal inilah, akhirnya tercipta Liberalisasi Islam. Karena nggak
kuat untuk menyentuh tangan yang putih bersih dan sangat halus.
“Khalid, Khalid Hendriansyah lengkapnya” balasku dengan merapatkan kedua telapak
tanganku kearah dada.
Dengan serta merta Nova menarik tangannya kembali, serta merapatkan kedua telapak
tangannya kearah dadanya. Dia terlihat mengerti apa yang aku maksud.
“Nova ini ketua UK3 loh, Lid!” ucap Hendra dengan nada suara yang bermaksud
tertentu. Entah apa maksudnya, mungkin dia memperingatkanku untuk berhati-hati
dengannya.
Nova saat itu hanya tersenyum simpul.
“Khalid, aku tahu kamu! Kamu adalah aktivis LDK kan?” ucap Nova
Aku tersenyum lalu berkata “iya, kok kamu tahu? Apakah kita pernah ketemu?”
“Iya, kita pernah bertemu! Disuatu tempat, ingat-ingatlah kembali!” jawabnya penuh
maksud yang tersembunyi
“Hem, dimana yach?” tanyaku penuh tanda tanya.
“Ada deh! Pikir dulu aja. Oh ya udah dulu yach, aku masih ada keperluan lagi. Aku tadi
hanya menyampaikan pesannya Wiwid aja kok!” ucap Nova
Saat Nova akan meninggalkan aku dan Hendra. Tatapan matanya terlihat sendu
mengharapkan sesuatu kepadaku. Entah apa itu. Aku tak tahu, karena aku langsung
menundukkan pandanganku.
“iya, hati-hati yach! Kalau ketemu Wiwid bilang, bentar lagi aku kesana. Aku masih ada
urusan sama Khalid” ucap Hendra.
Dewi Aphrodite telah meninggalkanku. Tetapi kecantikannya masih terbayang dalam
rongga pikirku.
“Khalid,” panggil Hendra
“Iya apa Hend!” ucapku
“Cantik, yach?” ucap Hendra
“Siapa?” ucapku berlagak tidak tahu. Meskipun aku tahu yang dimaksud adalah Nova.
“Ah, kamu. Sok! Nova maksudku” ucap Hendra mempertegas
Aku tersenyum, “iya, cantik! Kenapa?” tanyaku balik
“Lid, aku kasihan kepada Nova!”
“Kasihan kenapa?”
“Nova, adalah anak dari Pendeta Joseph”
“Hem! Lalu kenapa?” tanyaku penasaran
“Aku kenal Nova sejak kecil, Lid! Dan rumah Nova berada di sebelah rumahku. Pendeta
Joseph adalah teman Papaku, Lid. Pendeta Joseph sering memukul Nova, jika Nova tidak
mau mengikuti perintah dari Pendeta Joseph. Kamu tahu nggak Lid. Pernah suatu kali
Nova akan dinikahkan sama seorang pengusaha tua kaya yang beragama Islam. Dengan
janji bahwa jika nanti Nova dinikahi, maka Pengusaha itu akan ikut beragama Kristen.
Kamu tahu kan, Lid! Kecantikan Nova memang begitu merona!” ujar Hendra
“Lalu, gimana. Nova jadi nikah dengan pengusah itu?” tanyaku
“Nggak jadi, Lid!”
“Loh, kenapa?”
“Iya, saat itu Nova menolak keras. karena menolak Nova telah dipukul habis-habisan
oleh Pendeta Joseph. Dan keluarganya mengucilkan dia. Nova pernah disekap dalam
kamarnya. Karena kamar Nova berhadapan dengan kamar adikku yang perempuan.
Sehingga aku bisa melihat kondisi Nova pada saat itu. Benar-benar kasihan dia,.
Pakaiannya lusuh, dan dia tidak diberikan makanan apapun. Tapi aku dan adikku sering
melemparkan roti kering dan air kemasan kearah kamarnya. Aku akhirnya mempunyai
inisiatif untuk menyelidiki pengusaha tua tadi. Setelah aku dan teman-teman selidiki.
Ternyata pengusaha tadi mempunyai seorang istri. Setelah kami selidiki, akhirnya kami
tahu kalau sebenarnya kekayaan dari pengusaha itu adalah kekayaan isterinya. Dan saat
itu pun kami memberitahukan kelakuan pengusaha tua itu. Pengusaha tua itu
mengurungkan niatnya untuk memperisteri Nova.” Cerita Hendra dengan serius.
“Hem..!” aku cuma manggut-manggut
“Dan akhirnya, Nova bisa sedikit bernafas lega. Tetapi kayaknya akan ada rencana lain
yang akan dilakukan oleh pendeta Yoseph. Entah itu rencana apa? Aku tak tahu!” ucap
Hendra bingung.
“Hem…! Ya.. sudahlah kita cuma bisa berdoa saja, semoga rencana itu bukan rencana
yang buruk.” Ucapku.
“Sebenarnya, aku juga mau cerita sesuatu kepadamu Lid!”
“Apa, Hend? Masalah tadi? Atau masalah Nova lagi!”
“Ini bukan masalahku yang tadi Lid! Tetapi ini masih ada hubungannya dengan Nova!”
“Apa itu Hen?” tanyaku
“Gini Lid, di UK3 sedang merencanakan program Baksos (Bakti Sosial) ke desa-desa
kumuh. Aku nggak suka dengan program mereka Lid!”
“Loh, kan bagus Hen!” selaku
“Bagus sih bagus. Tapi ada yang janggal dari Baksos itu! Kenapa yang melakukan
Baksos adalah orang-orangnya pendeta Yoseph. Yang aku sesalkan Baksos itu atas nama
dan dana dari kampus. Nah ini kan nggak etis. Seharusnya kalau itu Baksosnya UK3, ya
seharusnya kan mahasiswa-mahasiswi anggota UK3. Bukannya anak buah pendeta
Yoseph. Nah ini yang janggal. Lid. Dan ini sudah dilaksanakan oleh mereka.” Tutur
Hendra serius.
“Oh, jadi seperti itu yach!” ucapku sejenak. Aku jadi teringat cerita bang Jamal dan bang
Dadang kembali. Didesa binaanku juga sedang didatangi orang-orang yang aneh. Aneh
dengan cara pengajaran dan ajarannya. Kalaulah mereka beragama Islam, ajaran mereka
memang mengajarkan Islam. Tetapi paham dari ajaran mereka sangat bertentangan
dengan Islam. Bahkan bisa dikatakan menghina Islam. Aku benar-benar ragu dengan apa
yang diajarkan oleh orang-orang asing itu. Apakah memang mereka benar-benar
mengerti tentang Islam. Ataukah mereka ingin merusak agama Islam. Aku jadi teringat
gadis yang berjilbab itu. Aku jadi teringat wajahnya, wajahnya seperti tak asing lagi
bagiku. Dia seperti?. Oh iya benar. Dia seperti Nova. Benar-benar wajahnya seperti
wajah Maria Nova. Apakah benar dia Maria Nova?. Benar tak salah lagi bagiku. Baik
nanti aku akan minta tolong Deni, si pakar computer itu! Untuk mencocokkan wajah
gadis berjilbab itu dengan Nova gumamku dalam hati.
“Khalid, kamu melamun lagi! Ada apa Lid?”
“Oh, nggak Hen! Aku cuma lagi mengingat-ingat aja kok!” jelasku
“Apa yang sedang kamu ingat-ingat, Lid?”
Aku hanya tersenyum sambil mengatakan “Ada deh!”
Seketika itu, aku jadi teringat hari ini aku ada kajian. “Hen, sorry! Aku ada perlu
sekarang. Aku ada janji dengan Ustadku. Besok kita lanjutkan lagi ngobrol kita” ucapku
terburu-buru
Hendri tersenyum sambil mengatakan “Ok, Lid! Ya, besok kita lanjutkan.”
Sebelum berangkat ke rumah Ustad Fadlan, aku harus mengambil beberapa buku catatan
dikontrakanku.
***
Perjalanan menuju rumah ustad Fadlan memang agak jauh. Sekitar 4 kilometer
dari tempat kontrakanku. Karena aku nggak punya kendaraan, jadi aku harus berjalan
kaki menuju rumah ustad Fadlan. Meskipun capek, tapi aku yakin bahwa ada perhitungan
tersendiri dari Allah swt, untukku. Tapi sebenarnya, untuk berjalan 4 kilometer masih
belum ada apa-apanya dibanding dengan rumahku yang ada didesa. Saat aku kecil. Aku
dan teman-temanku bahkan sering melihat pasar reboan di alun-alun kota, yang berjarak
10 kilometer dari desaku. Jadi perjalananku kerumah ustad Fadlan masih aku anggap
belum ada apa-apanya. Pernah suatu kali ustad Fadlan menawari aku sepeda mininya
untuk aku bawa. Mungkin sebelum aku diberitahu oleh teman-temanku tentang
kehidupan keluarga ustad Fadlan. Pasti aku akan menerimanya. Tetapi sejak aku
diberitahu dan melihat sendiri kehidupan keluarga ustad Fadlan. Aku jadi semakin
bertambah keimananku.
Sebelum mempunyai rumah yang layak dihuni. Ustad Fadlan adalah seorang
penjual buku-buku Islami. Dan istrinya, Ustadzah Heni. Adalah seorang guru madrasah.
Mereka berdua sangat tawadhu’ dalam menjalani kehidupan. Hingga bahkan sampai saat
ini. Saat mereka berdua sudah mempunyai tempat tinggal yang layak huni, juga beberapa
kekayaan yang diamanahkan kepada beliau berdua. Mereka tetap tawadhu’ dalam
kehidupan. Beliau terlihat tidak pernah lalai dalam mengelola kekayaan hartanya. Bahkan
sepeda mini yang akan diberikan kepadaku adalah sepeda yang setiap harinya dipakai
oleh Ustadzah Heni untuk mengajar di madrasah. Aku benar-benar tidak tega jika harus
menerima pemberian ustad Fadlan. Biarlah kakiku berjalan saat ini, tapi aku akan
berlarian disurga nanti. Berlarian dengan menggunakan kendaraan yang ada disurga
nanti. Semoga, saja.
Siang ini matahari begitu terik. Deru laju motor dan mobil lalu-lalang
disampingku. Debu-debu berhamburan, menerpaku. Membuat langkah kakiku terasa
berat, tetapi aku yakin bahwa ini tidak seberat saat sahabat-sahabat Rasulullah diuji oleh
Allah dengan siksaan kaum Quraisy. Seberat seorang yang menginginkan kesyahidan.
Apalagi tidak seberat batu panas yang ditindihkan kaum Quraisy ditubuh Bilal.
Subhanallah. Langkah kakiku terus melaju menuju deru ilmu yang menunggu. Melaju
pada setiap langkah yang berpahala. Tetap dengan terik yang menyengat kulit.
Saat kaki melangkah, saat tubuh lelah dan saat-saat mentari bersinar terik. Mata
ini memandang pada tubuh kecil. Tubuh hitam legam dengan pakaian yang dekil.
Berusaha untuk meraih harapan dengan berjalan meminta-minta pada setiap mobil dan
motor yang berhenti. Tidak biasanya. Yang aku tahu, diperempatan itu tidak pernah ada
seorang anak kecil yang berada disitu. Tubuh kecil itu sesekali mengusap ingus yang
mengalir pelan dihidungnya. Tak jarang seseorang yang melewatinya, memberikan belas
kasihan kepada dia. Tapi banyak juga yang tidak berempati kepadanya. Seiring dengan
langkah kakiku, anak itu masih tetap dalam naungan sang surya. Sebenarnya aku ingin
mendekatinya, bertanya asal-usulnya dan sekedar untuk memberitahukan bahwa ada yang
perduli dengannya. Tetapi saat itu aku urungkan. Karena aku mempunyai janji pada diri
sendiri, janji untuk memperoleh ilmu lebih dalam lagi. Dan janji pada ustad Fadlan untuk
selalu hadir dimajelisnya, majelis ilmu para pencari kebenaran. Aku putuskan, untuk
menghampiri anak surya itu setelah pulang dari Liqo’ nanti.
Rumah ustad Fadlan sudah tak jauh lagi, tinggal beberap blok saja aku sudah
sampai pada rumah ilmu itu. Rumah yang dihiasi oleh keindahan ajaran Islam
didalamnya. Rumah yang terbina dan sakinah pada para penghuninya. Sungguh benarbenar
rumah idaman.

0 comments:

Post a Comment

Komentar anda