Seorang sahabat menceritakan kepada saya saat ia menjalani
operasi katarak tahun lalu, hamper sepekan lamanya tidak bias menikmati sinar
apapun. Meski yang dioperasi sebelah kanan, yang kiri tetap tidak bisa melihat
secara sempurna. Sungguh keadaan yang membuat hati ini menjadi galau.
Pernahkah sahabat merasakan mati lampu (listrik) meski
berada di ruangan yang sudah kita hafal? Tapi toh tetap kita tidak bisa melihat
dengan sempurna kita akan menabrak-nabrak juga. Rasanya hidup menjadi
berantakan. Lalu bagaimana dengan orang yang berjalan tanpa cahaya? Dalam
kebutaannya itu justru dia berlaku sombong, sungguh aneh.
Dia, cahaya atau pelita memang dibutuhkan dalam hidup ini.
Lentera memang kecil, cahayanya kerlap-kerlip, tapi sekecil apapun cahaya bagi seorang
petualang akan sangat besar manfaatnya. Apalagi ditengah-tengah gulita duh
senangnya ketika melihat setitik cahaya. Kerlip bintang akan menjadi petunjuk
arah, ibarat fajar yang selalu memberikan harapan kepada semua makhluk di
setiap pagi. Karena orang yakin setelah fajar akan muncul matahari terang
benderang.
Tugas seorang muslim adalah menjaga agar cahaya dalam
dirinya itu tidak padam, apakah bisa cahaya itu padam? Ya tentu saja bisa, bila
kita sering bermaksiat. Tugas kita berikutnya adalah menjadi penerang bagi
sekitar, sosok kita terasakan keberadaannya dilingkungan tersebut.
Syukur-syukur kita bisa mentransfer keberadaan cahaya itu.
Seorang ayah menjadi cahaya bagi rumahnya, jangan sampai
rumah tersebut menjadi gelap gulita. Sehingga istri dan anak-anaknya
terlunta-lunta mencari cahaya diluar.
Dustur Allah:
“Allah memberikan cahaya kepada langit dan
bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus
yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu didalam kaca dan kaca tersebut
seakan-akan bintang yang bercahaya di dalamnya seprti mutiara yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon berkahnya yaitu pohon zaitun